Pegawai DJP sejak 1993 sampai Maret 2022. Konsultan Pajak sejak April 2022. Alumni magister administrasi dan kebijakan perpajakan angkatan VI FISIP Universitas Indonesia.
Perlu konsultasi?
Sila kirim email ke kontak@aguspajak.com
atau 08888110017
Terima kasih sudah membaca tulisan saya di aguspajak.com
Semoga aguspajak menjadi rujukan pengetahuan perpajakan.
Kehadiran Fisik Itu Mutlak. Hitungan 183 hari bersifat akumulatif, dan setiap kehadiran fisik di Indonesia dihitung.
Direktur Jenderal Pajak telah menentukan petunjuk teknis cara menentukan status subjek pajak dengan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2025.
Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-25/PJ/2025 mengatur bagaimana menentukan subjek pajak dalam negeri, atau wajib pajak luar negeri.
Rumusannya utamanya sudah diatur di Pasal 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan, terakhir diubah dengan Undang-Undang HPP.
Pada prinsipnya, UU PPh dari dulu hingga sekarang sebenarnya menganut asas domisili. Siapapun, baik WNI maupun WNA yang berdomisili di Indonesia lebih dari 183 hari, maka menjadi subjek pajak dalam negeri.
Sebaliknya, jika kurang dari 183 hari di Indonesia maka dia berstatus Wajib Pajak luar negeri. Asas domisili ini kemudian dibuktikan dengan bukti-bukti yang menunjukkan secara substansi keberadaannya di suatu negara.
Adapan yang diatur di Pasal 6 ayat (1) huruf c PER-25/PJ/2025 itu berlaku untuk subjek pajak pengusaha bebas yang keberadaannya di berbagai negara.
Bisa jadi Wajib Pajak OP tertentu selalu keliling berbagai negara, baik untuk kepentingan bisnis maupun keperluan lainnya. Untuk kasus yang seperti ini, sulit menghitung 183 hari atau lebih di negara tertentu.
Karena itu dilakukan pengujian tie breaker rules secara berjenjang. Jika memenuhi syarat diatasnya, maka cukup. Tapi jika belum memenuhi, maka lanjut ke pengujian berikutnya. Karena itu di Pasal 6 ayat (1) huruf c menggunakan kata hubung “data/atau”.
Tujuan tie breaker rules sebenarnya untuk memberikan kepastian, di negara mana orang pribadi tersebut dianggap Wajib Pajak Dalam Negeri.
Pengujian ini efektif untuk negara-negara yang menganut asas domisili seperti Indonesia. Namun jika negara menganut citizenship maka tidak efektif. Contoh USA menganut prinsip citizenship. Sehingga Warga Negara Amerika Serikat akan tetap dikenai pajak oleh USA di mana pun tempat tinggalnya. Ada kemungkinan menjadi double WPDN.
Contoh jika tinggal di Infonesia, maka warga negara Amerika Serikat akan dianggap Wajib Pajak dalam negeri baik oleh IRS maupun DJP.
Kriteria Pembeda
โ Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN)
โ Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN)
Orang Pribadi: Waktu
Berada di Indonesia > 183 hari (dalam 12 bulan)
Berada di Indonesia โค 183 hari (dalam 12 bulan)
Orang Pribadi: Tempat
Bertempat tinggal atau punya niat tinggal di Indonesia
Tidak bertempat tinggal di Indonesia
Badan: Legalitas
Didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
Tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia
Kewajiban Pajak
Atas penghasilan dari Indonesia dan luar Indonesia (prinsip world-wide income)
Atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja
Studi Kasus Sederhana
Mari kita lihat dua contoh sederhana untuk membuat konsep ini menjadi lebih nyata.
Kasus 1: Perhitungan 183 Hari (Seperti Tuan A)
Studi Kasus: Kapan Seorang WNA Menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri?
Skenario: Tuan A, seorang WNA, mengunjungi Indonesia untuk keperluan bisnis. Kunjungan pertamanya berlangsung selama 150 hari. Beberapa bulan kemudian dalam periode 12 bulan yang sama, ia kembali lagi selama 34 hari.
Analisis: Total waktu Tuan A berada di Indonesia adalah 150 hari + 34 hari = 184 hari.
Kesimpulan: Tuan A Subjek Pajak Dalam Negeri.
Kasus 2: WNI yang Bekerja di Luar Negeri (Seperti Tuan D)
Studi Kasus: Apakah WNI yang Bekerja di Luar Negeri Otomatis Menjadi SPLN?
Skenario: Tuan D adalah seorang WNI yang bekerja dan menyewa apartemen di negara X. Namun, ia masih memiliki rumah pribadi, keluarga (anak dan orang tua), serta bisnis rental mobil di Indonesia. Dalam setahun, ia menghabiskan 337 hari di negara X dan hanya 28 hari di Indonesia.
Analisis: Kasus ini menunjukkan pentingnya analisis berjenjang (tiered test) yang diatur dalam peraturan.
Kriteria Tempat Tinggal: Tuan D memiliki tempat tinggal permanen di Indonesia (rumah pribadi) dan di negara X (apartemen sewa). Karena kriteria ini terpenuhi di kedua negara, kita belum bisa menentukan statusnya dan harus melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Kriteria Pusat Kegiatan Utama: Tuan D juga memiliki pusat kegiatan utama di kedua negara (keluarga dan bisnis di Indonesia, pekerjaan utama di negara X). Kriteria ini juga tidak bisa menjadi penentu tunggal.
Kriteria Kebiasaan/Kegiatan Sehari-hari: Karena dua kriteria sebelumnya tidak memberikan jawaban pasti, penentuan akhir didasarkan pada di mana ia lebih banyak menjalankan kebiasaannya. Data menunjukkan Tuan D menghabiskan 337 hari di negara X, jauh lebih lama dari 28 hari di Indonesia.
Kesimpulan: Tuan D Wajib Pajak Luar Negeri
Aturan Kunci: Hitungan 183 Hari
Aturan paling mendasar untuk menentukan status pajak orang pribadi adalah dengan menghitung lama kehadirannya di Indonesia. Mari kita lihat kasus Tuan A, seorang pengusaha Warga Negara Asing (WNA) yang beberapa kali mengunjungi Indonesia untuk ekspansi bisnis.
Berikut adalah rekapitulasi jadwal perjalanan Tuan A:
Periode Kunjungan
Durasi di Indonesia
Keterangan
1 Februari 2023 โ 30 Juni 2023
150 hari
Tiba di Jakarta untuk mempelajari pasar dan persiapan pembukaan gerai.
29 Desember 2023 โ 31 Januari 2024
34 hari
Kembali ke Indonesia untuk meninjau beberapa lokasi gerai baru.
Total
184 hari
Total kehadiran dalam jangka waktu 12 bulan.
Dari tabel di atas, total kehadiran Tuan A di Indonesia adalah 184 hari (150 hari + 34 hari) dalam rentang waktu kurang dari 12 bulan. Karena jumlah ini melebihi batas 183 hari, Tuan A memenuhi kriteria sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN).
Wawasan Kunci: Aturan 183 hari dihitung secara kumulatif dalam periode 12 bulan, tidak harus berurutan secara terus-menerus.
Setiap Hari Dihitung: Konsep “Hadir” vs. “Berada”
Peraturan menegaskan bahwa setiap kehadiran fisik di wilayah Indonesia, sekecil apa pun, akan dihitung. Aturan ini berlaku baik untuk kunjungan sangat singkat (“hadir”) maupun penugasan jangka panjang (“berada”).
Skenario 1: Kunjungan Singkat (Contoh “Hadir”)
Tuan B adalah seorang konsultan internasional yang beberapa kali datang ke Indonesia untuk keperluan berbeda.
Kunjungan Pertama: Memberikan pelatihan di Jakarta selama 5 hari.
Kunjungan Kedua: Menghadiri konferensi bisnis selama 10 hari.
Kunjungan Ketiga: Transit di bandara Indonesia selama 6 jam sebelum melanjutkan penerbangan ke negara lain.
Meskipun kunjungan ketiga hanya berupa transit singkat, aturan menyatakan bahwa “bagian dari hari dihitung penuh sebagai 1 (satu) hari”. Dengan demikian, total kehadiran Tuan B dihitung sebagai 16 hari (5 hari + 10 hari + 1 hari).
Skenario 2: Penugasan Jangka Panjang (Contoh “Berada”)
Tuan M adalah warga negara S yang ditugaskan sebagai pimpinan di kantor cabang Jakarta selama satu tahun. Ia memiliki kontrak kerja selama 12 bulan, menyewa apartemen di Jakarta, dan membawa sebagian barang pribadinya, yang semuanya menunjukkan niat untuk tinggal. Selama penugasannya, ia bekerja di beberapa lokasi: penugasan di Pulau Sumatera selama 40 hari dan di Pulau Kalimantan selama 150 hari. Total kehadiran fisiknya di Indonesia adalah 190 hari. Jumlah ini membuatnya memenuhi syarat sebagai SPDN. Penting untuk dicatat bahwa meskipun Tuan M bekerja dari luar negeri selama 20 hari, periode tersebut tidak mengurangi total hari kehadiran fisiknya di Indonesia. Aturan ini menekankan bahwa yang dihitung adalah keberadaan fisik di wilayah Indonesia, bukan di mana pekerjaan untuk perusahaan Indonesia dilakukan.
Wawasan Kunci: Yang menjadi dasar perhitungan adalah kehadiran fisik di wilayah Indonesia, baik untuk tujuan transit, kunjungan singkat untuk konferensi, maupun penugasan kerja yang berpindah-pindah lokasi.
Penentuan status menjadi lebih rumit ketika seorang Warga Negara Indonesia (WNI) justru lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri. Kasus seperti ini memerlukan analisis yang lebih mendalam.
Studi Kasus WNI di Luar Negeri: Menimbang Keterikatan Seseorang
Bagian ini membahas kasus yang lebih kompleks, yaitu bagaimana menentukan status pajak Warga Negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di luar negeri.
Tarik-Menarik Antara Dua Negara (Studi Kasus Tuan D)
Tuan D adalah seorang WNI yang bekerja di Negara X. Ia menghadapi dilema karena memiliki ikatan yang kuat di kedua negara: keluarga dan bisnis di Indonesia, tetapi pekerjaan dan istri di Negara X. Untuk menentukan status pajaknya, otoritas akan melakukan analisis “pemenuhan persyaratan secara berjenjang”.
Berikut perbandingan keterikatan Tuan D:
Kategori Keterikatan
Di Indonesia
Di Negara X
Tempat Tinggal
Memiliki rumah pribadi yang dikuasai.
Menyewa apartemen bersama istri.
Pusat Kegiatan Utama
Keluarga (anak & orang tua) dan bisnis rental mobil.
Pekerjaan utama dan tempat tinggal istri.
Kebiasaan/Kegiatan Sehari-hari
Menghabiskan waktu 28 hari dalam setahun.
Menghabiskan waktu 337 hari dalam setahun.
Logika Penentuan Status:
Tahap 1: Analisis Tempat Tinggal: Tuan D memiliki tempat tinggal permanen di kedua negara, sehingga kriteria ini tidak bisa menjadi penentu tunggal.
Tahap 2: Analisis Pusat Kegiatan Utama: Ia juga memiliki pusat kegiatan utama (pribadi, sosial, ekonomi) di kedua negara. Kriteria ini juga seimbang.
Tahap 3: Analisis Kebiasaan Sehari-hari:Karena dua kriteria sebelumnya seimbang, penentu utamanya adalah di mana ia lebih banyak menjalankan kebiasaan atau kegiatan sehari-harinya.
Wawasan Kunci: Tuan D ditetapkan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) karena, setelah melalui analisis berjenjang, ia terbukti lebih banyak menghabiskan waktu dan menjalankan kebiasaannya di Negara X (337 hari vs 28 hari).
Sama seperti individu, perusahaan juga memiliki “tempat tinggal” pajaknya sendiri, yang tidak selalu sama dengan alamat kantor pusatnya.
Di Mana Pusat Kendali Sebenarnya?
Bagian ini menjelaskan bagaimana status pajak suatu badan usaha ditentukan, bukan hanya dari tempat didirikan, tetapi dari lokasi pengambilan keputusan strategisnya.
Lokasi Rapat Menentukan Status (Studi Kasus A Co.)
A Co. adalah perusahaan pengembang aplikasi yang secara hukum didirikan di Negara A. Namun, para pendiri yang juga menjabat sebagai direktur sering mengadakan rapat dewan direksi di Indonesia. Pada tahun 2022, separuh dari total rapat direksi (6 dari 12) diadakan di Indonesia.
Selama rapat-rapat di Indonesia tersebut, A Co. membuat 3 keputusan strategis yang sangat penting:
Pengalihan Saham ke Investor Baru: Negosiasi dan keputusan akhir untuk menjual sebagian saham kepada investor baru dilakukan di Indonesia.
Pengalihan Aset Strategis: Persetujuan untuk mengalihkan hak atas algoritma inti PQRapp, yang merupakan aset paling vital perusahaan, diputuskan dalam rapat di Indonesia.
Penunjukan Pejabat Kunci:Chief Operating Officer (COO) baru untuk wilayah Asia ditunjuk secara langsung dalam pertemuan di Indonesia.
Meskipun A Co. secara legal didirikan di Negara A, fakta bahwa separuh dari rapat direksi dan beberapa keputusan paling krusialnya dibuat di Indonesia pada tahun 2022 menyebabkan “pusat manajemen dan pengendalian”-nya dianggap berada di Indonesia. Oleh karena itu, A Co. menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) pada tahun tersebut.
Wawasan Kunci: Prinsip
substance over form berlaku di sini. Status pajak sebuah badan tidak ditentukan oleh alamat registrasi legalnya (form), melainkan di mana kendali dan keputusan strategis sesungguhnya dijalankan (substance). Dalam kasus A Co., pusat kendalinya secara substantif berada di Indonesia.
Selain penentuan status berdasarkan kondisi faktual, ada juga persyaratan administratif yang penting untuk dipenuhi, seperti membuktikan status domisili pajak di negara lain.
Batas Waktu Surat Keterangan Domisili (SKD)
Surat Keterangan Domisili (SKD) adalah dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas pajak negara lain untuk membuktikan bahwa seseorang adalah subjek pajak di negara tersebut. Bagi WNI yang ingin diakui sebagai SPLN, pengajuan permohonan ke Direktorat Jenderal Pajak harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu setelah SKD berakhir.
Berikut adalah tiga skenario terkait batas waktu pengajuan:
Kasus Tuan E
Situasi: SKD dari Negara Z memiliki masa berlaku yang jelas, yaitu 1 Januari 2024 s.d. 31 Desember 2024.
Tanggal Kunci: 31 Desember 2024 (tanggal berakhirnya SKD).
Batas Akhir Permohonan: Permohonan harus diajukan paling lambat 6 bulan setelah Tanggal Kunci, yaitu pada 30 Juni 2025.
Kasus Tuan F
Situasi: SKD dari Negara R memiliki masa berlaku 1 Januari 2024 s.d. 14 April 2024.
Tanggal Kunci: 14 April 2024.
Batas Akhir Permohonan: Permohonan harus diajukan paling lambat 6 bulan setelahnya, yaitu pada 14 Oktober 2024.
Kasus Tuan G
Situasi: SKD dari Negara M diterbitkan pada 15 September 2024, namun tidak mencantumkan masa berlaku.
Tanggal Kunci: 15 September 2024 (tanggal penerbitan dianggap sebagai tanggal berlaku).
Batas Akhir Permohonan: Permohonan harus diajukan paling lambat 6 bulan setelahnya, yaitu pada 15 Maret 2025.
Sangat penting untuk memperhatikan masa berlaku (atau tanggal penerbitan) SKD untuk memastikan permohonan penetapan status sebagai SPLN dapat diajukan tepat waktu sesuai aturan 6 bulan.
Sejarah Pajak di Indonesia Berdasarkan Analisis Historis
1.0 Pendahuluan: Pajak sebagai Benang Merah Sejarah Politik dan Ekonomi Nusantara
Pajak, dalam berbagai bentuknya, merupakan instrumen fundamental yang menopang keberlangsungan negara sepanjang sejarah.
Dari upeti sederhana yang dipersembahkan kepada raja hingga sistem administrasi modern yang kompleks, mekanisme penghimpunan dana dari rakyat telah menjadi benang merah yang menghubungkan episode-episode perubahan politik, ekonomi, dan sosial.
Laporan ini akan menelusuri evolusi sistem dan praktik perpajakan di wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia, memetakan transformasinya dari model pungutan kerajaan klasik hingga sistem administrasi yang diperkenalkan pada masa kolonial dan diadaptasi pada era awal kemerdekaan.
Argumen utama laporan ini adalah bahwa perubahan dalam struktur perpajakan secara konsisten mencerminkan pergeseran kekuasaan politik, model ekonomi yang dianut, dan struktur sosial masyarakat di Nusantara.
Sebagaimana negara tidak dapat dibicarakan tanpa membahas usahanya menghimpun dana, begitu pula sejarah Nusantara tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa menilik bagaimana para penguasaโdari datu, sultan, gubernur jenderal, hingga presidenโmembiayai pemerintahan mereka.
Perubahan dari upeti berupa hasil bumi menjadi pajak dalam bentuk uang, dari pungutan feodal menjadi sistem sewa tanah, dan dari eksploitasi kolonial menjadi iuran untuk pembangunan nasional, semuanya adalah cerminan dari dinamika kekuasaan yang lebih besar.
Laporan ini akan mengkaji periode-periode krusial dalam sejarah perpajakan Indonesia.
Pembahasan akan dimulai dari fondasi sistem pungutan pada masa kerajaan Hindu-Buddha, yang terbagi antara model maritim Sriwijaya dan model agraris Mataram Kuno.
Selanjutnya, analisis akan berlanjut ke era kesultanan Islam, di mana adaptasi dan inovasi sistem pajak menopang kejayaan pusat-pusat perdagangan pesisir dan kekuatan agraris Mataram Islam.
Laporan ini kemudian akan mengupas bagaimana era kolonialisme secara fundamental mengubah tujuan pajak menjadi alat eksploitasi, mulai dari praktik monopoli VOC, reformasi administratif Daendels dan Raffles, eksploitasi sistematis melalui Tanam Paksa, hingga pengenalan pajak modern di era liberal.
Pembahasan juga akan mencakup periode singkat pendudukan Jepang yang berorientasi pada ekonomi perang, sebelum akhirnya ditutup dengan analisis tantangan pembangunan sistem perpajakan nasional di era awal kemerdekaan.
Dengan menelusuri jejak panjang ini, kita akan memulai perjalanan untuk memahami bagaimana sistem pungutan yang paling awal pada masa kerajaan-kerajaan maritim dan agraris di Nusantara meletakkan dasar bagi evolusi perpajakan yang kompleks di kemudian hari.
2.0 Fondasi Perpajakan di Era Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha awal seperti Sriwijaya dan Mataram Kuno merupakan peletak dasar sistem pungutan di Nusantara, meskipun dengan model yang sangat berbeda.
Perbedaan fundamental ini lahir dari orientasi ekonomi masing-masing kerajaan.
Di satu sisi, kerajaan maritim seperti Sriwijaya membangun kekayaannya dari kontrol atas jalur-jalur niaga dan memungut pajak dari aktivitas perdagangan internasional.
Di sisi lain, kerajaan agraris seperti Mataram Kuno mendasarkan pendapatannya pada penguasaan tanah yang subur dan tenaga kerja rakyatnya, dengan pungutan utama berupa hasil bumi.
2.1 Model Maritim: Pajak Perdagangan di Kedatuan Sriwijaya
Sebagai penguasa jalur perdagangan maritim utama pada masanya, sumber pendapatan utama Kedatuan Sriwijaya berpusat pada kemampuannya menarik keuntungan dari lalu lintas kapal asing.
Raja memiliki hak pungutan yang dikenal sebagai drawya, yang menjadi dasar legalitas penarikan berbagai jenis pajak dan upeti.
Pemasukan utama Sriwijaya berasal dari serangkaian pungutan maritim yang komprehensif, termasuk bea masuk atas barang dagangan, bea kapal berlabuh, upeti wajib dari para pedagang dan raja-raja taklukan, serta keuntungan langsung dari aktivitas niaga yang dilakukan oleh kerajaan itu sendiri.
Kebijakan pajak ini merupakan alat strategis yang vital. Pada masa kejayaannya, keamanan yang dijamin oleh armada laut Sriwijaya membuat para pedagang bersedia membayar pajak demi kelancaran aktivitas niaga mereka.
Namun, kebijakan fiskal ini mengandung kerentanan strategis. Ketergantungan pada bea yang tinggi akhirnya memicu konflik dengan kekuatan eksternal.
Penetapan bea yang terlalu tinggi terhadap para saudagar, seperti yang dialami oleh saudagar Tamil, memicu ketidakpuasan dan perlawanan.
Akibatnya, Kerajaan Cola dari India Selatan, yang bertindak sebagai pelindung para saudagar tersebut, melancarkan serangan besar pada tahun 1025 M.
Serangan ini secara signifikan melemahkan monopoli perdagangan Sriwijaya di Selat Malaka dan menjadi salah satu faktor utama kemundurannya.
2.2 Model Agraris: Pajak Tanah dan Tenaga di Mataram Kuno dan Kahuripan
Berbeda dengan Sriwijaya, kerajaan agraris seperti Mataram Kuno dan Kahuripan mendasarkan pendapatannya pada kontrol atas sumber daya agraria: tanah dan tenaga kerja.
Pajak tidak hanya dipungut dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk kerja sukarela sebagai pelayan istana, atau yang dikenal sebagai katik.
Informasi dari berbagai prasasti menunjukkan bagaimana hasil pajak digunakan untuk membiayai proyek-proyek publik yang krusial, seperti pembangunan dan pemeliharaan bendungan (contoh: Waringin Sapta), pendirian bangunan suci, serta penyelenggaraan berbagai kegiatan keagamaan.
Berbagai jenis pajak yang berlaku pada era Mataram Kuno dan Kahuripan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Pajak Tanah dan Hasil Bumi:
Pangguhan: Pajak atas hasil sawah yang menjadi pungutan utama.
Pembayaran pajak dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari emas, perak, hingga penyerahan tenaga kerja (katik).
Pajak Usaha dan Profesi:
Pajak dikenakan pada berbagai profesi dan kegiatan usaha, contohnya termasuk pajak untuk aringgit (seniman), matapukan (penari topeng), dan vaniyaga (pedagang)โmenunjukkan bahwa, baik di kerajaan maritim maupun agraris, para pedagang secara konsisten menjadi subjek pajak yang penting, menandakan peran sentral perdagangan dalam ekonomi Nusantara bahkan di kerajaan yang bertumpu pada hasil bumi.
Pajak Lainnya:
Kiteran: Pajak yang dikenakan khusus untuk orang asing yang menetap di wilayah kerajaan.
Pajak Sumber Daya Kelautan: Pungutan yang dikenakan pada aktivitas eksplorasi hasil laut, yang sekaligus berfungsi untuk mencegah eksploitasi berlebihan dan menjaga keseimbangan lingkungan.
Struktur birokrasi pemungutan pajak pada masa ini sudah cukup terorganisir. Terdapat kelompok pejabat khusus pemungut pajak yang disebut sang manilala drawya haji.
Mekanisme penyetorannya bersifat hierarkis; pungutan dari tingkat desa dikumpulkan oleh para rama (kepala desa) dan diserahkan kepada pejabat di tingkat yang lebih tinggi (watek), sebelum akhirnya sampai ke kas kerajaan.
Salah satu inovasi kebijakan yang penting pada era ini adalah konsep sima, yaitu penetapan suatu wilayah menjadi daerah bebas pajak.
Anugerah sima diberikan oleh raja sebagai imbalan atas jasa atau untuk tujuan tertentu. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Raja Airlangga, Desa Kamalagyan dijadikan sima dengan tugas bagi warganya untuk menjaga dan memelihara Bendungan Waringin Sapta.
Meskipun bebas dari kewajiban pajak ke kerajaan, masyarakat di wilayah sima justru mengelola pendapatannya untuk membiayai pemeliharaan bangunan suci atau infrastruktur yang menjadi alasan penetapannya.
Model-model perpajakan agraris dan maritim yang diletakkan pada era Hindu-Buddha ini tidak hilang, melainkan terus diadaptasi dan dikembangkan lebih lanjut seiring dengan munculnya kekuatan politik baru pada masa kesultanan Islam.
3.0 Adaptasi dan Inovasi pada Masa Kesultanan Islam
Periode kesultanan Islam menandai sebuah era dinamis di mana sistem perpajakan dari masa Hindu-Buddha diadaptasi dan dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan negara-negara bercorak maritim dan agraris yang baru.
Di kesultanan-kesultanan pesisir yang menjadi pusat perdagangan global, peran syahbandar sebagai kepala pelabuhan dan pemungut bea cukai menjadi sangat krusial, sementara di pedalaman, sistem pajak agraris semakin diformalkan dan terstruktur.
3.1 Pajak di Pusat Perdagangan Pesisir
Kebijakan bea cukai dan pajak pelabuhan di kesultanan-kesultanan maritim menjadi instrumen vital untuk mengelola perdagangan dan mengisi kas negara. Setiap kesultanan mengembangkan kebijakannya sendiri untuk menarik pedagang atau mengontrol arus komoditas.
Kesultanan
Pejabat Kunci
Jenis Pajak Utama
Catatan Kebijakan Khusus
Samudera Pasai
Syahbandar
Pajak impor 6% untuk kapal dari barat, pajak ekspor.
Sudah menggunakan mata uang emas (drama) dalam transaksi dan pembayaran pajak.
Tarif pajak lebih murah untuk menarik pedagang pasca-jatuhnya Malaka. Ada perbedaan tarif antara pedagang Muslim dan non-Muslim.
Banten
Syahbandar (seringkali dari etnis Tionghoa)
Pajak ekspor lada, bea berlabuh, pajak pasar.
Syahbandar bertugas menaksir nilai barang dan menentukan jumlah pajak. Pajak dinaikkan secara strategis untuk mengusir VOC.
Gowa-Tallo
Sabannara (Syahbandar), Jannang Pasukan Pasara (pejabat pajak pasar)
Bea cukai, pajak pasar, susung romang (hak raja atas hasil hutan 5-10%).
Menerapkan prinsip perdagangan bebas untuk semua bangsa. Raja tidak mencampuri kewenangan syahbandar dalam penarikan pajak.
Kebijakan-kebijakan ini berfungsi sebagai instrumen geopolitik ekonomi yang tajam.
Di Aceh, tarif pajak yang awalnya lebih murah berhasil menarik para pedagang Muslim yang menghindari Portugis di Malaka, sehingga mempercepat kebangkitan Aceh sebagai pusat perdagangan baru.
Sebaliknya, di Banten, kenaikan pajak dan bea cukai yang drastis di bawah Pangeran Ranamenggala merupakan langkah politik yang disengaja untuk mendorong VOC hengkang dari pelabuhannya dan pindah ke Jayakarta.
3.2 Pajak Agraris dan Birokrasi di Mataram Islam
Kesultanan Mataram Islam, sebagai kekuatan agraris dominan di Jawa, melanjutkan dan memformalkan sistem pajak berbasis tanah dari era sebelumnya.
Pada periode inilah istilah pajeg mulai digunakan secara luas, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia modern menjadi “pajak”.
Struktur administrasi Mataram sangat hierarkis, dengan pembagian wilayah menjadi kutharaja (pusat keraton), negaragung, mancanegara, dan pesisir.
Para pejabat keraton diberi imbalan berupa tanah lungguh (apanage), di mana mereka berhak memungut pajak dari petani yang menggarapnya.
Di tingkat desa, pemungutan dilakukan oleh seorang bekel. Sistem ini rawan eksploitasi karena bekel tidak hanya menarik pajak, tetapi juga mengerahkan kerja bakti (kerigaji) untuk kepentingan pejabat pemegang lungguh.
Kompleksitas sistem ini tercermin dari puluhan jenis pajak yang ada, seperti pajak bumi (pajeg), pajak pintu rumah (pacumpleng atau pajeg omah), kerja wajib (kerigaji), dan upeti (bulu bekti).
Sebagai contoh evolusi administrasi pajak, studi kasus Praja Mangkunegaran pada abad ke-19 dan awal ke-20 menunjukkan adanya upaya modernisasi yang signifikan.
Di bawah Mangkunegara VI dan VII, reformasi kunci dilakukan, antara lain:
Pemisahan Kas Praja: Keuangan pribadi raja dipisahkan dari anggaran negara untuk mencegah pemborosan.
Penghapusan Sistem Apanage: Sistem lungguh dihapus dan pegawai kerajaan digaji dengan uang, memungkinkan kontrol pajak yang lebih terpusat.
Pembentukan Dinas Perpajakan Modern: Sebuah dinas perpajakan yang lebih terstruktur dibentuk untuk mengelola berbagai jenis pajak modern, seperti pajak penghasilan, pajak tanah dalam kota, pajak kendaraan, pajak tontonan, dan pajak lainnya.
Modernisasi di Mangkunegaran ini menjadi jembatan antara sistem feodal tradisional dan administrasi modern.
Namun, sistem-sistem yang telah mapan di seluruh Nusantara ini kemudian harus berhadapan dengan kekuatan ekonomi dan administrasi baru yang dibawa oleh bangsa Eropa, yang memiliki tujuan dan metode yang sama sekali berbeda.
4.0 Era Kolonialisme: Pajak sebagai Alat Eksploitasi dan Kontrol
Kedatangan bangsa Eropa secara fundamental mengubah tujuan dan metode perpajakan di Nusantara.
Pajak tidak lagi berfungsi utama untuk membiayai kerajaan lokal dan menyejahterakan rakyatnya, tetapi bertransformasi menjadi instrumen eksploitasi ekonomi yang sistematis untuk kepentingan negara induk dan korporasi dagang.
Tujuan utamanya adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari tanah jajahan, dengan rakyat pribumi sebagai objek pemajakan yang menanggung beban terberat.
4.1 Monopoli Perdagangan dan Pungutan Awal: Portugis dan VOC
Portugis, saat menguasai Malaka, menerapkan sistem bea cukai yang tinggi. Namun, kebijakan pajak yang tidak menguntungkan bagi para pedagang Asia, ditambah dengan praktik korupsi yang merajalela di kalangan pejabatnya, menjadi salah satu faktor yang melemahkan cengkeraman mereka dan mendorong para pedagang untuk beralih ke pelabuhan-pelabuhan lain seperti Aceh.
Pendekatan VOC pada awalnya lebih berfokus pada monopoli perdagangan komoditas bernilai tinggi seperti rempah-rempah.
Namun, seiring meluasnya kekuasaan teritorial mereka, VOC beralih ke sistem pungutan wajib yang lebih sistematis, yaitu:
Contingenten: Pajak wajib berupa penyerahan sebagian hasil bumi (seperti beras atau kopi) yang harus disetorkan oleh penguasa-penguasa lokal yang berada di bawah pengaruh VOC.
Leverantie: Kewajiban penyerahan paksa hasil bumi dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak oleh VOC, yang seringkali jauh di bawah harga pasar.
Untuk memungut pajak-pajak ini, VOC secara efektif memanfaatkan struktur kekuasaan lokal yang sudah ada.
Para bupati dan penguasa pribumi lainnya dijadikan sebagai agen pemungut pajak, di mana mereka diwajibkan menyetor sejumlah tertentu kepada VOC, seringkali dengan imbalan pengakuan atas kekuasaan mereka.
Di Batavia, pusat kekuasaan VOC, sistem pajak menargetkan kelompok etnis tertentu secara spesifik.
Komunitas Tionghoa menjadi target utama dengan berbagai jenis pajak seperti pajak kepala, pajak usaha, pajak rumah judi, hingga pajak kuncir.
Ketergantungan VOC pada pajak dari komunitas ini terbukti fatal ketika Tragedi Angke 1740, sebuah pembantaian massal terhadap etnis Tionghoa, menyebabkan anjloknya pendapatan pajak VOC secara drastis.
4.2 Reformasi Administratif dan Eksploitasi Sistematis: Daendels, Raffles, dan Tanam Paksa
Di bawah pemerintahan Herman Willem Daendels (1808-1811), fondasi negara modern mulai diletakkan dengan sentralisasi administrasi keuangan.
Kebijakan utamanya adalah pengenalan konsep landrente (pajak tanah), di mana pajak tidak lagi diserahkan dalam bentuk hasil bumi, melainkan harus dibayar dengan uang.
Untuk mengisi kas negara yang kosong, Daendels juga menjual tanah-tanah negara secara luas kepada pihak swasta, yang dikenal sebagai particuliere landen.
Thomas Stamford Raffles (1811-1816) melanjutkan dan mereformasi sistem landrent. Tujuan idealnya adalah menghapus unsur paksaan feodal, memberikan kepastian hukum kepada petani dengan menjadikan mereka penyewa tanah langsung dari pemerintah, dan mengubah peran bupati dari pemungut upeti menjadi pegawai pemerintah yang digaji.
Namun, implementasi landrent di bawah Raffles mengalami kegagalan besar. Kendala utamanya adalah kurangnya data yang akurat mengenai kepemilikan dan kesuburan tanah, ketergesa-gesaan dalam penerapan, serta ketidaksiapan aparat pemerintah dan masyarakat yang belum terbiasa dengan ekonomi uang.
Kegagalan fiskal dari sistem landrent Raffles menciptakan krisis pendapatan bagi pemerintah kolonial, yang mendorong Johannes van den Bosch untuk merancang solusi eksploitatif yang lebih radikal: Cultuurstelsel (Tanam Paksa), yang diperkenalkan pada tahun 1830.
Sistem ini secara efektif mengubah kewajiban pembayaran pajak tanah menjadi kerja paksa. Petani diwajibkan menggunakan sebagian tanahnya (seringkali yang paling subur) untuk menanam komoditas ekspor yang laku di pasar Eropa (seperti kopi, tebu, dan nila) dan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial.
Sistem ini berhasil menghasilkan keuntungan luar biasa bagi Kerajaan Belanda, namun menyebabkan penderitaan hebat, kelaparan, dan kemiskinan yang meluas di kalangan rakyat Jawa.
4.3 Era Liberal dan Pajak Modern
Penghapusan Tanam Paksa secara bertahap setelah tahun 1870 memaksa pemerintah Hindia Belanda untuk mencari sumber-sumber pendapatan baru yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi liberal.
Era ini ditandai dengan pengenalan berbagai jenis pajak modern yang menyasar individu dan kegiatan ekonomi.
Pajak Kepala: Diperkenalkan sebagai pengganti kerja wajib (heerendiensten) yang dihapuskan. Setiap kepala keluarga pribumi diwajibkan membayar sejumlah uang tunai setiap tahun.
Pajak Personal: Menyasar properti dan barang-barang mewah yang dimiliki oleh orang Eropa dan golongan Timur Asing, seperti mebel, kereta, dan kuda.
Pajak Penghasilan: Diperkenalkan untuk menggantikan pajak bisnis sebelumnya, menyasar keuntungan dari berbagai kegiatan usaha, profesi, dan perdagangan.
Meskipun lebih modern, praktik dan beban pajak pada era ini tetap menjadi sumber penderitaan dan perlawanan.
Salah satu pemicu utama keresahan sosial adalah praktik penyewaan hak pemungutan pajak (pacht) kepada pihak swasta, terutama pengusaha Tionghoa.
Praktik ini terjadi pada pajak gerbang tol, candu, dan pasar. Para penyewa iniโyang telah membayar mahal untuk mendapatkan hak pemungutanโmemeras rakyat secara berlebihan untuk memaksimalkan keuntungan, menciptakan sistem penindasan di mana petani bisa ditahan berjam-jam, barang bawaannya dirampas, dan bahkan hewan ternaknya disita jika merumput di tanah bandar tol.
Praktik eksploitatif inilah yang menjadi salah satu pemicu utama Perang Jawa (1825-1830) dan berbagai pemberontakan petani lainnya, seperti yang terjadi di Desa Patik (Ponorogo) pada tahun 1885, di mana para pemilik tanah memberontak karena beban pajak yang dianggap terlalu tinggi.
5.0 Pajak di Bawah Ekonomi Perang: Masa Pendudukan Jepang
Masa pendudukan Jepang yang singkat (1942-1945) secara drastis mengubah orientasi sistem perpajakan di Indonesia.
Seluruh kebijakan ekonomi, termasuk pajak, diarahkan sepenuhnya untuk menopang mesin perang Jepang dalam Perang Pasifik.
Pemerintah militer Jepang pada dasarnya meneruskan sistem pajak tanah peninggalan Belanda, yang mereka sebut sebagai Land Tax atau pajak bumi (chiso).
Namun, mereka melakukan penyesuaian pada struktur birokrasi dengan menggunakan istilah-istilah Jepang.
Departemen Keuangan diubah menjadi Zaimubu, dan residen sebagai penanggung jawab pemungutan di daerah disebut Syucokan.
Dinas yang menangani pajak tanah ditempatkan di bawah Zaimubu Shuzeika (Kantor Besar Urusan Pajak).
Bentuk pajak yang paling memberatkan bagi rakyat selama periode ini adalah kebijakan wajib serah padi.
Petani diharuskan menjual sebagian besar hasil panen mereka kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak dan sangat rendah.
Padi yang terkumpul kemudian digiling dan didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan pangan tentara Jepang dan aparat birokrasi.
Kebijakan ini menyebabkan kelangkaan pangan yang parah dan kelaparan di banyak daerah.
Selain wajib serah padi, pemerintah pendudukan Jepang juga melanjutkan atau memperkenalkan berbagai jenis pajak lain untuk memaksimalkan semua potensi pendapatan.
Ini termasuk pajak jual beli atas berbagai komoditas, pajak atas kepemilikan hewan seperti pajak anjing, dan pajak atas kepemilikan kendaraan, yang paling umum adalah pajak sepeda.
Warisan dari sistem perpajakan kolonial yang eksploitatif, yang kemudian diperparah oleh tekanan ekonomi perang di bawah Jepang, menjadi titik awal yang sangat sulit bagi Republik Indonesia yang baru merdeka.
6.0 Membangun Sistem Perpajakan Nasional di Era Awal Kemerdekaan
Negara Republik Indonesia yang baru lahir di tengah gejolak revolusi menghadapi tantangan luar biasa dalam membangun sistem perpajakan nasional yang berdaulat.
Di tengah instabilitas politik, agresi militer Belanda, dan keterbatasan sumber daya, pemerintah harus mencari cara untuk membiayai perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjalankan roda pemerintahan yang masih sangat rapuh.
Landasan hukum perpajakan diletakkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 23, yang menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang.”
Struktur organisasi pajak pertama kali dibentuk di bawah Kementerian Keuangan, namun dalam praktiknya, banyak peraturan dan ordonansi peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang terpaksa masih digunakan karena belum adanya perangkat hukum nasional yang memadai.
Pemerintah awal Republik Indonesia melancarkan berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan negara.
Salah satu langkah penting adalah “Kampanye Pembayaran Pajak 1946” yang bertujuan menanamkan kesadaran bahwa membayar pajak adalah kewajiban warga negara untuk membiayai negara merdeka.
Selain itu, pemerintah juga memperkenalkan jenis pajak baru yang relevan, seperti Pajak Radio yang dipungut dari para pemilik pesawat penerima radio.
Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya sumber daya manusia yang terdidik di bidang perpajakan.
Untuk mengatasinya, pemerintah mengirim beberapa pegawai untuk belajar di akademi pajak di Belanda (Rijksbelasting Academie) dan menyelenggarakan kursus-kursus kontrolir pajak di dalam negeri.
Pada era pemerintahan Presiden Soekarno, beberapa kebijakan penting dirumuskan sebagai upaya mengatasi kesulitan ekonomi dan membiayai revolusi. Di antaranya adalah:
Pembentukan Panitia Peninjauan Pajak (1951): Dibentuk untuk mengkaji dan merombak sistem pajak warisan kolonial.
Pengenalan Pajak Peredaran (1950): Sebagai cikal bakal Pajak Penjualan (PPn), pajak ini dikenakan pada peredaran barang.
Peraturan Pengampunan Pajak (1964): Dikeluarkan melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 5 Tahun 1964 untuk menarik modal guna membiayai program pembangunan dan konfrontasi.
Upaya-upaya ini menandai langkah-langkah awal yang krusial dalam transformasi sistem pajak dari alat kolonial menjadi pilar kedaulatan dan pembangunan nasional.
7.0 Kesimpulan: Refleksi Jejak Pajak dalam Sejarah Bangsa
Evolusi sistem perpajakan di Indonesia, dari pungutan sederhana di masa kerajaan hingga administrasi modern di era kemerdekaan, merupakan cerminan yang jelas dari struktur kekuasaan, model ekonomi, dan cita-cita yang diusung oleh para penguasa di setiap zaman.
Jejak panjang ini menunjukkan bahwa pajak bukanlah sekadar instrumen teknis penghimpun dana, melainkan sebuah arena di mana hubungan antara negara dan rakyat dinegosiasikan, diperebutkan, dan didefinisikan ulang.
Perjalanan historis ini dapat dirangkum dalam tiga transformasi fundamental peran pajak:
Pajak sebagai Upeti dan Simbol Kekuasaan: Di masa kerajaan Hindu-Buddha dan kesultanan Islam, pajak dalam bentuk upeti, hasil bumi, atau tenaga kerja merupakan manifestasi dari kekuasaan raja atas tanah dan rakyatnya. Pungutan ini membiayai kemegahan istana, proyek-proyek publik, dan kampanye militer.
Pajak sebagai Alat Eksploitasi dan Kontrol: Era kolonialisme secara drastis mengubah fungsi pajak menjadi instrumen eksploitasi ekonomi. Dari penyerahan paksa VOC, landrent yang memberatkan, hingga Tanam Paksa yang brutal, pajak digunakan untuk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya demi kepentingan negara induk.
Pajak sebagai Pilar Kedaulatan dan Pembangunan: Dengan proklamasi kemerdekaan, peran pajak bertransformasi menjadi pilar utama untuk menegakkan kedaulatan dan membiayai pembangunan negara. Pemerintah berupaya membangun sistem perpajakan nasional yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat, bukan lagi melayani kepentingan asing.
Sejarah ini membuktikan bahwa legitimasi sistem perpajakan di Indonesia tidak pernah hanya soal efisiensi administrasi, tetapi selalu terikat pada persepsi keadilan dan tujuan penguasa.
Dari penolakan upeti yang mencekik hingga pemberontakan melawan cukai kolonial, resistensi rakyat menjadi kekuatan pendorong perubahan.
Ringkasan Ketentuan Tentang Insentif Pajak Penghasilan Badan
1. Pendahuluan: Lanskap Insentif Pajak Korporat di Indonesia
Fasilitas pajak penghasilan badan merupakan instrumen kebijakan strategis yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk mendorong investasi, mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja.
Sebagaimana ditekankan oleh Direktorat Jenderal Pajak, penciptaan iklim investasi yang sehat memerlukan kebijakan yang jelas, tepat, dan mudah dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan.
Ringkasan kebijakan ini bertujuan untuk menyajikan panduan yang terstruktur dan jernih bagi para eksekutif bisnis dan profesional pajak untuk memahami serta menavigasi berbagai insentif yang tersedia di Indonesia.
Informasi yang disajikan dalam dokumen ini disarikan dari publikasi resmi bertajuk “Fasilitas Pajak Penghasilan Badan di Indonesia” yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Ringkasan ini akan menguraikan berbagai jenis fasilitas utama, mulai dari insentif berskala besar seperti Tax Holiday hingga insentif yang lebih spesifik untuk kegiatan penelitian, pengembangan sumber daya manusia, dan investasi di kawasan prioritas nasional.
2. Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (Tax Holiday)
Tax Holiday adalah salah satu insentif paling signifikan yang dirancang untuk menarik investasi modal dalam skala besar pada sektor-sektor industri pionir.
Fasilitas ini memiliki peran strategis untuk mendorong pengembangan industri yang memiliki keterkaitan luas, memberi nilai tambah tinggi, memperkenalkan teknologi baru, dan memberikan dampak signifikan bagi perekonomian nasional.
Manfaat Utama dan Jangka Waktu
Besaran dan durasi fasilitas Tax Holiday bergantung pada nilai rencana penanaman modal baru yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Nilai Rencana Penanaman Modal
Bentuk Fasilitas
Rp100 Miliar s.d. < Rp500 Miliar
Pengurangan PPh Badan 50% selama 5 tahun
Rp500 Miliar s.d. < Rp1 Triliun
Pengurangan PPh Badan 100% selama 5 tahun
Rp1 Triliun s.d. < Rp5 Triliun
Pengurangan PPh Badan 100% selama 7 tahun
Rp5 Triliun s.d. < Rp15 Triliun
Pengurangan PPh Badan 100% selama 10 tahun
Rp15 Triliun s.d. < Rp30 Triliun
Pengurangan PPh Badan 100% selama 15 tahun
โฅ Rp30 Triliun
Pengurangan PPh Badan 100% selama 20 tahun
Setelah periode fasilitas utama berakhir, Wajib Pajak diberikan masa transisi selama dua tahun berikutnya dengan fasilitas pengurangan PPh Badan sebesar 50% (untuk investasi โฅ Rp500 Miliar) atau 25% (untuk investasi Rp100 Miliar s.d. < Rp500 Miliar).
Kriteria dan Persyaratan Kunci
Untuk dapat memanfaatkan fasilitas Tax Holiday, Wajib Pajak harus memenuhi beberapa kriteria krusial, antara lain:
Industri Pionir: Melakukan penanaman modal pada salah satu dari 18 kategori industri pionir yang telah ditetapkan pemerintah.
Nilai Investasi Minimum: Memiliki rencana penanaman modal baru dengan nilai paling sedikit Rp100 miliar.
Status Badan Hukum: Berstatus sebagai badan hukum Indonesia, seperti Perseroan Terbatas (PT).
Komitmen Realisasi: Berkomitmen untuk mulai merealisasikan rencana penanaman modalnya paling lambat 1 tahun setelah keputusan pemberian fasilitas diterbitkan.
Prosedur Pengajuan dan Pemanfaatan
Proses untuk mendapatkan dan memanfaatkan Tax Holiday terbagi menjadi dua tahap utama:
Tahap 1: Pengajuan Persetujuan. Permohonan diajukan secara daring melalui sistem Online Single Submission (OSS) sebelum perusahaan mencapai Saat Mulai Berproduksi Komersial (SMB). Proses ini diakhiri dengan penerbitan Surat Keputusan Pemberian Fasilitas oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM atas nama Menteri Keuangan.
Tahap 2: Pengajuan Pemanfaatan. Setelah mencapai SMB, Wajib Pajak kembali mengajukan permohonan pemanfaatan fasilitas melalui sistem OSS. Direktorat Jenderal Pajak kemudian akan melakukan pemeriksaan lapangan untuk memverifikasi realisasi investasi sebelum menerbitkan Surat Keputusan Pemanfaatan Fasilitas.
Catatan Konsultan:Akurasi proyeksi rencana penanaman modal pada Tahap 1 sangat krusial. Perbedaan signifikan antara nilai rencana dan realisasi yang diverifikasi pada Tahap 2 dapat mengakibatkan penyesuaian (penurunan) besaran fasilitas. Oleh karena itu, perencanaan keuangan yang matang dan terdokumentasi dengan baik sejak awal adalah kunci untuk mengamankan manfaat maksimal.
Selain Tax Holiday, pemerintah juga menawarkan insentif dalam bentuk Tax Allowance yang ditujukan untuk mendorong investasi di bidang usaha atau daerah-daerah tertentu.
3. Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal Tertentu (Tax Allowance)
Berbeda dengan Tax Holiday yang berfokus pada industri pionir berskala besar, fasilitas Tax Allowance memiliki tujuan strategis untuk mendorong pemerataan pembangunan dan mengarahkan investasi ke bidang-bidang usaha atau daerah-daerah tertentu yang menjadi prioritas nasional.
Fasilitas ini berlaku untuk penanaman modal baru maupun perluasan usaha yang telah ada.
Bentuk-Bentuk Fasilitas
Wajib Pajak yang memenuhi syarat dapat memanfaatkan empat bentuk fasilitas utama, yaitu:
Pengurangan Penghasilan Neto: Pengurangan basis penghasilan kena pajak sebesar 30% dari total nilai penanaman modal (berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah) yang dibebankan secara merata selama 6 tahun, atau 5% per tahun.
Penyusutan dan Amortisasi Dipercepat: Manfaat percepatan penyusutan fiskal untuk aktiva tetap berwujud (misalnya, masa manfaat Kelompok I menjadi 2 tahun) dan percepatan amortisasi untuk aktiva tak berwujud.
Tarif PPh Dividen yang Lebih Rendah: Pengenaan PPh atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri dengan tarif 10%, atau tarif yang lebih rendah sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku.
Kompensasi Kerugian yang Lebih Lama: Perpanjangan periode kompensasi kerugian fiskal dari standar 5 tahun menjadi maksimal 10 tahun. Tambahan jangka waktu ini dipengaruhi oleh kondisi tertentu, seperti berlokasi di kawasan industri, menyerap banyak tenaga kerja, atau menggunakan kandungan lokal yang tinggi.
Kriteria Penerima dan Mekanisme Pengajuan
Fasilitas ini diberikan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan penanaman modal pada bidang usaha dan/atau daerah tertentu yang telah ditetapkan dalam lampiran peraturan pemerintah terkait. Mekanisme pengajuan dilakukan secara daring melalui sistem OSS sebelum SMB, mengikuti alur yang serupa dengan pengajuan Tax Holiday.
Selanjutnya, terdapat insentif yang lebih spesifik, yaitu Investment Allowance, yang dirancang khusus untuk mendorong penyerapan tenaga kerja.
4. Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto untuk Industri Padat Karya (Investment Allowance)
Fasilitas Investment Allowance dirancang secara spesifik untuk menjawab tantangan penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
Peran strategisnya adalah memberikan stimulus bagi pertumbuhan industri padat karya, yang pada akhirnya bertujuan mengurangi tingkat pengangguran dan menggerakkan sektor ekonomi lainnya.
Bentuk Fasilitas dan Persyaratan Utama
Bentuk fasilitas ini adalah pengurangan penghasilan neto sebesar 60% dari jumlah penanaman modal (berupa aktiva tetap berwujud, termasuk tanah) yang digunakan untuk kegiatan usaha utama. Pengurangan ini dibebankan selama 6 tahun, masing-masing sebesar 10% per tahun.
Persyaratan kunci yang membedakan fasilitas ini adalah:
Wajib Pajak harus melakukan penanaman modal pada bidang usaha industri padat karya yang telah ditetapkan.
Wajib Pajak harus mempekerjakan paling sedikit 300 tenaga kerja Indonesia dan mempertahankan jumlah tersebut selama periode tertentu.
Penting untuk diperhatikan, pemanfaatan fasilitas ini bersifat tahunan dan bergantung pada pemenuhan syarat jumlah tenaga kerja.
Sebagaimana diatur, jika pada suatu tahun pajak jumlah rata-rata tenaga kerja Wajib Pajak turun di bawah 300 orang, maka fasilitas pengurangan penghasilan neto tidak dapat dimanfaatkan untuk tahun pajak tersebut.
Hal ini menuntut adanya manajemen SDM yang konsisten untuk menjaga kelangsungan insentif.
Dari insentif berbasis penyerapan tenaga kerja, pemerintah juga menawarkan insentif yang berfokus pada inovasi dan pengembangan SDM melalui skema Super Tax Deduction.
Fasilitas Super Tax Deduction merupakan insentif fiskal yang agresif untuk mendorong peran aktif sektor swasta dalam dua area strategis nasional: inovasi melalui penelitian dan pengembangan (Litbang), serta peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui kegiatan vokasi.
a. Kegiatan Penelitian dan Pengembangan (Litbang)
Untuk mendorong inovasi dan teknologi, Wajib Pajak yang melakukan kegiatan Litbang tertentu di Indonesia dapat memperoleh fasilitas pengurangan penghasilan bruto hingga 300% dari total biaya yang dikeluarkan. Struktur fasilitas ini adalah:
Pengurangan 100% dari biaya riil yang dikeluarkan untuk kegiatan Litbang.
Tambahan pengurangan hingga 200% yang besarannya bergantung pada capaian dari kegiatan Litbang tersebut, seperti:
Menghasilkan hak kekayaan intelektual (paten atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman/PVT).
Mencapai tahap komersialisasi.
Dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga riset pemerintah atau perguruan tinggi.
b. Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan, dan Pembelajaran (Vokasi)
Untuk mendukung program link & match antara dunia pendidikan dan industri, Wajib Pajak yang menyelenggarakan kegiatan vokasi dapat memperoleh fasilitas pengurangan penghasilan bruto hingga 200% dari biaya yang dikeluarkan.
Salah satu syarat kunci untuk pemanfaatan fasilitas ini adalah Wajib Pajak tidak dalam keadaan rugi fiskal pada tahun pajak fasilitas dimanfaatkan. Struktur fasilitas ini adalah:
Pengurangan 100% dari biaya riil yang dikeluarkan untuk kegiatan vokasi.
Tambahan pengurangan hingga 100% dari biaya-biaya yang dikeluarkan secara khusus untuk penyelenggaraan kegiatan vokasi (misalnya, honorarium peserta, biaya instruktur, dan penyediaan fasilitas khusus).
Catatan Konsultan:Persyaratan “tidak dalam keadaan rugi fiskal” merupakan titik kritis dalam perencanaan keuangan. Perusahaan harus memastikan memiliki laba fiskal yang cukup pada tahun pemanfaatan untuk dapat menyerap manfaat tambahan pengurangan ini, baik untuk skema Vokasi maupun Litbang.
Selain insentif berbasis aktivitas, pemerintah juga menyediakan paket insentif yang komprehensif berdasarkan lokasi, seperti di Kawasan Ekonomi Khusus.
6. Fasilitas Pajak di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Berbeda dari insentif nasional yang berlaku umum, fasilitas di KEK dirancang sebagai paket terintegrasi yang terikat pada lokasi dan ‘kegiatan utama’ yang telah ditetapkan untuk setiap kawasan.
Ini menunjukkan fokus kebijakan untuk menciptakan ekosistem industri spesifik di lokasi-lokasi strategis, bukan sekadar menarik investasi secara umum.
Subjek dan Jenis Fasilitas di KEK
Insentif di KEK diberikan kepada dua jenis entitas: Badan Usaha (pengelola KEK) dan Pelaku Usaha (investor yang menjalankan kegiatan usaha di dalam KEK). Fasilitas PPh Badan utama yang tersedia meliputi:
Pengurangan PPh Badan (Tax Holiday KEK): Badan Usaha dan Pelaku Usaha yang melakukan penanaman modal pada kegiatan utama KEK dengan nilai investasi minimal Rp100 miliar dapat memperoleh fasilitas Tax Holiday 100%. Jangka waktunya bervariasi antara 10 hingga 20 tahun, bergantung pada nilai investasi.
Fasilitas Tax Allowance KEK: Pelaku Usaha yang tidak memilih Tax Holiday atau melakukan penanaman modal pada kegiatan di luar kegiatan utama KEK dapat memanfaatkan fasilitas Tax Allowance.
Puncak dari insentif berbasis lokasi adalah paket fasilitas yang paling komprehensif yang ditawarkan di Ibu Kota Nusantara (IKN).
7. Fasilitas Pajak Komprehensif di Ibu Kota Nusantara (IKN)
Fasilitas pajak di Ibu Kota Nusantara (IKN) merupakan puncak dari upaya percepatan pembangunan proyek strategis nasional.
Paket insentif yang ditawarkan di IKN adalah yang paling beragam dan agresif, dirancang untuk menarik investasi di berbagai sektor, mulai dari infrastruktur, layanan umum, hingga pusat keuangan (financial center).
Tingkat kemurahan hati fasilitas ini, seperti Super Tax Deduction Litbang yang mencapai 350% (dibandingkan 300% secara nasional), menjadi sinyal kuat akan prioritas utama proyek ini dan kesiapan pemerintah untuk memberikan dukungan yang belum pernah ada sebelumnya.
Rangkuman Fasilitas Utama di IKN
Beberapa fasilitas PPh Badan yang paling menonjol di IKN meliputi:
Tax Holiday Penanaman Modal IKN: Memberikan pengurangan PPh Badan 100% dengan jangka waktu yang sangat panjang, yaitu hingga 30 tahun, untuk penanaman modal dengan nilai minimal Rp10 miliar pada bidang usaha strategis seperti infrastruktur, layanan umum, dan bangkitan ekonomi. Durasi fasilitas ini bergantung pada periode investasi (misalnya, investasi yang dilakukan pada periode 2023-2030 mendapatkan jangka waktu terpanjang).
Tax Holiday Financial Center: Memberikan pengurangan PPh Badan sebesar 100% atau 85% untuk Wajib Pajak yang mendirikan dan menjalankan kegiatan usaha di sektor keuangan yang berlokasi di financial center IKN.
Tax Holiday Pemindahan Kantor Pusat/Regional: Memberikan insentif pengurangan PPh Badan 100% selama 10 tahun, yang diikuti dengan pengurangan 50% selama 10 tahun berikutnya, bagi perusahaan yang mendirikan atau memindahkan kantor pusat (headquarter) atau kantor regionalnya ke IKN.
Super Tax Deduction Vokasi dan Litbang IKN: Fasilitas Super Tax Deduction di IKN diberikan dengan nilai yang lebih besar dibandingkan fasilitas sejenis secara nasional, yaitu pengurangan penghasilan bruto hingga 250% untuk vokasi dan 350% untuk Litbang.
Super Tax Deduction Sumbangan: Memberikan fasilitas pengurangan penghasilan bruto hingga 200% bagi Wajib Pajak yang memberikan sumbangan dan/atau menanggung biaya pembangunan fasilitas umum, sosial, atau fasilitas nirlaba lainnya di IKN.
8. Tabel Perbandingan Fasilitas Utama
Tabel berikut menyajikan perbandingan ringkas dari fasilitas-fasilitas utama untuk membantu pengambilan keputusan strategis.
Fasilitas
Target Utama
Manfaat Inti
Investasi Minimum
Durasi Manfaat Utama
Tax Holiday
Investasi skala besar di industri pionir
Pengurangan PPh Badan 50%-100%
Rp100 Miliar
5 – 20 tahun
Tax Allowance
Investasi di sektor/daerah prioritas
Pengurangan penghasilan neto 30%, penyusutan dipercepat, & kompensasi kerugian lebih lama
Bervariasi
6 tahun (untuk pengurang penghasilan neto)
Investment Allowance
Industri padat karya penyerap tenaga kerja
Pengurangan penghasilan neto 60% dari nilai investasi
Tidak ditetapkan (syarat 300 TKI)
6 tahun
Tax Holiday KEK
Investasi di kegiatan utama Kawasan Ekonomi Khusus
Pengurangan PPh Badan 100%
Rp100 Miliar
10 – 20 tahun
Tax Holiday Penanaman Modal IKN
Investasi di sektor prioritas di IKN
Pengurangan PPh Badan 100%
Rp10 Miliar
Hingga 30 tahun
9. Kesimpulan: Arah Kebijakan Insentif Fiskal Indonesia
Pemerintah Indonesia secara aktif memanfaatkan kerangka fasilitas pajak penghasilan badan sebagai alat kebijakan yang dinamis dan terarah.
Berbagai skema insentif yang tersedia menunjukkan adanya pendekatan yang disesuaikan untuk mencapai tujuan strategis yang berbedaโmulai dari mendorong industrialisasi dan teknologi tinggi melalui Tax Holiday, memastikan pemerataan pembangunan regional dengan Tax Allowance, mengatasi isu ketenagakerjaan melalui Investment Allowance, hingga mengakselerasi pembangunan proyek prioritas nasional berskala masif seperti Ibu Kota Nusantara.
Bagi para pemimpin bisnis dan investor strategis, penguasaan mendalam atas nuansa setiap fasilitas ini bukan lagi sekadar upaya optimalisasi pajak, melainkan sebuah keunggulan kompetitif.
Kemampuan untuk menyelaraskan strategi investasi secara presisi dengan agenda pembangunan nasional adalah kunci untuk membuka nilai maksimal dan memastikan keberlanjutan operasional di tengah lanskap kebijakan yang dinamis ini.
Laporan komprehensif OECD Economic Outlook terbaru (Desember 2025)
Salah satu alasan paling mengejutkan di balik ketahanan ekonomi global bukanlah kebijakan fiskal atau pemulihan konsumsi tradisional, melainkan investasi besar-besaran dan pesat di bidang Kecerdasan Buatan (AI) dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Jauh dari sekadar tren teknologi, investasi ini telah menjadi penopang utama bagi permintaan ekonomi secara keseluruhan.
Laporan OECD menyoroti bahwa permintaan yang kuat untuk investasi terkait AI, terutama di Amerika Serikat dan beberapa negara ekonomi Asia seperti Korea, Singapura, Jepang, dan Tionghoa Taipei, telah memberikan dukungan signifikan.
Skala investasi ini sangat besar. Sebagai gambaran, Amerika Serikat sendiri sudah menjadi lokasi bagi 43% dari total kapasitas pusat data global yang terpasang pada tahun 2024.
Kekuatan ini sangat nyata dalam angka perdagangan. Pada kuartal kedua tahun 2025, perdagangan barang “pendukung AI” menyumbang lebih dari separuh pertumbuhan perdagangan untuk negara-negara G20 dan Asia tertentu. Sebuah peningkatan substansial dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Di Amerika Serikat, dampaknya bahkan lebih jelas, yaitu investasi pada peralatan dan perangkat lunak TIK merupakan kontributor kuat bagi pertumbuhan PDB riil pada paruh pertama tahun 2025.
Fakta ini menegaskan bahwa mesin pertumbuhan yang berpusat pada teknologi ini adalah kekuatan yang relatif baru namun sangat kuat yang kini membentuk lanskap makroekonomi global.
Regulasi Mengerem Produktivitas Global
Ketika para ekonom membahas perlambatan produktivitas, diskusi sering berpusat pada inovasi atau investasi.
Namun, laporan OECD mengungkap faktor penghambat yang lebih tersembunyi namun signifikan yaitu lingkungan regulasi yang semakin kompleks dan memberatkan.
Estimasi baru dari OECD menunjukkan bahwa bisnis mendedikasikan sumber daya yang substansial dan terus meningkat hanya untuk mematuhi peraturan, yang mengalihkan mereka dari aktivitas yang lebih produktif.
Statistik yang paling tajam datang dari Amerika Serikat yakni pada tahun 2024.
Perusahaan-perusahaan di AS menghabiskan sumber daya setara dengan 4,25% dari total anggaran gaji mereka hanya untuk memenuhi tuntutan regulasi.
Biaya yang diperkirakan telah mengurangi produktivitas tenaga kerja sebesar 0,5% selama 10 tahun terakhir.
Yang lebih mengkhawatirkan, laporan tersebut menekankan bahwa beban ini membebani prospek perusahaan-perusahaan muda dan calon pendatang baru secara tidak proporsional, karena mereka tidak memiliki skala untuk menanggung biaya tetap yang tinggi dari kepatuhan regulasi.
Hal ini secara efektif menghambat dinamisme ekonomi.
Laporan tersebut merangkum kekhawatiran ini dengan tajam:
“Kekhawatiran utamanya adalah lingkungan regulasi yang terus berkembang telah mengalihkan sumber daya yang langka dari aktivitas yang lebih produktif, dan dengan menaikkan biaya tetap operasional bisnis, hal ini telah membebani prospek perusahaan-perusahaan muda dan calon pendatang baru secara tidak proporsional.”
Aset Kripto dan Perbankan Bayangan Kini Menjadi Risiko Stabilitas Keuangan yang Nyata
Banyak yang mungkin masih menganggap aset kripto sebagai ceruk pasar yang terpisah dari sistem keuangan tradisional.
Namun, laporan OECD dengan jelas menyatakan bahwa lembaga keuangan non-bank (NBFI), yang sering disebut “perbankan bayangan”, dan pasar aset kripto kini telah tumbuh menjadi risiko nyata bagi stabilitas keuangan global.
Sejak krisis keuangan global, NBFI telah berkembang pesat dan semakin terhubung dengan bank-bank tradisional.
Di saat yang sama, pasar aset kripto telah mengalami pertumbuhan eksplosif, mencapai valuasi pasar lebih dari USD 4 triliun pada Oktober 2025, meskipun dengan volatilitas yang sangat tinggi.
Integrasi ini paling terlihat pada stablecoin, yang skala dampaknya kini tidak dapat diabaikan:
“Total nilai pembayaran menggunakan stablecoin melampaui penyedia pembayaran digital tradisional utama pada tahun 2024.”
Namun, yang paling mengejutkan bukanlah volume transaksinya, melainkan mekanisme yang menghubungkannya dengan jantung sistem keuangan global.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa penerbit stablecoin telah menjadi pemegang utama surat utang negara AS (US Treasury bills).
Ini adalah senjata panas yang secara langsung mengikat dunia kripto yang bergejolak dengan aset paling aman di dunia.
Keterkaitan inilah yang menjelaskan mengapa regulator kini tidak lagi memandangnya sebagai fenomena pinggiran, melainkan sebagai sumber potensi risiko sistemik yang memerlukan pengawasan ketat.
Perang Tarif
Narasi media tentang “perang tarif” global sering kali menyederhanakan dinamika yang sangat kompleks.
Laporan OECD menunjukkan bahwa kenyataannya jauh lebih bernuansa, dengan perusahaan dan negara melakukan adaptasi strategis terhadap proteksionisme dengan cara-cara yang tidak terduga.
Pertama, ada fenomena “front-loading”. Banyak perusahaan mempercepat produksi dan perdagangan pada awal tahun 2025 sebelum tarif baru diberlakukan.
Tindakan antisipatif ini secara mengejutkan justru mendukung volume perdagangan global yang kuat di awal tahun, menutupi dampak langsung dari kebijakan proteksionis.
Kedua, alih-alih pasrah, perusahaan secara aktif beradaptasi untuk memitigasi dampak tarif.
Berbagai perjanjian perdagangan telah menciptakan mosaik tarif yang rumit, dan perusahaan memanfaatkannya.
Sebagai contoh, tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap perjanjian USMCA (antara AS, Meksiko, dan Kanada) menunjukkan upaya aktif dari para pebisnis. Hasilnya, tarif efektif atas impor dari Kanada (4,8%) dan Meksiko (5,4%) secara signifikan lebih rendah dari yang seharusnya bisa mencapai 12,5% dan 14,8%.
Kompleksitas ini menunjukkan bahwa alih-alih runtuh, perdagangan global beradaptasi dengan cara-cara yang rumit, menciptakan lanskap yang jauh lebih sulit untuk diprediksi daripada sekadar “perang dagang” sederhana.
Mesin Pertumbuhan Bergeser
Secara keseluruhan, laporan OECD melukiskan gambaran paradoks: ekonomi global yang menunjukkan ketangguhan mengejutkan saat ini, namun menghadapi kerapuhan yang signifikan di masa depan.
Proyeksi utama menunjukkan pertumbuhan PDB global akan sedikit melambat dari 3,2% pada tahun 2025 menjadi 2,9% pada tahun 2026, sebelum sedikit pulih.
Prospek ini dianggap rapuh karena beberapa risiko besar yang membayangi.
Peningkatan lebih lanjut dalam hambatan perdagangan dan kerentanan fiskal adalah kekhawatiran utama.
Selain itu, valuasi aset yang tinggi menjadi risiko yang menonjol, terutama di sektor teknologi yang didorong oleh optimisme AI yang sama yang telah menopang pertumbuhan.
Ini menciptakan lingkaran umpan balik yang berbahaya: pendorong pertumbuhan utama kita juga merupakan sumber kerapuhan finansial.
Namun, wawasan yang paling struktural adalah pergeseran mesin pertumbuhan global.
Laporan tersebut menyoroti bahwa negara-negara berkembang di Asia, khususnya Tiongkok dan India, terus menyumbang mayoritas pertumbuhan global.
Sementara ekonomi global telah berhasil melewati badai baru-baru ini lebih baik dari yang diperkirakan, laporan ini memperjelas bahwa jalur ke depan tidak pasti dan semakin bergantung pada kesehatan ekonomi Asia.
1. Pendahuluan: Harta Karun di Bawah Tanah sebagai Mesin Industrialisasi
Indonesia dianugerahi kekayaan sumber daya alam mineral dan batubara (minerba) yang menempatkannya sebagai pemain kunci di panggung global.
Potensi ini tercermin dari cadangan masif komoditas strategis seperti batubara (31,95 miliar ton), nikel (5,9 miliar ton, peringkat 1 global), dan timah (6,4 miliar ton).
Namun, kekayaan ini bukanlah sekadar aset ekonomi, melainkan amanat konstitusi yang tertuang dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Dalam visi pembangunan nasional Asta Cita, amanat ini diterjemahkan menjadi sebuah strategi ambisius: hilirisasi.
Hilirisasi bertujuan mentransformasi bahan mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi, memperkuat struktur industri, dan melepaskan Indonesia dari ketergantungan pada volatilitas harga komoditas.
Potensinya luar biasa; sebagai contoh, proses hilirisasi bijih nikel hingga menjadi baterai kendaraan listrik dapat meningkatkan nilai tambah hingga 175 kali lipat.
Di tengah agenda transformasi ini, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minerba memegang peranan sentral.
PNBP tidak hanya menjadi sumber pendapatan vital untuk membiayai pembangunan, tetapi juga menjadi instrumen kebijakan yang sangat menentukan keberhasilan hilirisasi itu sendiri.
Namun, di balik angka-angka penerimaan yang fantastis, terdapat sebuah arena pertarungan kebijakan yang kompleks antara optimalisasi pendapatan negara dan keberlanjutan iklim investasi industri.
Lalu, bagaimana negara mengelola PNBP minerba, dan apa saja tantangan fundamental yang melingkupinya? Mari kita telusuri lebih dalam.
2. Apa Saja Komponen PNBP dari Sektor Minerba?
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor minerba adalah seluruh pungutan yang wajib dibayarkan oleh perusahaan tambang kepada negara, di luar kewajiban perpajakan (seperti PPh Badan).
Terdapat dua komponen utama yang menjadi pilar PNBP minerba:
Iuran Tetap (Dead Rent) Ini adalah iuran tahunan yang besarnya dihitung berdasarkan luas wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP/IUPK) yang dimiliki perusahaan. Iuran ini bersifat tetap dan wajib dibayar setiap tahun, terlepas dari apakah perusahaan sudah mulai berproduksi atau masih dalam tahap eksplorasi.
Iuran Produksi (Royalti) Ini adalah komponen dengan kontribusi terbesar bagi PNBP minerba. Royalti merupakan pungutan yang dibayar oleh perusahaan setiap kali melakukan penjualan hasil tambang. Besarannya sangat bergantung pada jumlah (tonase) dan nilai jual komoditas, menjadikannya sumber penerimaan yang dinamis mengikuti aktivitas produksi dan kondisi pasar.
Meskipun ada komponen lain seperti Penjualan Hasil Tambang (PHT) dan Bagian Pemerintah dari Keuntungan Bersih, Iuran Tetap dan Royalti adalah dua pilar utama yang menyumbang sebagian besar PNBP dari sektor ini.
Dengan royalti sebagai sumber penerimaan terbesar, formula perhitungannya menjadi titik krusial dalam kebijakan fiskal minerba.
3. Cara Menghitung Royalti: Tarif Progresif di Tengah Perdebatan
Perhitungan royalti pada dasarnya menggunakan formula yang sederhana:
Royalti = Tarif (%) x Jumlah Produksi (Berat) x Harga Acuan
Poin terpenting dari formula ini adalah ‘Tarif’ royalti tidak bersifat tetap (flat). Pemerintah menerapkan skema tarif progresif, artinya persentase tarif akan naik ketika harga komoditas di pasar internasional sedang tinggi, dan sebaliknya, bisa lebih rendah ketika harga turun.
Pemerintah membedakan tarif berdasarkan kualitas (misalnya, kandungan kalori batubara) dan harga pasar untuk menciptakan sistem yang dianggap adil.
Sebagai ilustrasi, berikut adalah skema tarif royalti progresif untuk batubara bagi pemegang IUP, berdasarkan data tarif yang berlaku seperti yang dipaparkan dalam regulasi terbaru (PP 19/2025):
Harga Batubara Acuan (HBA)
Tarif Royalti untuk Batubara Kalori Tinggi (> 5.200 Kkal/kg)
< USD 70 / ton
9,50%
USD 70 – < USD 90 / ton
11,50%
โฅ USD 90 / ton
13,50%
Namun, dari perspektif industri, skema yang dirancang untuk keadilan ini justru dipandang sebagai beban berat.
Analisis dari Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) menunjukkan bahwa Total Government Take (TGT) atau total pungutan negara dari sektor tambang Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia.
Lebih kritis lagi, struktur fiskal ini menunjukkan “pola terbalik” (inverted pattern), di mana beban fiskal justru menjadi lebih berat pada kondisi pasar yang sulit (harga rendah, rasio pengupasan tinggi).
Kondisi ini mengancam kelangsungan operasi dan berpotensi menyebabkan hilangnya cadangan marginal (marginal reserves) yang menjadi tidak ekonomis untuk ditambang.
Struktur tarif yang menjadi perdebatan ini hanyalah salah satu dari serangkaian tantangan besar yang dihadapi dalam pengelolaan PNBP minerba.
4. Tantangan Besar dalam Pengelolaan PNBP Minerba
Pengelolaan PNBP minerba menghadapi berbagai tantangan kompleks yang mengancam optimalisasi penerimaan negara dan keberlanjutan industri.
4.1. Ancaman Tambang Ilegal (PETI)
Penambangan Tanpa Izin (PETI) adalah kegiatan penambangan ilegal yang menimbulkan dampak sistemik:
Kebocoran Penerimaan Negara: Sebagai aktivitas ilegal, PETI sama sekali tidak membayar royalti atau PNBP lainnya, menciptakan “tax gap” yang signifikan dan merugikan kas negara.
Kerusakan Harga Pasar: Produk dari tambang ilegal yang membanjiri pasar merusak struktur harga komoditas resmi, menggerus daya saing perusahaan yang patuh aturan.
Kerusakan Lingkungan: PETI hampir tidak pernah menerapkan kaidah penambangan yang baik (Good Mining Practices), menyebabkan kerusakan lingkungan parah tanpa ada pihak yang bertanggung jawab.
4.2. Masalah Data dan Proses Manual
Sebelum era digitalisasi, proses pelaporan dan pembayaran PNBP yang manual melahirkan berbagai masalah fundamental:
Ketidakakuratan dan Ketidaksinkronan Data: Proses manual rentan terhadap kesalahan input dan menyebabkan perbedaan data antara pemerintah pusat, daerah, dan antar kementerian.
Keterlambatan Pembayaran: Sulit untuk memonitor dan menindak perusahaan yang terlambat membayar kewajibannya secara real-time.
Manipulasi Harga: Terdapat modus di mana perusahaan menggunakan harga faktur (invoice) yang lebih rendah dari Harga Patokan sebagai dasar perhitungan untuk membayar royalti lebih kecil dari yang seharusnya.
4.3. Beban Fiskal dan Ketidakpastian Regulasi
Tantangan terbesar, menurut suara industri, justru datang dari kebijakan pemerintah sendiri. Analisis sentimen dari PERHAPI menunjukkan bahwa royalti dan beban fiskal serta ketidakpastian regulasi adalah dua isu teratas yang menjadi keluhan utama pelaku usaha. Beban yang dianggap terlalu berat dan aturan yang sering berubah-ubah menciptakan iklim usaha yang tidak pasti, mendorong industri masuk ke dalam “survival mode”. Kondisi ini memberikan konteks mengapa praktik seperti manipulasi data atau penghindaran kewajiban bisa terjadi, yakni sebagai respons terhadap tekanan ekonomi yang ekstrem.
Menghadapi tantangan-tantangan serius ini, pemerintah meluncurkan solusi berbasis teknologi untuk merombak total tata kelola PNBP.
5. Solusi Pemerintah: Integrasi Digital Melalui SIMBARA
Jawaban pemerintah atas tantangan di atas adalah transformasi digital yang bertujuan menciptakan ekosistem pengelolaan PNBP yang terintegrasi, transparan, dan akuntabel.
5.1. Langkah Awal: Sistem e-PNBP
Sebagai fondasi, pemerintah meluncurkan sistem e-PNBP Minerba. Sistem ini berfungsi sebagai “kalkulator” dan portal pembayaran online, yang memungkinkan perusahaan menghitung kewajiban PNBP mereka secara mandiri (self-assessment) dan melakukan pembayaran secara elektronik.
5.2. Integrasi Total: Ekosistem SIMBARA
Puncak transformasi ini adalah SIMBARA (Sistem Informasi Mineral dan Batubara). SIMBARA adalah platform kolaborasi yang mengintegrasikan data dari berbagai kementerian dan lembaga secara real-time, termasuk:
Kementerian ESDM: Data perizinan dan kuota produksi (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya/RKAB).
Kementerian Keuangan: Data PNBP, pajak, dan bea cukai.
Kementerian Perhubungan: Data pengapalan melalui Inaportnet.
Kementerian Perdagangan: Data izin ekspor.
Lembaga Surveyor: Data verifikasi kuantitas dan kualitas komoditas.
Integrasi total ini memberikan manfaat signifikan:
Validasi Otomatis: Sistem dapat secara otomatis memblokir proses bisnis, seperti penerbitan izin berlayar, jika PNBP belum lunas.
Mencegah Manipulasi: Sistem mampu mendeteksi modus penipuan, seperti penggunaan bukti bayar (Nomor Transaksi Penerimaan Negara/NTPN) berulang kali atau penyalahgunaan bukti bayar domestik untuk ekspor.
Optimalisasi Penerimaan: Implementasi SIMBARA terbukti berhasil meningkatkan realisasi PNBP secara signifikan.
Meskipun demikian, SIMBARA bukanlah solusi tanpa celah. Dari sisi industri, terdapat keluhan mengenai “keandalan teknis sistem (glitch)” yang terkadang menghambat transaksi. Pemerintah sendiri, melalui Direktorat Jenderal Anggaran, mengakui bahwa permasalahan seperti tambang ilegal dan kewajiban yang belum dibayar masih ditemui di lapangan. Ini menegaskan bahwa SIMBARA adalah alat yang sangat kuat untuk transparansi transaksional, namun tidak secara otomatis menyelesaikan tantangan fundamental seperti penambangan ilegal di sumbernya atau tekanan ekonomi yang diciptakan oleh rezim fiskal.
6. Kesimpulan: Mencari Keseimbangan antara Penerimaan dan Investasi
PNBP dari sektor mineral dan batubara telah menjadi pilar pendapatan negara sekaligus arena kebijakan yang krusial bagi masa depan industri Indonesia. Inovasi digital melalui SIMBARA merupakan sebuah lompatan besar dalam memperbaiki tata kelola, menutup celah kebocoran, dan meningkatkan akuntabilitas transaksional.
Namun, digitalisasi tidak dapat sepenuhnya menjawab tantangan fundamental yang ada. Optimalisasi PNBP jangka panjang bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menyelesaikan ketegangan antara dua tujuan yang saling tarik-menarik: kebutuhan negara akan pendapatan yang maksimal untuk mendanai agenda strategis seperti hilirisasi, dan kebutuhan industri akan iklim fiskal yang kompetitif dan dapat diprediksi untuk melakukan investasi padat modal yang diperlukan oleh hilirisasi itu sendiri.
Mewujudkan amanat konstitusi untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat” pada akhirnya menuntut sebuah keseimbangan kebijakan yang cermatโsebuah sintesis antara kecanggihan teknologi dan kearifan regulasi yang mampu mendorong pertumbuhan industri berkelanjutan, bukan sekadar memaksimalkan penerimaan jangka pendek.
Ternyata Ada Jalan Tol untuk Lolos dari Penjara Pidana Perpajakan
Di benak publik, pidana pajak adalah vonis akhir: penjara!
Namun, kerangka hukum Indonesia menyimpan sebuah rahasia yang lebih pragmatis daripada menakutkan: prinsip ultimum remedium.
Prinsip ini secara fundamental mengubah cara kita memandang penegakan hukum pajak, dari sekadar hukuman menjadi sebuah mekanisme pemulihan kerugian negara.
Mekanisme Pasal 44B Undang-Undang KUP
Fakta paling mengejutkan dalam hukum pajak Indonesia adalah adanya mekanisme yang memungkinkan penghentian proses pidana dengan melunasi kewajiban secara penuh.
Ini bukanlah praktik ilegal, melainkan sebuah fasilitas yang diatur secara eksplisit dalam undang-undang.
Bunyi Pasal 44B ayat (1) Undang-Undang KUP sebagai berikut:
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan
Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP sebagai berikut:
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi:
kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara;
kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kalijumlah kerugian pada pendapatan negara; atau
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Mekanisme di atas dimungkinkan karena hukum pajak Indonesia menganut asas ultimum remedium, sebuah frasa Latin yang berarti “upaya terakhir“.
Prinsip ini menegaskan bahwa hukum pidana seharusnya hanya digunakan sebagai senjata pamungkas ketika cara-cara lain, seperti sanksi administratif, sudah tidak efektif.
Tujuan utama penegakan hukum pajak, sebagaimana ditegaskan DJP, adalah mengumpulkan penerimaan negara (fungsi budgeter), bukan memenjarakan orang.
Filosofi ini sejalan dengan konsep restorative justice (keadilan restoratif), yang berfokus pada pemulihan kerugian dan perdamaian, bukan semata-mata pembalasan.
Menurut Kevin I. Minor dan J.T. Morrison, restorative justice adalah suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.
Dengan kata lain, jika kerugian negara dapat dipulihkan melalui pembayaran pajak beserta dendanya, maka tujuan utama hukum telah tercapai tanpa perlu melanjutkan proses pidana yang lebih panjang dan mahal.
Ultimum Remedium Menurut Ilmu Hukum
Ultimum remedium sebagai sebuah istilah atau konsep, digunakan dalam hukum pidana untuk menunjukkan karakter hukum pidana yakni hukum pidana harus digunakan, diterapkan atau dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk mengatasi permasalahan masyarakat.
Terutama terhadap perbuatan atau tindakan yang merugikan masyarakat terutama tindak pidana.
Walaupun doktrin Ultimum remedium sudah diterima secara informal dalam artian tidak secara tegas dituangkan dalam perundangundangan, namun dari aspek sejarah ditetahui bahwa konsep ultimum remedium dalam hukum pidana Indonesia, mengikuti perkembangan hukum Belanda.
Pertama kali tercatat bahwa istilah tersebut dikemukakan oleh Modderman, Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen Belanda dalam rangka pembahasan rancangan KUHP.
Secara akademis dapat dirumuskan bahwa:
Ultimum remedium merupakan asas hukum yang menempatkan hukum pidana sebagai instrumen terakhir dalam penegakan hukum, yang penggunaannya hanya dibenarkan apabila sarana hukum lain tidak efektif, dengan tujuan menjaga proporsionalitas, perlindungan hak asasi manusia, dan efisiensi sistem hukum.
OECD menempatkan sanksi pidana sebagai instrumen paling akhir, setelah:
Voluntary compliance
Administrative enforcement
Civil penalties
Baru criminal prosecution.
DOKTRIN ULTIMUM REMEDIUM DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
Penyidikan yang Sedang Berjalan Pun Bisa Dihentikan di Tengah Jalan
Hak wajib pajak untuk menyelesaikan kasusnya tidak hilang begitu saja saat proses hukum pidana dimulai.
Arsitektur hukum dalam UU KUP menyediakan setidaknya dua “jaring pengaman” hukum di tahapan yang berbeda:
Sebelum Penyidikan (Pasal 8 ayat (3) UU KUP): Memberi hak kepada wajib pajak untuk menghentikan proses pemeriksaan agar tidak naik ke tahap penyidikan. Caranya adalah dengan mengakui kesalahan dan melunasi kekurangan pembayaran pajak beserta sanksi denda administrasinya.
Selama Penyidikan (Pasal 44B UU KUP): Menyediakan mekanisme untuk menghentikan proses penyidikan yang sudah berjalan, selama perkara tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan. Ini adalah opsi yang digunakan dalam kasus tersangka RH yang disebutkan sebelumnya.
Keberadaan dua pasal ini menunjukkan bahwa negara memberikan kesempatan berlapis bagi wajib pajak yang kooperatif untuk menyelesaikan masalahnya di luar jalur pemidanaan.
Konsistensi Penerapan Ultimum Remedium
Implementasi asas ultimum remedium dalam hukum pidana perpajakan di Indonesia menyeimbangkan penegakan hukum dengan tujuan penerimaan negara melalui mekanisme yang memprioritaskan pemulihan kerugian keuangan negara (fungsi budgeter) di atas pemidanaan fisik (penjara).
Berikut adalah analisis mendalam mengenai bagaimana keseimbangan ini dicapai berdasarkan sumber-sumber yang tersedia:
1. Menggeser Fokus dari Pembalasan ke Pemulihan (Restorative Justice) Dalam konteks perpajakan, hukum pidana tidak dijadikan tujuan utama, melainkan sebagai upaya terakhir (last resort) atau alat pemaksa ketika upaya administratif gagal.
Implementasi asas ini mengadopsi pendekatan restorative justice, di mana fokus utamanya adalah memulihkan kerugian negara akibat pengelakan pajak, bukan semata-mata menghukum badan badan atau memenjarakan wajib pajak.
Hal ini menyeimbangkan tujuan negara karena:
Fungsi Budgeter: Tujuan utama institusi pajak adalah mengumpulkan penerimaan negara. Sanksi pidana penjara sering kali dianggap “kalah” dalam mencapai tujuan ini karena tidak secara langsung mengembalikan uang ke kas negara.
Solusi Win-Win: Metode ini dianggap sebagai jalan tengah yang efektif, wajib pajak diampuni dari pidana badan dengan syarat melunasi kerugian, sementara negara mendapatkan kembali haknya tanpa harus mengeluarkan biaya penegakan hukum yang mahal hingga ke pengadilan.
2. Mekanisme Penghentian Penyidikan (Pasal 44B UU KUP) Implementasi konkret dari keseimbangan ini terlihat dalam ketentuan Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Mekanisme ini memungkinkan:
Penyelesaian di Luar Pengadilan: Atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan,.
Syarat Pelunasan: Penghentian hanya dapat dilakukan jika tersangka melunasi kerugian pada pendapatan negara ditambah sanksi administratif yang berat.
3. Menjaga Kelangsungan Usaha dan Stabilitas Ekonomi Penerapan sanksi pidana penjara tanpa opsi pemulihan kerugian berisiko mematikan usaha wajib pajak, yang pada akhirnya menghilangkan potensi pajak di masa depan (bangkruit).
Dengan menerapkan ultimum remedium:
Negara menghindari dampak negatif dari “over-kriminalisasi” yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan iklim usaha.
Wajib pajak tetap dapat melanjutkan usahanya setelah membayar sanksi, sehingga tetap menjadi subjek pajak yang berkontribusi pada penerimaan negara di tahun-tahun berikutnya.
4. Efisiensi Penegakan Hukum. Implementasi asas ini juga menyeimbangkan keterbatasan sumber daya penegak hukum. Proses pidana penuh (dari penyidikan hingga putusan pengadilan) memakan waktu dan biaya besar.
Dengan menggunakan ultimum remedium melalui pembayaran denda administratif sebagai prioritas, aparat fiskus dapat mengurangi beban penanganan perkara yang kompleks dan fokus pada kasus-kasus lain yang lebih strategis.
5. Sanksi Administratif sebagai Pengganti Efek Jera. Meskipun menghindari penjara, keseimbangan tetap dijaga melalui sanksi finansial yang sangat berat (denda administratif) yang berfungsi sebagai deterrence (efek jera).
Dalam kasus yang disebutkan, denda mencapai tiga kali lipat dari pajak yang kurang dibayar.
Ini memastikan bahwa meskipun hukum pidana adalah upaya terakhir, pelanggaran pajak tetap memiliki konsekuensi yang menyakitkan secara finansial bagi pelaku.
Tantangan Implementasi. Meskipun menyeimbangkan penerimaan, implementasinya masih menghadapi tantangan seperti inkonsistensi dan diskresi yang luas, di mana aparat fiskus cenderung menggunakan pidana hanya untuk kasus bernilai besar.
Diperlukan pedoman kuantitatif yang lebih jelas agar asas ini benar-benar menjadi upaya terakhir yang adil dan proporsional.
Sebagai analogi untuk memperjelas konsep ini:
Menerapkan asas ultimum remedium dalam pajak ibarat menagih utang kepada peternak angsa bertelur emas.
Jika peternak tersebut langsung dipenjara (pidana murni), peternakan akan tutup dan negara tidak akan mendapatkan telur emas (pajak) lagi selamanya.
Namun, dengan ultimum remedium, negara memaksa peternak membayar ganti rugi berupa tumpukan telur yang sangat banyak (denda besar) sebagai hukuman.
Dengan cara ini, negara mendapatkan kembali haknya, peternak mendapatkan pelajaran keras namun tetap bisa bekerja, dan aliran “telur emas” untuk negara di masa depan tetap terjaga.
Ultimum Remedium di Cukai
Penerapan asas ultimum remedium dalam tindak pidana cukai, khususnya pada sektor hasil tembakau, mencerminkan pergeseran kebijakan pidana Indonesia menuju pendekatan yang lebih proporsional dan restoratif.
Prinsip ini menempatkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir setelah langkah-langkah administratif dan perdata dianggap tidak lagi efektif atau memadai.
Berikut adalah mekanisme dan tujuan penerapan asas ultimum remedium dalam konteks cukai berdasarkan sumber yang tersedia:
1. Prioritas pada Sanksi Administratif dan Perdata
Dalam penegakan hukum cukai, otoritas berwenang memprioritaskan tindakan administratif terlebih dahulu sebelum menggunakan sanksi pidana penjara. Langkah-langkah awal ini meliputi:
Penerapan Denda: Pelanggar diwajibkan membayar denda administratif sebagai bentuk pemulihan kerugian negara.
Pencabutan Izin: Sanksi dapat berupa pencabutan izin usaha sebagai langkah pendisiplinan tanpa harus memenjarakan badan.
Perbaikan Kepatuhan: Memberikan kesempatan bagi pelaku usaha untuk memperbaiki kepatuhan mereka tanpa langsung menjatuhkan hukuman penjara.
2. Fokus pada Pemulihan Kerugian Negara (Restorative Justice)
Penerapan ini sejalan dengan prinsip restorative justice yang bertujuan mengoptimalkan pengumpulan penerimaan negara (fungsi budgeter) sambil tetap menjaga keadilan.
Mekanisme ini digunakan untuk memulihkan kerugian pendapatan negara akibat pelanggaran cukai, yang dianggap lebih bermanfaat bagi negara dibandingkan sekadar memenjarakan pelaku,.
3. Menjaga Stabilitas Ekonomi dan Kelangsungan Usaha Implementasi ultimum remedium dalam cukai dirancang untuk meminimalkan dampak negatif dari “over-kriminalisasi” terhadap perekonomian nasional.
Hal ini krusial karena:
Kontribusi Industri: Industri hasil tembakau memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara dan penyerapan tenaga kerja daerah.
Kelangsungan Bisnis: Dengan menerapkan sanksi administrasi terlebih dahulu, negara menghindari risiko mematikan usaha yang sah, sehingga stabilitas ekonomi tetap terjaga.
4. Pidana Tetap Berlaku untuk Pelanggaran Berat
Meskipun mengedepankan jalur administratif, hukum pidana tidak dihapuskan sepenuhnya.
Sanksi pidana tetap berlaku sebagai alat pencegah (deterrent) dan diterapkan pada kasus-kasus tertentu, yaitu:
Pelanggaran Berulang: Pelaku yang terus-menerus melakukan pelanggaran meskipun telah diberi sanksi administratif.
Pelanggaran Berat: Kasus-kasus pelanggaran serius yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan mekanisme administratif.
Keberhasilan penerapan asas ini sangat bergantung pada kerangka regulasi yang jelas (seperti UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan peraturan turunannya), penegakan yang konsisten, serta koordinasi antar-lembaga.
Sebagai analogi untuk memahami penerapan ini dalam konteks industri:
Menerapkan ultimum remedium pada pelanggaran cukai ibarat wasit yang memberikan kartu kuning dalam pertandingan sepak bola, bukan langsung kartu merah.
Jika seorang pemain (pengusaha kena cukai) melakukan pelanggaran, wasit memberikan peringatan keras dan denda (kartu kuning) agar pemain tersebut bisa terus bermain dan pertandingan (roda ekonomi) tetap berjalan.
Namun, jika pemain tersebut melakukan pelanggaran fatal atau mengulangi kesalahannya berkali-kali, barulah wasit mengeluarkan kartu merah (pidana penjara) untuk mengusirnya dari lapangan demi menjaga integritas permainan.
Artikel ini akan mengungkap lima fakta paling mengejutkan tentang restatement di Indonesia yang menunjukkan betapa tingginya taruhan di balik sebuah kesalahan akuntansi.
Restatement Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban
Bagi perusahaan publik (emiten), melakukan restatement bukanlah sebuah pilihan, melainkan kewajiban hukum yang mutlak.
Ketika sebuah emiten menemukan adanya kesalahan material periode lalu dalam laporan keuangan yang telah diterbitkan, mereka wajib menyajikan kembali laporan tersebut sebagai pengakuan bahwa informasi sebelumnya tidak andal.
Konsekuensi dari kegagalan atau keterlambatan dalam proses ini sangat berat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara konsisten menjatuhkan sanksi finansial yang signifikan.
Sebagai bukti, pada tahun 2022 saja, OJK mengenakan denda sebesar Rp 34 miliar kepada 276 emiten karena berbagai masalah pelaporan, dengan keterlambatan menjadi salah satu pelanggaran utama.
Restatement sering kali menjadi pemicu denda ini. Kompleksitas proses audit ulang untuk memperbaiki data masa lalu (retrospective restatement) sangat memakan waktu, menyebabkan perusahaan sering kali melewati tenggat pelaporan dan secara langsung terkena denda keterlambatan dari OJK.
Ini menegaskan betapa seriusnya regulator menjaga integritas informasi demi melindungi investor.
Menghindari Restatement Demi Kepercayaan Publik
Fakta yang paling kontras dan mengejutkan datang dari sektor pemerintahan. Tidak seperti perusahaan publik yang diwajibkan melakukan restatement, pemerintah Indonesia justru secara sadar menghindarinya untuk laporan keuangan (LK) yang sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan disahkan oleh DPR.
Menurut Dr. Jan Hoesada dari Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP), melakukan restatement pada laporan keuangan negara dapat memicu krisis kepercayaan yang luas.
Tak ada kewajiban saji-ulang (restatement) LK pemerintahan auditan yang telah masuk Berita Negara sebagai Keputusan DPR di NKRI, karena berdampak ketidakpercayaan publik kepada opini BPK, DPR dan Kabinet.
Ini adalah sebuah fakta yang counter-intuitive. Di satu sisi, transparansi pasar modal menuntut perbaikan masa lalu secara terbuka.
Di sisi lain, stabilitas negara menuntut agar fondasi kepercayaan terhadap lembaga-lembaga utamanya tidak digoyahkan oleh revisi dokumen yang telah disahkan secara hukum.
Perubahan Estimasi versus Koreksi Kesalahan
Tidak semua penyesuaian angka dalam laporan keuangan memicu restatement. Standar Akuntansi Keuangan (PSAK 25) membuat pembedaan yang sangat jelas antara dua jenis perubahan, yang konsekuensinya bagai langit dan bumi.
Perubahan Estimasi Akuntansi
Ini adalah penyesuaian yang wajar dan sering terjadi. Ini timbul karena adanya informasi atau perkembangan baru, misalnya saat perusahaan merevisi perkiraan masa manfaat sebuah mesin.
Perubahan ini diterapkan secara prospektif (berlaku ke depan) dan tidak mengharuskan perusahaan menulis ulang laporan keuangan periode lalu.
Koreksi Kesalahan Material
Inilah pemicu utama restatement. Kesalahan ini terjadi karena kegagalan menggunakan informasi andal yang seharusnya sudah tersedia saat laporan keuangan periode lalu disusun.
Ini bisa berupa salah hitung, salah penerapan kebijakan, atau salah interpretasi fakta. Koreksi ini wajib diterapkan secara retrospektif (berlaku surut).
Pembedaan ini sangat krusial karena restatement akibat koreksi kesalahan membawa risiko reputasi, pengawasan regulator, dan sanksi yang jauh lebih berat.
Memperbaiki Masa Lalu Seolah-olah Kesalahan Tak Pernah Terjadi
Restatement bukan sekadar menambahkan catatan kaki pada laporan keuangan terbaru.
Proses ini, yang disebut penerapan retrospektif dalam PSAK 25, bekerja seperti mesin waktu akuntansi.
Perusahaan diwajibkan untuk kembali ke laporan keuangan periode sebelumnya yang disajikan sebagai data pembanding dan menulis ulang angka-angkanya seolah-olah kesalahan tersebut tidak pernah terjadi.
Prosesnya sangat mendalam. Jika kesalahan terjadi jauh di masa lalu, bahkan sebelum periode perbandingan yang disajikan, perusahaan harus menyesuaikan saldo awal ekuitas pada periode sajian paling awal untuk menangkap dampak kumulatif dari kesalahan tersebut.
Ini adalah upaya maksimal untuk memastikan data historis benar-benar dapat diperbandingkan dan andal bagi investor, meskipun prosesnya sangat rumit, memakan waktu, dan mahal.
Restatement Memicu Pengakuan Publik di Bawah Pengawasan Bursa
Dampak restatement jauh melampaui urusan akuntansi dan kepatuhan OJK.
Ini adalah peristiwa material yang secara otomatis memicu kewajiban keterbukaan informasi publik kepada Bursa Efek Indonesia (IDX) sesuai Peraturan I-E.
Restatement atau rumor mengenainya dapat memicu gejolak pasar yang tidak wajar atau Unusual Market Activity (UMA).
Ketika UMA terjadi, IDX dapat memaksa emiten untuk menyelenggarakan Public Expose Insidental (PEI), sebuah forum pertanggungjawaban publik.
Ini bukan teori, ini adalah praktik nyata. Contohnya adalah kasus PT Akbar Indo Makmur Stimec Tbk (AIMS), yang diwajibkan mengadakan PEI setelah IDX mengeluarkan peringatan UMA akibat lonjakan harga sahamnya yang signifikan.
PEI adalah sebuah “pengadilan korporat oleh api” di mana manajemenโdalam kasus AIMS, Direktur dan Sekretaris Perusahaanโharus berhadapan langsung dengan publik, analis pasar, dan media.
Di sini, mereka tidak bisa bersembunyi di balik angka, mereka harus memberikan pertanggungjawaban naratif atas volatilitas saham dan kinerja fundamental perusahaan.
Proses ini mengubah kesalahan akuntansi internal menjadi krisis kepercayaan publik yang harus dikelola di bawah pengawasan ketat regulator dan sorotan pasar.
Kerangka Konseptual Akuntansi Berlaku Surut
PSAK 25, yang mengatur Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan, membedakan secara kritis tiga jenis penyesuaian akuntansi, masing-masing dengan perlakuan yang berbeda:
Kebijakan Akuntansi dan Perubahannya
Kebijakan akuntansi adalah prinsip, dasar, konvensi, peraturan, dan praktik tertentu yang diterapkan entitas dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.
Entitas hanya dapat mengubah kebijakan akuntansi jika perubahan tersebut:
Dipersyaratkan oleh suatu PSAK (misalnya, penerapan PSAK 74 tentang Kontrak Asuransi mulai 1 Januari 2025).
Menghasilkan laporan keuangan yang memberikan informasi yang andal dan lebih relevan tentang dampak transaksi, peristiwa, atau kondisi lainnya terhadap posisi keuangan, kinerja, atau arus kas entitas.
Jika perubahan kebijakan akuntansi diwajibkan oleh PSAK baru dan PSAK tersebut tidak mengatur ketentuan transisi, atau jika perubahan dilakukan secara sukarela, maka perubahan tersebut harus diterapkan secara retrospektif.
Koreksi Kesalahan Material Periode Lalu
Kesalahan periode lalu adalah pemicu utama restatement.
Kesalahan ini didefinisikan sebagai kelalaian atau kesalahan dalam mencantumkan/mencatat yang timbul dari kegagalan menggunakan, atau kesalahan penggunaan, informasi andal yang secara rasional diharapkan tersedia ketika penyusunan laporan keuangan periode tersebut.
Kesalahan penerapan kebijakan akuntansi (misalnya, terkait pengukuran investasi atau penurunan nilai rugi).
Kekeliruan atau kesalahan interpretasi fakta, dan kecurangan.
Koreksi kesalahan material periode sebelumnya harus dilakukan secara retrospektif pada laporan keuangan lengkap pertama yang diterbitkan setelah ditemukannya kesalahan tersebut.
Perubahan Estimasi Akuntansi
Perubahan estimasi akuntansi adalah penyesuaian jumlah tercatat aset atau liabilitas yang berasal dari penilaian status kini, dan ekspektasi manfaat masa depan dan kewajiban terkait aset dan liabilitas.
Perubahan estimasi dihasilkan dari informasi baru atau perkembangan baru, bukan dari koreksi kesalahan.
Dampak perubahan estimasi diakui secara prospektif (diterapkan ke periode berjalan dan periode mendatang), dan tidak memerlukan penyajian kembali LK periode sebelumnya.
Mekanisme Penerapan Retrospektif dan Keterbatasan
Penerapan retrospektif mensyaratkan entitas untuk menyesuaikan:
Jumlah komparatif untuk periode sebelumnya yang disajikan.
Saldo awal setiap komponen ekuitas yang terpengaruh (umumnya Saldo Laba) untuk periode sajian paling awal, seolah-olah kebijakan baru sudah diterapkan sejak awal.
Namun, PSAK mengakui bahwa penerapan retrospektif mungkin tidak praktis (impractical) jika:
Dampaknya tidak dapat ditentukan.
Memerlukan asumsi mengenai maksud manajemen yang ada pada periode lalu.
Memerlukan estimasi signifikan dan tidak mungkin untuk membedakan secara obyektif informasi tentang keadaan yang ada pada tanggal pengakuan dengan informasi lain yang tersedia saat laporan keuangan diselesaikan.
Jika tidak praktis, entitas menerapkan kebijakan akuntansi baru secara retrospektif dari periode praktis paling awal, dan bagian penyesuaian kumulatif yang timbul sebelum tanggal tersebut diabaikan.
Contoh Kesalahan yang Memicu Restatement
Kesalahan material yang memerlukan restatement meliputi:
Kesalahan penerapan kebijakan akuntansi. Contoh kesalahan penerapan kebijakan akuntansi termasuk yang terkait dengan pengukuran nilai investasi atau penurunan nilai rugi.
Kekeliruan atau kesalahan interpretasi fakta.
Kecurangan (fraud).
Materialitas adalah kriteria kunci. Suatu kelalaian atau kesalahan dalam mencatat adalah material jika, baik secara sendiri maupun bersama, dapat memengaruhi keputusan ekonomi pengguna laporan keuangan.
Penentuan materialitas harus mempertimbangkan ukuran dan sifat dari pos yang terpengaruh.
Arah baru dalam perpajakan global didorong oleh tiga tema utama: adaptasi terhadap ekonomi digital dan kerja jarak jauh, penguatan hak pemajakan negara sumber (terutama yang kaya sumber daya alam), dan peningkatan kerja sama dalam penegakan hukum pajak secara global.
Demi ekonomi global yang semakin mengadopsi sistem kerja jarak jauh dan mobilitas digital, penting bagi pemerintah dan pelaku bisnis untuk mengatasi tantangan perpajakan modern dan memastikan sistem perpajakan dapat mengimbangi perubahan ekonomi.
Disetujui oleh Dewan OECD pada 18 November, pembaruan 2025 ini menyajikan perubahan-perubahan penting pada Konvensi Pajak Model OECD, termasuk:
โ Kejelasan tentang kerja jarak jauh, memberikan panduan tentang bagaimana bekerja dari rumah dalam situasi lintas batas harus diperlakukan berdasarkan perjanjian pajak, memberikan kepastian bagi pemberi kerja dan karyawan.
โ Perpajakan industri ekstraktif melalui pasal model alternatif khusus untuk memastikan bahwa pendapatan dari kegiatan sumber daya alam dikenakan pajak yang sesuai di tempat ekstraksi terjadi, memperkuat hak-hak negara sumber dan mendukung negara-negara berkembang yang kaya akan sumber daya.
โ Pembaruan yang lebih luas yang memberikan penyempurnaan tambahan untuk meningkatkan konsistensi dalam interpretasi perjanjian pajak guna lebih meningkatkan kepastian dalam masalah perpajakan internasional.
Update Ketentuan BUT atau PE
Langkah 1: Uji Kontinuitas dan Ambang Batas Waktu
Pertama, OECD menegaskan bahwa tidak setiap home office otomatis menjadi PE atau BUT.
Penggunaan rumah tersebut harus bersifat berkelanjutan (continuous basis), bukan hanya sesekali (intermittent or incidental).
Pembaruan ini memperkenalkan sebuah panduan praktis yang sangat membantu:
Secara umum, rumah atau lokasi pribadi lainnya tidak akan dianggap sebagai tempat usaha perusahaan jika individu tersebut bekerja dari sana kurang dari 50% total waktu kerjanya selama periode dua belas bulan.
Jika seorang karyawan bekerja dari rumah kurang dari 50% total waktu kerjanya, lokasi tersebut umumnya tidak akan dianggap sebagai tempat usaha perusahaan, dan analisis biasanya berhenti di sini.
Namun, jika ambang batas 50% terlampaui, kita harus melanjutkan ke langkah berikutnya.
Jika seorang karyawan bekerja dari rumah lebih dari 50% waktunya, faktor penentu berikutnya adalah apakah ada “alasan komersial” yang kuat bagi perusahaan untuk memiliki kehadiran di negara tersebut.
Ini adalah pertanyaan kunci: Apakah kehadiran karyawan di negara itu memberikan keuntungan bisnis strategis bagi perusahaan, selain dari sekadar mengakomodasi keinginan karyawan?
Pembaruan ini memberikan daftar contoh alasan komersial yang lebih kaya dan spesifik, antara lain:
Bertemu secara rutin dengan klien yang ada di negara tersebut.
Mengidentifikasi pemasok baru atau mengelola kontrak dengan mereka.
Berkolaborasi dengan bisnis lain di negara tersebut untuk proyek bersama.
Melakukan layanan yang memerlukan kehadiran fisik, seperti pelatihan atau perbaikan di lokasi pelanggan.
Melayani pelanggan secara real-time di zona waktu yang berbeda (misalnya, layanan dukungan IT atau call center).
Sebaliknya, ada alasan yang secara eksplisit tidak dianggap sebagai alasan komersial yang kuat.
Bekerja dari rumah yang didasari murni oleh preferensi pribadi karyawan, atau hanya karena perusahaan ingin menghemat biaya sewa kantor, bukanlah alasan komersial yang cukup untuk menciptakan BUT atau PE.
Penting juga untuk dicatat bahwa interaksi yang bersifat “sesekali atau insidental”, seperti kunjungan singkat ke klien sekali dalam seperempat tahun, umumnya tidak dianggap sebagai alasan komersial yang berkelanjutan.
Aturan Pajak Lebih Ketat untuk Industri Minyak, Gas, dan Pertambangan
Pembaruan 2025 memperkenalkan ketentuan alternatif opsional yang secara spesifik menargetkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.
Perubahan ini mencerminkan pergeseran kekuatan pemajakan yang signifikan kepada negara pemilik sumber daya.
Inti dari ketentuan baru ini adalah penerapan ambang batas BUT atau PE yang jauh lebih rendah (lower permanent establishment threshold) untuk perusahaan di sektor ekstraktif.
Ini berarti perusahaan jasa geologi asing yang melakukan survei seismik lepas pantai selama 45 hari kini dapat dikenakan pajak, padahal sebelumnya aktivitas dengan durasi sesingkat itu tidak akan memicu kewajiban pajak.
Namun, aturan ini tidak berlaku untuk semua layanan. Ada perbedaan penting:
Layanan Khusus (Specialised): Aturan ini menargetkan layanan yang dirancang khusus untuk industri ekstraktif, seperti jasa rekayasa untuk infrastruktur tambang, survei seismik, atau instalasi rig. Layanan bernilai tinggi inilah yang menjadi fokus utama.
Layanan Generik (Generic): Layanan umum seperti katering standar, penyediaan akses internet, atau pengiriman pasokan biasa tidak tercakup dalam aturan khusus ini dan akan tetap mengikuti aturan PE/BUT umum.
Pengecualian Spesifik: Aturan ini juga secara eksplisit mengecualikan kapal-kapal yang fungsinya bersifat pendukung (auxiliary), seperti kapal transportasi personel, kapal tunda (tugboat), atau kapal penanganan jangkar.
Secara analisis, perubahan ini dirancang untuk menutup celah yang sebelumnya dimanfaatkan oleh penyedia jasa bernilai tinggi, terutama yang bersifat mobile dan berdurasi pendek di sektor lepas pantai (offshore), yang secara historis sering kali tidak memenuhi definisi BUT tradisional.
Sengketa Pajak versus Perdagangan Global
Terkadang, ada potensi tumpang tindih antara aturan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dan perjanjian perdagangan global, seperti GATS (General Agreement on Trade in Services) dari WTO.
Misalnya, sebuah kebijakan pajak bisa diperdebatkan sebagai hambatan perdagangan yang tidak adil.
Siapa yang berhak memutuskan sengketa semacam ini?
Pembaruan 2025 memberikan jawaban tegas dengan menambahkan paragraf 6 baru ke dalam Pasal 25 mengenai Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure).
Klarifikasi utamanya adalah:
Para negara anggota sepakat bahwa sengketa mengenai apakah suatu kebijakan pajak “masuk dalam lingkup” perjanjian pajak akan diselesaikan melalui mekanisme dalam perjanjian pajak itu sendiri (yaitu melalui negosiasi antar otoritas pajak).
Sengketa tersebut tidak dapat dibawa ke mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan di WTO/GATS, kecuali kedua negara secara eksplisit menyetujuinya.
Secara lebih teknis, pemicu yang menentukan suatu sengketa “masuk dalam lingkup” adalah jika kebijakan tersebut terkait dengan Pasal 24 (Non-Diskriminasi) dari perjanjian pajak.
Ini adalah penegasan penting tentang kedaulatan aturan pajak dalam domainnya, memastikan bahwa sengketa yang pada dasarnya bersifat perpajakan ditangani oleh para ahli pajak, bukan oleh panelis perdagangan umum.
Informasi Rahasia Pajak Anda Kini Bisa Digunakan Lebih Luas
Pasal 26 dalam Model OECD mengatur tentang pertukaran informasi antar otoritas pajak, sebuah alat vital untuk memerangi penghindaran dan penggelapan pajak lintas negara.
Pembaruan 2025 membawa perubahan signifikan pada penjelasan (Commentary) pasal ini, yang secara dramatis memperluas kegunaan informasi yang dipertukarkan.
Perubahan kunci pada paragraf 12 Commentary on Article 26 mengklarifikasi bahwa informasi yang diterima oleh suatu negara mengenai wajib pajak tertentu (person or persons for which the information was received) kini dapat digunakan untuk urusan perpajakan yang menyangkut orang atau pihak lain (any other person).
Implikasinya sangat besar. Misalnya, jika Otoritas Pajak Negara A meminta informasi dari Negara B tentang transaksi Perusahaan X, dan informasi tersebut ternyata juga mengungkap skema yang melibatkan Perusahaan Y, maka Otoritas Pajak Negara A berhak menggunakan informasi tersebut untuk membuka penyelidikan terhadap Perusahaan Y tanpa perlu mengajukan permintaan baru.
Ini memberikan kemampuan yang jauh lebih besar bagi otoritas pajak untuk menghubungkan titik-titik dalam investigasi pajak yang kompleks, meskipun di sisi lain juga dapat menimbulkan pertanyaan baru seputar privasi data wajib pajak.
SPT Tahunan 2025, seluruhnya (100%) diisi di Coretax alias web based
Peluncuran sistem Coretax oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bukan sekadar pembaruan teknologi, melainkan sebuah pergeseran paradigma dalam ekosistem perpajakan digital di Indonesia.
Alur kerja yang didesain ulang menuntut Wajib Pajak dan praktisi untuk memahami filosofi baru di baliknya.
Artikel ini akan menyoroti lima perubahan paling fundamental dan cerdas dalam pelaporan SPT Tahunan PPh Badan, memberikan gambaran strategis mengenai logika baru yang membentuk masa depan kepatuhan pajak.
Semua Dimulai dari Formulir Induk
Perubahan paling fundamental dalam Coretax adalah alur kerja yang bersifat “Induk-Sentris” (Induk-Centric).
Berbeda dengan metode lama di mana Wajib Pajak mengisi berbagai lampiran terlebih dahulu, alur kerja baru ini dimulai dari pengisian Formulir Induk SPT.
Pendekatan ini sangat signifikan, di mana hanya Lampiran L2 (Daftar Kepemilikan) dan L-11B (Perhitungan Biaya Pinjaman) yang muncul secara otomatis, sementara lampiran lainnya diaktifkan secara dinamis.
Formulir Induk SPT kini berfungsi seperti kuesioner cerdas. Sistem bertindak layaknya digital wizard yang akan membangun SPT Anda secara dinamis berdasarkan jawaban atas serangkaian pertanyaan kunci mengenai profil transaksi perusahaan.
Jawaban Anda mengaktifkan lampiran yang relevan. Jawaban “Ya” pada pertanyaan seperti “Apakah memperoleh penghasilan Final?” atau “Apakah membebankan biaya penyusutan?” akan secara otomatis memunculkan lampiran-lampiran spesifik yang harus diisi.
Proses menjadi lebih terarah dan relevan. Wajib Pajak hanya disajikan lampiran yang benar-benar dibutuhkan, menghilangkan kebingungan dan meminimalkan risiko kesalahan pengisian (errors of omission).
Dari perspektif DJP, pendekatan ini menstandardisasi proses penerimaan data, memastikan mereka menerima paket data yang lengkap dan konsisten secara logis untuk dianalisis secara otomatis.
Bagi Wajib Pajak, ini mengurangi beban kognitif karena sistem memandu setiap langkah, membuat proses pelaporan lebih efisien dan intuitif.
12 Jenis Lampiran Keuangan Sesuai Sektor Usaha
Sistem Coretax meninggalkan pendekatan “satu untuk semua” dalam pelaporan keuangan.
Kini, Lampiran 1 (Laporan Laba Rugi dan Neraca) hadir dalam 12 format berbeda yang dirancang khusus untuk setiap sektor usaha, memastikan akun yang disajikan lebih relevan dengan karakteristik masing-masing industri.
Beberapa contoh sektor usaha yang kini memiliki format lampiran keuangan khusus antara lain:
Umum (L1-A)
Pabrikan / Manufaktur (L1-B)
Perdagangan (L1-C)
Jasa (L1-D)
Bank Konvensional (L1-E)
Properti (L1-H)
Infrastruktur (L1-J)
Sekuritas (L1-K)
Langkah ini menandai pergeseran strategis DJP untuk menangkap data keuangan yang jauh lebih terstruktur dan relevan.
Ini memungkinkan DJP untuk melakukan pembandingan (benchmarking) dan analisis ekonomi berbasis industri dengan akurasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, mengubah data keuangan generik menjadi intelijen bisnis yang terstruktur.
Bagi Wajib Pajak, ini menyederhanakan pengisian karena akun yang tersedia sudah sesuai dengan kelaziman industrinya.
Koreksi Fiskal Langsung di Laporan Laba Rugi
Salah satu perubahan teknis paling berdampak adalah cara melakukan koreksi fiskal.
Di Coretax, Wajib Pajak kini mengisi nilai koreksi fiskal (baik positif maupun negatif) langsung pada setiap baris akun di dalam Laporan Laba Rugi (Lampiran 1).
Sistem juga memberikan fleksibilitas di mana Wajib Pajak dapat memasukkan lebih dari satu kode koreksi fiskal pada satu akun yang sama jika diperlukan.
Fitur ini secara efektif menjadikan kertas kerja rekonsiliasi fiskal berbasis spreadsheet yang rumit dan rentan kesalahan sebagai peninggalan masa lalu (a relic of the past).
Dengan mengintegrasikan proses akuntansi komersial dan pelaporan fiskal secara lebih erat, prosesnya menjadi jauh lebih transparan dan mengurangi potensi kesalahan karena rekonsiliasi terjadi langsung di dalam sistem
Setengah Jalan Dikerjakan Sistem Coretax
Untuk mempercepat pelaporan, Coretax secara otomatis mengisi beberapa data (prepopulated) yang diambil dari berbagai sumber di ekosistem DJP, seperti data bukti potong/pungut PPh (e-Bupot) dan data registrasi perusahaan.
Proses ini diinisiasi saat Wajib Pajak menekan tombol “Posting SPT” di awal pengisian, yang kemudian menarik data relevan ke dalam draf SPT.
Yang terpenting, kontrol penuh tetap berada di tangan Wajib Pajak.
Semua data yang terisi otomatis tetap dapat diubah atau diedit (editable).
Fitur ini adalah langkah krusial menuju pembentukan “Single Source of Truth” di dalam sistem DJP.
Dengan tidak hanya meringankan beban Wajib Pajak tetapi juga menegakkan konsistensi data, DJP secara signifikan mengurangi risiko kesalahan transkripsi di seluruh sistemnya.
Contoh nyata adalah data daftar pemegang saham di Lampiran 2 dan daftar bukti potong di Lampiran 3.
Tahapan Pembuatan SPT Tahunan Coretax
1. Siapkan dokumen utama
Siapkan laporan keuangan perusahaan (neraca dan laba-rugi tahunan) beserta bukti-bukti pemotongan/pungutan pajak tahun berjalan (misal bukti potong PPh 21/23 dari karyawan/penyedia jasa, serta bukti potong PPh 4(2) atas sewa).
Dokumen lain yang mungkin perlu dilampirkan adalah arsip SPT Masa (PPH Pasal 25/29/PPN) dan catatan pembukuan (termasuk persediaan).
Dokumen laporan keuangan (neraca dan laporan laba/rugi) dalam bentuk pdf, dan bukti potong/pungut dari transaksi pihak ketiga harus disiapkan sebelum mengisi SPT.
Sebaiknya hitung dulu secara manual di aplikasi MS Excel atau aplikasi perusahaan, berapa penghasilan neto, penghasilan kena pajak, dan PPh terutang.
2. Aktivasi akun dan login Coretax
Buka situsโฏcoretaxdjp.pajak.go.id, lalu login dengan akun penanggung jawab (NIK 16 digit) dan kata sandi.
Setelah masuk, lakukan impersonate ke NPWP Badan yang akan dilaporkan. Ingat, yang login harus menggunakan NIK yang merupakan PIC perusahaan.
Pastikan sudah memiliki Sertifikat Elektronik/Kode Otorisasi DJP sesuai ketentuan.
3. Buat konsep SPT dan isi formulir induk
Dari menu โSurat Pemberitahuan (SPT)โ pilih โBuat Konsep SPTโ.
Kemudian pilih jenis SPT Pajak Badan dan periode pajak yang benar.
Isi Bagian AโJ formulir induk SPT (identitas, status pembukuan, jenis usaha, dsb).
Di bagian identitas, cek data pre-fill; di bagian laporan keuangan, pilih โsektor usahaโ yang sesuai sehingga Coretax mengaktifkan lampiran keuangan sektor tersebut.
Contoh: pilih โPerdaganganโ untuk perusahaan dagang, โJasaโ untuk perusahaan jasa, โManufakturโ untuk pabrik/industri, โPerbankanโ untuk bank konvensional, atau โUMKMโ jika usaha kecil dengan PPh Final 0,5%.
Jika laporan diaudit oleh Akuntan Publik, cantumkan opini auditor dan data KAP. Dan siapkan laporan KAP untuk diunggah di induk bagian bawah.
4. Jawab pertanyaan dan isi lampiran SPT
Coretax akan menampilkan lampiran-lampiran yang diperlukan berdasarkan jawaban di induk:
Lampiran L2 (Daftar Kepemilikan) dan L-11B (Debt-to-Equity) muncul otomatis untuk semua WP Badan.
Lampiran L1 sektor: tergantung sektor usaha (misalnya L1-C untuk Perdagangan, L1-D untuk Jasa, L1-B Manufaktur, L1-E Bank konv., L1-Umum untuk UMKM). Isilah data keuangan sesuai format L1 yang aktif (misal, penjualan & biaya untuk dagang/manufaktur; aset & kewajiban untuk bank, dll).
Pendapatan Final/Non-Objek: Jawab pertanyaan apakah perusahaan menerima pendapatan PPh Final atau bukan objek (seperti penghasilan sewa/bunga final, dividen dikecualikan). Jika โYaโ, isi Lampiranโฏ4A (PPh Final) dan 4B (Non-objek) sesuai petunjuk.
Fasilitas pajak (Pasal 31E): Jika omzet tahunan โค Rp50 miliar (tahun buku smp Juli 2025 sesuai PP 7/2021), WP bisa memilih fasilitas penurunan tarif PPh Pasal 17 jo. 31E. Tandai pilihan โTarif Fasilitas 31E(1)โ bila memenuhi.
Lampiran lain: Isilah Lampiranโฏ3 untuk kredit pajak (jika ada PPh Pasal 23/26 terutang dan dibayar/dipotong pihak lain), Lampiranโฏ6 untuk angsuran PPh Pasal 25 yang telah dibayar, Lampiranโฏ8 jika menggunakan fasilitas 31E, Lampiranโฏ9 untuk daftar penyusutan aset tetap, dll., sesuai kebutuhan masing-masing.
5. Unggah dokumen pendukung
Di akhir pengisian, unggah salinan laporan keuangan (file audit) dan dokumen pendukung lain yang diperlukan (maks. 15MB).
Centang pernyataan kebenaran data, simpan konsep SPT, lalu lanjutkan ke proses pembayaran.
6. Bayar dan lapor.
Jika terdapat PPh terutang (kurang bayar), buatlah Kode Billing dan setor pajak melalui bank atau saluran resmi.
Setelah pembayaran, sistem akan menerbitkan bukti penerimaan elektronik (BPE).
Jika SPT lebih bayar, pilih cara pengembalian (restitusi).
Siapkan Neraca dan Laba rugi yang meliputi pendapatan utama jasa serta pendapatan usaha (contoh: sewa gedung kantor, dan gaji pegawai).
Pendapatan final seperti sewa/PPh 4(2) atau dividen harus dijawab di induk dan dibawa ke Lampiran, jika ada.
Jika laporan diaudit, isi opini auditor. Fasilitas 31E berlaku bila omzet sampai dengan 50โฏmiliar, atau kurang.
Sektor Perdagangan
Untuk perusahaan dagang, laporan laba-rugi berfokus pada penjualan barang dan Harga Pokok Penjualan. Siapkan data pembelian, dan persediaan awal/akhir.
Perusahaan dagang dengan omzet sampai dengan Rp50โฏmiliar dan diatas Rp4,8 miliar, bisa memakai tarif 31E.
Akhirnya SPT-nya tercatat Kurang Bayar.
Sektor Manufaktur
Pabrikan/industri melaporkan produksi dan penjualan barang jadi.
Lapor persediaan bahan baku, beban penyusutan mesin, dan biaya produksi lain di Laporan Laba Rugi.
Dokumen pendukung serupa (siapkan Neraca, Laporan Laba-Rugi, dan bukti potong).
Fasilitas 31E juga bisa didapat jika omzet sampai dengan Rp50โฏmiliar dan diatas Rp4,8 miliar.
Misalnya, perusahaan manufaktur kecil biasanya berstatus Kurang Bayar sama seperti sektor dagang karena ada pajak yang masih kurang bayar.
Sektor Bank Konvensional, Termasuk BPR
Bank wajib memasukkan laporan keuangan bank (neraca perbankan).
Pendapatan utamanya dari kegiatan perbankan (bunga, fee, jasa keuangan) dan penghasilan non-utama (misal sewa gedung).
Contoh simulasi DJP: sumber pendapatan โKegiatan Utama (Perbankan)โ plus sewa aset dan dividen, dengan bukti potong PPh 23 atas penyewaan deposit box.
Bank tidak menggunakan tarif 31E (karena skala besar), tetapi mungkin saja memiliki banyak kredit pajak (PPh 23/26) dari kegiatan jasa keuangan.
SPT bank biasa berstatus Lebih Bayar atau Kurang Bayar tergantung perhitungan akhir, namun langkah pelaporan Coretax-nya sama.
Sektor UMKM (PPh Final 0,5%)
Usaha kecil menengah dengan omzet di bawah Rp4,8โฏmiliar per tahun menggunakan PPh Final 0,5% (PP 23/2018 jo. PP 55/2022).
Meski Wajib Pajak badan, pelaporan SPT Badan tetap dilakukan (Coretax), tetapi lebih sederhana.
Lampiran L1 yang dipakai adalah โUmumโ.
WP UMKM hanya mengisi rekap omzet bruto di formulir induk (dan pendapatan final lainnya seperti sewa tanah jika ada).
Laporan keuangan tidak harus diaudit, bisa berupa neraca/laba-rugi sederhana.
Karena pajaknya bersifat final, SPT Tahunan UMKM biasanya berstatus Nihil (tidak kurang/bayar pajak tambahan) โ pajak telah dipungut tiap bulan melalui final 0,5%.
Perubahan masif ke arah kerja jarak jauh (remote work) selama beberapa tahun terakhir telah membuat banyak dari kita mempertanyakan aturan-aturan lama.
Jika pekerjaan dapat dilakukan dari mana saja, di mana sebenarnya “kantor” itu berada?
Pertanyaan ini ternyata tidak hanya relevan bagi para karyawan dan manajer HR, tetapi juga bagi para pembuat kebijakan pajak di seluruh dunia.
Bukan hanya dunia kerja yang berubah, tetapi juga aturan-aturan fundamental perpajakan global yang mengatur bagaimana perusahaan dan negara berinteraksi secara finansial.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), lembaga yang menetapkan standar internasional dalam hal ini, baru saja merilis pembaruan penting: “2025 Update to the OECD Model Tax Convention.”
Pajak untuk Pekerja Jarak Jauh Lintas Negara Kini Punya Aturan Main Baru
Salah satu konsep terpenting dalam perpajakan internasional adalah “Badan Usaha Tetap” (BUT) atau permanent establishment.
Sederhananya, ini adalah ambang batas yang menentukan apakah sebuah perusahaan memiliki kehadiran yang cukup signifikan di suatu negara sehingga negara tersebut berhak memajaki keuntungannya.
Secara tradisional, ini berarti memiliki kantor fisik. Namun, bagaimana jika “kantor” tersebut adalah rumah seorang karyawan di negara lain?
Pembaruan OECD 2025 memberikan panduan yang sangat dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan ini.
Perubahan pada Komentar Pasal 5 (Commentary on Article 5) memperkenalkan dua konsep kunci baru yang sangat penting:
Ambang Batas Waktu 50%: Aturan baru ini memperkenalkan sebuah “safe harbor” atau batas aman yang krusial bagi perusahaan. Jika seorang karyawan bekerja dari rumahnya di negara lain selama kurang dari 50% total waktu kerjanya untuk perusahaan tersebut (dalam periode 12 bulan yang dimulai atau berakhir pada tahun fiskal terkait), rumah tersebut umumnya tidak akan dianggap sebagai BUT bagi perusahaannya. Ini merupakan konsesi penting terhadap realitas kerja hibrida, memberikan tingkat kepastian yang sebelumnya tidak ada.
Konsep “Alasan Komersial” (Commercial Reason): Aturan ini lebih bernuansa. Bahkan jika seorang karyawan bekerja lebih dari 50% dari waktunya di rumah lintas negara, rumah tersebut mungkin tetap tidak dianggap sebagai BUT jika kehadiran karyawan di negara itu murni karena alasan pribadi dan tidak memberikan keuntungan komersial yang nyata bagi perusahaan. Misalnya, jika seorang karyawan memilih untuk tinggal di Negara S karena alasan pribadi dan melayani klien di Negara R dari jarak jauh, tanpa ada kebutuhan komersial bagi perusahaan untuk memiliki perwakilan di Negara S, maka rumahnya kemungkinan tidak akan menciptakan BUT.
Perubahan ini merupakan sebuah langkah fundamental, di mana OECD mengakui bahwa talenta kini tidak lagi terikat secara geografis dengan modal, sehingga memaksa adanya pemikiran ulang terhadap prinsip-prinsip pajak yang telah berusia seabad.
Indonesia Kini Punya Senjata Baru
Selama bertahun-tahun, telah terjadi perdebatan panjang mengenai bagaimana membagi hak pemajakan keuntungan dari sumber daya alam antara negara maju (asal perusahaan multinasional) dan negara berkembang (pemilik sumber daya alam).
Pembaruan OECD 2025 memperkenalkan sebuah “ketentuan alternatif” (alternative provision) opsional yang secara signifikan mengubah keseimbangan ini.
Aturan baru ini secara sederhana mempermudah negara-negara yang kaya sumber daya alam untuk memajaki keuntungan perusahaan asing yang melakukan eksplorasi atau eksploitasi di wilayah mereka.
Dampak utamanya adalah “ambang batas BUT yang lebih rendah” (lower permanent establishment threshold).
Di bawah aturan standar, sebuah proyek konstruksi biasanya harus berlangsung selama 12 bulan untuk menciptakan BUT.
Namun, aturan opsional baru ini memungkinkan negara-negara untuk menegosiasikan periode yang jauh lebih singkat (misalnya 30 atau 90 hari) untuk kegiatan di industri ekstraktif.
Ini berarti negara sumber dapat mulai memajaki keuntungan lebih cepat dan atas lebih banyak jenis kegiatan, terutama proyek eksplorasi lepas pantai yang seringkali berdurasi pendek.
Secara strategis, aturan ini menawarkan dua versi: satu untuk “Lepas Pantai Saja” (Offshore only) dan satu lagi untuk “Lepas Pantai dan Darat” (Offshore and onshore).
Pilihan ini menyoroti dinamika negosiasi politik di baliknya; beberapa negara hanya fokus pada proyek lepas pantai yang sulit dipajaki, sementara yang lain menginginkan hak yang lebih luas atas semua kegiatan ekstraktif.
Ini menandakan sebuah pergeseran penting: sebuah transfer nyata hak pemajakan dari negara-negara pengekspor modal ke negara-negara kaya sumber daya alam.
Aturan Global Semakin Ketat untuk Trik Utang Palsu Perusahaan Raksasa
Salah satu strategi penghindaran pajak yang paling umum digunakan oleh perusahaan multinasional adalah penggeseran laba (profit shifting) melalui utang internal.
Bayangkan sebuah perusahaan di negara dengan pajak tinggi “meminjam” uang dari anak perusahaannya sendiri yang berlokasi di surga pajak.
Pembayaran “bunga” atas pinjaman ini dapat dikurangkan dari laba di negara berpajak tinggi, secara efektif mengurangi tagihan pajaknya dan memindahkan uang tersebut ke yurisdiksi berpajak rendah.
Pembaruan OECD 2025 mengambil langkah tegas untuk menindak praktik ini. Perubahan pada Komentar Pasal 9 (Commentary on Article 9) tidak lagi hanya memberikan kemampuan, tetapi secara formal mengklarifikasi dan memperkuat hak otoritas pajak untuk menantang sifat dasar dari transaksi ini.
Aturan baru secara eksplisit mendukung hak otoritas pajak untuk melihat melampaui bentuk hukum sebuah “pinjaman” dan mengkategorikannya kembali sebagai suntikan modal (equity) berdasarkan substansi ekonominya.
Jika sebuah transaksi lebih terlihat seperti investasi modal daripada pinjaman komersial yang wajar, otoritas pajak dapat mengklasifikasikannya kembali.
Dampaknya? Pembayaran yang sebelumnya dianggap sebagai “bunga” yang dapat dikurangkan kini akan diperlakukan sebagai “dividen” yang tidak dapat dikurangkan, sehingga menutup celah tersebut.
Ini adalah serangan langsung terhadap rekayasa keuangan perusahaan multinasional dan bagian dari upaya global berkelanjutan untuk menindak strategi Erosi Basis dan Penggeseran Laba (Base Erosion and Profit Shifting – BEPS).
Closing
Tiga perubahan ini, adaptasi aturan pajak terhadap kerja jarak jauh, penyeimbangan kembali hak pajak atas sumber daya alam, dan penutupan celah penghindaran pajak korporasi, lebih dari sekadar penyesuaian teknis.
Mereka mewakili pergeseran fundamental dalam cara ekonomi global diatur. Aturan-aturan ini mencerminkan dunia yang semakin terdigitalisasi, sadar akan keadilan, dan kurang toleran terhadap skema penghindaran pajak.
Di tengah era globalisasi, ekonomi digital, dan tren kerja jarak jauh (remote work), aturan pajak internasional yang ada seringkali terasa rumit dan ketinggalan zaman.
Banyak negara dan perusahaan berjuang untuk menavigasi lanskap yang terus berubah ini.
Menjawab tantangan tersebut, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) baru saja merilis laporan pentingnya, OECD Secretary-General Tax Report to G20, yang memberikan gambaran jelas tentang bagaimana dunia berupaya memodernisasi sistem perpajakan.
Perang Melawan Penghindaran Pajak Ternyata Berhasil (dan Skalanya Masif)
Selama bertahun-tahun, banyak pihak skeptis terhadap upaya global melawan penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional.
Namun, laporan OECD menunjukkan bahwa Proyek BEPS (Base Erosion and Profit Shifting)โsebuah inisiatif untuk mencegah perusahaan mengalihkan keuntungan ke negara berpajak rendahโtelah mencapai keberhasilan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Data dari laporan tersebut menunjukkan tingkat kerja sama yang luar biasa:
Pertukaran Informasi Aturan Pajak (Tax Rulings): Hingga Desember 2024, lebih dari 58.000 pertukaran informasi mengenai tax rulings telah terjadi. Angka ini sangat signifikan, mengingat sebelumnya pertukaran semacam ini hampir tidak ada sama sekali.
Pembaruan Perjanjian Pajak: Sebuah instrumen multilateral (BEPS MLI) telah secara efektif memodifikasi lebih dari 1.500 perjanjian pajak bilateral untuk menutup celah-celah yang sering disalahgunakan.
Transparansi Perusahaan Multinasional: Lebih dari 120 negara anggota Inclusive Framework telah memberlakukan legislasi yang mewajibkan perusahaan besar untuk menyampaikan pelaporan per negara (Country-by-Country Reporting), memberikan otoritas pajak gambaran yang lebih jelas tentang operasi global mereka.
Pajak Minimum Global Menjadi Kenyataan
Salah satu pilar utama reformasi pajak global adalah penerapan Pajak Minimum Global, yang bertujuan memastikan perusahaan multinasional besar membayar tarif pajak minimum di setiap negara tempat mereka beroperasi.
Laporan ini mengonfirmasi bahwa inisiatif ini bergerak dengan kecepatan tinggi, dengan lebih dari 65 yurisdiksi telah menerapkan atau mengambil langkah konkret untuk mengimplementasikan aturan tersebut.
Namun, aspek yang paling mengejutkan datang dari Amerika Serikat. Ironisnya, AS, yang aturan pajak minimum domestiknya (GILTI) menjadi pendorong awal bagi ide pajak minimum global OECD, kini menyuarakan kekhawatiran.
Masalahnya adalah potensi “pajak dan kewajiban kepatuhan yang tidak perlu dan duplikatif” bagi perusahaannya yang harus mematuhi sistem domestik dan global secara bersamaan.
Laporan tersebut menyoroti bahwa diskusi teknis sedang berlangsung untuk menemukan solusi, seperti usulan “side-by-side arrangement” dari G7, yang menunjukkan bahwa implementasi reformasi sebesar ini di dunia nyata penuh dengan negosiasi rumit, bahkan di antara para penggagasnya.
Setelah Aset Kripto, Kini Gilirannya Properti Jadi Target Transparansi Pajak Berikutnya
Upaya transparansi pajak global terus bergerak maju. Setelah berhasil membangun sistem pertukaran informasi otomatis untuk rekening bank (melalui Common Reporting Standard) dan yang terbaru untuk aset kripto, OECD kini mengalihkan fokusnya ke sektor lain yang sering digunakan untuk menyembunyikan kekayaan: properti (real estate).
Laporan tersebut mengumumkan terobosan baru: pengenalan kerangka kerja internasional untuk pertukaran informasi otomatis yang diwujudkan dalam Multilateral Competent Authority Agreement on the Exchange of Readily Available Information on Immovable Property (IPI MCAA).
Kerangka kerja ini dirancang agar fleksibel dan dapat diakses oleh banyak negara.
Kerangka kerja ini menggunakan pendekatan modular: modul pertama berfokus pada kepemilikan dan akuisisi, sementara modul kedua meningkatkan transparansi atas pendapatan dari properti.
Langkah ini sangat penting karena bertujuan menutup salah satu celah terbesar yang tersisa dalam sistem pajak global. Yang lebih mengejutkan adalah desainnya yang praktis: karena pertukaran di bawah IPI MCAA bergantung pada informasi yang sudah tersedia bagi otoritas pajak, kerangka kerja ini tidak memerlukan pengenalan kewajiban pelaporan domestik yang baru.
Ini membuatnya lebih mudah dan hemat biaya untuk diadopsi secara luas.
Era Kerja Jarak Jauh (Remote Work) Memaksa Dunia Merombak Aturan Pajak
Fenomena bekerja dari mana saja atau lintas negara bukan lagi hal baru, terutama setelah pandemi.
Namun, aturan pajak yang mengaturnya sebagian besar masih berasal dari abad ke-20 dan tidak dirancang untuk dunia kerja yang fleksibel saat ini.
Laporan OECD mengonfirmasi bahwa para pembuat kebijakan global akhirnya mulai menangani masalah ini secara serius.
Inclusive Framework telah memulai pekerjaan baru yang berfokus pada “mobilitas global individu.”
Tujuannya, menurut laporan tersebut, adalah untuk “memastikan bahwa aturan pajak tidak menjadi penghalang bagi peluang yang dihadirkan oleh perubahan ini sambil juga menilai kemungkinan risiko terhadap basis pajak negara-negara.
Ini adalah pengakuan di tingkat global bahwa cara kita bekerja telah berubah secara fundamental, dan sistem pajak internasional harus segera beradaptasi dengan menangani isu-isu teknis yang kompleks seperti aplikasi perjanjian pajak dan pedoman transfer pricing untuk memberikan kepastian bagi pekerja dan negara.
Negara Berkembang Bukan Lagi Sekadar Penerima Aturan, Tapi Pemain Aktif
Ada asumsi umum bahwa inisiatif pajak global sebagian besar dirancang oleh dan untuk negara-negara kaya.
Namun, laporan OECD terbaru dengan tegas menyanggah narasi ini. Bukti nyatanya sangat kuat: sejak 2009, langkah-langkah transparansi pajak telah membantu negara-negara Afrika mengidentifikasi setidaknya EUR 4,2 miliar pendapatan tambahan.
Laporan ini menunjukkan bagaimana negara-negara berkembang kini menjadi pemain aktif dalam membentuk masa depan perpajakan global.
Beberapa contoh konkret dari laporan tersebut meliputi:
Program Tax Inspectors Without Borders (TIWB): Inisiatif “TIWB 2.0” diperkenalkan sebagai visi baru yang menempatkan “negara-negara berkembang memainkan peran sentral dalam membentuk dan berbagi keahlian,” mengubah dinamika dari sekadar penerima bantuan menjadi mitra setara.
Sektor Pertambangan: Adanya program BEPS in Mining yang secara spesifik membantu negara-negara berkembang mengatasi tantangan penghindaran pajak yang kompleks di sektor ekstraktif, yang merupakan sumber pendapatan vital bagi banyak dari mereka.
Akses Data: Laporan ini menyoroti bahwa “30 negara berkembang sekarang memiliki pelaporan CbC yang berfungsi penuh,” termasuk 19 negara di luar OECD dan G20. Ini memberikan mereka akses ke data penting untuk melakukan audit pajak terhadap perusahaan multinasional yang beroperasi di wilayah mereka.
Pemberdayaan ini adalah kunci untuk menciptakan sistem pajak global yang tidak hanya efektif, tetapi juga benar-benar inklusif dan adil bagi semua negara.
Apa Langkah Selanjutnya dalam Dunia Perpajakan Global?
Laporan OECD ini melukiskan gambaran dunia yang bergerak menuju sistem pajak yang lebih terkoordinasi, transparan, dan adaptif.
Tren utamanya jelas: peningkatan kerja sama global untuk melawan penghindaran pajak, adaptasi cepat terhadap digitalisasi dan mobilitas kerja, serta upaya tulus untuk menciptakan inklusivitas yang lebih besar bagi negara-negara berkembang.
Perubahan ini tidak lagi bersifat teoretis; mereka sedang terjadi sekarang dan akan memengaruhi cara bisnis beroperasi dan pemerintah memungut pendapatan.
Insentif fiskal merupakan salah satu instrumen penting yang digunakan pemerintah untuk mendukung sektor bisnis, meningkatkan kemudahan berusaha, serta memperkuat daya saing Indonesia secara global.
Pemerintah menyediakan berbagai menu insentif di bidang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Masuk, dan lainnya.
Salah satu fasilitas PPh yang paling sering diberikan untuk menarik investasi adalah Tax Holiday.
Fasilitas Tax Holiday ini secara spesifik diatur untuk Industri Pionir melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130/PMK.010/2020, yang kemudian diubah dengan PMK Nomor 69 Tahun 2024.
Pengaturan ini merupakan upaya pemerintah untuk memberikan kepastian hukum dan membantu pengembangan usaha pada industri pionir.
Mengenal Industri Pionir dan Kriteria Kualifikasi
Tax Holiday ditujukan bagi Wajib Pajak (WP) badan yang melakukan penanaman modal baru pada Industri Pionir.
Industri Pionir didefinisikan sebagai industri yang memenuhi kriteria berikut: memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Industri yang termasuk dalam cakupan ini sangat beragam dan mencakup sektor-sektor strategis, di antaranya:
Industri logam dasar hulu (besi baja atau bukan besi baja).
Industri pemurnian atau pengilangan minyak dan gas bumi.
Industri kimia dasar organik (bersumber dari minyak bumi, gas alam, batubara, atau hasil pertanian/perkebunan/kehutanan).
Industri bahan baku utama farmasi.
Infrastruktur ekonomi.
Ekonomi digital (mencakup aktivitas pengolahan data, hosting, dan kegiatan terkait).
Industri pembuatan komponen utama (seperti peralatan elektronika/telematika, mesin pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor, kapal, atau kereta api).
Besar dan Jangka Waktu Pengurangan PPh Badan
Fasilitas Tax Holiday diberikan dalam bentuk pengurangan Pajak Penghasilan badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Kegiatan Usaha Utama.
Nilai penanaman modal baru paling sedikit harus sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Besaran dan jangka waktu pengurangan PPh Badan dibagi berdasarkan nilai investasi:
Pengurangan PPh Badan Sebesar 100% (Seratus Persen)
Diberikan untuk penanaman modal baru dengan nilai paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
Jangka waktu pengurangan bervariasi dari 5 hingga 20 tahun pajak, bergantung pada besaran investasi:
Rp500 M hingga < Rp1 T: 5 tahun pajak.
Rp1 T hingga < Rp5 T: 7 tahun pajak.
Rp5 T hingga < Rp15 T: 10 tahun pajak.
Rp30 T atau lebih: 20 tahun pajak.
Pengurangan PPh Badan Sebesar 50% (Lima Puluh Persen)
Diberikan untuk penanaman modal baru dengan nilai paling sedikit Rp100.000.000.000,00 dan paling banyak kurang dari Rp500.000.000.000,00.
Jangka waktu pemberian adalah 5 (lima) tahun pajak.
Setelah jangka waktu utama tersebut berakhir, WP masih diberikan pengurangan PPh badan tambahan selama 2 (dua) tahun pajak berikutnya.
Besaran pengurangan transisi ini adalah 50% dari PPh terutang untuk WP yang mendapatkan fasilitas 100% sebelumnya, atau 25% dari PPh terutang untuk WP yang mendapatkan fasilitas 50% sebelumnya.
Syarat Pengajuan dan Prosedur
Untuk memperoleh fasilitas ini, WP badan harus memenuhi beberapa kriteria:
Merupakan Industri Pionir.
Berstatus sebagai badan hukum Indonesia.
Melakukan penanaman modal baru yang belum pernah menerima fasilitas PPh terkait lainnya (seperti Tax Allowance atau fasilitas di KEK/IKN).
Mempunyai nilai rencana penanaman modal baru paling sedikit Rp100.000.000.000,00.
Memenuhi ketentuan besaran perbandingan antara utang dan modal (DER).
Berkomitmen untuk mulai merealisasikan rencana penanaman modal paling lambat 1 (satu) tahun setelah diterbitkannya keputusan pengurangan PPh badan.
Dalam hal sahamnya dimiliki secara langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri (WPDN) lainnya, WPDN tersebut harus memiliki surat keterangan fiskal (SKF) secara otomasi.
Pengajuan permohonan harus dilakukan secara daring melalui sistem Online Single Submission (OSS) dan harus disampaikan sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial (SMBK).
Jalur Non-Industri Pionir
Sebuah miskonsepsi umum adalah bahwa tax holiday hanya berlaku bagi 18 sektor yang secara eksplisit terdaftar sebagai Industri Pionir, seperti industri logam dasar, ekonomi digital, atau industri kimia dasar.
Namun, peraturan menyediakan sebuah “jalur alternatif” yang sering terlewatkan.
Pasal 5 PMK 130/2020 membuka kemungkinan bagi perusahaan yang bidang usahanya tidak tercantum dalam daftar resmi untuk tetap mengajukan permohonan fasilitas tax holiday.
Syarat utamanya adalah perusahaan tersebut harus melakukan penilaian mandiri (self-assessment) dan terbukti memenuhi “Kriteria Kuantitatif Industri Pionir” dengan skor minimum 80.
Beberapa faktor yang dinilai dalam skoring tersebut antara lain:
Penyerapan tenaga kerja.
Penggunaan bahan baku lokal.
Lokasi investasi (proyek di luar Pulau Jawa mendapat skor lebih tinggi).
Pengenalan teknologi baru dan ramah lingkungan.
Kriteria kuantitatif ini dihitung berdasarkan empat pilar utama:
Memiliki Keterkaitan Luas: Misalnya, mengisi pohon industri, menggunakan bahan baku utama yang diproduksi di dalam negeri (minimal 70% untuk skor tertinggi), dan hasil produksi dipergunakan di dalam negeri (minimal 70% untuk skor tertinggi).
Memiliki Nilai Tambah atau Eksternalitas Tinggi: Diukur dari jumlah pekerja Indonesia yang dipekerjakan (paling sedikit 300 pekerja untuk skor tertinggi) dan lokasi investasi (lokasi di luar Pulau Jawa mendapat skor 100).
Memperkenalkan Teknologi Baru: Diukur dari penggunaan teknologi ramah lingkungan dan teknologi baru pada alat produksi utama dan pendukung.
Prioritas dalam Skala Industri Nasional.
Aturan Pajak Minimum Global Mengintai
Poin ini mungkin merupakan perubahan paling strategis dan berwawasan ke depan dari amandemen tahun 2024.
PMK 69/2024 menambahkan satu pasal baru yang sangat penting, yaitu Pasal 15A.
Secara sederhana, pasal ini menyatakan bahwa meskipun sebuah perusahaan mendapatkan fasilitas tax holiday 100%, ia mungkin tetap akan dikenai “Pajak Tambahan Minimum Domestik” (Domestic Minimum Top-up Tax).
Ketentuan ini berlaku secara spesifik untuk perusahaan yang merupakan bagian dari grup usaha multinasional yang masuk dalam cakupan aturan pajak minimum global (dikenal sebagai OECD Pillar Two).
Ini merupakan klausul penting (a critical caveat) yang mengubah kalkulasi bagi setiap korporasi multinasional.
Artinya, tarif pajak efektif mungkin tidak akan menjadi nol persen. Ini mengharuskan perusahaan multinasional melakukan analisis keuangan dua jalur: pertama, menghitung manfaat tax holiday murni berdasarkan hukum domestik, dan kedua, melapisi potensi kewajiban Pajak Tambahan Minimum di tingkat grup konsolidasi.
Kegagalan dalam memodelkan dampak ini dapat menyebabkan kesalahan signifikan dalam peramalan laba bersih dan arus kas.
Laporan ini menyajikan analisis komparatif antara dua target fiskal utama yang mewarnai kebijakan ekonomi Indonesia pasca-2024: target ambisius rasio pajak (atau rasio penerimaan negara) sebesar 23% yang diusung oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran, dengan target yang lebih terukur dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Tahun 2025โ2029, yaitu di kisaran 11,52% hingga 15,00% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Renstra Kemenkeu berfokus pada reformasi struktural, digitalisasi, dan penguatan administrasi, sementara target 23% dianggap tidak realistis oleh banyak pengamat tanpa disertai pemulihan kepercayaan publik yang masif dan kebijakan yang dapat membalikkan tren penurunan penerimaan pajak yang terjadi belakangan.
1. Pendahuluan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025โ2029 adalah tahap awal penting menuju Visi Indonesia Emas 2045. Renstra Kemenkeu 2025โ2029 disusun sebagai panduan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional, dengan tujuan sentral mencapai pendapatan negara yang maksimal, berkeadilan, dan mendukung perekonomian nasional.
Namun, perencanaan fiskal ini berhadapan dengan janji politik yang sangat ambisius dari pemerintahan baru Prabowo-Gibran, yaitu mendongkrak rasio perpajakan (atau rasio penerimaan negara) ke angka 23%. Perbandingan antara target resmi Kemenkeu dan ambisi politik ini krusial untuk memahami arah kebijakan fiskal jangka menengah negara.
Renstra Kemenkeu menetapkan sasaran strategis yaitu pendapatan negara dari sektor pajak, kepabeanan, cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang maksimal. Indikator kinerja utama terkait perpajakan adalah Rasio Penerimaan Perpajakan terhadap PDB, dengan target sebagai berikut:
Tahun
Target Rasio Penerimaan Perpajakan terhadap PDB
2025
10,24% (baseline)
2029
11,52% โ 15,00%
Target ini merupakan bagian dari upaya kebijakan fiskal yang diarahkan untuk mengakselerasi reformasi struktural dan meningkatkan pendapatan negara secara terukur (collecting more).
Target Rasio 23% (Kampanye Prabowo-Gibran)
Target 23% merupakan salah satu target fiskal paling ambisius dalam sejarah ekonomi Indonesia. Angka ini menuai skeptisisme karena mencapai target tersebut berarti menggandakan tingkat rasio perpajakan Indonesia saat ini.
Secara historis, rasio pajak Indonesia berada di kisaran 9%โ10% (pajak pusat) atau 10%โ11% (pajak pusat dan SDA).
Data tren rasio pajak sejak 2018 berkisar antara 8,33% hingga 10,39%. Bahkan pada tahun 2024, rasio pajak Indonesia tercatat menurun menjadi 10,08% dari 10,31% pada tahun 2023.
Perbedaan Definisi (Ruang Lingkup): Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo, menjelaskan bahwa target 23% tersebut merujuk pada rasio penerimaan negara terhadap PDB, yang tidak hanya mencakup pajak, tetapi juga cukai, PNBP, dan penerimaan lainnya seperti hibah.
Namun, meskipun ruang lingkupnya diperluas (rasio pendapatan negara), target Renstra Kemenkeu untuk Rasio Pendapatan Negara terhadap PDB pada tahun 2029 hanya berkisar 12,86% โ 18,00%.
Artinya, target 23% jauh melampaui bahkan target maksimal pendapatan negara dalam rencana resmi Kemenkeu.
Transformasi Kemenkeu vs. Terobosan Politik
Strategi yang digunakan untuk mencapai target ini menunjukkan perbedaan fundamental dalam pendekatannya: Kemenkeu memilih jalur reformasi terstruktur, sementara target 23% memerlukan terobosan kelembagaan dan perluasan basis yang drastis.
Strategi Kemenkeu (Renstra 2025โ2029)
Kemenkeu berfokus pada optimalisasi pendapatan negara (collecting more) melalui reformasi komprehensif:
Digitalisasi dan Integrasi Sistem: Strategi ini mencakup pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (Core Tax Administration SystemโCore Tax System), dan penguatan implementasi digitalisasi layanan penerimaan negara, termasuk integrasi basis data antarunit Kemenkeu dan antar-kementerian/lembaga melalui konsep Single Profile Wajib Bayar/Wajib Pajak/Pengguna Jasa.
Peningkatan Pengawasan: Optimalisasi pengawasan dilakukan dengan memanfaatkan Big Data/Advanced Analytics dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) secara menyeluruh, yang dikenal sebagai Intelligence-Led Compliance. Ini juga didukung oleh penguatan sarana forensik digital dan peningkatan kepatuhan pajak high wealth individuals dan grup usahanya.
Ekstensifikasi Basis Penerimaan: Kemenkeu terus menggali potensi sumber penerimaan baru, termasuk pajak karbon, pajak ekonomi digital, objek cukai baru (seperti produk minuman berpemanis, produk plastik, dan pangan olahan bernatrium), serta PNBP.
Dukungan Regulasi: Di bidang perpajakan, Renstra mencantumkan urgensi penyelesaian RUU tentang Penilai untuk memberikan opini nilai ekonomi yang dapat membantu menentukan potensi fiskal Sumber Daya Alam (SDA) dan membentuk Neraca SDA.
Strategi Target 23%
Strategi yang diusulkan untuk mencapai 23% berpusat pada dua pilar utama:
Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN): Janji ini bertujuan untuk mendirikan badan di bawah Presiden yang bertanggung jawab meningkatkan rasio penerimaan hingga 23%.
Perluasan Basis Pajak: Strategi utamanya adalah “memperluas kebun binatang” (memperbanyak dunia usaha), yang memerlukan penggalian potensi penerimaan baru yang selama ini tidak tergali, termasuk penegakan hukum atas kasus pajak yang sudah inkracht. Fokus juga diberikan pada sektor dengan potensi besar namun under-taxed, seperti ekonomi digital, tambang, dan properti mewah.
Tantangan dan Realisme Fiskal
Perbandingan kedua target ini menunjukkan perbedaan besar dalam hal realisme:
Aspek
Renstra Kemenkeu (11,52%โ15,00%)
Target 23%
Rendah vs. Realistis
Target moderat, selaras dengan estimasi optimal tax ratio ADB (18%) dan RPJPN (18%โ20%).
Dianggap tidak masuk akal dan mustahil dicapai dalam 5 tahun oleh pengamat dan cawapres lain.
Isu Kepercayaan Publik
Meskipun Renstra tidak secara eksplisit membahas krisis kepercayaan, Kemenkeu berupaya meningkatkan efisiensi dan integritas layanan publik (misalnya, melalui penguatan sistem pengendalian internal terintegrasi dan audit berbasis teknologi).
Menghadapi tantangan fundamental krisis kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan negara (skandal KKN dan pelanggaran etik) yang menghambat kepatuhan sukarela.
Realisasi Awal
Dalam kondisi awal 2025, realisasi rasio pajak berada di posisi 8,42% pada paruh pertama 2025, jauh dari target akhir 2025 (10,24%). Kemenkeu memperkirakan shortfall pajak hingga Rp112,4 triliun pada akhir 2025.
Kinerja fiskal yang melambat ini membuat target 23% terlihat semakin tidak realistis, kecuali terjadi lompatan kebijakan yang nyata.
Basis Pajak
Reformasi administrasi diarahkan untuk mengintegrasikan data dan meningkatkan kepatuhan.
Menghadapi fakta bahwa sebagian besar angkatan kerja (sekitar 91,16%) berpendapatan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), membuat perluasan basis sulit dilakukan secara signifikan melalui ekstensifikasi tradisional.
Risiko Kebijakan
Pendekatan terukur didukung oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang optimistis rasio pajak akan naik perlahan (target 11% di 2026) melalui efisiensi dan hidupnya sektor riil.
Memaksakan target yang tidak realistis dikhawatirkan dapat mengganggu dunia usaha dan memaksa pemerintah mencari jalan pintas melalui pengurangan subsidi atau utang, yang berisiko bagi disiplin fiskal. Mantan Menkeu Sri Mulyani dilaporkan keberatan menyusun peta jalan untuk target 23% ini.
Evaluasi Kinerja 2020-2024
Selama periode 2020-2024, Kemenkeu telah mengimplementasikan berbagai kebijakan yang memberikan dampak signifikan bagi perekonomian dan dunia usaha, antara lain:
Pemberian Insentif Fiskal: Pemerintah aktif mendorong investasi dan kegiatan ekspor melalui berbagai fasilitas. Insentif diberikan untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui PMK No. 33/PMK.010/2021 dan untuk mendorong ekspor bagi Industri Kecil Menengah (IKM) melalui PMK No. 149/PMK.04/2022.
Fasilitasi Perdagangan Internasional: Upaya peningkatan ekspor diwujudkan melalui program Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE). Kebijakan ini berhasil meningkatkan partisipasi dunia usaha, yang tercermin dari jumlah perusahaan penerima fasilitas pada akhir periode 2024, yaitu sebanyak 190 perusahaan KITE pembebasan, 105 perusahaan KITE pengembalian, dan 126 perusahaan KITE IKM.
Reformasi Regulasi Perpajakan: Penerbitan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menjadi tonggak penting dalam upaya menyederhanakan regulasi, dengan memperkenalkan perubahan signifikan seperti tarif PPN baru, program pengungkapan sukarela, dan penyesuaian skema PPh Orang Pribadi.
Digitalisasi dan Otomasi Layanan: Inovasi digital seperti CEISA (Sistem Informasi Kepabeanan dan Cukai) Barang Kiriman menunjukkan komitmen untuk modernisasi layanan, yang terbukti berhasil meraih predikat Top Inovasi Kelompok Keberlanjutan dalam Pemantauan Keberlanjutan dan Replikasi Inovasi Pelayanan Publik (PKRI) 2024.
Meskipun terdapat sejumlah pencapaian, evaluasi juga mengidentifikasi beberapa permasalahan dan kelemahan fundamental yang perlu menjadi fokus perbaikan:
Rendahnya Rasio Pajak: Tantangan utama yang konsisten adalah tax ratio yang belum optimal. Hal ini membatasi kapasitas pemerintah dalam membiayai program pembangunan dan meningkatkan ketergantungan pada utang.
Tingkat Kepatuhan yang Rendah: Masih rendahnya kepatuhan Wajib Pajak dan Pengguna Jasa menjadi masalah krusial. Kondisi ini diperparah dengan adanya risiko penghindaran dan penggelapan pajak yang masih menjadi ancaman bagi penerimaan negara.
Pengawasan yang Belum Optimal: Terdapat risiko signifikan terkait peredaran Barang Kena Cukai (BKC) ilegal dan penyalahgunaan fasilitas kepabeanan yang diberikan. Kapasitas pengawasan, baik dari sisi SDM maupun sarana prasarana, masih perlu ditingkatkan.
Kompleksitas Birokrasi dan Layanan: Diidentifikasi adanya beban administrasi yang tinggi dan otomasi layanan yang belum terintegrasi secara penuh (one-stop service). Hal ini menjadi kelemahan internal yang berdampak pada efisiensi layanan kepada publik.
Visi dan Tujuan Strategis Kemenkeu 2025-2029
Berlandaskan evaluasi kinerja dan tantangan masa depan, Kemenkeu menetapkan visi untuk periode 2025-2029: “Menjadi penggerak transformasi ekonomi nasional melalui pengelolaan keuangan negara serta sektor keuangan yang proaktif, adaptif, dan tepercaya dalam rangka mewujudkan Bersama Indonesia Maju menuju Indonesia Emas 2045”.
Visi ini dijabarkan ke dalam lima tujuan strategis yang komprehensif, mencakup seluruh aspek pengelolaan keuangan negara.
Kelima tujuan strategis Kemenkeu tersebut adalah:
Kebijakan fiskal, sektor keuangan dan ekonomi yang proaktif, adaptif dan mampu menggerakkan transformasi ekonomi.
Pendapatan negara yang maksimal, berkeadilan dan mendukung perekonomian nasional.
Pengeluaran negara yang berkualitas dan memberikan dampak bagi kesejahteraan rakyat.
Perbendaharaan, kekayaan negara, serta pembiayaan dan risiko yang akuntabel, inovatif, dan mendorong tata kelola pembangunan yang baik.
Pengelolaan sumber daya organisasi dan teknologi informasi dalam kerangka budaya Kemenkeu Satu yang mendorong akselerasi transformasi birokrasi nasional.
Bagi Wajib Pajak dan pelaku usaha, Tujuan 2 dan Tujuan 5 memiliki relevansi paling langsung.
Tujuan 2 secara langsung memengaruhi kewajiban perpajakan dan kepabeanan, karena menjadi landasan bagi kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan.
Sementara itu, Tujuan 5 akan menentukan kualitas, kecepatan, dan efisiensi layanan yang diterima oleh pengguna jasa, seiring dengan komitmen Kemenkeu untuk melakukan transformasi birokrasi dan digitalisasi.
Untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan tersebut, Kemenkeu telah menetapkan Sasaran Strategis beserta Indikator Kinerja Utama (IKU) yang relevan.
Sasaran Strategis Utama
Indikator Kinerja Utama (Target 2029)
Pendapatan negara dari sektor pajak, kepabeanan dan cukai, serta PNBP yang maksimal
Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB: 15%, dan rasio PNBP terhadap PDB: 2,99%
Birokrasi terintegrasi yang melayani, transformatif, efisien, dan berintegritas
Indeks Kepuasan Pengguna Layanan: 4,24 (skala 5)
Untuk mewujudkan visi penerimaan negara yang maksimal ini, Kemenkeu tidak hanya menetapkan target, tetapi juga telah memetakan tiga pilar strategi utama di bidang perpajakan yang akan menjadi ujung tombak reformasi.
Kebijakan dan Strategi Perpajakan 2025-2029
Untuk mencapai target penerimaan negara yang ambisius, Kemenkeu telah merumuskan serangkaian kebijakan dan strategi yang berfokus pada tiga pilar utama: transformasi administrasi, perluasan basis pajak, dan penguatan pengawasan berbasis data dan teknologi.
Transformasi Regulasi dan Proses Bisnis
Strategi ini berfokus pada penyempurnaan kerangka regulasi dan tata kelola untuk menciptakan sistem yang lebih sederhana, efisien, dan berkepastian hukum. Langkah-langkah utamanya meliputi:
Penyederhanaan Administrasi: Mengurangi beban administrasi bagi Wajib Pajak melalui simplifikasi peraturan dan prosedur.
Perbaikan Proses Sengketa: Memperbaiki proses bisnis keberatan dan banding perpajakan untuk memberikan penyelesaian yang lebih cepat dan adil.
Digitalisasi Terintegrasi: Memperkuat interoperabilitas layanan penerimaan negara antar unit eselon I dan dengan instansi lain (ILAP) untuk menciptakan ekosistem layanan yang terpadu.
Intensifikasi dan Ekstensifikasi Penerimaan
Pilar ini bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan dari sumber yang ada (intensifikasi) sekaligus menggali potensi dari sumber-sumber baru (ekstensifikasi).
Bagi Wajib Pajak, strategi ini memiliki dua mata pisau. Intensifikasi berarti otoritas akan melakukan pengawasan lebih dalam terhadap Wajib Pajak yang sudah terdaftar, menganalisis data pelaporan untuk menemukan anomali, dan menggali potensi dari sektor-sektor yang sudah ada.
Sebaliknya, ekstensifikasi berarti Kemenkeu akan memperluas jangkauannya untuk menjaring Wajib Pajak baru atau menetapkan objek pajak dan cukai baru yang sebelumnya tidak dikenakan.
Rencana utamanya mencakup:
Optimalisasi Pemanfaatan Data: Menggali potensi penerimaan dengan memanfaatkan data intelijen, data pihak ketiga, dan data dari instansi lain secara lebih masif dan sistematis.
Ekstensifikasi Barang Kena Cukai (BKC): Melakukan kajian mendalam untuk memperluas objek cukai pada barang-barang seperti diapers, alat makan dan minum sekali pakai, serta tisu basah.
Perluasan Basis Pajak: Sebagai respons terhadap tantangan perubahan iklim global dan pesatnya ekonomi digital, Kemenkeu akan mengimplementasikan dan mengoptimalkan kebijakan baru seperti pajak karbon dan pajak atas kegiatan ekonomi digital.
Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum
Untuk memastikan kepatuhan dan menekan risiko kebocoran, Kemenkeu akan memperkuat fungsi pengawasan dan penegakan hukum secara signifikan. Strategi ini akan berfokus pada:
Pemanfaatan Teknologi Canggih: Mengimplementasikan Big Data/Advanced Analytics dan kecerdasan buatan (Intelligence-Led Compliance) untuk melakukan pengawasan berbasis risiko yang lebih akurat dan proaktif.
Peningkatan Kapasitas Pengawasan: Memperkuat sarana dan prasarana untuk kegiatan audit/pemeriksaan serta pengawasan di lapangan.
Optimalisasi Penagihan Piutang Pajak: Meningkatkan efektivitas penagihan piutang negara, salah satunya melalui implementasi sistem pemblokiran secara otomatis (Automatic Blocking) terhadap Wajib Pajak yang memiliki tunggakan. Implikasinya, Wajib Pajak tidak bisa lagi menunda penyelesaian tunggakan pajak tanpa konsekuensi langsung terhadap operasional perbankan mereka. Ini menuntut disiplin arus kas yang lebih ketat.
Kebijakan dan Strategi Kepabeanan dan Cukai 2025-2029
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memegang peran ganda yang krusial: sebagai fasilitator perdagangan (trade facilitator) untuk mendukung daya saing industri nasional dan sebagai pelindung perbatasan (border protection) untuk menjaga keamanan negara dan mengamankan penerimaan.
Strategi 2025-2029 dirancang untuk menyeimbangkan kedua peran ini secara simultan: modernisasi pengawasan (border protection) akan digunakan untuk menekan penyelundupan yang merusak iklim usaha, sementara simplifikasi proses bagi pelaku usaha patuh (trade facilitation) akan menjadi imbalan atas kepatuhan yang tinggi.
Fasilitasi Perdagangan dan Peningkatan Daya Saing
DJBC akan terus memperkuat perannya dalam mendukung industri dan kelancaran arus logistik. Upaya ini mencakup:
Pemberian insentif fiskal dan prosedural untuk mendorong ekspor UMKM.
Simplifikasi dan percepatan proses ekspor-impor melalui perbaikan tata kelola logistik yang lebih efisien.
Optimalisasi layanan berbasis risiko untuk mempercepat arus barang bagi perusahaan dengan tingkat kepatuhan tinggi.
Optimalisasi Penerimaan dan Pengawasan Cukai
Strategi di bidang cukai berfokus pada dua aspek utama: optimalisasi penerimaan dan penekanan peredaran barang ilegal.
Optimalisasi Penerimaan: Mengamankan penerimaan dari BKC yang sudah ada, seperti hasil tembakau, sambil terus mengkaji potensi perluasan objek cukai baru yang relevan dengan tujuan pengendalian konsumsi.
Pengawasan Ketat: Meningkatkan efektivitas pengawasan untuk menekan peredaran BKC ilegal yang merugikan negara dan menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat.
Modernisasi Pengawasan dan Keamanan Perbatasan
Untuk menjawab tantangan pengawasan yang semakin kompleks, DJBC akan melakukan modernisasi sarana dan prasarana secara signifikan, terutama di sektor pengawasan laut. Rencana ini meliputi:
Modernisasi persenjataan untuk unit patroli.
Pengadaan kapal patroli modern seperti interceptor boat untuk meningkatkan jangkauan dan kecepatan respons.
Pemanfaatan teknologi canggih seperti Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) untuk meningkatkan efektivitas pengawasan maritim.
Rangkaian kebijakan dan strategi yang komprehensif ini, baik di bidang perpajakan maupun kepabeanan dan cukai, akan membawa sejumlah implikasi langsung yang perlu dipahami dan diantisipasi oleh Wajib Pajak dan para pelaku usaha.
Implikasi Langsung bagi Wajib Pajak dan Pelaku Usaha
Rencana strategis Kemenkeu 2025-2029 bukan sekadar dokumen internal pemerintah, melainkan sebuah peta jalan yang akan membentuk lanskap kewajiban dan interaksi Wajib Pajak dengan otoritas fiskal.
Pelaku usaha perlu memahami implikasi praktis dari rencana ini, yang mencakup tantangan baru sekaligus peluang yang dapat dimanfaatkan.
Potensi Peningkatan Beban Kepatuhan dan Pemeriksaan. Strategi intensifikasi, ekstensifikasi, dan penguatan pengawasan yang berbasis pemanfaatan data pihak ketiga dan advanced analytics secara langsung akan meningkatkan kemungkinan Wajib Pajak untuk diperiksa. Otoritas akan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mendeteksi anomali dan ketidakpatuhan. Oleh karena itu, pelaku usaha harus segera melakukan evaluasi internal (tax health check) untuk memitigasi risiko temuan pemeriksaan di masa depan.
Peluang dari Insentif Fiskal dan Kemudahan Berusaha. Di sisi lain, rencana ini juga membuka peluang. Komitmen untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi akan terus berlanjut. Pelaku usaha, khususnya di sektor ekspor dan UMKM, disarankan untuk proaktif mengkaji kelayakan mereka untuk mendapatkan fasilitas KITE atau insentif KEK sebagai strategi untuk meningkatkan daya saing. Simplifikasi proses bisnis di kepabeanan juga dapat mengurangi biaya logistik dan mempercepat arus barang.
Peningkatan Kualitas dan Efisiensi Layanan. Komitmen kuat pada transformasi birokrasi dan digitalisasi layanan menjadi angin segar bagi Wajib Pajak. Upaya menuju interoperabilitas sistem, layanan berbasis digital, dan penyederhanaan prosedur akan menghasilkan interaksi yang lebih cepat, efisien, dan transparan. Visi layanan yang terintegrasi (one-stop service) diharapkan dapat mengurangi beban administrasi dan waktu yang dihabiskan Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya.
Kesimpulan: Menuju Rasio Penerimaan Perpajakan yang Lebih Tinggi
Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025-2029 merupakan sebuah langkah terintegrasi dan ambisius untuk menjawab tantangan fundamental perekonomian Indonesia.
Keberhasilan implementasi rencana ini menjadi kunci untuk mengatasi masalah struktural “rendahnya tax ratio” yang selama ini menjadi kendala.
Melalui berbagai inisiatif tersebut, Kemenkeu menargetkan Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB dapat mencapai rentang 10,24% hingga 15% pada tahun 2029.
Target rasio pajak sampai dengan 2029 sebagai berikut: tahun 10,24% (tahun 2025), 11,34% (tahun 2026), 12,41% (tahun 2027), 13,67% (tahun 2028), dan 15% (tahun 2029).
Rasio pajak 15% seharusnya terlalu mudah dibandingkan dengan target pemerintahan Prabowo Gibran yaitu 23%.
Dengan pertumbuhan ekonomi 8% yang ditugaskan kepada Menteri Keuangan Purbaya, menurut saya target rasio pajak 15% akan tercapai sebelum 2029.
Ini adalah restrukturisasi fundamental tata kelola keuangan di Indonesia.
Bagi banyak perusahaan, penyusunan laporan keuangan sering kali dianggap sebagai tugas internal yang rutin, sebuah kewajiban akuntansi untuk menutup buku di akhir periode.
Namun, persepsi ini akan segera berubah secara fundamental. Sebuah peraturan pemerintah baru, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2025, telah mengubah pelaporan keuangan dari sekadar fungsi teknis menjadi aktivitas yang diatur secara hukum dengan implikasi yang jauh lebih luas dari yang disadari banyak orang.
PP Nomor 43 Tahun 2025 lebih dari sekadar peraturan; ini adalah restrukturisasi fundamental tata kelola keuangan di Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2025, menyusun laporan keuangan bukan lagi hanya soal keahlian teknis, melainkan sebuah tanggung jawab profesional yang diamanatkan oleh hukum.
Ini adalah langkah fundamental pemerintah untuk melembagakan akuntabilitas pada tingkat individu.
Menurut Pasal 5, penyusun laporan keuangan wajib memiliki kompetensi dan integritas.
Penjelasan Pasal 5 Ayat (3) PP Nomor 43 Tahun 2025 merinci lebih lanjut bahwa kompetensi tersebut harus dapat dibuktikan secara formal, antara lain :
ijazah pendidikan formal,
sertifikat keahlian/profesional di bidang akuntansi, atau
piagam akuntan ber-register.
Regulasi terkait dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 18 Tahun 2025 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank, serta kebijakan dari Kementerian BUMN, bahkan melangkah lebih jauh dengan secara spesifik mewajibkan sertifikasi Chartered Accountant (CA) untuk peran-peran kunci.
Langkah ini secara efektif mengakhiri era di mana kompetensi akuntansi dapat diasumsikan, dan menggantinya dengan kewajiban pembuktian formal yang diakui oleh negara.
Bukan Hanya untuk Bank Besar
Salah satu aspek paling mengejutkan dari PP 43/2025 adalah cakupannya yang sangat luas.
Akuntabilitas ini tidak terbatas pada beberapa pemain kunci; pendekatan pemerintah menunjukkan niat untuk melembagakan kepercayaan di seluruh ekosistem ekonomi.
Regulasi ini menjangkau hampir seluruh spektrum entitas yang berinteraksi dengan sektor keuangan.
Berikut adalah entitas yang kini tercakup dalam kewajiban pelaporan keuangan berbasis kompetensi ini:
Pelaku Usaha Sektor Keuangan (PUSK): Termasuk bank, perusahaan asuransi, perusahaan pembiayaan, fintech, dan perusahaan pergadaian.
Lembaga Pengelola Dana Publik: Seperti BPJS dan dana pensiun.
Entitas Non-Keuangan: Siapa pun yang berinteraksi dengan sektor keuangan, seperti perusahaan publik (emiten), debitur perbankan atau lembaga pembiayaan, dan pelaku sistem pembayaran.
Pendekatan menyeluruh ini dirancang untuk memperkuat seluruh ekosistem keuangan nasional, memastikan bahwa setiap mata rantai dalam sistem memiliki fondasi pelaporan yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penetapan Standar Beralih ke Komite Independen di Bawah Presiden
Sebagai puncak dari strategi institusionalisasi ini, PP 43/2025 memperkenalkan perubahan struktural paling signifikan: pembentukan sebuah badan baru yang independen, yaitu Komite Standar Laporan Keuangan.
Komite ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden, menandai pergeseran besar dari model sebelumnya.
Meskipun Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang selama ini ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akan tetap berlaku selama masa transisi sesuai amanat Pasal 47 PP 43/2025, penetapan standar akuntansi nasional kini berada di bawah naungan badan yang disahkan oleh negara.
Langkah menuju standard setter yang independen ini bukan sekadar formalitas. Berdasarkan Pasal 11 (3) PP 43/2025, tujuan pembentukan komite ini sangat strategis:
memastikan proses penetapan standar terselenggara secara independen dan akuntabel,
mendukung terciptanya iklim investasi yang kondusif dan menarik, serta
menyelaraskan berbagai kepentingan pemangku kebijakan dengan kepentingan nasional.
Akuntan sebagai Garda Depan Kepercayaan Ekonomi
Di balik semua pasal dan ketentuan teknis, tujuan utama dari PP 43/2025 adalah untuk mengangkat peran profesi akuntan dalam membangun fondasi kepercayaan dan transparansi ekonomi nasional.
Regulasi ini bukan hanya tentang kepatuhan, tetapi tentang pengakuan peran sentral akuntan dalam menjaga integritas sistem keuangan.
Kompetensi akuntansi kini menjadi prasyarat hukum sekaligus moral dalam menjaga integritas sistem keuangan nasional.
Dengan penguatan peran Chartered Accountant, Indonesia menempatkan profesi akuntan sebagai garda depan dalam membangun kepercayaan publik dan transparansi ekonomi.
Saat Anda membeli saham sebuah perusahaan, siapa pemilik saham tersebut? Jawabannya tentu “saya”, bukan? Secara sederhana, saya ada Beneficial Owner.
Namun, bagaimana jika nama Anda sebenarnya tidak tercantum dalam sertifikat saham itu?
Di dunia keuangan dan bisnis modern, konsep kepemilikan jauh lebih kompleks daripada yang terlihat. Nama yang tertera di atas dokumen hukum tidak selalu menceritakan kisah lengkap.
Di sinilah istilah kunci “Beneficial Owner” atau “pemilik manfaat sebenarnya” berperan.
Sebuah konsep yang membongkar siapa yang sesungguhnya memegang kendali dan menikmati keuntungan dari suatu aset.
Anda Bisa Punya Aset Tanpa Memilikinya Secara Hukum
Secara mendasar, kepemilikan terbagi menjadi dua: Legal Owner (pemilik hukum) dan Beneficial Owner (pemilik manfaat sebenarnya).
Pemilik hukum adalah nama yang secara resmi tercatat dalam dokumen legal, seperti sertifikat saham atau akta properti.
Sebaliknya, pemilik manfaat adalah pihak yang benar-benar menikmati keuntungan dari aset tersebutโseperti menerima dividen, keuntungan penjualan, atau hak suaraโmeskipun namanya tidak tercatat secara resmi.
Analogi yang paling umum adalah saat Anda membeli saham melalui pialang (broker).
Saham tersebut sering kali didaftarkan atas nama pialang atau kustodian dalam sebuah praktik yang disebut “street name”.
Secara hukum, pialang adalah legal owner. Namun, Anda, sebagai investor, adalah beneficial owner.
Anda berhak penuh atas dividen yang dibayarkan dan keuntungan apa pun saat saham itu dijual.
Praktik ini dilakukan demi kemudahan dan keamanan transaksi.
Ini adalah paradoks inti di dunia keuangan modern: demi efisiensi, sistem justru memisahkan kepemilikan legal dari kepemilikan manfaat, sebuah kerumitan yang menjadi dasar bagi skema keuangan yang jauh lebih kompleks.
Menjadi Alat Utama Melawan “Treaty Shopping” Skala Internasional
Banyak negara memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty untuk mencegah warganya dikenai pajak dua kali atas penghasilan yang sama dan untuk mendorong investasi lintas batas.
Perjanjian ini sering kali menawarkan tarif pajak yang lebih rendah. Namun, fasilitas ini kerap disalahgunakan melalui praktik yang disebut “treaty shopping“.
Ini adalah skema di mana pihak yang tidak berhak mendirikan entitas perantara (conduit company atau perusahaan cangkang) di negara dengan P3B menguntungkan, hanya demi tarif pajak rendah.
Mari kita lihat contoh nyata dari praktik ini:
Sebuah perusahaan di Swiss (PT B) memiliki lisensi merek sabun. Berdasarkan P3B Indonesia-Swiss, tarif pajak royalti seharusnya 12.5%.
Untuk menghindari tarif ini, pemilik merek di Swiss tersebut menggunakan perusahaan cangkang di Uni Emirat Arab (PT C), yang P3B-nya dengan Indonesia memiliki tarif royalti jauh lebih rendah, yaitu 5%.
Perusahaan di Indonesia (PT D) kemudian membayar royalti ke perusahaan cangkang di UEA (PT C), bukan langsung ke pemilik merek di Swiss (PT B), sehingga hanya membayar pajak 5%.
Di sinilah letak kerumitannya: perusahaan cangkang di UEA (PT C) sengaja diposisikan sebagai legal owner penerima royalti untuk menyembunyikan beneficial owner sebenarnya, yaitu pemilik merek di Swiss (PT B), dan mengeksploitasi celah tarif P3B.
Konsekuensinya sangat besar, karena konsep beneficial owner menjadi “senjata” utama bagi otoritas pajak untuk menembus selubung hukum ini dan memastikan hanya pihak yang benar-benar berhak yang menikmati manfaat perjanjian.
Fakta Paling Kontraintuitif โ ‘Beneficial Owner’ Bisa Jadi Perusahaan Kosong
Intuisi kita mengatakan bahwa perusahaan ‘nyata’ memiliki kantor, karyawan, dan aset.
Namun, dalam hukum pajak internasional, semua substansi fisik itu bisa jadi tidak relevan.
Ini mungkin fakta yang paling mengejutkan: sebuah perusahaan tidak harus memiliki “substansi” yang signifikan untuk dianggap sebagai beneficial owner.
Sebuah holding company yang hanya memiliki beberapa dokumen di lemari arsip bisa jadi pemilik manfaat yang sah.
Apa artinya ini secara praktis? Penentu utamanya bukanlah aset fisik, melainkan hak dan kewajiban atas pendapatan yang diterima.
Faktor kuncinya adalah: apakah perusahaan tersebut memiliki hak penuh untuk menggunakan dan menikmati pendapatan tersebut, atau apakah ia terikat oleh kewajiban hukum atau kontrak untuk meneruskan pendapatan itu kepada pihak lain?
Seperti yang dijelaskan dalam Commentary OECD Model Tax Convention:
…sebuah perusahaan perantara (conduit company) pada umumnya tidak dapat dianggap sebagai pemilik manfaat jika, meskipun ia adalah pemilik formal, secara praktis ia memiliki kekuasaan yang sangat terbatas yang membuatnya, dalam kaitannya dengan pendapatan yang bersangkutan, hanya menjadi seorang fidusia atau administrator yang bertindak atas nama pihak-pihak yang berkepentingan.
Ini berarti selama sebuah perusahaan tidak bertindak sebagai perantara yang hanya “melewatkan” uang, ia dapat dianggap sebagai pemilik manfaat sejati, terlepas dari seberapa minim substansi fisiknya.
Fakta ini menegaskan bahwa dalam permainan pajak global, yang terpenting bukanlah seberapa besar perusahaan itu terlihat, tetapi di mana aliran uangnya berhenti.
Begini Cara Otoritas Pajak Mengungkap Siapa Pemilik Sebenarnya
Untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan identitas beneficial owner, otoritas pajak seperti Direktorat Jenderal Pajak di Indonesia tidak lagi hanya bergantung pada definisi abstrak.
Mereka menggunakan daftar periksa konkret untuk menilai substansi ekonomi di balik bentuk hukum sebuah entitas.
Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Dirjen Pajak (PER-10/PJ/2017), sebuah Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) berbentuk Badan dapat dianggap sebagai beneficial owner jika memenuhi kriteria berikut:
Mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan.
Tidak lebih dari 50% penghasilannya digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain.
Menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki.
Tidak mempunyai kewajiban (tertulis maupun tidak) untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.
Daftar ini bukan sekadar birokrasi; ini adalah cerminan ‘adu pintar’ antara perencana pajak yang ahli dalam menciptakan bentuk hukum yang rumit, dan otoritas pajak yang harus terus menggali substansi ekonomi sebenarnya untuk mengungkap siapa yang sesungguhnya memegang kendali.
Pertanyaan Kunci Bukan Lagi ‘Siapa Namanya?’, Tapi ‘Di Mana Uangnya Berhenti?’
Pada akhirnya, konsep beneficial owner memaksa kita untuk mengabaikan nama-nama di atas akta dan mengikuti jejak uang.
Pertanyaan kunci dalam investasi, perpajakan, dan transparansi korporat bukan lagi ‘Siapa nama pemiliknya?’, melainkan ‘Di tangan siapa aliran dana itu benar-benar berhenti dan bisa dinikmati dengan bebas?’
Dengan semakin kompleksnya struktur keuangan global, seberapa yakin kita bisa mengetahui siapa pemilik manfaat sebenarnya di balik perusahaan-perusahaan besar yang produknya kita gunakan setiap hari?
Pernahkah Anda membayangkan menerima surat dari kantor pajak yang meminta Anda menyerahkan setumpuk dokumen perusahaan atau pribadi? Bagi banyak wajib pajak, ini adalah awal dari sebuah proses yang panjang dan penuh ketidakpastian.
Di balik prosedur yang tampak administratif, sebuah gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini kita mengungkap sisi kelabu dari penegakan hukum pajak di Indonesia.
Gugatan ini, yang diajukan oleh seorang pedagang dari Sumatera Utara (Surianingsih) dan sebuah perusahaan di Bandung (PT Putra Indah Jaya), menyoroti adanya proses pemeriksaan yang terasa seperti penyidikan paksa, namun tanpa adanya mekanisme perlindungan hukum yang setara, seperti lembaga praperadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kepastian hukum bagi setiap warga negara.
Dengarkan saja dalam podcast Gemini
Saat “Meminjam” Dokumen Sebenarnya Berarti “Menyita” Secara Paksa
Dalam proses yang disebut “Pemeriksaan Bukti Permulaan” (Buper), petugas pajak memiliki wewenang untuk meminjam dokumen, buku, atau catatan dari wajib pajak. Istilah “meminjam” terdengar halus dan kooperatif, dan memang sudah lazim dalam rahan pemeriksaan pajak.
Praktik “peminjaman” ini pada esensinya bersifat memaksa. Wajib pajak dinyatakan memiliki kewajiban untuk menyerahkan dokumen tersebut.
Pengadilan Negeri Surabaya, dalam putusannya (Nomor 14/Pid.Pra/2022/PN.Sby.), bahkan menafsirkan bahwa penggunaan kata “berkewajiban” mengandung pengertian “meminta dengan memaksa”.
Ironisnya, tindakan yang secara substansi adalah penggeledahan dan penyitaan ini “dihaluskan” dengan istilah “peminjaman” di pemeriksaan Buper. Akibatnya, tindakan tersebut seolah-olah tidak memerlukan izin dari ketua pengadilan negeri, sebuah syarat wajib untuk penyitaan dan penggeledahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pemerintah, di sisi lain, berpendapat bahwa proses ini tidak mengandung “upaya paksa”. Menurut mereka, wajib pajak dapat menolak permintaan peminjaman, yang kemudian akan dituangkan dalam berita acara, sebuah pilihan yang tidak tersedia dalam penyitaan pro-justitia. Namun, bagi sebagian hakim, paksaan itu nyata. Pertimbangan hakim PN Surabaya menyoroti masalah ini dengan tajam:
Menimbang, bahwa dari uraian fakta tersebut di atas, maka Hakim berpendapat bahwa tindakan Termohon dalam mendapatkan surat-surat yang diperlukan dari Pemohon tersebut terkandung adanya upaya paksadan sanksi sehingga terhadap fakta ini bila dihubungkan dengan pengertian Penyitaan ataupun penggeledahan yang bersifat memaksa, maka tindakan Termohon tersebut termasuk dalam kualifikasi Penyitaaan ataupun Penggeledahan dimana Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
Ironi “peminjaman paksa” ini berakar pada ambiguitas yang lebih dalam: status hukum dari proses Bukper itu sendiri.
Dalam hukum acara pidana umum (KUHAP), terdapat perbedaan fundamental antara “penyelidikan” dan “penyidikan”.
Penyelidikan adalah tahap awal untuk mencari dan menemukan apakah suatu peristiwa merupakan tindak pidana. Pada tahap ini, umumnya tidak ada upaya paksa seperti penyitaan. Sebaliknya, penyidikan adalah proses untuk mencari bukti dan menemukan tersangka, yang disertai dengan kewenangan untuk melakukan upaya paksa.
Menurut Penjelasan Pasal 43A ayat (1) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pemeriksaan Bukti Permulaan (Buper) memiliki “tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan”.
Namun, di sinilah letak kontradiksinya. Kewenangan yang diberikan kepada pemeriksa Buper, yang secara rinci diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 177/2022 yang berfungsi sebagai “hukum acara” proses ini, justru mencakup tindakan-tindakan yang identik dengan upaya paksa dalam penyidikan, seperti:
Memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan tertentu.
Mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik.
Melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu.
Meminta keterangan dari pihak yang berkaitan.
Ambiguitas ini sangat merugikan wajib pajak. Karena status Bukper yang “setara penyelidikan”, wajib pajak tidak dapat mengajukan praperadilan untuk menguji keabsahan tindakan-tindakan paksa yang mereka alami.
Pemerintah menolak perbandingan ini, dengan alasan bahwa tindak pidana pajak bersifat lex specialis dan ius singulare (hukum yang bersifat khusus), sehingga hukum acaranya tidak bisa disamakan sepenuhnya dengan KUHAP.
Hakim pun Bingung: Putusan Pengadilan yang Saling Bertentangan
Ketidakpastian hukum mengenai status Pemeriksaan Bukti Permulaan (Buper) terbukti nyata hingga di ruang sidang. Fakta menunjukkan bahwa terjadi perbedaan putusan yang signifikan di antara pengadilan-pengadilan negeri di seluruh Indonesia ketika dihadapkan pada permohonan praperadilan atas tindakan dalam proses Buper.
Fenomena ini menciptakan dua kubu putusan yang saling berlawanan:
Kelompok yang Mengabulkan Praperadilan: Pengadilan Negeri seperti PN Surabaya (Putusan Nomor 14/Pid.Pra/2022/PN.Sby.), PN Sanggau, dan PN Pematangsiantar pada intinya berpendapat bahwa tindakan “peminjaman” paksa dokumen adalah bentuk lain dari penggeledahan dan penyitaan. Oleh karena itu, tindakan tersebut dapat dan sah untuk diuji keabsahannya melalui mekanisme praperadilan.
Kelompok yang Menolak Praperadilan: Di sisi lain, pengadilan seperti PN Jakarta Selatan (Putusan Nomor 22/Pid.Pra/2023/PN Jkt Sel) dan PN Jakarta Timur berpandangan bahwa Bukper belum masuk dalam ranah upaya paksa pro justitia (demi hukum) dan karena itu bukan merupakan objek praperadilan.
Perbedaan putusan ini adalah bukti paling konkret dari ketidakpastian hukum yang dihadapi warga negara. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan para hakim pun memiliki interpretasi yang berbeda-beda terhadap aturan yang sama.
Di mata pemerintah, perbedaan putusan ini bukanlah bukti cacatnya norma, melainkan bagian dari dinamika implementasi hukum di lapangan yang tidak membatalkan keabsahan proses Buper itu sendiri.
Kewenangan Setingkat Undang-Undang, Aturan Cukup di Level Menteri?
Pasal 43A ayat (4) UU HPP secara eksplisit mendelegasikan pengaturan mengenai “tata cara” pemeriksaan bukti permulaan kepada Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Pada pandangan pertama, ini mungkin terlihat wajar sebagai aturan teknis. Namun, para ahli hukum yang dihadirkan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi melihat adanya masalah fundamental.
Menurut Dr. Jimmy Zeravianus Usfunan dan Dr. Mudzakkir, peraturan yang memuat pembatasan hak dan kebebasan fundamental warga negaraโseperti kewenangan melakukan penyegelan, memasuki properti pribadi, dan mengambil dokumen secara paksaโseharusnya diatur dalam level Undang-Undang, bukan sebatas Peraturan Menteri.
Pemerintah berargumen bahwa pendelegasian ke Peraturan Menteri Keuangan adalah wajar untuk mengatur hal-hal teknis-administratif, dan menegaskan bahwa adresat (tujuan) aturan ini adalah untuk membatasi kewenangan petugas, bukan membatasi hak warga negara.
Namun, bagi para ahli, poin ini menyentuh inti dari prinsip negara hukum. Kewenangan aparat negara yang dapat mengintervensi hak-hak dasar warga negara harus memiliki dasar legitimasi yang kuat, yaitu melalui persetujuan rakyat yang direpresentasikan oleh DPR dalam bentuk Undang-Undang. Seperti yang disimpulkan oleh Ahli Dr. Jimmy Zeravianus Usfunan:
Berdasarkan Konstitusi, maka pembatasan hak dan kebebasan setiap orang, hanya dapat dilakukan dengan Undang-Undang, bukan Peraturan Menteri Keuangan.
Persoalannya bukan sekadar teknis yuridis, melainkan menyangkut prinsip fundamental negara hukum: setiap tindakan paksa oleh negara terhadap warganya harus memiliki legitimasi tertinggi, yakni persetujuan rakyat melalui Undang-Undang.
Penutup
Paska putusan Mahkamah Konstritusi nomor 83/PUU-XXI/2023, pemeriksaan Buper tidak lagi memiliki upaya paksa. Kewenangannya disamakan dengan proses penyelidikan di Polri.
Kementerian Keuangan telah menerbitkan kebijakan baru, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 Tahun 2025, yang berlaku efektif mulai 1 Agustus 2025.
Meskipun regulasi perpajakan seringkali terdengar kompleks, peraturan ini memuat sejumlah detail menarik yang membawa implikasi signifikan bagi berbagai transaksi bisnis, mulai dari impor barang mewah hingga pembelian hasil pertanian.
Bagi pelaku usaha maupun pengamat kebijakan, memahami nuansa dalam aturan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 ini esensial untuk navigasi lanskap ekonomi ke depan.
Mari kita bedah lima temuan paling penting dari peraturan ini.
Emas Dapat Perlakuan Khusus, Tarif Pajaknya Sangat Rendah
Salah satu aspek yang paling menarik dari PMK 51/2025 adalah perlakuan pajak yang sangat istimewa bagi emas batangan.
Tarif PPh Pasal 22 untuk impor emas batangan ditetapkan hanya sebesar 0,25% dari nilai impor, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1 butir d) PMK 51/2025.
Perlakuan khusus ini juga berlaku untuk transaksi domestik. Tarif yang sama rendahnya, yaitu 0,25%, dikenakan atas pembelian emas batangan di dalam negeri yang dilakukan oleh Lembaga Jasa Keuangan penyelenggara Kegiatan Usaha Bulion (Pasal 3 ayat (1) huruf h) PMK 51/2025.
Signifikansi dari ketentuan ini terletak pada kontrasnya dengan citra emas sebagai barang mewah.
Kebijakan ini tampaknya merupakan langkah strategis untuk mendorong terciptanya ekosistem industri bulion yang formal, transparan, dan kompetitif di Indonesia.
Dengan tarif yang rendah, pemerintah berupaya menarik transaksi emas batangan ke dalam sistem yang teregulasi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan basis data perpajakan dan pengawasan sektor ini.
BUMN Ditunjuk Jadi Pemungut Pajak
Konsep pemungutan PPh Pasal 22 dalam peraturan ini meluas jauh di luar lingkup instansi pemerintah. Kebijakan ini secara eksplisit menunjuk berbagai badan usaha, baik BUMN maupun swasta, untuk bertindak sebagai pemungut pajak.
Banyak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak usahanya yang dimiliki secara langsung ditunjuk sebagai pemungut pajak atas pembelian barang untuk kegiatan usahanya.
Beberapa nama dalam daftar di Pasal 2 ayat (1) huruf c angka 3 PMK 51/2025 yang mungkin tidak terduga meliputi:
โข PT Telekomunikasi Selular
โข PT Kimia Farma Apotek
โข PT Bank Syariah Indonesia Tbk
Lebih lanjut, badan usaha di industri-industri vital juga diwajibkan memungut PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksinya kepada distributor. Industri-industri yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d PMK 51/2025 adalah:
โข Industri semen
โข Industri kertas
โข Industri baja
โข Industri otomotif
โข Industri farmasi
Penunjukan BUMN dan perusahaan industri besar sebagai pemungut pajak ini adalah wujud dari strategi ekstensifikasi pajak yang efisien.
Pemerintah memanfaatkan jangkauan dan volume transaksi masif dari entitas-entitas ini untuk mengotomatisasi pengumpulan pajak, mengurangi beban administrasi pada negara, dan memastikan kepatuhan di titik-titik vital dalam rantai pasok industri.
Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22 Atas Transaksi di Bawah Nilai Tertentu
Dari perspektif praktis bagi pelaku usaha, penting untuk dicatat bahwa tidak semua transaksi pembelian dikenakan PPh Pasal 22.
Aturan baru ini menetapkan ambang batas nilai transaksi (threshold) yang dikecualikan dari pemungutan, dengan nilai yang bervariasi tergantung pada pihak pemungutnya.
Secara spesifik, Pasal 4 ayat (1) huruf e PMK 51/2025 menetapkan batas nilai transaksi yang dikecualikan sebagai berikut:
Instansi Pemerintah: Pembelian barang dengan nilai paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk PPN, dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah-pecah dari transaksi yang nilainya lebih besar.
BUMN dan Badan Usaha Tertentu: Pembelian barang dengan nilai paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak termasuk PPN, dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah-pecah dari transaksi yang nilainya lebih besar.
Industri/Eksportir Pembeli Hasil Alam: Pembelian hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan dengan nilai paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak termasuk PPN dalam satu Masa Pajak, dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah-pecah.
Pasal 4 ayat (1) huruf e angka 1 butir b PMK 51/2025 mengatur pembayaran atas pembelian barang oleh Instansi Pemerintah yang menggunakan kartu kredit pemerintah juga dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22, tanpa terikat pada ambang batas nilai transaksi.
Dari Parfum Hingga Kopi, Tarif Pajak Impor Anda Sangat Bervariasi
Tarif PPh Pasal 22 untuk kegiatan impor sangat beragam, mencerminkan prioritas kebijakan pemerintah terhadap jenis barang yang masuk ke Indonesia. Struktur tarif ini diatur secara rinci dalam lampiran peraturan.
Tarif tertinggi sebesar 10% dikenakan pada barang-barang yang sering dianggap mewah. Beberapa contoh dari Lampiran A peraturan ini meliputi:
โข Parfum dan kosmetik (HS Code 3303, 3304)
โข Tas tangan dari kulit (HS Code 4202.21.00)
โข Mobil dan kendaraan bermotor tertentu (HS Code 87.03)
โข Yacht dan kendaraan air untuk pesiar (HS Code 89.03)
Sebagai kontras, tarif 7,5% dikenakan pada banyak produk konsumsi yang lebih umum. Contohnya, berdasarkan Lampiran B, meliputi:
โข Kopi gongseng (HS Code 0901.21)
โข Teh (HS Code 0902.30)
โข Pasta dan mie (HS Code 19.02)
โข Saus dan kecap (HS Code 21.03)
Sementara itu, tarif terendah sebesar 0,5% diterapkan untuk impor komoditas pangan pokok seperti kedelai, gandum, dan tepung terigu (Lampiran C).
Struktur tarif ini jelas merupakan cerminan dari kebijakan fiskal diferensial. Pemerintah secara aktif menggunakan PPh Pasal 22 impor sebagai instrumen untuk mengendalikan defisit neraca perdagangan dengan mengenakan tarif tinggi pada barang konsumsi tersier dan mewah, sekaligus melindungi ketahanan pangan dengan memberikan tarif minimal pada komoditas pokok.
Ini adalah upaya menyeimbangkan antara penerimaan negara dan stabilitas ekonomi makro.
Secara keseluruhan, PMK 51 Tahun 2025 merefleksikan pergeseran dalam pendekatan pemungutan PPh Pasal 22, dari aturan yang bersifat umum menjadi lebih granular dan spesifik per sektor.
Regulasi ini menunjukkan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan antara optimalisasi penerimaan negara dengan pemberian insentif serta kemudahan bagi sektor-sektor usaha tertentu.
Dengan berbagai penyesuaian tarif dan aturan pemungutan ini, menurut Anda, apakah peraturan baru ini akan lebih efektif dalam mendorong kepatuhan pajak sekaligus memberikan kemudahan bagi dunia usaha?
Menerima surat pemberitahuan pemeriksaan pajak sering kali memicu kecemasan. Bagi banyak Wajib Pajak, proses ini terasa rumit dan penuh ketidakpastian. Menyadari hal ini, pemerintah telah menerbitkan peraturan baru, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025, yang bertujuan untuk menyederhanakan proses pemeriksaan, memberikan kepastian hukum, dan menyeimbangkan hak serta kewajiban antara pemeriksa dan Wajib Pajak.
Artikel ini akan merangkum lima poin paling penting dan mungkin mengejutkan dari aturan baru tersebut. Disajikan dalam format yang mudah dipahami, wawasan ini akan membantu setiap Wajib Pajak, baik perorangan maupun badan, untuk lebih siap dan memahami aturan main yang berlaku.
————————————————————–
1. “Kenapa Saya Diperiksa?” Jawabannya Lebih Luas dari Dugaan Anda
Pernahkah Anda bertanya-tanya, “Mengapa saya yang diperiksa?” Banyak yang mengira pemeriksaan hanya terjadi jika ada indikasi kesalahan besar. Namun, kenyataannya jauh lebih kompleks. Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Direktur Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewenangan luas untuk memeriksa Wajib Pajak manapun untuk menguji kepatuhan atau untuk tujuan lain, tanpa memerlukan kriteria tertentu.
Secara umum, alasan pemeriksaan terbagi dalam dua kategori besar:
Pemeriksaan Rutin: Pemeriksaan ini terkait dengan pemenuhan hak atau kewajiban perpajakan Anda. Contohnya termasuk Wajib Pajak yang:
Melakukan aksi korporasi seperti penggabungan, peleburan, likuidasi, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selamanya.
Pemeriksaan Khusus: Pemeriksaan ini tidak dipicu oleh pengajuan dari Wajib Pajak, melainkan didasarkan pada:
Data Konkret: Ini adalah data spesifik yang dimiliki DJP yang mengindikasikan pajak terutang tidak atau kurang dibayar. Contohnya adalah adanya bukti potong PPh atau faktur pajak yang sudah disetujui sistem DJP tetapi belum dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Analisis Risiko (Risk-Based Audit): DJP secara sistematis memilih Wajib Pajak untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko kepatuhan (compliance risk management). Wajib Pajak yang terpilih akan masuk dalam Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan (DSPP).
Pada dasarnya, pemeriksaan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan wajib pajak. Jika Anda sudah patuh, berarti 99% sudah selesai.
————————————————————–
2. Proses Audit Semakin Terstruktur dan Digital
Lupakan bayangan proses pemeriksaan yang kaku dan kuno. PMK 15/2025 mendorong proses yang lebih modern, terstruktur, dan fleksibel, terutama dalam hal komunikasi dan pertemuan.
Berdasarkan Pasal 10 PMK 15/2025, pertemuan antara pemeriksa dan Wajib Pajak kini dapat dilakukan secara:
Luring (tatap muka langsung)
Daring (video conference)
Fleksibilitas ini memberikan kemudahan bagi kedua belah pihak. Namun, yang terpenting adalah setiap pertemuan, baik luring maupun daring, wajib didokumentasikan dalam Berita Acara Hasil Pertemuan yang harus ditandatangani.
Lebih lanjut, Pasal 27 peraturan yang sama menegaskan pergeseran ke arah administrasi digital. Dokumen-dokumen terkait pemeriksaan kini dapat disampaikan secara elektronik, dan penandatanganan dokumen dapat dilakukan secara elektronik oleh Wajib Pajak maupun tim pemeriksa.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025 pada dasarnya menyiapkan prosedur pemeriksaan pajak dengan Sistem Inti Administrasi Perpajakan CORETAX.
Salindia PMK 15 Tahun 2025 Dari DJP
————————————————————–
3. Aturan Main Peminjaman Dokumen: Ada Batas Waktu yang Ketat
Salah satu kewajiban utama Wajib Pajak saat diperiksa adalah meminjamkan buku, catatan, dan dokumen yang diperlukan. Aturan baru menegaskan bahwa kewajiban ini sangat terikat oleh waktu yang ketat, dan ketidakpatuhan memiliki konsekuensi yang sangat serius.
Berdasarkan Pasal 12 PMK 15/2025, prosesnya adalah sebagai berikut:
Wajib Pajak memiliki waktu 1 (satu) bulan untuk menyerahkan seluruh dokumen yang diminta, terhitung sejak surat permintaan disampaikan.
Jika dokumen belum lengkap, pemeriksa akan mengirimkan surat peringatan pertama setelah 2 (dua) minggu.
Jika masih belum lengkap juga, surat peringatan kedua akan menyusul setelah 3 (tiga) minggu.
Apa yang terjadi jika setelah 1 bulan dokumen tetap tidak lengkap? Konsekuensinya sangat berdampak. Pemeriksa Pajak dapat melakukan penetapan pajak secara jabatan. Artinya, penghitungan pajak tidak lagi didasarkan pada pembukuan Anda, melainkan pada data atau metode lain yang dimiliki DJP. Hasilnya hampir pasti akan jauh lebih besar dari yang seharusnya Anda bayar.
————————————————————–
4. Beda Pendapat Saat Pembahasan Akhir? Ada “Tim Quality Assurance”
Tahap Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (closing conference) adalah momen krusial di mana Wajib Pajak membahas temuan-temuan pemeriksa yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Namun, bagaimana jika terjadi perbedaan pendapat yang sulit dijembatani?
PMK 15/2025 pada Pasal 19 memperkenalkan sebuah mekanisme yang jarang diketahui publik: Tim Quality Assurance (QA) Pemeriksaan. Tim ini berfungsi sebagai “wasit” internal DJP. Berikut cara kerjanya:
Tim QA adalah tim independen yang dapat dilibatkan jika terjadi perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dan pemeriksa.
Perbedaan pendapat ini terbatas pada dasar hukum koreksi, bukan pada nilai temuan atau metode pengujian.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan tertulis untuk dibahas oleh Tim QA setelah risalah pembahasan akhir ditandatangani, tetapi sebelum Berita Acara Pembahasan Akhir dibuat.
Pembahasan Temuan Sementara
Prosedur pemeriksaan pajak yang baru di PMK 15/2025 adalah pembahasan temuan sementara. Tetapi dalam praktiknya, pembahasan temuan sementara sebenarnya dikenal sebagai pra-SPHP.
Bedanya, istilah pra-SPHP tidak diatur dalam ketentuan, dan format pemberitahuannya ke Wajib Pajak beda-beda. Selain itu, karena tidak diatur dalam ketentuan, pemeriksa bisa memberikan pra-SPHP, tetapi bisa juga tidak. Artinya langsung ke SPHP.
Merujuk Pasal 17 ayat (4) PMK 15/2025, dalam pelaksanaan pembahasan temuan sementara, wajib pajak diberikan kesempatan untuk:
memberikan/memperlihatkan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk data elektronik;
memberikan buku, catatan, dan/atau dokumen termasuk data elektronik yang dipinjam atau diminta berdasarkan surat permintaan yang berada di pihak ketiga dan belum diperoleh wajib pajak; dan
menghadirkan saksi, ahli, atau pihak ketiga dengan menyampaikan surat penunjukan saksi, ahli, atau pihak ketiga oleh wajib pajak.
Adapun hasil pembahasan temuan sementara dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh pemeriksa pajak dan wajib pajak, wakil, atau kuasa dari wajib pajak yang diperiksa yang menghadiri pembahasan temuan sementara.
Beda Pembahasan Temuan Sementara versus SPHP
Pembahasan temuan sementara secara format mirip dengan SPHP. Temuan pemeriksa semua disampaikan dalam bentuk tabel dan dasar temuan.
Perbedaannya sebenarnya ke pembukuan dan dokumen yang disampaikan ke pemeriksa pajak.
Tahapan pembahasan temuan sementara, Wajib Pajak bebas memberikan dokumen yang diperlukan. Pembahasan di tahap ini juga lebih kepada pembuktian dan pengujian.
Sementara, di tahapan SPHP, lebih banyak sengketa dasar hukum. Tahapan SPHP, pembahasannya lebih banyak kepada penerapan ketentuan. Karena itu, dalam tahapan SPHP, ada prosedur pembahasan dengan tim Quality Assurance yang secara spesifik meminta pihak ke tiga untuk membahas sengketa aturan.
5. Penyegelan Bukan Mitos: Wewenang Serius Pemeriksa Pajak
Istilah “Penyegelan” mungkin terdengar dramatis, namun ini adalah wewenang nyata dan salah satu yang paling serius yang dimiliki pemeriksa pajak. PMK 15/2025 mengatur wewenang ini secara jelas.
Penyegelan adalah tindakan menempatkan tanda segel pada tempat, ruangan, atau barang (bergerak maupun tidak bergerak) untuk mengamankan bukti agar tidak dihilangkan, diubah, atau dirusak. Tindakan ini tidak dilakukan tanpa alasan. Beberapa kondisi yang dapat memicu penyegelan antara lain:
Wajib Pajak menolak memberikan akses kepada pemeriksa untuk memasuki ruangan atau memeriksa barang.
Wajib Pajak menolak memberikan bantuan untuk kelancaran pemeriksaan.
Wajib Pajak atau wakilnya tidak berada di tempat saat pemeriksaan lapangan, sehingga diperlukan upaya pengamanan bukti.
Keseriusan tindakan ini ditegaskan dengan adanya ancaman pidana. Berdasarkan format Tanda Segel pada lampiran PMK 15/2025, terdapat peringatan bahwa barang siapa dengan sengaja merusak segel diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan. Meskipun jarang terjadi, wewenang ini menunjukkan betapa pentingnya sikap kooperatif dari Wajib Pajak selama proses pemeriksaan berlangsung.
Peraturan pemerintah sering kali dianggap sebagai dokumen yang padat, teknis, dan kurang menarik bagi publik. Namun, di balik pasal-pasal yang formal, terkadang tersembunyi kebijakan-kebijakan mengejutkan yang tidak hanya berdampak luas, tetapi juga mengungkapkan prioritas negara yang sangat beragam.
Baru-baru ini, Kementerian Keuangan merilis serangkaian Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi contoh sempurna fenomena ini.
Di satu sisi, pemerintah kembali meluncurkan insentif pajak yang sangat dinantikan oleh para pencari properti. Di sisi lain, sebuah aturan lain memberikan fasilitas pajak untuk pengadaan yang jauh lebih spesifik dan tidak biasa: kuda untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Penjajaran dua kebijakan ini menawarkan wawasan unik tentang bagaimana instrumen fiskal digunakan untuk dua tujuan yang fundamental berbeda:ย stimulus ekonomi makro yang bersifat luas dan menyasar publik, serta eksekusi anggaran mikro yang sempit dan spesifik untuk kebutuhan negara.ย
Berikut adalah tiga fakta paling mengejutkan dan berdampak dari aturan pajak terbaru pemerintah.
Insentif PPN Kembali, Tapi Pahami Skemanya.
Pemerintah secara resmi mengembalikan salah satu insentif paling populer di sektor properti, yaitu Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah baru.
Berdasarkan PMK Nomor 60 Tahun 2025, fasilitas ini kembali hadir dengan beberapa ketentuan kunci yang harus dipahami calon pembeli.
Berikut adalah detail utamanya:
โข Jenis Properti: Berlaku untuk rumah tapak dan satuan rumah susun baru yang diserahkan dalam kondisi siap huni.
โข Periode: Periode krusialnya adalah 1 Juli hingga 31 Desember 2025, di mana harus terjadi penandatanganan akta jual beli (AJB) dan serah terima unit secara fisik (dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima).
โข Batas Harga: Harga jual properti maksimal adalah Rp5 miliar.
Namun, bagian terpenting dari skema ini adalah cara penghitungan insentifnya. Pasal 7 ayat (1) dalam aturan tersebut menyatakan bahwa pemerintah menanggung 100% PPN yang terutang, tetapi hanya untuk bagian harga jual hingga Rp2 miliar.
Untuk memahaminya, mari kita lihat contoh: Jika Anda membeli rumah seharga Rp3 miliar, maka PPN untuk Rp2 miliar pertama dari harga tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.
Namun, Anda sebagai pembeli tetap wajib membayar PPN atas sisa harga sebesar Rp1 miliar. Artinya, dari total PPN 12% sebesar Rp330 juta, pemerintah menanggung sekitar Rp220 juta (PPN dari bagian Rp2 miliar), sementara pembeli tetap harus membayar PPN atas sisa Rp1 miliar, yaitu sekitar Rp110 juta.
Skema berjenjang ini menunjukkan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan stimulus dengan kehati-hatian fiskal; insentif ini dirancang untuk menggerakkan segmen menengah-atas tanpa mensubsidi properti mewah secara berlebihan.
Berikut Salinda PMK sebelumnya:
Insentif Ini Terbuka untuk Penerima Manfaat Berulang
Ini adalah salah satu poin paling praktis dan mungkin mengejutkan bagi banyak calon pembeli. Menurut Pasal 5 ayat (2) PMK 60 Tahun 2025, seseorang yang sebelumnya pernah memanfaatkan insentif PPN ditanggung pemerintah dapat kembali memanfaatkan insentif yang berlaku di tahun 2025 ini, dengan syarat digunakan untuk pembelian unit rumah yang berbeda.
Aturan ini sangat liberal, seperti diilustrasikan dalam lampiran PMK itu sendiri. Contoh kasus ‘Tuan D’ menunjukkan seorang individu yang telah memanfaatkan insentif PPN di tahun 2021, 2023, 2024, dan awal 2025, tetap berhak mendapatkan insentif ini lagi untuk pembelian rumah yang berbeda di akhir 2025. Ini adalah bukti tak terbantahkan dari niat kebijakan tersebut.
Kebijakan ini menandai pergeseran strategis dari bantuan sosial, yang biasanya ditujukan untuk pembeli rumah pertama, menjadi stimulus ekonomi murni yang berfokus semata-mata pada maksimalisasi volume transaksi.
Dengan kata lain, fokusnya adalah pada percepatan aktivitas pasar properti secara keseluruhan.
PPN Kuda Kavaleri Ungkap Sisi Lain Kebijakan Fiskal
Di antara tumpukan dokumen peraturan, inilah temuan yang paling tidak terduga. Melalui PMK Nomor 61 Tahun 2025, pemerintah juga memberikan insentif pajak untuk kebutuhan pertahanan yang sangat spesifik.
Dinyatakan bahwa untuk mendukung kesiapan alat pertahanan, pemerintah akan menanggung 100% PPN atas pengadaan “hewan khusus tertentu berupa kuda serta perlengkapan pendukungnya” untuk Kementerian Pertahanan dan/atau TNI.
Tingkat kerincian dalam lampiran peraturan ini memberikan gambaran yang menarik tentang kebutuhan operasional kavaleri. Beberapa perlengkapan yang PPN-nya ditanggung pemerintah antara lain:
โข Kuda Batalyon Kavaleri
โข Jubah Kuda Untuk Upacara
โข Suplemen Khusus
โข Kantong Kotoran Kuda
โข Kandang Kavaleri Kuda Portable
Regulasi ini adalah bukti nyata bahwa kebijakan fiskal tidak hanya beroperasi di level makro, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan tantangan pengadaan yang sangat spesifik dan granular di dalam aparatur negara, hingga ke detail terkecil seperti kantong kotoran kuda.
Ucapkan Selamat Tinggal pada Cara Lama Menarik Investasi
Selama puluhan tahun, persaingan antarnegara untuk menarik investasi asing sering kali terasa seperti sebuah perlombaan menawarkan ‘diskon’ pajak terbesarโsebuah ‘perang tarif’ yang dikenal sebagaiย race to the bottom.
Indonesia, seperti banyak negara lainnya, mengandalkan berbagai insentifโterutamaย tax holidayย atau pembebasan pajakโsebagai ‘jurus’ andalan untuk memikat perusahaan-perusahaan multinasional.
Namun, aturan main baru telah tiba dalam bentuk Pajak Minimum Global, atau yang secara teknis dikenal sebagai Pilar Dua (Pillar Two). Kebijakan yang disepakati oleh lebih dari 140 negara ini secara fundamental mengubah cara kerja dan efektivitas insentif pajak konvensional.
Aturan ini dirancang untuk mengakhiri ‘perang tarif’ tersebut dan memastikan perusahaan raksasa membayar pajak yang adil di mana pun mereka beroperasi.
Hal ini memunculkan pertanyaan sentral: Jika ‘jurus’ andalan seperti tax holiday tidak lagi ampuh, bagaimana Indonesia akan beradaptasi? Dan apa artinya ini bagi masa depan investasi di tanah air?
Era ‘Tax Holiday’ untuk Perusahaan Raksasa Telah Berakhir
Mengapa insentif andalan ini tiba-tiba menjadi usang? Jawabannya terletak pada aturan Pajak Minimum Global (GloBE rules) yang menetapkan tarif pajak efektif (ETR) minimal sebesar 15% untuk perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi tahunan di atas โฌ750 juta.
Inti masalahnya terletak pada sebuah skenario yang kontra-intuitif. Jika Indonesia memberikanย tax holidayย yang menyebabkan tarif pajak efektif sebuah perusahaan multinasional di sini jatuh di bawah 15%, insentif tersebut menjadi sia-sia.
Selisih kekurangan pajaknya, yang disebutย top-up tax, justru akan dipungut oleh negara lainโmisalnya, negara asal perusahaan induk.
Dengan kata lain, pendapatan pajak yang direlakan oleh Indonesia tidak dinikmati oleh investor, melainkan dialihkan ke kas negara lain.
Hal ini membuat tax holiday tidak lagi menjadi alat tawar yang efektif untuk menarik investasi dari perusahaan-perusahaan raksasa global.
dengan berlakunya pajak minimum global, tidak mungkin bagi Indonesia untuk tetap memberikan fasilitas pembebasan pajak
โ Mekar Satria Utama, Direktur Perpajakan Internasional DJP.
Inilah Solusi Cerdas Bernama QRTC
Sebagai pengganti tax holiday yang sudah tidak efektif, pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan jenis insentif baru yang lebih cerdas dan sesuai dengan aturan global: Qualified Refundable Tax Credit (QRTC).
“Rahasia” keampuhan QRTC terletak pada perlakuan akuntansinya. Berbeda dengan insentif konvensional yang berfungsi sebagai pengurang pajak, QRTC diperlakukan sebagai penambah penghasilan (income) dalam perhitungan pajak global. Ini adalah poin teknis yang sangat penting dan mengubah segalanya.
Mengapa QRTC ‘Ajaib’? Mari Lihat Angkanya:
Bayangkan sebuah perusahaan dengan laba โฌ100 dan seharusnya membayar pajak โฌ10 (ETR 10%). Tanpa insentif, negara lain bisa memungut top-up tax sebesar 5% (selisih dari 15%).
โข Skenario Insentif Lama (Kredit Pajak โฌ2):
โฆ Laba tetap โฌ100.
โฆ Pajak yang dibayar menjadi โฌ8 (karena ada kredit โฌ2).
โฆ ETR anjlok menjadi 8%.
โฆ Top-up tax yang bisa dipungut negara lain justru naik menjadi 7%. Insentif dari Indonesia “bocor” ke negara lain.
โข Skenario Insentif Cerdas (QRTC โฌ2):
โฆ Laba dihitung menjadi โฌ102 (laba awal + nilai QRTC).
โฆ Pajak yang dibayar tetap โฌ10.
โฆ ETR menjadi sekitar 9,8% (โฌ10 / โฌ102).
โฆ Top-up tax yang mungkin timbul hanya sekitar 5,2%. Manfaat insentif sebagian besar tetap dirasakan investor karena ETR tidak anjlok secara drastis.
Langkah ini bukan hanya cerdas, tetapi juga krusial untuk daya saing. Indonesia tidak beroperasi dalam ruang hampa; para pesaing utama di kawasan seperti Singapura, Vietnam, dan Malaysia sudah bergerak cepat mengadopsi insentif berbasisย cash grant. Adaptasi ke model QRTC menjadi sebuah keharusan strategis agar Indonesia tidak tertinggal.
Melindungi Pajak dan Iklim Investasi
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah proaktif dengan secara resmi mengadopsi aturan ini melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 tentang Pajak Minimum Global Berdasarkan Kesepakatan Internasional. Untuk menghadapi era baru ini, Indonesia menyiapkan dua strategi utama.
Pertama, mengganti insentif usang dengan yang lebih sesuai.ย Rencananya adalah menggantiย tax holidayย danย tax allowanceย dengan skema insentif yang lebih kompatibel, terutamaย refundable tax creditย (QRTC) yang telah dibahas.
Kedua, mengamankan hak pemajakan domestik.ย Indonesia juga akan menerapkanย Qualified Domestic Minimum Top-up Taxย (QDMTT).
Ini adalah sebuahย mekanisme pertahananย yang cerdas. Tujuannya adalah memastikan bahwa jika ada kekurangan pajak, tambahan pajak tersebut dipungut oleh Indonesia, bukan ‘diserahkan’ ke yurisdiksi lain. Langkah ini secara efektif mengamankan basis penerimaan negara dari ‘kebocoran’ ke luar negeri.
Proses perancangan insentif baru ini masih terus berjalan untuk menemukan bentuk yang paling optimal.
Tapi bentuknya seperti apa, Kemenkeu masih meraciknya. Ada yang disebut dengan QRTC. Model yang seperti iniย in lineย dengan Pilar 2: GloBE. Apakah kita menggunakan itu? Belum dapat dikatakan akan menggunakan itu, [tapi] kita mempertimbangkan.
โ Frans ZD Manik, Analis Perpajakan Internasional DJP.
Dari Krisis Menjadi Peluang
Perubahan aturan pajak global ini dapat dilihat bukan sebagai krisis, melainkan sebagai peluang untuk mendorong kebijakan yang lebih strategis. Salah satu solusi paling menjanjikan adalah merancang insentif pajak yang terarah pada kegiatan Penelitian dan Pengembangan (R&D) dalam format QRTC.
Data dari Global Economy, yang dianalisis dalam studi oleh Direktorat Perpajakan Internasional, menunjukkan bahwa belanja R&D Indonesia sangat rendah, yaitu di bawah 0,3 persen dari PDB antara tahun 2016-2020, jauh di bawah rata-rata global.
Di sinilah letak peluang strategisnya. Aturan baru ini menuntut Indonesia untuk memberikan insentif yang berbasis substansi.
Jalan yang direkomendasikan adalah fokus pada insentif untukย aktivitas R&D input, yaitu proses penelitian dan pengembangan itu sendiri.
Pendekatan ini lebih sejalan dengan aturan GloBE dan menghindari jebakan insentif berbasisย aktivitas R&D outputย (sepertiย IP Box regime) yang sering dikritik sebagai praktik pajak berbahaya dan tidak efektif mendorong inovasi nyata.
Dengan kata lain, Pajak Minimum Global “memaksa” Indonesia untuk beralih dari sekadar memberi ‘diskon pajak’ umum menjadi insentif berkualitas tinggi yang menstimulasi inovasiโfondasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Selamat Datang di Era Baru Perpajakan Global
Penting untuk memahami bahwa Pajak Minimum Global bukanlah kebijakan sepihak. Ini adalah bagian dari kesepakatan global bersejarah yang didukung oleh lebih dari 140 negara, yang dikoordinasikan oleh OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
Tujuan utamanya adalah mengakhiriย race to the bottom, di mana negara-negara saling berlomba menurunkan tarif pajak korporasi.
Kebijakan ini memastikan perusahaan multinasional besar membayar pajak yang adil di mana pun mereka beroperasi, sekaligus mencegah praktik pengalihan laba (profit shifting) ke yurisdiksi berpajak rendah.
Ini adalah salah satu reformasi perpajakan internasional paling signifikan dalam satu abad terakhir. Keikutsertaan Indonesia menunjukkan komitmennya untuk menjadi bagian dari tata kelola perpajakan global yang lebih adil dan transparan.
Aturan Pajak Minimum Global telah secara permanen mengubah lanskap investasi dunia. Era di mana negara bisa hanya mengandalkan “diskon pajak” besar-besaran untuk menarik modal telah berakhir.
Indonesia kini berada di tengah pergeseran fundamentalโdari insentif berbasis “potongan pajak” yang kini usang, menuju era insentif “cerdas” yang strategis dan terukur, seperti QRTC yang dirancang untuk mendukung aktivitas bernilai tambah tinggi seperti penelitian dan pengembangan.
Tantangan ini sekaligus menjadi sebuah peluang besar untuk mendesain ulang kebijakan fiskal agar lebih berkualitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Pertanyaan besarnya kini adalah: dengan pergeseran dari sekadar ‘diskon pajak’ menjadi ‘investasi strategis’ melalui insentif, mampukah Indonesia tidak hanya beradaptasi, tetapi juga menjadi lebih kompetitif dalam lanskap persaingan investasi global yang baru ini?
Setiap tahun, dunia perpajakan internasional selalu dinamis. Laporan terbaru dari OECD, “Tax Policy Reforms 2025,” memberikan gambaran komprehensif tentang tren dan perubahan kebijakan di 86 yurisdiksi, termasuk negara-negara OECD.
Laporan ini bukan hanya sekumpulan data, tetapi juga cerminan dari tantangan ekonomi makro yang dihadapi pemerintah di seluruh dunia, mulai dari utang publik yang tinggi hingga kebutuhan belanja untuk isu-isu krusial seperti perubahan iklim, penuaan populasi, dan peningkatan anggaran pertahanan.
Pergeseran Fundamental: Dari Bantuan Umum ke Mobilisasi Penerimaan yang Terarah
Tahun 2024 menandai pergeseran signifikan dari kebijakan bantuan pajak berskala luas yang kita lihat selama pandemi dan krisis inflasi. Kini, fokus pemerintah beralih ke strategi untuk meningkatkan penerimaan negara (revenue mobilization). Hal ini didorong oleh kondisi utang pemerintah yang lebih tinggi pasca-pandemi di sebagian besar negara.
Strategi yang diadopsi bervariasi:
Beberapa negara memilih untuk menaikkan tarif pajak standar seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) Badan, dan PPh Orang Pribadi.
Negara lain mengambil pendekatan yang lebih terarah, seperti mengenakan pajak keuntungan berlebih (excess profit taxes)โbaik sementara maupun permanenโpada sektor-sektor tertentu atau perusahaan yang sangat menguntungkan.
“Perlombaan ke Bawah” Pajak Perusahaan Telah Berakhir
Selama lebih dari dua dekade, banyak negara berlomba-lomba memotong tarif PPh Badan untuk menarik investasi. Tren yang dikenal sebagai “perlombaan ke bawah” atau race to the bottom ini menunjukkan tanda-tanda telah berhenti, bahkan berbalik arahโsebuah pergeseran yang menggoyahkan konsensus kebijakan yang telah lama terbentuk.
Analisis OECD mengungkap sebuah fakta penting yang mengonfirmasi perubahan fundamental ini. Misalnya, negara-negara seperti Ceko, Islandia, Slovenia, Republik Slovak, dan Lituania termasuk di antara yurisdiksi yang menaikkan tarif PPh Badan mereka. Beberapa kenaikan ini bersifat temporer atau ditargetkan pada perusahaan berpenghasilan tinggi, yang menunjukkan pendekatan yang lebih bernuansa.
Fakta Penting: Untuk tahun kedua berturut-turut, lebih banyak negara yang menaikkan tarif Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) daripada yang menurunkannya. Perubahan ini sangat signifikan karena menandakan pergeseran prioritas fiskal global. Kebijakan ini mengisyaratkan bahwa stabilitas fiskal dan mobilisasi pendapatan kini lebih diutamakan daripada persaingan pajak semata untuk menarik modal yang mobile.
Insentif Hijau Kini Meresap ke Semua Jenis Pajak
Kebijakan pajak untuk mendukung transisi ke ekonomi rendah karbon telah meluas secara dramatis. Insentif tidak lagi terbatas pada pajak karbon eksplisit, tetapi kini “tertanam di semua jenis pajak utama,” yang mengubah seluruh sistem fiskal menjadi alat untuk tujuan lingkungan.
Pemerintah kini menggunakan perangkat pajaknya secara terintegrasi untuk mendorong konsumsi dan investasi ramah lingkungan.
Contoh paling menonjol datang dari Denmark, yang mengumumkan rencana terobosan untuk menerapkan pajak karbon pada sektor pertanianโsebuah langkah yang sebelumnya dianggap sangat sulit secara politis.
Di tempat lain, insentif mencakup tarif PPN yang lebih rendah untuk barang ramah lingkungan, keringanan PPh Pribadi untuk transportasi berkelanjutan, dan insentif PPh Badan untuk investasi teknologi bersih. I
ni menunjukkan bahwa pertimbangan lingkungan tidak lagi menjadi kebijakan sampingan, melainkan inti dari strategi fiskal modern.
Saat Pajak Lain Naik, Pajak Properti Justru Turun
Di tengah upaya pemerintah menaikkan pendapatan melalui berbagai jenis pajak, ada satu anomali yang mengejutkan: pajak properti. Reformasi pajak properti pada tahun 2024 secara dominan justru berfokus pada pemotongan, berkebalikan dengan tren umum pengetatan fiskal.
Alasan utama di balik tren yang berlawanan ini adalah untuk meringankan beban pajak bagi rumah tangga, membuat perumahan lebih terjangkau, dan mendorong investasi. Portugal, misalnya, memperkenalkan pembebasan pajak baru bagi pembeli rumah di bawah 36 tahun, dan Luksemburg untuk sementara waktu menaikkan kredit pajaknya bagi individu yang membeli rumah untuk penggunaan pribadi.
Fenomena ini mengungkap adanya pertukaran kebijakan (policy trade-off) yang menarik. Keterjangkauan perumahan bagi masyarakat untuk jangka pendek kini lebih diprioritaskan daripada potensi sumber pendapatan yang stabil dan efisien dari pajak properti.
Insentif Pajak 2025 di Indonesia
Tahun 2025, di tengah ketidakpastian ekonomi global, Indonesia gencar memberikan insentif pajak untuk Wajib Pajak.
Jika mendengar kata “penagihan pajak”, apa yang terlintas di benak Anda? Mungkin surat peringatan bernada keras, ancaman penyitaan aset, atau proses birokrasi yang kaku dan tidak ramah. Persepsi ini, meskipun umum, ternyata sudah mulai usang. Di balik layar, otoritas pajak di seluruh dunia sedang mengalami sebuah revolusi senyap yang mengubah total cara mereka bekerja.
Berdasarkan laporan terbaru dari OECD, “Tax Debt Management Maturity Model 2025 Edition”, praktik penagihan pajak modern tidak lagi hanya mengandalkan kekuatan hukum. Laporan tersebut bukan sekadar daftar tips, melainkan sebuah peta jalan strategis yang mendefinisikan “jalur kematangan” (maturity path) bagi lembaga pajakโdari level Emerging (Berkembang) hingga Aspirational (Aspirasional).
Pergeseran ini fundamental: dari penegakan reaktif menuju pendekatan yang lebih cerdas, manusiawi, dan berbasis teknologi. Artikel ini akan mengupas empat strategi paling cerdas yang menggambarkan bagaimana lembaga pajak di level Leading (Terdepan) beroperasiโmulai dari memanfaatkan ilmu perilaku hingga kecerdasan buatanโyang secara dramatis mengubah interaksi antara negara dan wajib pajak.
Kekuatan Kata-kata Bernilai Jutaan Euro
Ini bukan lagi soal ancaman, melainkan soal psikologi. Otoritas Pajak Belgia, bekerja sama dengan akademisi ekonomi perilaku, melakukan sebuah eksperimen sederhana yang hasilnya luar biasa. Mereka mendesain ulang surat peringatan tunggakan pajak dengan beberapa perubahan kunci: bahasa yang rumit disederhanakan, nada yang mengancam dilembutkan, dan potensi denda disebutkan secara eksplisit dan jelas.
Hasilnya? Surat yang didesain ulang ini terbukti sangat efektif. Tingkat kepatuhan wajib pajak yang menerimanya meningkat sebesar 12,9 poin persentase. Secara finansial, perubahan sederhana ini menghasilkan pendapatan bersih tambahan sekitar 4 juta Euro bagi negara.
Dari perspektif inovasi sektor publik, ini adalah bukti kuat tingginya imbal hasil (ROI) dari penerapan ilmu ekonomi perilaku pada desain layanan publik. Intervensi ini mengubah model dari yang semula berpusat pada penegakan (enforcement-centric) menjadi berpusat pada manusia (human-centric) dengan biaya fiskal yang minimal. Ini adalah ciri khas lembaga yang matang: memahami bahwa pendekatan psikologis seringkali jauh lebih efektif daripada sekadar tekanan.
Mesin Penagih yang Tidak Pernah Tidur
Otoritas pajak modern tidak lagi bergantung sepenuhnya pada jam kerja staf manusia. Teknologi kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi telah menjadi garda depan pelayanan dan efisiensi. Ini sejalan dengan atribut “Strategi TI” dalam model kematangan OECD, di mana lembaga level Leading mengambil “pandangan holistik tentang bagaimana perangkat TI administrasi pajak dapat meningkatkan hasil.”
Dua contoh menonjol menggambarkan prinsip ini:
Amerika Serikat: Internal Revenue Service (IRS) menggunakan voice bot dan chatbot untuk menjawab pertanyaan umum wajib pajak tentang utang mereka. Hasilnya, volume live chat yang harus ditangani agen manusia turun drastis hingga 67-83%. Ini bukan sekadar efisiensi, melainkan alokasi sumber daya strategis yang membebaskan staf ahli untuk menangani kasus-kasus paling kompleks.
Jepang: National Tax Agency (NTA) menggunakan AI untuk memprediksi hari dan waktu terbaik untuk menelepon wajib pajak yang menunggak agar panggilannya paling mungkin dijawab. Tingkat respons panggilan yang menggunakan rekomendasi AI 8,6% lebih tinggi dibandingkan panggilan tanpa bantuan AI.
Implikasinya jelas: AI dan otomatisasi memungkinkan layanan 24/7, mengurangi beban kerja staf, dan membuat proses penagihan menjadi lebih presisi dan berbasis data, bukan lagi sekadar untung-untungan.
Mencegah Lebih Baik Daripada Mengejar
Pergeseran strategis yang paling fundamental dalam model kematangan OECD adalah dari penagihan reaktif menjadi intervensi proaktif. Ini adalah esensi dari Tema 2.1: “Keterlibatan dengan wajib pajak sebelum tanggal jatuh tempo.” Alih-alih mengejar penunggak, otoritas pajak yang matang justru membantu wajib pajak agar tidak sampai menunggak.
Studi kasus terbaik datang dari Singapura. Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) mengirimkan pengingat pembayaran melalui SMS kepada para direktur perusahaan kecil beberapa hari sebelum tanggal jatuh tempo pajak. Inisiatif sederhana berbiaya rendah ini sukses besar: sebanyak 84,3% perusahaan yang dihubungi segera membayar penuh atau mengatur rencana cicilan sebelum terlambat.
Ini adalah sebuah terobosan karena mengubah total dinamika hubungan. Dari yang semula antagonistik (otoritas vs. penunggak), kini menjadi lebih suportif (otoritas membantu wajib pajak untuk patuh). Ini adalah contoh klasik pergerakan dari model Established (Mapan) yang reaktif ke model Leading (Terdepan) yang proaktif.
Seni Mengetahui Kapan Harus Menyerah
Ini mungkin terdengar sangat kontra-intuitif, tetapi merupakan salah satu tanda otoritas pajak yang paling strategis dan matang. Australian Taxation Office (ATO) menerapkan “Realistic Recovery Strategy” atau Strategi Penagihan yang Realistis.
Inti dari strategi ini adalah pengakuan bahwa mengejar setiap sen utang pajak tidak selalu efisien atau ekonomis.
Dengan menggunakan model analitik canggih, ATO mengidentifikasi utang yang “tidak ekonomis untuk dikejar” (uneconomical to pursue). Dengan secara sadar memutuskan untuk tidak mengejar utang-utang ini, mereka dapat memfokuskan sumber daya terbatas pada utang bernilai besar dengan probabilitas penagihan lebih tinggi.
Pendekatan ini secara sempurna merefleksikan tingkat kematangan Aspirational dalam atribut “Pengambilan keputusan kapan harus berhenti aktif mengejar utang.”
Model OECD memetakan evolusi dari panduan yang samar-samar (Emerging), menjadi berbasis aturan (Established), hingga akhirnya menggunakan pemodelan prediktif dan AI (Aspirational).
Ini menunjukkan pemikiran strategis yang matang: sumber daya itu terbatas dan harus dialokasikan di tempat yang memberikan hasil terbaik, sebuah prinsip manajemen yang relevansinya jauh melampaui dunia.
Masa Depan Penagihan Pajak
Kisah-kisah dari Belgia, AS, Jepang, Singapura, dan Australia ini bukanlah anomali. Mereka adalah penanda masa depan manajemen utang negara.
Laporan OECD dengan jelas memetakan sebuah perjalanan evolusi: dari penegakan hukum yang kaku menuju pendekatan yang lebih cerdas dengan secara sadar bergerak naik di sepanjang kurva kematangan.
Penagihan pajak yang efektif di masa depan bukan lagi tentang seberapa keras negara bisa menekan, melainkan seberapa cerdas negara bisa berinteraksi dengan warganya. Ini adalah tentang efisiensi yang digerakkan oleh data, empati yang didesain melalui ilmu perilaku, dan efektivitas yang didukung oleh teknologi.
Sebagai penutup, mari kita renungkan sebuah pertanyaan:
Jika pemerintah bisa menerapkan inovasi secerdas ini untuk menagih pajak, bayangkan potensi peningkatannya jika pendekatan serupa diterapkan pada layanan publik lainnya?
Jangan salah langkah! Pelajari peraturan PPh PMSE terbaru (PMK 37 Tahun 2025) untuk toko online Anda. Pahami kewajiban dan manfaatkan celah legal agar bisnis Anda tumbuh tanpa masalah pajak.
Apakah Anda pelaku UMKM atau pemilik toko online? Tahun 2025 membawa aturan baru terkait Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 pada Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Aturan ini tertuang dalam PMK No. 37/2025 dan PER-15/PJ/2025.
๐ Jangan khawatir, aturan ini bukan pajak baru, melainkan penyempurnaan mekanisme pemungutan pajak agar lebih adil, sederhana, dan efisien.
Mari kita bedah secara ringkas, jelas, dan tuntas berdasarkan salindia berikut:
Video Rangkuman PPh e-Commerce dalam 6 menit.
Silakan diklik tombol video untuk memutar secara penuh.
๐ Mekanisme PPh Pasal 22 pada PMSE
1. Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP)
Omzet โค Rp500 Juta โ Bebas PPh 22.
Omzet > Rp500 Juta โ Rp4,8 Miliar โ Tarif 0,5%. Bisa Final (jika ikut PP 55/2022) atau Tidak Final.
Omzet > Rp4,8 Miliar โ Tarif 0,5%, sifat tidak final, masuk sebagai kredit pajak di SPT.
2. Wajib Pajak Badan (WP Badan)
Omzet โค Rp4,8 Miliar โ Tarif 0,5%, bisa Final / Tidak Final.
Omzet > Rp4,8 Miliar โ Tarif 0,5%, sifat tidak final.
๐ฅ Siapa yang Jadi Pemungut Pajak?
Pemerintah menunjuk โPihak Lainโ, yaitu penyelenggara PMSE (misalnya marketplace besar, platform e-commerce, atau aplikasi transaksi online).
Kriteria utama Penyelenggara PMSE agar bisa ditunjuk:
Menggunakan rekening eskro (escrow account).
Punya nilai transaksi > Rp600 juta setahun atau > Rp50 juta sebulan.
Atau punya traffic >12 ribu pengakses setahun atau >1.000 sebulan.
๐ Siapa yang Disebut Pedagang Dalam Negeri?
Pedagang yang bertransaksi melalui marketplace atau aplikasi online dengan syarat:
Menggunakan rekening bank lokal / keuangan sejenis.
Transaksi menggunakan IP Indonesia atau nomor telepon +62.
Termasuk: toko online, jasa ekspedisi, perusahaan asuransi, hingga pelaku usaha berbasis aplikasi.
๐ Kewajiban Pedagang Dalam Negeri
Sebelum menerima penghasilan, pedagang wajib menyampaikan:
NPWP/NIK & alamat korespondensi.
Surat pernyataan omzet (โค Rp500 Juta atau > Rp500 Juta).
Surat Keterangan Bebas (jika ada).
๐ Catatan: Informasi harus disampaikan ulang tiap awal tahun pajak.
๐ฐ Tarif & Saat Terutang PPh Pasal 22
Tarif: 0,5% dari peredaran bruto (tidak termasuk PPN/PPnBM).
Saat terutang: Ketika pembayaran diterima oleh Pihak Lain.
Jika omzet WP OP melewati Rp500 juta, pajak mulai dipungut bulan berikutnya setelah menyampaikan surat pernyataan.
๐ซ Transaksi yang Tidak Dipungut Pajak
Beberapa transaksi dikecualikan, misalnya:
Penjualan oleh WP OP dengan omzet โค Rp500 juta.
Jasa ojol/kurir aplikasi.
Penjualan pulsa & kartu perdana.
Penjualan emas perhiasan & batu mulia.
Pengalihan hak atas tanah/bangunan.
๐ Dokumen Tagihan = Bukti Pemungutan Pajak
Pedagang wajib membuat dokumen tagihan elektronik yang berisi:
Nomor & tanggal, nama akun, nama Pihak Lain.
Identitas pembeli, jenis barang/jasa, harga, potongan, & nilai PPh 22.
Dokumen ini sah sebagai bukti pemungutan PPh 22.
๐ Kewajiban Pihak Lain (Marketplace/Platform)
Menyetor PPh 22 ke kas negara setiap bulan.
Melaporkan ke DJP data pedagang & transaksi (NPWP/NIK, omzet, dokumen tagihan, dll).
Mohon di Sub dan like. Video ini dibuat sebelum PER Dirjen diterbitkan
Istilah yang digunakan
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22: Pajak yang dikenakan atas penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh dari usaha atau kegiatan, yang dipungut oleh pihak lain (pemungut pajak) pada saat pembayaran. Dalam konteks ini, PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Pihak Lain atas penghasilan pedagang di PMSE.
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE): Perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik, seperti marketplace online.
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Penyelenggara PMSE): Pelaku usaha yang menyediakan sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. Contohnya adalah platform marketplace online.
Pihak Lain: Penyelenggara PMSE yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan (melalui delegasi ke Direktur Jenderal Pajak) sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penghasilan pedagang dalam negeri yang bertransaksi melalui sistem mereka.
Pedagang Dalam Negeri: Pelaku usaha (orang pribadi atau badan) yang berkedudukan di Indonesia dan melakukan PMSE, yang memenuhi kriteria menerima penghasilan melalui rekening bank/keuangan sejenis dan bertransaksi menggunakan IP address atau kode telepon Indonesia.
Peredaran Bruto: Imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis. Ini adalah dasar pengenaan pajak.
Rekening Eskro (Escrow Account): Rekening yang digunakan untuk menampung dana transaksi yang akan diserahkan kepada pihak penerima setelah kondisi tertentu terpenuhi, dikelola oleh pihak ketiga netral. Digunakan sebagai salah satu kriteria penunjukan Pihak Lain.
Traffic atau Pengakses: Jumlah pengunjung atau pengguna yang mengakses sarana elektronik yang disediakan oleh Penyelenggara PMSE. Salah satu kriteria penunjukan Pihak Lain.
Surat Pernyataan Omzet s.d. Rp500 Juta: Dokumen yang disampaikan oleh WP Orang Pribadi Pedagang Dalam Negeri yang menyatakan bahwa peredaran bruto mereka pada Tahun Pajak berjalan masih di bawah atau sama dengan Rp500.000.000,00, sehingga PPh Pasal 22 tidak dipungut oleh Pihak Lain.
Surat Pernyataan Omzet Melebihi Rp500 Juta: Dokumen yang disampaikan oleh WP Orang Pribadi Pedagang Dalam Negeri ketika peredaran bruto mereka pada Tahun Pajak berjalan telah melampaui Rp500.000.000,00, yang memicu dimulainya pemungutan PPh Pasal 22 oleh Pihak Lain.
Surat Keterangan Bebas (SKB): Surat yang menyatakan bahwa Wajib Pajak dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk transaksi tertentu. Jika Pedagang Dalam Negeri memiliki dan menyampaikan SKB, PPh Pasal 22 tidak dipungut oleh Pihak Lain.
PPh Bersifat Final: Pajak penghasilan yang perhitungan dan pelunasannya selesai pada saat penghasilan diterima atau diperoleh, dan tidak dapat dikreditkan atau diperhitungkan kembali dalam SPT Tahunan. Contohnya PPh Pasal 4 ayat (2) atas persewaan tanah/bangunan.
PPh Tidak Final: Pajak penghasilan yang dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam SPT Tahunan untuk mengurangi PPh terutang akhir tahun.
Dokumen Tagihan: Dokumen yang dibuat oleh Pedagang Dalam Negeri atas penjualan barang/jasa melalui PMSE yang berfungsi sebagai bukti pemungutan PPh Pasal 22.
SPT Masa PPh Unifikasi: Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan untuk melaporkan kewajiban pemotongan/pemungutan PPh dan penyetorannya dalam satu Masa Pajak. Pihak Lain menggunakan ini untuk pelaporan.
Masa Pajak: Jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang, biasanya satu bulan kalender.
Tahun Pajak: Jangka waktu satu tahun kalender, kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Direktur Jenderal Pajak (DJP): Pejabat yang diberikan delegasi kewenangan oleh Menteri Keuangan untuk menunjuk Pihak Lain dan menetapkan batasan kriteria tertentu.
Banyak orang beranggapan bahwa warisan dari orang tua atau keluarga tidak pernah kena pajak. Padahal, dalam praktiknya, ada aturan khusus yang mengatur bagaimana harta warisan diperlakukan dalam sistem perpajakan di Indonesia. Kesalahpahaman ini sering menimbulkan masalah, mulai dari sengketa keluarga hingga persoalan dengan otoritas pajak.
Lalu, benarkah warisan selalu bebas pajak? Ataukah ada kondisi tertentu di mana penerima waris wajib melaporkan dan membayar pajak atas aset yang diperoleh?
Dalam artikel ini, kita akan membahas secara tuntas mengenai pajak warisan di Indonesia agar aman terhindar dari Pajak Penghasilan.
Warisan Bukan Objek Pajak
Tidak ada perdebatan lagi bahwa warisan merupakan penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak. Hal ini diatur di Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Bunyi ketentuannya dari dulu hingga sekarang tidak ada perubahan. Secara kalimat lengkapnya begini, “Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:warisan.”
Bagian penjelasan huruf b menyebutkan “cukup jelas”. Tidak ada syarat supaya dikecualikan.
Hukum Waris di Indonesia
Ketentuan perpajakan tidak mengatur tentang waris. Tapi hukum yang berlaku di Indonesia ada 3 yang mengatur masalah waris.
Apa dan bagaimana warisan? Jawabannya ada di ketiga hukum tersebut.
Hukum Waris Islam
Bagi pemeluk agama Islam, warisan wajib hukumnya dibagikan menurut kaidah fiqih yang sering disebut faraid.
Faraidh adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada aturan pembagian harta warisan berdasarkan syariat, terutama yang diatur dalam Al-Qurโan (QS. An-Nisa ayat 11, 12, dan 176), Hadis Nabi, serta ijmaโ ulama.
Istilah ini berasal dari kata faradha yang berarti โmenetapkanโ, sehingga faraidh adalah pembagian yang sudah ditetapkan Allah.
Menurut Islam, warisan yang dibagi jika telah terpenuhi kewajiban. Kewajiban dimaksud adalah:
Pelaksanaan wasiat (maksimal 1/3 dari harta, tidak kepada ahli waris kecuali disetujui ahli waris lain). Barulah setelah itu sisanya dibagikan kepada ahli waris.
Biaya pemakaman pewaris (tajhiz al-mayyit).
Pelunasan hutang pewaris.
Ahli Waris Ditentukan Syariat
Ahli waris dalam faraidh sudah ditentukan oleh Al-Qurโan dan Sunnah, terdiri dari:
Ashabul Furudh โ ahli waris yang mendapat bagian tertentu (misalnya: 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8). Contoh: suami, istri, ayah, ibu, anak perempuan.
โAshabah โ ahli waris yang mendapatkan sisa harta setelah ashabul furudh. Umumnya laki-laki lebih berperan dalam kategori ini.
Dzawil Arham โ kerabat jauh yang bisa mewarisi jika tidak ada ashabul furudh dan โashabah.
Perbedaan Bagian Laki-laki dan Perempuan
Secara umum, laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari perempuan dalam tingkat ahli waris yang sama. Contoh: anak laki-laki dan anak perempuan โ bagian laki-laki = 2:1.
Prinsip ini bukan diskriminasi, melainkan karena laki-laki dalam syariat Islam memiliki kewajiban nafkah terhadap keluarga.
Tabel Pembagian
Ahli Waris
Bagian
Syarat
Suami
1/2
Jika pewaris tidak punya anak/cucu.
1/4
Jika pewaris punya anak/cucu.
Istri
1/4
Jika pewaris tidak punya anak/cucu.
1/8
Jika pewaris punya anak/cucu.
Ayah
1/6
Jika pewaris punya anak.
โAshabah (sisa)
Jika pewaris tidak punya anak.
Ibu
1/3
Jika pewaris tidak punya anak.
1/6
Jika pewaris punya anak.
1/6
Jika pewaris meninggalkan beberapa saudara (โฅ2).
Anak Laki-laki
โAshabah
Mendapat sisa, dan 2 kali bagian anak perempuan.
Anak Perempuan (tunggal)
1/2
Jika sendirian tanpa anak laki-laki.
Anak Perempuan (โฅ2)
2/3
Dibagi rata jika โฅ2, tanpa anak laki-laki.
Anak Perempuan (dengan anak laki-laki)
โAshabah
Mendapat sisa, dengan perbandingan 2:1.
Saudara Laki-laki Seibu
1/6
Jika sendirian, tanpa anak & ayah.
1/3
Jika โฅ2 orang, tanpa anak & ayah.
Saudara Perempuan Kandung
1/2
Jika sendirian, tanpa anak & ayah.
2/3
Jika โฅ2 orang, tanpa anak & ayah.
โAshabah
Jika bersama saudara laki-laki kandung (2:1).
Hukum Waris di KUH Perdata
Secara historis dan praktik di Indonesia hukum waris KUH Perdata digunakan oleh warga negara:
Warga negara Indonesia non-Muslim (umumnya keturunan Tionghoa, Eropa, atau lainnya) yang tidak terikat hukum adat tertentu.
Warga negara asing yang tinggal di Indonesia (karena KUH Perdata awalnya ditujukan bagi golongan Eropa).
Masyarakat yang secara yuridis memilih tunduk pada KUH Perdata (misalnya melalui perjanjian perkawinan campuran atau pilihan hukum).
Prinsip-Prinsip Utama Hukum Waris Perdata
Bahwa hukum waris berlaku jika pewaris telah meninggal dunia. Pasal 830 KUH Perdata: โPewarisan hanya berlangsung karena kematian.โ
Artinya, warisan baru terbuka setelah pewaris meninggal dunia.
Ada Hubungan Hukum Antara Pewaris dan Ahli Waris
Dalam hukum waris perdata, terdapat asas yang disebut asas “nasciturus pro iam nato habetur”
Yang dapat menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah (nasciturus hingga derajat tertentu) dan pasangan sah.
Sistem Golongan Ahli Waris
Ahli waris menurut KUH Perdata dibagi dalam empat golongan:
Golongan I โ Anak (keturunan ke bawah) + pasangan (suami/istri yang hidup terlama).
Golongan II โ Orang tua (ayah & ibu) + saudara pewaris, termasuk keturunan saudara (keponakan).
Golongan III โ Kakek-nenek dan leluhur ke atas.
Golongan IV โ Paman, bibi, dan keturunannya yang lebih jauh.
๐ Prinsip golongan terdekat menutup golongan berikutnya berarti: Selama masih ada ahli waris dari golongan yang lebih dekat, maka golongan di bawahnya tidak mendapat warisan sama sekali.
Prinsip ini didasarkan pada asas kedekatan hubungan darah dengan pewaris:
Keturunan langsung (anak) dianggap paling berhak.
Jika tidak ada, maka hak berpindah ke orang tua & saudara.
Jika masih tidak ada, berpindah ke leluhur (kakek-nenek).
Baru terakhir keluarga samping jauh (paman, bibi, sepupu).
Golongan
Siapa Saja
Keterangan & Prinsip Penutupan
Golongan I
– Anak (dan keturunannya, misalnya cucu melalui plaatsvervulling) – Suami/istri yang hidup terlama
Selama ada anak (atau keturunannya), maka semua golongan di bawah tertutup. Pasangan selalu mewaris bersama anak.
Golongan II
– Orang tua (ayah & ibu) – Saudara kandung pewaris – Keponakan (anak saudara, melalui plaatsvervulling)
Berhak jika tidak ada golongan I. Jika masih ada orang tua/saudara, maka golongan III & IV tertutup.
Golongan III
– Kakek-nenek (dari pihak ayah maupun ibu)
Berhak jika golongan I & II tidak ada. Jika masih ada kakek-nenek, maka golongan IV tertutup.
Golongan IV
– Paman, bibi (saudara orang tua pewaris) – Sepupu (keturunan mereka, melalui plaatsvervulling)
Hanya berhak jika golongan I, II, III tidak ada. Ini golongan terakhir menurut KUH Perdata.
Jadi, yang namanya warisan itu tidak bisa “suka-suka”. Tidak bisa seperti: tiba-tiba saya mendapatkan ahli waris, yang pewarisnya bukan keluarga.
Asas Legitime Portie
Asas Legitime Portie adalah asas dalam hukum waris (khususnya yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ KUHPerdata) yang mengatur bahwa ada bagian tertentu dari harta peninggalan pewaris yang wajib diberikan kepada ahli waris tertentu (legitimaris) dan tidak boleh dikurangi atau dihapuskan, meskipun pewaris membuat wasiat atau hibah.
Legitime Portie (LP) merupakan bagian mutlak (hak mutlak) ahli waris tertentu yang dilindungi undang-undang.
Ahli waris yang berhak disebut legitimaris, yaitu:
Anak-anak sah (dan keturunannya jika anak sudah meninggal).
Orang tua (bapak dan ibu) jika pewaris tidak punya anak.
Kadang termasuk istri/suami (tergantung interpretasi).
Pewaris memang boleh membuat wasiat, hibah, atau memberikan harta kepada pihak lain, tetapi tidak boleh melanggar bagian Legitime Portie.
Jika pewaris melanggar (misalnya membagikan seluruh harta ke pihak luar lewat wasiat), maka legitimaris berhak menggugat agar wasiat/hibah itu dikurangi sampai hak LP terpenuhi.
Pentingnya Akta Waris
Akta Notaris pembagian waris (sering disebut Akta Pembagian Warisan atau Akta Pembagian Hak Bersama) adalah dokumen resmi yang dibuat di hadapan notaris untuk menetapkan dan mengesahkan pembagian harta peninggalan pewaris kepada ahli waris.
Kekuatan Hukum yang Pasti
Akta notaris merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (Pasal 1868 KUHPerdata).
Jika pembagian hanya dilakukan secara lisan atau tertulis biasa tanpa notaris, bisa diperdebatkan atau dibatalkan.
Dengan akta notaris, kedudukan hukum para ahli waris menjadi jelas dan terlindungi.
Syarat Administrasi Pertanahan & Perbankan
Untuk membalik nama sertifikat tanah warisan ke atas nama ahli waris, BPN (Badan Pertanahan Nasional) mewajibkan adanya akta pembagian waris.
Untuk mencairkan tabungan, deposito, atau aset lain di bank atas nama pewaris, bank biasanya meminta akta waris sebagai syarat pencairan.
Kepatuhan Pajak dan Administrasi
Pembagian waris lewat akta notaris juga memudahkan penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) final atas pengalihan harta warisan yang dibagi.
Notaris memastikan bahwa proses tersebut sesuai dengan aturan perpajakan dan perdata.
Surat Keterangan Bebas
Surat Keterangan Bebas atau SKB merupakan surat yang ditanda-tangani oleh kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) tempat pewaris berada.
SKB wajib diajukan oleh ahli waris kepada KPP Pratama dimana pewaris terdaftar. Jika selama hidup tidak pernah terdaftar, maka dapat dibuatkan Surat Pernyataan bahwa selama hidupnya memiliki penghasilan dibawah PTKP. Dan permohonan diajukan sesuai domisili pewaris.
Dasar pembuatan SKB adalah Akta Pembagian Warisan atau Akta Pembagian Hak Bersama.
Biasanya, jika warisan berbentuk barang, maka agar pembagian sesuai ketentuan, maka untuk memudahkan harta warisan dijual. Hasil penjualannya dibagikan kepada ahli waris.
Misal harta warisannya berupa tanah 30 hektar di pusat kota. Ini pasti nilainya besar. Dan semua ahli waris tentu berharap mendapatkan jatah sesuai ketentuan.
Maka tanah tersebut dijual. Dicari pembeli. Nanti, sertifikat tanah akan beralih dari pewaris, kepada pembeli.
Namun, dalam konteks hukum, penyerahan harta warisan ada dua tahap, yakni dari pewaris ke ahli waris. Dan dari ahli waris kepada pembeli.
Transaksi Yang Dibebaskan
Dari dua transaksi tersebut, transaksi yang bebaskan dari Pajak Penghasilan adalah transaksi dari pewaris kepada ahli waris.
Jadi Surat Keterangan Bebas atau SKB diberikan untuk transaksi dari pewaris kepada ahli waris. Saat menerima tanah dari pewaris, si ahli waris tidak dikenakan Pajak.
Namun, saat ahli waris jual kepada pembeli, ahli waris wajib tetap bayar Pajak.
Jadi, bukan berarti 100% bebas pajak ya!
Siapa Yang Bayar BPHTB?
BPHTB adalah bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Saya sering menyebutkan pajak atas dokumen SHM.
BPHTB dibayar oleh yang mengurus SHM (sertifikat hak milik) di Badan Pertanahan Nasional.
Jadi yang bayar BPHTB adalah pembeli.
Sedangkan yang bayar PPh adalah penjual. Namun, seringkali penjual “lari begitu saja”.
SHM tidak akan diproses kecuali PPh dan BPHTB dilunasi!
Jika penjual tanah “lari”, maka pembeli yang bayar PPh. Jika tidak dibayar, maka SHM tidak akan diproses.
Tax planning adalah upaya legal wajib pajak untuk meminimalkan beban pajak melalui pemilihan alternatif yang diatur oleh peraturan perpajakan, tanpa melanggar hukum. Ya, tax planning itu legal. Kalau illegal namanya tax evasion.
Botax Consulting Indonesia
Ada tiga istilah yang sering digunakan, yaitu tax planning, tax avoidance, dan tax evasion. Berikut sedikit penjelasan:
Tax planning adalah strategi legal dan sah yang dilakukan wajib pajak untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan ketentuan yang sudah diatur dalam perundang-undangan perpajakan.
Contoh:
Memanfaatkan insentif pajak dari pemerintah
Memilih metode penyusutan aset yang paling pendek masa manfaatnya sesuai ketentuan.
Mengatur transaksi agar sesuai dengan ketentuan perpajakan, dan dilengkapi dengan dokumen pendukung yang komprehensif.
๐ข Tujuannya: Efisiensi biaya dan optimalisasi keuntungan setelah pajak ๐ข Status hukum: Sah dan tidak menimbulkan sengketa.
โ ๏ธ Tax Avoidance (Penghindaran Pajak)
Ini adalah upaya mengurangi beban pajak dengan memanfaatkan celah hukum atau ketidaksempurnaan dalam regulasi. Secara teknis masih legal, tapi sering dianggap tidak etis karena bertentangan dengan semangat undang-undang.
Contoh:
Transfer pricing antar perusahaan afiliasi, pada saat pemeriksaan masih sering dispute karena fiskus menggunakan data pembanding yang berbeda.
Menyimpan keuntungan di negara tax haven atau negara dengan tarif lebih rendah, seolah-olah induk dari perusahaan di Indonesia, atau dibuat transaksi antar perusahaan afiliasi.
๐ก Tujuannya: Minimalkan pajak secara legal tapi kontroversial ๐ก Status hukum: Legal tapi berada di โzona abu-abuโ.
โ Tax Evasion (Penggelapan Pajak)
Ini adalah tindakan ilegal untuk menghindari pembayaran pajak, seperti memalsukan laporan keuangan atau menyembunyikan penghasilan.
Contoh:
Tidak melaporkan sebagian penjualan. Omset sebagian yang dilaporkan.
Membuat biaya fiktif untuk memperkecil laba. Biaya dibesar-besarkan agar laba menjadi lebih kecil.
Menyembunyikan aset atau pendapatan.
๐ด Tujuannya: Hindari pajak sepenuhnya dengan cara melanggar hukum ๐ด Status hukum: Ilegal dan bisa dikenakan sanksi pidana.
Podcast tax planning dalam 23 menit
Fungsi Pajak Bagi Pemerintah
Pajak merupakan kontribusi wajib dari individu atau badan usaha kepada negara yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, tanpa mendapatkan imbalan secara langsung.
Sistem perpajakan memegang peran sentral dalam suatu negara, tidak hanya sebagai pilar fiskal tetapi juga sebagai instrumen strategis untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial.
Dalam kerangka ekonomi modern, pajak berfungsi sebagai alat vital untuk mendanai pengeluaran publik dan memengaruhi perilaku ekonomi.
Fungsi utama pajak dapat diklasifikasikan ke dalam empat pilar fundamental. Pertama, Fungsi Anggaran (Budgetary Function), yang menempatkan pajak sebagai sumber pendapatan negara yang paling signifikan.
Dana yang terkumpul ini digunakan untuk membiayai belanja pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur vital, layanan pendidikan, dan fasilitas kesehatan. Penerimaan APBN Indonesia, sekitar 82% berasal dari penerimaan perpajakan.
Dengan demikian, pajak berfungsi sebagai motor penggerak pembangunan nasional.
Kedua, Fungsi Regulasi (Regulatory Function), di mana pajak digunakan sebagai alat untuk mengendalikan perilaku ekonomi dan sosial.
Pemerintah dapat mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi pada barang impor untuk melindungi industri domestik atau memberikan insentif pajak untuk mendorong investasi di sektor-sektor tertentu.
Ketiga, Fungsi Redistribusi (Redistributive Function), yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan di masyarakat.
Melalui sistem pajak progresif, individu atau badan dengan kemampuan finansial yang lebih besar dikenakan pajak dengan persentase yang lebih tinggi.
Hasil dari pemungutan ini kemudian didistribusikan kembali dalam bentuk program kesejahteraan sosial, seperti subsidi dan bantuan pendidikan, yang secara langsung menguntungkan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Keempat, Fungsi Stabilisasi (Stabilization Function), yang memungkinkan pemerintah untuk menstabilkan perekonomian.
Selama periode resesi, tarif pajak dapat diturunkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong konsumsi.
Sebaliknya, pada saat inflasi tinggi, pajak dapat dinaikkan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dan meredam tekanan harga.
Fungsi ini menjadikan kebijakan perpajakan sebagai komponen integral dari kebijakan fiskal makroekonomi.
Antara Legalitas Versus Etika
Manajemen pajak adalah strategi komprehensif yang dirancang untuk mengendalikan, merencanakan, dan mengorganisasikan aspek-aspek perpajakan dengan tujuan memenuhi kewajiban pajak secara benar sambil meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar.
Dalam spektrum manajemen pajak, terdapat tiga konsep utama yang sering disalahpahami: perencanaan pajak, penghindaran pajak, dan penggelapan pajak.
Pertama, Perencanaan Pajak (Tax Planning) adalah langkah proaktif yang dilakukan Wajib Pajak untuk mengatur aktivitas keuangannya agar beban pajak menjadi minimal.
Kedua, Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) adalah upaya untuk mengurangi beban pajak dengan memanfaatkan celah atau kelemahan (loopholes) dalam peraturan perpajakan.
Meskipun secara teknis tidak melanggar hukum, praktik ini seringkali beroperasi di area abu-abu etika dan legalitas.
Terdapat perdebatan tentang sejauh mana penghindaran pajak dapat dianggap etis, terutama jika dilakukan secara agresif.
Skema penghindaran pajak yang agresif sering kali melibatkan transaksi kompleks, seperti transfer pricing atau penggunaan perusahaan di negara-negara suaka pajak (tax havens), yang bertujuan untuk menggerus basis pajak di negara sumber penghasilan.
Sebagai respons terhadap praktik ini, organisasi global seperti OECD telah menginisiasi proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), yang bertujuan untuk memastikan bahwa laba dikenakan pajak di mana nilai ekonomi tersebut diciptakan.
Proyek ini menunjukkan bahwa meskipun suatu praktik mungkin legal secara teknis, otoritas pajak internasional dan domestik semakin gencar memerangi strategi yang dianggap menggerus penerimaan negara secara tidak adil.
Ketiga, Penggelapan Pajak (Tax Evasion) adalah tindakan ilegal yang melanggar hukum perpajakan.
Ini termasuk tindakan seperti tidak melaporkan sebagian pendapatan, menyembunyikan aset di luar negeri, atau memalsukan biaya untuk mengurangi laba kena pajak.
Di Indonesia, penggelapan pajak masih menjadi isu yang signifikan, dipicu oleh rendahnya moral pajak dan persepsi bahwa risiko tertangkap masih kecil.
Di era Coretax, risiko tertangkap oleh kantor pajak semakin besar. Hal ini karena Coretax sudah menggabungkan berbagai sumber informasi dan diolah menjadi alat pengawasan.
Perbedaan mendasar antara ketiga konsep ini terletak pada legalitasnya. Perencanaan pajak dan penghindaran pajak (yang tidak agresif) beroperasi dalam koridor hukum, sedangkan penggelapan pajak secara jelas berada di luar koridor hukum.
Prinsip dan Persyaratan Tax Planning
Agar suatu strategi tax planning dapat dikatakan efektif dan berkelanjutan, terdapat beberapa persyaratan utama yang harus dipenuhi.
Pertama, strategi tax planning harus mematuhi seluruh ketentuan perpajakan yang berlaku.
Tax planning yang baik berpegang teguh pada prinsip legalitas untuk menghindari sanksi hukum di kemudian hari.
Kedua, strategi tax planning harus masuk akal secara bisnis (business sensible).
Keputusan pajak tidak boleh dibuat secara terpisah dari strategi bisnis perusahaan secara keseluruhan.
Sebaliknya, tax planning harus terintegrasi dengan tujuan jangka pendek dan jangka panjang perusahaan, seperti meningkatkan efisiensi operasional atau mengoptimalkan arus kas.
Ketiga, setiap strategi harus didukung oleh bukti dan dokumentasi yang memadai.
Semua transaksi dan keputusan yang memengaruhi perhitungan pajak harus memiliki dasar yang jelas dan dapat diverifikasi, seperti perjanjian kontrak, faktur, dan catatan akuntansi.
Dokumentasi yang rapi adalah kunci untuk meminimalkan risiko sengketa pajak dan membuktikan kepatuhan kepada otoritas pajak.
Tanpa bukti yang kuat, suatu strategi tax planning yang sah pun bisa ditolak oleh pemeriksa pajak.
Pemeriksa pajak dapat melakukan koreksi positif jika tidak ada bukti yang kuat.
Secara ringkas, strategi umum tax planning yaitu:
Penghematan Pajak, dilakukan dengan cara menggunakan biaya yang dapat dikurangkan (deductible expense) misalnya gaji, bunga pinjaman, penyusutan, training.
Penundaan Pembayaran Pajak, dilakukan dengan cara menunda pengakuan pendapatan atau mempercepat pengakuan biaya (tanpa melanggar aturan).
Optimalisasi Kredit Pajak, misalnya untuk PPh badan dengan memanfaatkan PPh Pasal 22 (pemungutan), PPh Pasal 23 (dipotong oleh pihak pemberi penghasilan), PPh Pasal 25 (pembayaran pajak tahun berjalan), dan PPh Pasal 24 (pajak yang dibayar di luar negeri).
Pemanfaatan Insentif, yaitu memanfaatkan tax holiday jika memenuhi syarat, tax allowance, fasilitas PPN, super deduction untuk R&D/pelatihan.
Sistem perpajakan di Indonesia menawarkan dua skema utama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yaitu Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final dan PPh dengan tarif umum.
Pilihan di antara keduanya merupakan keputusan strategis yang krusial bagi keberlangsungan bisnis.
PPh Final, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 55 Tahun 2022, dikenakan tarif PPh final 0,5% bagi Wajib Pajak (WP) dengan peredaran bruto tertentu, yaitu tidak melebihi Rp4,8 Miliar dalam satu tahun pajak.
PP 55 tahun 2022 sampai dengan tulisan ini dibuat, belum diubah. Walaupun seharusnya sudah diubah untuk mengakomodir “perluasan” penggunaan PPh final.
Keunikan dari skema PPh final 0,5% adalah adanya fasilitas khusus bagi WP Orang Pribadi (OP), di mana penghasilan bruto hingga Rp500 juta dalam satu tahun pajak tidak dikenai PPh final sama sekali.
Dasar hukum fasilitas tidak dikenakan PPh hingga Rp500 juta adalah Pasal 7 ayat (2a) Undang-Undang PPh yaitu PTKP bagi yang menggunakan PPh final 0,5%.
Ketentuan ini berlaku secara kumulatif, dihitung sejak masa pajak pertama dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Di sisi lain, skema PPh Umum dikenakan berdasarkan Penghasilan Kena Pajak, yang dihitung dari penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya yang diperkenankan oleh undang-undang.
Tarif PPh Umum bersifat progresif untuk WP OP, mulai dari 5% hingga 35%, dan tarif tunggal 22% untuk WP Badan.
Berdasarkan pengalaman, banyak Wajib Pajak yang “salah prosedur” memilih pembukuan. Ketentuannya, jika tahun pertama akan memilih PPh umum, maka harus “dilaporkan” ke kantor pajak. Jika tidak maka dianggap memilih PPh final.
Wajib Pajak badan yang pada tahun pertama diperkirakan akan rugi, maka wajib untuk memilih PPh umum dan pembukuan. Hal ini supaya kerugiannya dapat diakui. Dan karena rugi, perusahaan tidak bayar pajak.
Keputusan untuk memilih antara kedua skema ini bukanlah sekadar pilihan kemudahan administrasi.
Perbedaan mendasar terletak pada bagaimana laba usaha diperlakukan. Skema PPh final menawarkan kemudahan dan kepastian karena pajak dihitung langsung dari omzet, menjadikannya pilihan ideal untuk UMKM dengan margin keuntungan tinggi.
Sebaliknya, bagi bisnis dengan margin keuntungan rendah atau yang sedang mengalami kerugian, PPh Umum dapat menjadi pilihan yang lebih menguntungkan karena memungkinkan pengakuan biaya-biaya operasional sebagai pengurang penghasilan, yang pada akhirnya dapat mengurangi atau bahkan meniadakan pajak terutang.
Jika bisnis mengalami kerugian, tidak ada PPh yang harus dibayar dalam skema PPh Umum, yang tidak mungkin terjadi dalam skema PPh Final.
Oleh karena itu, perencanaan pajak yang cermat akan menganalisis profil laba-rugi bisnis, bukan hanya omzet, untuk menentukan skema mana yang memberikan efisiensi pajak terbesar dalam jangka panjang.
Pembukuan versus Pencatatan
Kepatuhan perpajakan menuntut Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan yang memadai.
Pembukuan (bookkeeping) adalah sistem pencatatan yang komprehensif yang diwajibkan bagi WP Badan dan WP OP yang memiliki peredaran bruto di atas Rp4,8 Miliar.
Bagi Wajib Pajak Badan, menyelenggarakan pembukuan hukumnya wajib, walaupun PPh dihitung secara final.
Pembukuan harus mencatat semua transaksi terkait harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta penjualan dan pembelian, yang disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan, kecuali diatur secara khusus di ketentuan peraturan perpajakan.
Tujuan menyelenggarakan pembukuan adalah untuk mencerminkan kondisi keuangan dan kegiatan usaha yang sebenarnya.
Sebagai alternatif, Pencatatan adalah proses yang lebih sederhana, yang diwajibkan bagi WP OP yang peredaran brutonya di bawah Rp4,8 Miliar dan memilih untuk tidak menyelenggarakan pembukuan.
Pencatatan mencakup pengumpulan data teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto sebagai dasar untuk menghitung pajak terutang.
Wajib Pajak yang menggunakan pencatatan dapat menghitung penghasilan neto mereka menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), yang merupakan persentase penghasilan neto yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)
Kelemahan menggunakan NPPN adalah keuntungan bersih tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Bahkan tarif NPPN untuk menghitung penghasilan neto cenderung lebih besar.
Aspek
Pembukuan
Pencatatan / NPPN
Kewajiban WP
Wajib untuk WP Badan dan WP OP dengan omzet > Rp4,8 Miliar
Penghasilan bruto dikalikan persentase Norma yang ditetapkan DJP
Pencerminan Keadaan
Sangat sesuai dengan keadaan sebenarnya
Seringkali laba bersih lebih besar dari kenyataan
Kemampuan Deduksi
Dapat membiayakan semua biaya fiskal (termasuk penyusutan)
Tidak dapat membiayakan biaya secara rinci
Manajemen Rugi
Kerugian dapat dikompensasi ke tahun berikutnya
Tidak dapat mengkompensasi kerugian
Tingkat Kerumitan
Kompleks, membutuhkan keahlian akuntansi
Sederhana, hanya mencatat omzet
Pemilihan Bentuk Usaha dan Implikasi Pajak
Pemilihan bentuk hukum suatu entitas bisnisโapakah Perseroan Terbatas (PT), Persekutuan Komanditer (CV), atau bentuk lainnyaโmemiliki implikasi pajak yang berbeda yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan pajak.
PT dikenai PPh Badan dengan tarif tunggal (22%), dan pembagian laba dalam bentuk dividen kepada pemegang saham juga dikenai PPh Final 10%, yang dikenal sebagai pajak berganda.
Sebaliknya, pada CV, laba yang dibagikan kepada pemilik dalam bentuk prive tidak dikenakan pajak di tingkat individu karena sudah dikenai PPh Badan.
Keputusan strategis bagi pemilik bisnis adalah bagaimana cara paling efisien untuk mengambil keuntungan dari perusahaan. Pilihan yang tersedia adalah Gaji/Bonus, Dividen, Sewa, atau Prive.
Gaji/Bonus: Kelebihan utamanya adalah dapat mengurangi laba perusahaan, sehingga mengurangi PPh Badan. Namun, gaji dikenai PPh Pasal 21 dengan tarif progresif yang bisa sangat besar jika penghasilan tinggi.
Dividen: Dikenai PPh Final 10% dan tidak dapat mengurangi laba perusahaan. Dividen harus dibagikan berdasarkan proporsi kepemilikan saham, yang mungkin tidak ideal jika kontribusi pemilik berbeda.
Prive: Hanya berlaku untuk CV dan tidak dikenai pajak di tingkat individu, tetapi juga tidak dapat mengurangi laba perusahaan.
Sewa: Jika pemilik memiliki aset (misalnya properti) yang digunakan untuk usaha, menyewakannya kepada perusahaan akan dikenai PPh Final 10%.
Biaya sewa ini dapat menjadi pengurang PPh Badan, menjadikannya strategi yang efisien.
Perbandingan antara mengambil keuntungan sebagai gaji atau dividen menunjukkan adanya titik impas yang bergantung pada jumlah keuntungan.
Laporan ini akan menggunakan data komparatif yang menunjukkan bahwa sampai pada jumlah keuntungan tertentu, mengambil keuntungan dalam bentuk gaji mungkin lebih menguntungkan karena total beban pajak (PPh Badan + PPh OP) lebih rendah daripada skema dividen.
Namun, di atas titik tersebut, dividen menjadi pilihan yang lebih efisien karena tarif PPh finalnya yang lebih rendah daripada tarif progresif PPh OP yang berlaku.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa yang dikenakan di setiap tahap rantai produksi dan distribusi.
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto melebihi Rp4,8 Miliar dalam satu tahun wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan memiliki kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN.
Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Walaupun dalam kenyataannya di tahun 2025 tarif efektif PPN 11%. Secara ketentuan memang 12% tapi menggunakan nilai lain dengan dikalikan 11/12 sehingga secara efektif menjadi 11%.
Perencanaan pajak yang efektif dalam konteks PPN tidak hanya sebatas kepatuhan, tetapi juga mencakup strategi untuk mengelola cash flow.
Misalnya, Wajib Pajak dapat mengoptimalkan kredit pajak masukan yang dapat mengurangi PPN terutang.
Untuk bisnise-commerce, yang sering kali memiliki omzet besar namun margin kecil, pemahaman yang matang tentang kapan kewajiban PKP dimulai dan bagaimana mengelola PPN yang dipungut sangat vital untuk menghindari masalah finansial di kemudian hari.
Pre-Tax Money dalam Tax Planning
Dalam konteks tax planning (perencanaan pajak), pre-tax money digunakan sebagai instrumen strategis untuk mengoptimalkan beban pajak yang harus ditanggung wajib pajak, baik individu maupun badan usaha.
Pre-tax money diposisikan sebagai โalatโ untuk mengarahkan sebagian pendapatan bruto ke dalam pos-pos pengurang pajak yang sah, sehingga penghasilan kena pajak (taxable income) lebih kecil. Strategi ini legal dan berbeda dengan tax evasion (penghindaran pajak ilegal), karena dilakukan berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Prinsip utamanya adalah mengalokasikan sebagian pendapatan bruto sebelum terkena pajak ke dalam pos-pos yang diakui secara fiskal sehingga dapat menurunkan penghasilan kena pajak (PKP).
Caranya: Pre-tax money dialokasikan terlebih dahulu ke biaya atau instrumen tertentu sebelum pendapatan dikenai pajak. Dengan cara ini, penghasilan yang menjadi dasar pengenaan pajak (taxable income) lebih kecil. Hasil akhirnya adalah penghematan pajak (tax saving) tanpa melanggar ketentuan perundang-undangan.
Contoh Penerapan pada Badan Usaha:
Biaya-biaya deductible: mengoptimalkan biaya yang diakui fiskal seperti biaya gaji, tunjangan kesehatan karyawan, penyusutan aset sesuai aturan fiskal.
Prepaid expense berbasis pre-tax money: misalnya pembayaran premi asuransi bisnis atau dana pensiun karyawan.
Pencadangan tertentu yang diperbolehkan UU Pajak: seperti cadangan piutang tak tertagih untuk bank/lembaga pembiayaan.
Contoh Penerapan pada Individu:
Kontribusi dana pensiun (DPLK, BPJS Ketenagakerjaan, atau retirement plan lain): kontribusi diambil dari pre-tax money sehingga mengurangi PKP.
Asuransi kesehatan atau iuran tertentu yang diakui fiskal: dipotong dari gaji sebelum pajak dikenakan.
Program benefit karyawan (fringe benefit) yang diperhitungkan sebagai biaya perusahaan sehingga beban pajak pribadi lebih ringan.
Contoh Pre-Tax Dengan Meningkatkan Biaya Gaji dan Tunjangan Karyawan
Skenario: Sebuah perusahaan memiliki laba sebelum pajak Rp10 miliar. Jika laba tersebut langsung dikenakan PPh Badan 22%, maka beban pajak Rp2,2 miliar.
Strategi Tax Planning: Perusahaan mengalokasikan sebagian laba dalam bentuk kenaikan gaji, tunjangan kesehatan, dan iuran BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp1 miliar.
Hasil:
Laba fiskal berkurang menjadi Rp9 miliar.
PPh Badan = 22% ร Rp9 miliar = Rp1,98 miliar.
Penghematan pajak = Rp220 juta, sambil meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Pre-Tax Dengan Biaya Penyusutan Aset Tetap
Skenario: Perusahaan membeli mesin produksi seharga Rp5 miliar. Jika langsung dicatat sebagai beban sekali gus, akan ditolak secara fiskal.
Strategi Tax Planning: Menggunakan metode penyusutan fiskal sesuai UU PPh (misalnya masa manfaat 8 tahun, tarif saldo menurun 25%).
Hasil:
Tahun pertama, penyusutan fiskal Rp1,25 miliar.
Beban ini mengurangi laba kena pajak.
Tanpa penyusutan, pajak lebih tinggi; dengan penyusutan, cash flow perusahaan lebih baik karena beban pajak berkurang.
Pre-Tax Dengan Biaya Pelatihan dan Pengembangan SDM
Skenario: Perusahaan membiayai pelatihan karyawan Rp300 juta.
Strategi Tax Planning: Mengakui biaya pelatihan sebagai deductible expense (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh).
Hasil:
Mengurangi penghasilan kena pajak.
Memberikan manfaat ganda: tax saving sekaligus peningkatan kualitas tenaga kerja.
๐ Studi Kasus Tax Planning Menggunakan Biaya Deductible
Profil Perusahaan
Nama: PT Abadi Jaya
Bidang usaha: manufaktur produk elektronik
Tahun pajak: 2025
Laba komersial sebelum pajak: Rp10.000.000.000
Tarif PPh Badan 2025: 22%
Skenario 1 โ Tanpa Tax Planning
Laba fiskal = Rp10.000.000.000
PPh Badan = 22% ร Rp10.000.000.000 = Rp2.200.000.000
Skenario 2 โ Dengan Tax Planning (Mengoptimalkan Biaya Deductible)
Strategi yang dilakukan:
Kenaikan Gaji & Tunjangan Karyawan
Alokasi tambahan Rp1.000.000.000
Deductible expense โ mengurangi laba fiskal.
Penyusutan Mesin Produksi Baru
Investasi mesin Rp5.000.000.000 (masa manfaat 8 tahun, saldo menurun 25%).
Beban penyusutan tahun pertama = Rp1.250.000.000 โ deductible.
Biaya Promosi & Representasi
Rp500.000.000 untuk kampanye digital marketing.
Sesuai PMK, biaya ini deductible.
Biaya Pelatihan SDM
Rp300.000.000 untuk peningkatan kompetensi tenaga kerja.
Deductible expense.
Perhitungan Laba Fiskal Setelah Tax Planning
Laba sebelum pajak = Rp10.000.000.000
Dikurangi biaya deductible:
Gaji & tunjangan: Rp1.000.000.000
Penyusutan fiskal: Rp1.250.000.000
Promosi & representasi: Rp500.000.000
Pelatihan SDM: Rp300.000.000
Total deductible = Rp3.050.000.000
๐ Laba fiskal = Rp10.000.000.000 โ Rp3.050.000.000 ๐ Laba fiskal = Rp6.950.000.000
PPh Badan Setelah Tax Planning
PPh Badan = 22% ร Rp6.950.000.000
PPh Badan = Rp1.529.000.000
Perbandingan
Keterangan
Tanpa Tax Planning
Dengan Tax Planning
Laba Fiskal
Rp10.000.000.000
Rp6.950.000.000
PPh Badan (22%)
Rp2.200.000.000
Rp1.529.000.000
Penghematan Pajak
โ
Rp671.000.000
Analisis Akademik
Efisiensi Fiskal Perusahaan berhasil mengurangi beban pajak sebesar Rp671 juta secara legal.
Value Creation Strategi tidak hanya mengurangi pajak, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan karyawan, memperkuat kapasitas produksi, membangun brand awareness, dan meningkatkan kompetensi SDM.
Compliance Semua biaya yang dimanfaatkan termasuk dalam kategori deductible expense berdasarkan Pasal 6 UU PPh dan regulasi turunannya, sehingga strategi ini aman dari perspektif hukum pajak.
Ketentuan perpajakan di Indonesia mengharuskan adanya harga wajar untuk setiap transaksi grup. Walaupun grup yang dimaksudnya seluruhnya berada di Indonesia. Dulu, pertama kali diatur bahwa kewajiban membuat Transfer Pricing Document itu hanya untuk perusahaan multinasional.
Pada dasarnya, harga yang diakui oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan ada dua, pertama harga sebenarnya. Harga sebenarnya digunakan untuk transaksi independen. Tidak ada hubungan istimewa dalam transaksi tersebut. Kedua, harga seharusnya. Penggunaan harga seharusnya digunakan untuk transaksi yang terjadi karena ada hubungan istimewa.
Podcast Transfer Pricing Dalam 25 Menit
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principle)
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha, atau yang lebih dikenal secara internasional sebagai Arm’s Length Principle (ALP), merupakan pilar utama dan standar konsensus global dalam penentuan harga atas transaksi lintas batas yang terjadi antara perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan istimewa atau disebut entitas berelasi.
Prinsip ini, sebagaimana diartikulasikan dalam Pedoman Transfer Pricing OECD lebih dikenal dengan OECD Transfer Pricing Guidelines, mengamanatkan bahwa kondisi, baik harga maupun laba, dalam sebuah transaksi afiliasi, atau transaksi terkontrol, harus sebanding dengan kondisi yang akan disepakati oleh pihak-pihak independen dalam transaksi yang sebanding, atau transaksi tidak terkontrol, di bawah keadaan yang sebanding.
Signifikansi ALP terletak pada dua tujuan utamanya:
Pertama, dari perspektif otoritas pajak, ALP berfungsi sebagai instrumen fundamental untuk melindungi basis pajak suatu negara.
Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa laba kena pajak dari perusahaan multinasional (Multinational Enterprises – MNEs) tidak digeser secara artifisial dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi lain yang memiliki tarif pajak lebih rendah, sebuah praktik yang dikenal sebagai Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
Dengan menerapkan ALP, otoritas pajak memastikan bahwa laba yang dilaporkan di negaranya benar-benar mencerminkan aktivitas ekonomi dan penciptaan nilai yang sesungguhnya terjadi di dalam yurisdiksi tersebut.
Kedua, dari perspektif Wajib Pajak, penerapan ALP yang konsisten dan dapat dipertahankan sangat krusial untuk memitigasi risiko pengenaan pajak berganda secara ekonomis (economic double taxation).
Risiko ini muncul ketika dua negara yang berbeda melakukan koreksi atas transaksi afiliasi yang sama, sehingga laba yang sama dikenakan pajak dua kali di yurisdiksi yang berbeda.
Dengan mematuhi standar ALP yang diakui secara internasional, MNEs dapat mengurangi ketidakpastian dan membatasi potensi sengketa pajak yang mahal dan berkepanjangan.
Era Baru dengan PMK 172/2023
Regulasi transfer pricing di Indonesia telah mengalami evolusi yang signifikan. Dimulai dari pedoman awal seperti PER-43/2010 dan PER-32/2011, lanskap regulasi terus berkembang untuk mengadopsi standar internasional, terutama melalui PMK-213/PMK.03/2016 yang mengimplementasikan standar dokumentasi BEPS Action 13, dan PMK-22/PMK.03/2020 yang mengatur penerapan PKKU dan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement – APA). Namun, peraturan-peraturan ini tersebar dan terkadang menimbulkan kerumitan dalam implementasinya.
Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 Tahun 2023 menandai sebuah milestone dan era baru dalam regulasi transfer pricing di Indonesia.
PMK 172/2023 secara komprehensif mengkonsolidasikan, menyempurnakan, dan mengkodifikasi berbagai aturan yang sebelumnya tersebar ke dalam satu payung hukum yang utuh.
Peraturan ini mencakup seluruh siklus kepatuhan transfer pricing, mulai dari penerapan PKKU, kewajiban Dokumentasi TP (TP Doc), prosedur APA, hingga Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure – MAP).
Langkah konsolidasi ini membawa implikasi strategis yang mendalam. Sebelumnya, Wajib Pajak harus menavigasi beberapa peraturan terpisah, yang berpotensi menciptakan inkonsistensi dan area abu-abu.
Dengan adanya PMK 172/2023 sebagai satu sumber rujukan utama (single source of truth), DJP kini memiliki kerangka kerja yang lebih koheren dan kuat untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan.
Wajib Pajak tidak lagi dapat memanfaatkan potensi celah atau ambiguitas antar peraturan. Kepatuhan transfer pricing kini harus dipandang sebagai sebuah siklus yang terintegrasi, mulai dari tahap perencanaan dan penetapan harga, dokumentasi yang cermat, hingga manajemen potensi sengketa melalui mekanisme APA atau MAP.
Lebih lanjut, PMK 172/2023 secara eksplisit menyelaraskan aturan domestik dengan pedoman global terkini, yaitu OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations edisi 2022, yang menegaskan komitmen Indonesia untuk menerapkan standar praktik terbaik internasional.
Evolusi dari PMK-22 ke PMK-172
Indonesia, sebagai anggota G20 dan negara yang aktif dalam kerangka kerja BEPS, telah secara tegas mengadopsi dan mengimplementasikan ALP ke dalam kerangka hukum perpajakan domestiknya. Perkembangan regulasi ini menunjukkan komitmen yang kuat untuk menyelaraskan praktik di dalam negeri dengan standar internasional.
Regulasi penting dalam beberapa tahun terakhir adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 (PMK-22).
Peraturan ini tidak hanya mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement – APA), tetapi juga memberikan panduan yang sangat rinci mengenai penerapan ALP dan metodologi penentuan harga transfer.
Dikeluarkannya PMK-22 secara eksplisit bertujuan untuk menyelaraskan peraturan domestik Indonesia dengan standar minimum yang diamanatkan oleh Proyek OECD/G20 BEPS, khususnya Aksi 14 yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih efektif.
Namun, dinamika perpajakan internasional dan domestik yang cepat mendorong adanya pembaruan lebih lanjut.
Pada tanggal 29 Desember 2023, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/PMK.03/2023 (PMK-172) tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
PMK-172 merupakan sebuah regulasi omnibus yang mencabut dan menggantikan beberapa peraturan sebelumnya, termasuk PMK-22/2020 (tentang APA), PMK-213/2016 (tentang Dokumentasi Transfer Pricing), dan PMK-49/2019 (tentang Prosedur Persetujuan Bersama/MAP), serta mengkonsolidasikan berbagai aspek transfer pricing ke dalam satu payung hukum yang komprehensif.
Evolusi yang cepat dari PMK-22 ke PMK-172 dalam kurun waktu kurang dari empat tahun ini bukanlah sekadar pembaruan rutin.
Hal ini menandakan adanya percepatan konvergensi regulasi dan komitmen kuat dari pemerintah Indonesia untuk tidak hanya mengadopsi standar OECD/BEPS, tetapi juga untuk secara aktif menyempurnakannya.
PMK-22, meskipun merupakan langkah maju yang signifikan, masih menyisakan beberapa area yang berpotensi menimbulkan multi-interpretasi. PMK-172 hadir untuk menutup celah-celah tersebut dengan memberikan panduan yang lebih spesifik dan detail, terutama untuk area-area transaksi yang kompleks seperti transaksi keuangan, restrukturisasi bisnis, dan mekanisme penyesuaian sekunder (secondary adjustment).
Hal ini merupakan sinyal jelas bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus meningkatkan kapabilitasnya dan tidak lagi memberikan ruang bagi Wajib Pajak untuk berlindung di area abu-abu regulasi.
Lebih jauh, konsolidasi peraturan yang sebelumnya terpisah (TP Doc, APA, dan MAP) ke dalam satu PMK menyiratkan pergeseran menuju pendekatan yang lebih terintegrasi dari sisi administrasi pajak.
Dengan adanya satu panduan tunggal yang menghubungkan kewajiban kepatuhan (TP Doc), mitigasi risiko di muka (APA), dan penyelesaian sengketa (MAP), DJP kini memiliki kerangka kerja yang lebih koheren.
Hal ini memungkinkan pemeriksa pajak untuk melihat gambaran kepatuhan transfer pricing Wajib Pajak secara holistik, meningkatkan konsistensi dan efektivitas proses pemeriksaan.
Konsep Harga Wajar dan Mekanisme Penyesuaian
Harga wajar berdasarkan ALP tidak selalu berupa satu angka tunggal (arm’s length point). Dalam praktiknya, analisis kesebandingan seringkali menghasilkan serangkaian hasil yang dapat diterima dari beberapa data pembanding.
Kumpulan hasil ini membentuk sebuah rentang kewajaran (arm’s length range). PMK 172/2023 memberikan panduan yang lebih jelas mengenai penggunaan rentang ini.
Jika terdapat dua data pembanding, rentang yang digunakan adalah rentang penuh (full range), yaitu dari nilai minimum hingga maksimum. Namun, jika terdapat lebih dari dua data pembanding, rentang yang digunakan adalah rentang interkuartil (dari kuartil pertama hingga kuartil ketiga) untuk meningkatkan keandalan statistik dengan menghilangkan nilai-nilai ekstrem. Transaksi afiliasi dianggap wajar jika hasilnya berada di dalam rentang tersebut.
Ketika DJP menemukan bahwa harga transfer Wajib Pajak berada di luar rentang kewajaran, DJP berwenang melakukan penyesuaian. Mekanisme penyesuaian ini memiliki beberapa lapisan:
Pertama Primary Adjustment.
Ini adalah koreksi awal dan utama yang dilakukan DJP terhadap penghasilan kena pajak Wajib Pajak untuk menyelaraskannya dengan PKKU. Misalnya, jika harga jual ke afiliasi terlalu rendah, DJP akan menaikkan laba Wajib Pajak sebesar selisih antara harga wajar dengan harga yang dilaporkan.
Kedua Secondary Adjustment
Ini adalah konsekuensi lanjutan dari primary adjustment. Selisih koreksi yang timbul dari primary adjustment diperlakukan sebagai pembagian laba secara tidak langsung atau dividen terselubung (constructive dividend) kepada pihak afiliasi, yang kemudian dikenai Pajak Penghasilan (PPh) sesuai ketentuan yang berlaku.
PMK 172/2023 memperkenalkan sebuah mekanisme baru yang signifikan, di mana secondary adjustment ini dapat dibatalkan jika Wajib Pajak menyetujui koreksi primer yang dilakukan DJP dan melakukan pengembalian dana tunai atau setara kas dari pihak afiliasi sebesar nilai koreksi sebelum Surat Ketetapan Pajak (SKP) diterbitkan.
Ketiga Corresponding Adjustment.
Ini adalah penyesuaian simetris yang dilakukan pada Wajib Pajak dalam negeri yang menjadi lawan transaksi untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda di tingkat domestik.
Jika laba satu Wajib Pajak dinaikkan, maka biaya atau harga pokok penjualan lawan transaksinya dapat disesuaikan. Ini merupakan sebuah kemajuan penting dalam PMK 172/2023 yang memberikan kepastian hukum lebih besar bagi Wajib Pajak domestik.
Penguatan kerangka penyesuaian ini, terutama dengan diperjelasnya kewenangan DJP untuk melakukan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas koreksi transfer pricing, menciptakan skenario risiko baru.
Jika DJP melakukan primary adjustment (koreksi PPh Badan), hal ini dapat memicu secondary adjustment (dianggap dividen, terutang PPh) dan juga penyesuaian PPN Keluaran.
Mengingat penyesuaian PPN ini tidak dapat dikreditkan oleh lawan transaksi, Wajib Pajak secara efektif menghadapi potensi “pajak tiga lapis” (triple taxation) atas satu koreksi ekonomi.
Situasi ini secara drastis meningkatkan taruhan finansial dalam sengketa transfer pricing dan menggarisbawahi pentingnya penyusunan dokumentasi yang sangat kuat dan dapat dipertahankan sejak awal.
Metode Perbandingan Harga antara Pihak Independen (Comparable Uncontrolled Price – CUP)
Metode CUP bekerja dengan membandingkan secara langsung harga yang dikenakan dalam transaksi afiliasi dengan harga yang dikenakan dalam transaksi independen yang sebanding dalam kondisi yang sebanding.
Karena perbandingannya langsung pada tingkat harga, metode ini dianggap sebagai metode yang paling langsung dan paling dapat diandalkan untuk menerapkan ALP, dengan asumsi data pembanding yang berkualitas tinggi dapat ditemukan.
Terdapat dua jenis CUP: Internal CUP, yang membandingkan transaksi afiliasi dengan transaksi yang dilakukan oleh salah satu pihak afiliasi dengan pihak ketiga yang independen; dan External CUP, yang membandingkan transaksi afiliasi dengan transaksi antara dua entitas yang sama sekali tidak terafiliasi.
Dalam praktik,Internal CUP lebih disukai karena data transaksi internal umumnya lebih lengkap, akurat, dan dapat diverifikasi.
Penerapan ideal untuk metode CUP adalah pada transaksi yang melibatkan produk komoditas yang memiliki harga pasar kuotasian (quoted price) yang tersedia untuk umum (misalnya, minyak mentah, bijih besi), transaksi finansial seperti pinjaman antar perusahaan di mana suku bunga pasar dapat dijadikan acuan, atau penjualan produk manufaktur yang identik atau sangat serupa.
Namun, tantangan terbesarnya terletak pada persyaratan kesebandingan yang sangat ketat. Sangat sulit untuk menemukan transaksi independen yang benar-benar sebanding dari segi karakteristik produk, ketentuan kontrak, kondisi ekonomi, dan faktor lainnya.
Sedikit saja perbedaan dapat berdampak material pada harga, dan melakukan penyesuaian yang akurat untuk mengeliminasi dampak perbedaan tersebut seringkali tidak mungkin dilakukan.
Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method – RPM)
Metode RPM menguji kewajaran harga transfer dari perspektif pembeli (distributor).
Pendekatannya dimulai dari “atas ke bawah”:
Pertama, identifikasi harga di mana produk yang dibeli dari pihak afiliasi dijual kembali kepada pihak independen. Kemudian, harga jual kembali ini dikurangi dengan margin laba kotor (gross margin) yang wajar.
Margin ini harus cukup untuk menutupi biaya penjualan, umum, dan administrasi (SG&A) distributor, serta memberikan laba yang sepadan dengan fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung.
Hasil pengurangan ini adalah harga transfer arm’s length yang seharusnya dibayarkan kepada pemasok afiliasi.
Formula sederhananya adalah:
Harga Transfer Wajar = Harga Jual Kembali ร (1 – % Margin Laba Kotor Wajar).
Metode ini paling sesuai untukaktivitas distribusi atau penjualan kembali di mana entitas penjual tidak menambahkan nilai yang signifikan pada produk.
Contohnya termasuk distributor yang hanya melakukan fungsi pemasaran dan penjualan tanpa melakukan perakitan, modifikasi, atau menempelkan merek dagang yang bernilai signifikan pada produk.
Fokus analisis dalam RPM adalah pada kesebandingan fungsi dan risiko yang ditanggung oleh distributor. Persyaratan kesebandingan produk di sini lebih longgar dibandingkan dengan metode CUP; produk tidak harus identik, asalkan fungsi yang dilakukan oleh distributor pembanding serupa.
Tantangan utama dalam penerapan RPM adalah potensi inkonsistensi dalam praktik akuntansi antar perusahaan.
Perbedaan dalam mengklasifikasikan biayaโmisalnya, apakah biaya promosi atau garansi dimasukkan ke dalam Harga Pokok Penjualan (HPP) atau Biaya Operasionalโdapat secara signifikan mendistorsi perbandingan margin laba kotor dan menghasilkan analisis yang tidak andal.
Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method – CPM)
Berbeda dengan RPM, metode CPM bekerja dari “bawah ke atas”. Metode ini dimulai dengan mengidentifikasi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemasok barang atau penyedia jasa dalam transaksi afiliasi. Kemudian, mark-up laba kotor (gross mark-up) yang wajar ditambahkan di atas basis biaya tersebut untuk menghasilkan harga transfer yang wajar.
Formula dasarnya adalah:
Harga Transfer Wajar = Basis Biaya + (Basis Biaya ร % Mark-up Wajar).
CPM umumnya digunakan untuk transaksi yang melibatkan produsen kontrak (contract manufacturer) yang beroperasi dengan risiko rendah, penyedia jasa rutin intra-grup (seperti layanan IT, SDM, akuntansi, atau legal), atau penjualan barang setengah jadi antar entitas afiliasi dalam satu rantai produksi. Kunci keberhasilan penerapan metode ini terletak pada dua hal: pertama, definisi basis biaya (cost base) yang konsisten, akurat, dan mencakup semua biaya relevan (baik langsung maupun tidak langsung); dan kedua, penentuan mark-up yang sebanding berdasarkan analisis fungsi, aset, dan risiko (FAR) yang cermat.
Tantangan yang sering muncul adalah alokasi biaya tidak langsung (overhead) yang bisa menjadi sangat kompleks dan subjektif, terutama jika fasilitas produksi atau tim penyedia jasa melayani beberapa lini produk atau entitas.
Selain itu, CPM kurang cocok jika pemasok memiliki atau menggunakan Harta Tak Berwujud (HTB) yang bernilai tinggi (misalnya, teknologi paten yang unik) yang kontribusinya tidak tercermin secara memadai dalam basis biayanya.
Metode Laba Transaksional (Transactional Profit Methods)
Metode laba transaksional digunakan sebagai alternatif ketika metode transaksi tradisional tidak dapat diterapkan secara andal.
Hal ini biasanya terjadi karena kurangnya data pembanding yang berkualitas di tingkat harga atau laba kotor, atau karena transaksi terlalu kompleks untuk dianalisis dengan metode tradisional.
Metode ini mengalihkan fokus perbandingan dari harga atau margin kotor ke tingkat profitabilitas bersih.
Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method – TNMM)
NMM adalah metode yang membandingkan tingkat laba bersih operasional yang diperoleh Wajib Pajak dari transaksi afiliasi dengan tingkat laba bersih operasional yang diperoleh dalam transaksi independen yang sebanding.
Laba bersih ini diukur relatif terhadap basis yang sesuai (appropriate base), seperti penjualan, biaya, atau aset, yang menghasilkan sebuah Profit Level Indicator (PLI).
Dalam praktik, TNMM telah menjadi metode yang paling sering digunakan secara global, termasuk di Indonesia.
Popularitasnya didorong oleh fleksibilitasnya; persyaratan kesebandingan produk jauh lebih longgar, dan data keuangan yang diperlukan untuk menghitung PLI (seperti laba operasi dan penjualan) umumnya tersedia untuk umum melalui database komersial.
Metode ini sangat cocok untuk menguji kewajaran laba dari entitas yang menjalankan fungsi rutin dan menanggung risiko terbatas, seperti limited-risk distributor atau toll manufacturer.
Meskipun regulasi formal menyiratkan preferensi pada metode tradisional, kesulitan praktis dalam menemukan data yang andal untuk CUP, RPM, atau CPM seringkali mendorong Wajib Pajak dan konsultan untuk secara rutin beralih ke TNMM.
Ini menjadikan TNMM sebagai “metode default de facto” dalam praktik, bukan karena paling unggul secara teoritis, tetapi karena paling mungkin untuk diterapkan dengan data yang tersedia.
Akibatnya, sengketa transfer pricing di Indonesia seringkali tidak lagi berfokus pada “apakah TNMM adalah metode yang tepat?”, melainkan bergeser ke perdebatan teknis mengenai implementasinya, seperti:
“Apakah data pembanding yang digunakan dalam analisis TNMM sudah benar?”,
“Apakah penggunaan data tahun jamak dapat dibenarkan?”, atau
“Mengapa perusahaan yang merugi dikecualikan dari set pembanding?”.
Kelemahan utama TNMM adalah sifatnya sebagai metode satu sisi (one-sided method). Metode ini hanya menguji profitabilitas satu pihak dalam transaksi (biasanya pihak dengan fungsi yang lebih sederhana, atau tested party), sehingga berpotensi mengabaikan hasil laba yang tidak wajar (bisa sangat tinggi atau sangat rendah) di pihak lawan transaksi.
Selain itu, tingkat laba bersih dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor efisiensi operasional atau kondisi bisnis yang tidak terkait langsung dengan harga transfer.
Metode Pembagian Laba (Profit Split Method – PSM)
Berbeda dengan metode satu sisi, PSM adalah metode dua sisi yang menguji kewajaran transaksi dengan terlebih dahulu mengidentifikasi laba gabungan (combined profit) yang dihasilkan dari transaksi afiliasi yang saling terkait erat.
Laba gabungan ini kemudian dibagi di antara pihak-pihak yang terlibat berdasarkan kontribusi ekonomis relatif mereka yang dapat dipertanggungjawabkan.
PSM adalah metode pilihan untuk situasi yang sangat kompleks di mana:
Pertama, operasi bisnis kedua belah pihak sangat terintegrasi sehingga kontribusi mereka tidak dapat dianalisis secara terpisah; atau
Kedua, kedua belah pihak memberikan kontribusi unik dan bernilai (unique and valuable contributions), seperti kepemilikan bersama atau penggunaan Harta Tak Berwujud (HTB) yang signifikan (misalnya, pengembangan bersama teknologi baru atau merek global).
Penggunaan PSM dapat menjadi sinyal bagi otoritas pajak bahwa transaksi yang diuji memiliki kompleksitas tinggi dan melibatkan penciptaan nilai yang signifikan.
Hal ini secara otomatis dapat meningkatkan tingkat pengawasan.
Oleh karena itu, jika perusahaan memilih untuk menggunakan PSM, mereka harus siap dengan dokumentasi yang sangat mendalam dan justifikasi yang kuat untuk faktor-faktor pembagi laba (profit splitting factors) yang digunakan.
Argumen yang hanya didasarkan pada “negosiasi internal” tidak akan cukup; harus didukung oleh analisis ekonomi yang objektif dan terperinci.
Menyadari pentingnya metode ini untuk transaksi bernilai tinggi, PMK 172/2023 secara khusus menegaskan kembali aturan penerapan PSM agar sejalan dengan pedoman OECD 2022.
Terdapat dua varian utama PSM :
Contribution Profit Split: Laba gabungan dibagi secara langsung berdasarkan nilai relatif dari kontribusi (fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung) oleh masing-masing pihak.
Residual Profit Split: Ini adalah pendekatan dua langkah. Pertama, setiap pihak dialokasikan laba rutin yang wajar untuk fungsi-fungsi standar yang mereka lakukan (dihitung menggunakan metode lain seperti TNMM atau CPM). Kedua, sisa laba (residual profit), yang diasumsikan berasal dari kontribusi unik dan HTB, dibagi berdasarkan kontribusi relatif masing-masing pihak terhadap penciptaan laba sisa tersebut.
Keunggulan utama PSM adalah kemampuannya untuk menganalisis kedua sisi transaksi secara bersamaan, sehingga menghindari hasil yang tidak logis di mana satu pihak mendapatkan laba sangat tinggi sementara pihak lain menderita kerugian.
Namun, tantangan terbesarnya adalah kompleksitas dan subjektivitas dalam mengukur dan menilai kontribusi masing-masing pihak secara akurat.
Kerangka Kerja Pemilihan Metode Paling Sesuai (The Most Appropriate Method)
Pendekatan dalam memilih metode transfer pricing telah mengalami pergeseran paradigma yang fundamental. Pedoman OECD yang lebih lama, sebelum edisi 2010, secara eksplisit menerapkan hierarki metode yang kaku.
Hierarki ini menempatkan metode transaksi tradisional (dengan CUP di puncak) sebagai pilihan utama, sementara metode laba transaksional dianggap sebagai “metode pilihan terakhir” (last resort).
Namun, pedoman OECD modern dan kerangka regulasi di Indonesia saat iniโyang dimulai sejak PER-32/PJ/2011 dan ditegaskan kembali dalam PMK 172/2023โtelah meninggalkan hierarki kaku tersebut.
Sebagai gantinya, diadopsi pendekatan the most appropriate method, atau metode yang paling sesuai dengan fakta dan kondisi transaksi.
Pergeseran ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi Wajib Pajak untuk memilih metode yang paling andal mencerminkan realitas ekonomi dari transaksi mereka.
Namun, fleksibilitas ini datang dengan tanggung jawab yang lebih besar: Wajib Pajak kini memikul beban pembuktian (burden of proof) untuk menganalisis secara komprehensif dan mendokumentasikan dengan kuat mengapa metode yang dipilih adalah yang paling tepat dan andal untuk situasi spesifik mereka.
Meskipun regulasi resmi telah beralih ke pendekatan “paling sesuai”, dalam praktik audit di Indonesia, seringkali masih terasa adanya “hierarki terselubung”.
Pemeriksa pajak mungkin secara naluriah akan menguji kemungkinan penerapan metode yang lebih langsung (seperti CUP atau RPM) terlebih dahulu.
Jika Wajib Pajak menggunakan TNMM, pemeriksa mungkin akan menantangnya dengan argumen bahwa terdapat data CUP yang dapat digunakan, meskipun kualitas data tersebut mungkin dapat diperdebatkan.
Sengketa transfer pricing seringkali berpusat pada perbedaan pandangan fundamental ini.
Implikasinya, Wajib Pajak harus bersikap proaktif dalam Dokumentasi TP mereka. Tidak cukup hanya menjelaskan mengapa metode yang dipilih itu sesuai; mereka juga harus secara preventif dan mendetail menjelaskan mengapa metode-metode lain yang secara teoritis lebih langsung (seperti CUP) tidak sesuai atau tidak dapat diterapkan secara andal dalam kasus mereka.
Faktor-Faktor Kunci dalam Pemilihan Metode
Pemilihan metode yang paling sesuai bukanlah proses yang arbitrer, melainkan sebuah analisis holistik yang harus mempertimbangkan beberapa faktor kunci secara bersamaan, sebagaimana diuraikan dalam pedoman OECD dan PMK 172/2023 :
Pertama, Kekuatan dan Kelemahan Masing-Masing Metode.
Wajib Pajak harus memahami karakteristik inheren dari setiap metode. Pemahaman ini penting untuk menimbang keandalan relatif dari setiap metode dalam konteks transaksi yang diuji.
Kedua, Kesesuaian Metode dengan Sifat Transaksi Afiliasi.
Ini adalah faktor yang paling fundamental. Pemilihan metode harus didasarkan pada hasil analisis fungsional (FAR) yang cermat.
Sifat transaksi secara langsung akan mengarahkan pada metode yang paling relevan.
Sebagai contoh, transaksi distribusi sederhana dengan fungsi dan risiko terbatas secara alami akan mengarah pada penggunaan RPM atau TNMM.
Sebaliknya, sebuah proyek pengembangan bersama Harta Tak Berwujud (HTB) di mana kedua pihak memberikan kontribusi intelektual yang signifikan akan lebih tepat dianalisis menggunakan PSM.
Ketiga, Ketersediaan Data Pembanding Independen yang Andal.
Faktor praktis ini seringkali menjadi penentu utama dalam dunia nyata.
Secara teori, CUP mungkin metode terbaik, tetapi jika tidak ada data harga pembanding yang andal, metode ini tidak dapat digunakan.
Ketersediaan data yang andal seringkali menjadi kendala signifikan, terutama untuk data harga (untuk CUP) atau data margin kotor (untuk RPM/CPM).
Sebaliknya, ketersediaan data keuangan perusahaan publik untuk analisis laba bersih (untuk TNMM) jauh lebih luas melalui database komersial, yang menjelaskan mengapa TNMM menjadi sangat populer dalam praktik.
Keempat, Tingkat Keakuratan Penyesuaian yang Dapat Dilakukan.
Jarang sekali ditemukan data pembanding yang identik secara sempurna dengan transaksi afiliasi.
Oleh karena itu, seringkali diperlukan penyesuaian kesebandingan (comparability adjustments) untuk mengeliminasi dampak dari perbedaan material.
Metode yang dipilih harus memungkinkan dilakukannya penyesuaian yang andal dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika perbedaan antara transaksi afiliasi dan data pembanding terlalu besar sehingga penyesuaian yang akurat tidak dapat dilakukan, maka data pembanding atau metode tersebut mungkin tidak sesuai.
Panduan Praktis dalam Mendokumentasikan Justifikasi
Penyusunan Dokumentasi TP yang kuat tidak hanya tentang menyajikan hasil akhir, tetapi juga tentang menceritakan narasi yang logis dan koheren mengenai proses pemilihan metode.
Wajib Pajak harus secara eksplisit mendokumentasikan proses pemikiran mereka.
Hal ini mencakup kewajiban untuk menjelaskan tidak hanya mengapa satu metode dipilih, tetapi juga mengapa metode-metode lainnya dipertimbangkan namun pada akhirnya ditolak.
Sebagai contoh, dalam Dokumentasi TP, Wajib Pajak dapat menyatakan: “Metode CUP dipertimbangkan sebagai metode yang paling langsung. Namun, metode ini ditolak karena produk yang ditransaksikan memiliki spesifikasi teknis dan merek dagang yang unik, dan setelah pencarian yang ekstensif, tidak ditemukan data transaksi independen yang melibatkan produk dengan karakteristik yang cukup sebanding.”
Kunci dari justifikasi yang kuat adalah menghubungkan secara langsung hasil analisis fungsional dengan pilihan metode.
Banyak perusahaan keliru memandang analisis fungsional hanya sebagai bagian deskriptif dari Dokumentasi TP.
Padahal, dalam kerangka “metode paling sesuai”, analisis fungsional adalah input paling kritis yang menentukan output berupa metode yang dipilih.
Kesalahan atau deskripsi yang tidak akurat dalam analisis fungsionalโmisalnya, mendeskripsikan sebuah entitas sebagai “distributor berisiko rendah” padahal entitas tersebut menanggung risiko inventaris dan piutang yang signifikanโakan meruntuhkan seluruh fondasi justifikasi pemilihan metode.
Titik lemah inilah yang paling sering dieksploitasi oleh auditor pajak untuk menantang analisis Wajib Pajak.
Oleh karena itu, investasi waktu dan sumber daya dalam melakukan analisis fungsional yang mendalam, akurat, dan sesuai dengan realitas operasional adalah strategi mitigasi risiko yang paling efektif.
Lima Faktor Kesebandingan OECD
Agar perbandingan antara transaksi afiliasi dan transaksi independen valid dan andal, keduanya harus “sebanding”.
Pedoman OECD, yang diadopsi dalam regulasi Indonesia, menetapkan lima faktor kesebandingan yang harus dianalisis untuk menilai tingkat kesebandingan :
Pertama, Karakteristik Produk Barang atau Jasa.
Faktor ini mencakup atribut fisik barang (misalnya, ukuran, kualitas), keandalan, ketersediaan, serta sifat dan tingkat layanan yang diberikan. Semakin mirip karakteristiknya, semakin tinggi tingkat kesebandingannya.
Kedua, Analisis Fungsional (Fungsi, Aset, dan Risiko – FAR).
Ini adalah jantung dari setiap analisis transfer pricing.
Analisis ini secara mendalam mengidentifikasi fungsi yang dilakukan (misalnya, riset dan pengembangan, manufaktur, perakitan, pemasaran, distribusi), aset yang digunakan (baik berwujud seperti pabrik dan peralatan, maupun tidak berwujud seperti paten dan merek dagang), dan risiko yang ditanggung (seperti risiko pasar, risiko kredit, risiko inventaris, risiko valuta asing) oleh setiap pihak yang terlibat dalam transaksi.
Entitas yang melakukan fungsi lebih kompleks, menggunakan aset lebih bernilai, dan menanggung risiko lebih besar diharapkan memperoleh imbal hasil yang lebih tinggi.
Ketiga,Ketentuan Kontraktual:
Analisis ini memeriksa syarat dan ketentuan formal dari transaksi, seperti volume penjualan, jangka waktu kontrak, syarat pembayaran, kebijakan garansi, dan hak serta kewajiban masing-masing pihak.
Penting juga untuk memastikan bahwa perilaku aktual para pihak sesuai dengan ketentuan kontrak.
Keempat,Kondisi Ekonomi.
Faktor ini mempertimbangkan lingkungan ekonomi di mana transaksi terjadi. Ini termasuk lokasi geografis pasar, ukuran pasar, tingkat persaingan, daya beli konsumen, ketersediaan produk atau jasa substitusi, serta peraturan pemerintah yang relevan.
Kelima, Strategi Bisnis
Strategi yang dijalankan oleh perusahaan, seperti strategi penetrasi pasar (yang mungkin melibatkan harga jual lebih rendah untuk sementara waktu) atau strategi inovasi dan pengembangan produk, dapat memengaruhi harga dan profitabilitas secara signifikan dan harus dipertimbangkan dalam analisis.
Untuk memastikan analisis kesebandingan dilakukan secara sistematis, kuat, dan terdokumentasi dengan baik, pedoman OECD menguraikan proses sembilan langkah.
Proses ini, meskipun seringkali tidak linear dan mungkin memerlukan iterasi, menyediakan kerangka kerja yang andal bagi Wajib Pajak dan otoritas pajak.
Proses Sembilan Langkah Analisis Kesebandingan:
Penentuan tahun yang dianalisis. Langkah ini bertujuan menetapkan periode waktu yang relevan untuk pengujian (misalnya, tahun pajak 2026).
Analisis luas keadaan Wajib Pajak. Langkah ini bertujuan memahami industri, pasar, persaingan, dan faktor ekonomi yang memengaruhi bisnis Wajib Pajak.
Pemahaman transaksi afiliasi yang diuji. Melakukan analisis FAR yang mendalam dan mengidentifikasi kelima faktor kesebandingan untuk transaksi afiliasi.
Pencarian dan peninjauan data pembanding internal. Langkah ini bertujuan mengidentifikasi apakah ada transaksi sebanding yang dilakukan Wajib Pajak dengan pihak independen (Internal CUP/Comparable).
Pencarian dan peninjauan data pembanding eksternal. Jika pembanding internal tidak ada, mencari data transaksi atau perusahaan independen dari sumber eksternal (misalnya, database komersial).
Pemilihan metode TP yang paling sesuai. Berdasarkan langkah 1-5, menentukan dan membenarkan metode transfer pricing yang paling andal.
Identifikasi data pembanding potensial. Langkah ketujuh ini bertujuan penyaringan (screening) kuantitatif dan kualitatif pada database untuk mendapatkan daftar pendek perusahaan pembanding.
Melakukan penyesuaian kesebandingan. Jika ada perbedaan material, lakukan penyesuaian yang andal (misalnya, penyesuaian modal kerja) untuk meningkatkan kesebandingan.
Interpretasi data dan penentuan rentang wajar. Menerapkan metode yang dipilih pada data pembanding final untuk menghitung rentang harga atau laba yang wajar.
Dengan aturan yang semakin detail dalam PMK 172/2023, fokus audit DJP kemungkinan besar akan bergeser.
Sebelumnya, sengketa mungkin lebih banyak berpusat pada “apa” metode yang digunakan.
Kini, dengan kerangka yang lebih jelas, sengketa akan semakin berfokus pada “bagaimana” analisis kesebandingan dilakukan.
Pemeriksa akan memeriksa secara rinci proses penyaringan database, justifikasi penolakan calon pembanding, dan validitas perhitungan penyesuaian.
Implikasinya, Dokumentasi TP tidak bisa lagi hanya menyajikan hasil akhir (rentang wajar); ia harus mendokumentasikan seluruh proses pencarian dan analisis dengan sangat transparan, seolah-olah menciptakan “jejak audit” yang dapat diikuti dan diverifikasi oleh pemeriksa.
Analisis Fungsional (Fungsi, Aset, dan Risiko – FAR)
Analisis Fungsional, atau Analisis FAR, merupakan langkah paling fundamental dan krusial dalam analisis kesebandingan.
Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan membandingkan fungsi-fungsi yang signifikan secara ekonomi, aset-aset yang digunakan atau dikontribusikan, dan risiko-risiko relevan yang ditanggung oleh setiap pihak dalam transaksi afiliasi.
Panduan OECD pasca-BEPS dan penekanannya dalam regulasi terbaru di Indonesia menunjukkan bahwa Analisis FAR telah berevolusi.
Analisis ini bukan lagi sekadar latihan deskriptif untuk menjabarkan apa yang dilakukan oleh setiap entitas. Sebaliknya, FAR telah menjadi alat analisis utama untuk membenarkan alokasi laba di dalam grup MNE.
Prinsip dasarnya adalah bahwa laba harus dialokasikan kepada entitas yang menjalankan fungsi-fungsi kunci, menggunakan aset-aset bernilai, dan secara aktif mengelola risiko-risiko signifikan yang mendorong penciptaan nilai. Dengan kata lain, remunerasi harus sepadan dengan kontribusi.
Fungsi (Functions):
Mengidentifikasi dan mendokumentasikan secara rinci aktivitas-aktivitas utama yang dilakukan oleh setiap pihak.
Contoh fungsi meliputi: penelitian dan pengembangan (R&D), desain dan rekayasa, manufaktur, perakitan, pembelian dan manajemen material, distribusi dan logistik, pemasaran dan penjualan, layanan purna jual, manajemen strategis, serta fungsi administratif dan keuangan.
Aset (Assets) :
Mengidentifikasi aset-aset yang digunakan dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Aset ini dapat dikategorikan menjadi:
Aset Berwujud (Tangible Assets): Seperti pabrik, mesin, peralatan, dan inventaris.
Aset Tidak Berwujud (Intangible Assets): Seperti paten, know-how, rahasia dagang, merek dagang, dan daftar pelanggan. Identifikasi siapa yang mengembangkan, meningkatkan, memelihara, melindungi, dan mengeksploitasi (DEMPE) aset tidak berwujud ini sangatlah penting.
Risiko (Risks):
Mengidentifikasi dan menganalisis bagaimana risiko-risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi dialokasikan di antara para pihak.
Contoh risiko meliputi risiko pasar (fluktuasi harga input dan output), risiko persediaan (kerusakan atau keusangan), risiko kredit (piutang tak tertagih), risiko valuta asing, risiko kapasitas produksi, dan risiko R&D.
Analisis ini harus membandingkan alokasi risiko berdasarkan kontrak dengan substansi ekonomi aktual, yaitu pihak mana yang secara faktual memiliki kapasitas untuk mengontrol dan mengelola risiko tersebut.
Pemilihan Pihak yang Diuji (Tested Party)
Dalam penerapan metode penentuan harga transfer berbasis laba (yaitu Resale Price Method, Cost Plus Method, dan Transactional Net Margin Method), analisis kesebandingan sering kali difokuskan pada salah satu pihak dalam transaksi afiliasi.
Pihak yang dipilih untuk diuji tingkat kewajaran labanya ini disebut sebagai tested party.
Aturan umum dalam memilih tested party, sebagaimana diakui secara internasional, adalah memilih pihak yang memiliki analisis fungsional yang paling sederhana dan di mana data pembanding yang paling andal dapat ditemukan.
Biasanya, pihak ini adalah entitas yang tidak memiliki aset tidak berwujud yang unik dan bernilai, tidak menjalankan fungsi yang kompleks, dan tidak menanggung risiko yang signifikan.
Contoh klasik dari tested party adalah distributor rutin yang hanya melakukan fungsi penjualan dan pemasaran dasar, atau produsen kontrak yang beroperasi berdasarkan spesifikasi dari prinsipalnya.
Dengan memilih pihak yang lebih sederhana, proses pencarian perusahaan pembanding yang andal menjadi lebih mudah dan hasil analisis menjadi lebih kuat.
Perubahan signifikan dalam PMK-172 yang akan memengaruhi proses ini adalah penekanan baru pada prioritas geografis dalam pencarian pembanding. Peraturan ini secara eksplisit menyatakan bahwa data pembanding dari yurisdiksi yang sama dengan tested party harus diprioritaskan.
Ini merupakan sebuah pergeseran penting dari praktik sebelumnya di mana banyak perusahaan di Indonesia menggunakan data pembanding dari tingkat regional (misalnya, Asia Pasifik) dengan alasan keterbatasan data lokal.
Aturan baru ini secara efektif meningkatkan beban pembuktian bagi Wajib Pajak.
Mereka kini harus terlebih dahulu melakukan pencarian yang komprehensif dan mendokumentasikan bahwa data pembanding domestik yang memadai dan andal memang tidak tersedia, sebelum dapat memperluas pencarian mereka ke yurisdiksi lain.
Hal ini berpotensi mengubah hasil studi pembanding, mungkin menghasilkan rentang laba yang lebih sempit atau lebih fluktuatif karena didasarkan pada set data yang lebih kecil dan lebih spesifik secara lokal.
Area Sengketa Pemeriksaan Transfer Pricing
DJP menggunakan pendekatan berbasis risiko untuk memilih Wajib Pajak yang akan diaudit transfer pricing-nya.
Terdapat empat red flags yang dapat meningkatkan probabilitas audit secara signifikan:
Pertama, Kinerja Keuangan Anomali.
Kerugian operasional yang dilaporkan secara konsisten selama beberapa tahun, atau penurunan profitabilitas yang drastis tanpa penjelasan bisnis yang kuat, adalah pemicu utama.
Kedua, Transaksi Berisiko Tinggi.
Transaksi dalam jumlah besar dengan afiliasi yang berlokasi di yurisdiksi dengan tarif pajak rendah atau tax havens. Selain itu, pembayaran royalti, biaya jasa manajemen intra-grup, dan beban bunga kepada afiliasi juga mendapat pengawasan ketat.
Ketiga, Perubahan Struktural.
Adanya restrukturisasi bisnis, seperti pengalihan fungsi, aset, atau risiko ke entitas afiliasi lain, akan menarik perhatian auditor.
Keempat,Ketidakkonsistenan Dokumentasi.
Inkonsistensi data antara Dokumen TP, SPT Tahunan, laporan keuangan, dan dokumen pendukung lainnya seperti perjanjian kontrak.
Berdasarkan data putusan pengadilan pajak dan praktik di lapangan, area sengketa yang paling umum terjadi dalam audit transfer pricing di Indonesia meliputi:
Pertama, Pemilihan Metode.
Sengketa klasik antara Wajib Pajak yang seringkali menggunakan TNMM karena ketersediaan data, dengan DJP yang seringkali berargumen bahwa metode transaksi tradisional (seperti CUP) seharusnya dapat diterapkan.
Kedua, Analisis Kesebandingan.
Ini adalah area sengketa yang paling dominan. DJP sering menolak data pembanding yang digunakan Wajib Pajak dengan berbagai alasan, seperti perbedaan fungsi yang dianggap material, penggunaan perusahaan pembanding yang merugi, atau penggunaan data multi-tahun yang dianggap tidak dapat dibenarkan.
Ketiga, Substansi Transaksi (Substance over Form).
DJP sering menantang substansi ekonomi dari suatu transaksi, terutama untuk jasa intra-grup dan royalti.
Argumen yang umum adalah bahwa jasa tersebut tidak benar-benar diberikan (benefit test), tidak memberikan manfaat ekonomis bagi penerima, atau merupakan duplikasi dari aktivitas yang sudah dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak.
Keempat, Pendekatan Ex-Ante vs. Ex-Post.
Terdapat ketegangan fundamental di mana regulasi mewajibkan Wajib Pajak menyusun Dokumentasi TP berdasarkan informasi yang tersedia saat transaksi dilakukan (ex-ante).
Namun, dalam praktiknya, auditor seringkali menguji kewajaran harga transfer dengan menggunakan data dan informasi yang tersedia pada saat audit dilakukan (ex-post), yang dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Kuasai Pajak dari Praktisi Terbaik, Bukan Sekadar Teori.
Program Brevet Pajak AB Suara Pajak disampaikan langsung oleh Pegawai Aktif Direktorat Jenderal Pajak, auditor BPK, dan Konsultan Pajak. Lulus siap jadi ahli pajak yang percaya diri dan terhubung. Suara Pajak menyediakan Simulasi Coretax sebagai aplikasi untuk pelatihan dan praktek agar lulusan siap kerja. Jadi, alumni Brevet Pajak Suara Pajak sudah terbiasa menggunakan Coretax untuk pelaporan pajak.
PrakTax adalah simulasi Coretax atau dummy Coretax yang secara aplikasi 99% dari Coretax untuk tempat Praktikum Siswa dan Mahasiswa.
Jika Anda Merasa Pajak Itu Rumit dan Berisiko, Anda Tidak Sendirian!
Banyak staf pajak di perusahaan dan pengusaha menghadapi tantangan yang sama:
โ Peraturan Terus Berubah: Bingung mengikuti undang-undang perpajakan dan aturan turunannya?
โ Takut Salah Hitung: Khawatir salah lapor atau kurang bayar yang berujung denda besar, atau bahkan penjara?
โ Karir Stagnan: Merasa keterampilan perpajakan Anda kurang dibanding rekan kerja lain? Masih bingung dengan Coretax?
โ Belajar Sendiri Melelahkan: Membaca peraturan pajak sendiri sering kali membosankan dan sulit dipahami konteksnya.
Banyak pengusaha menghindari pajak besar tetapi blunder, bukannya menghemat pajak justru sebaliknya menjadi bangkrut. Kejadian ini disebabkan ketidaktahuan aturan perpajakan dan tips-tips menghemat pajak.
Belajar Langsung dari Sumbernya. Inilah Pembeda Suara Pajak.
Kami percaya, cara terbaik memahami pajak adalah dengan belajar dari mereka yang berkecimpung di dalamnya setiap hari. Pengajar kami berasal dari para praktisi pajak. Baik yang masih aktif di otoritas pajak (DJP), maupun konsultan pajak.
Dapatkan perspektif orang dalam tentang bagaimana peraturan dibuat, diinterpretasikan, dan diawasi di lapangan. Ini adalah wawasan yang tidak akan Anda temukan di tempat lain.
Dapatkan strategi praktis, tips efisiensi, dan cara penyelesaian sengketa pajak yang efektif dan legal dari para praktisi berpengalaman.
Anda tidak hanya hafal pasal, tapi benar-benar paham cara kerja perpajakan di dunia nyata.
Pendidikan Selesai, Dukungan Tak Pernah Usai.
Memperkenalkan benefit eksklusif: Keanggotaan Seumur Hidup di Komunitas Alumni Suara Pajak!
โญ Konsultasi Pajak Lifetime: Punya kendala pajak di kantor setelah lulus? Bingung hadapi kasus? Tanyakan langsung di grup eksklusif. Dapatkan masukan dari ratusan alumni dan bahkan para pengajar.
โญ Update Peraturan Terkini: Jangan sampai ketinggalan informasi. Kami akan membagikan rangkuman peraturan pajak terbaru langsung di komunitas, lengkap dengan pembahasannya.
Laporan ini bertujuan untuk menganalisis dinamika fiskal Indonesia pada awal tahun 2025, dengan fokus pada tantangan pencapaian target penerimaan pajak, kemunculan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak, dan implementasi sistem administrasi perpajakan baru, Coretax. Analisis ini didasarkan pada data kinerja fiskal kuartal pertama (Q1) 2025, perkembangan legislatif terkait pengampunan pajak, serta informasi mengenai peluncuran dan tujuan sistem Coretax, sebagaimana terangkum dari berbagai sumber berita dan dokumen publik yang tersedia hingga awal Mei 2025.
Konteks utama analisis ini adalah adanya kekhawatiran mengenai potensi tidak tercapainya target penerimaan pajak tahun 2025, meskipun Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan upaya ekstra. Bersamaan dengan itu, muncul inisiatif legislatif untuk memperkenalkan kembali program pengampunan pajak, yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan penerimaan. Selain itu, tahun 2025 menandai dimulainya era baru administrasi perpajakan melalui implementasi Coretax, sebuah sistem yang diharapkan membawa perubahan fundamental.
Laporan ini akan mengkaji data realisasi penerimaan pajak Q1 2025 terhadap target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menelaah status dan tujuan RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan, menguraikan implementasi dan dampak awal Coretax, serta menganalisis potensi keterkaitan antara ketiga elemen tersebut. Pertanyaan sentral yang dijawab adalah bagaimana kinerja fiskal awal 2025, rencana pengampunan pajak, dan peluncuran Coretax saling berinteraksi, serta implikasinya terhadap arah kebijakan dan prospek penerimaan pajak Indonesia.
II. Penerimaan Pajak Indonesia 2025: Kinerja dan Prospek
A. Realisasi Q1 2025 vs. Target
Kinerja penerimaan pajak Indonesia pada awal tahun 2025 menunjukkan tantangan yang signifikan dalam mencapai target yang telah ditetapkan dalam APBN. Hingga akhir Maret 2025 (Q1), realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp 322,6 triliun (1). Angka ini hanya setara dengan 14,7% dari target penerimaan pajak tahunan dalam APBN 2025, yang dipatok sebesar Rp 2.189,3 triliun (atau Rp 2.189 T) (1). Target ini sendiri dirancang dengan asumsi pertumbuhan sebesar 13,9% dari outlook penerimaan tahun 2024 (4).
Jika dibandingkan dengan periode waktu (tiga bulan atau seperempat tahun), capaian 14,7% ini berada jauh di bawah target proporsional 25%. Meskipun penerimaan pajak tidak selalu terdistribusi secara merata sepanjang tahun, selisih yang cukup besar di awal periode ini mengindikasikan adanya tekanan berat untuk mengejar ketertinggalan di kuartal-kuartal berikutnya agar target tahunan dapat tercapai.
Secara agregat, total pendapatan negara dan hibah hingga akhir Maret 2025 mencapai Rp 516,1 triliun, atau 17,2% dari target tahunan sebesar Rp 3.005,1 triliun (1). Pendapatan ini terdiri dari penerimaan pajak (Rp 322,6 T), penerimaan kepabeanan dan cukai (Rp 77,5 T), serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) (Rp 115,9 T) (1). Di sisi lain, realisasi belanja negara tercatat sebesar Rp 620,3 triliun, atau 17,1% dari pagu APBN 2025 sebesar Rp 3.621,3 triliun (3).
Kombinasi antara realisasi pendapatan yang lebih rendah dari belanja pada Q1 2025 mengakibatkan defisit APBN sebesar Rp 104,2 triliun pada akhir Maret 2025 (2). Defisit ini setara dengan 0,43% dari Produk Domestik Bruto (PDB) (5). Terjadinya defisit di awal tahun ini patut dicatat, mengingat desain APBN 2025 berdasarkan Undang-undang Nomor 62 tahun 2024 menargetkan keseimbangan primer negatif sebesar Rp 63,3 triliun untuk keseluruhan tahun (7). Defisit yang muncul lebih awal dari proyeksi ini, bahkan lebih besar dari defisit per akhir Januari 2025 yang sebesar Rp 23,45 triliun (11), semakin mempertegas tekanan pada sisi penerimaan negara, khususnya pajak.
Tabel 1: Kinerja APBN – Q1 2025 vs. Target Tahunan
Item
Realisasi Q1 2025 (Rp Triliun)
Target Tahunan 2025 (Rp Triliun)
% Target Tercapai (Q1)
Penerimaan Pajak
322,6
2.189,3
14,7%
Penerimaan Kepabeanan & Cukai
77,5
Data tidak tersedia
Data tidak tersedia
PNBP
115,9
Data tidak tersedia
Data tidak tersedia
Total Pendapatan Negara
516,1
3.005,1
17,2%
Belanja Negara
620,3
3.621,3
17,1%
Defisit APBN
104,2
616,2 (Desain)
16,9% (dari Desain)
Catatan: Data target Kepabeanan & Cukai serta PNBP tidak secara eksplisit disebutkan dalam sumber yang dirujuk untuk tabel ini, namun total pendapatan negara dan targetnya tersedia. Target defisit APBN 2025 adalah Rp 616,2 T.5
Tabel di atas memberikan gambaran kuantitatif mengenai situasi fiskal pada awal 2025. Rendahnya persentase pencapaian target penerimaan pajak (14,7%) menjadi sorotan utama, yang berkontribusi pada terjadinya defisit anggaran lebih dini.
B. Tren Awal dan Volatilitas
Kinerja penerimaan pajak di awal tahun 2025 menunjukkan volatilitas yang cukup tinggi. Periode Januari 2025 mencatat kinerja yang sangat lemah, dengan pertumbuhan penerimaan pajak terkontraksi atau minus 41,86% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (11). Data spesifik Januari menunjukkan penerimaan PPh nonmigas hanya mencapai Rp 109,28 triliun atau 6,67% dari target, PPN dan PPnBM Rp 24,62 triliun atau 2,6% dari target, dan PBB Rp 2,22 triliun atau 6,37% dari target (11). Kinerja buruk ini berlanjut hingga Februari, di mana data kumulatif Januari-Februari 2025 dilaporkan anjlok signifikan, disebutkan dalam sebuah referensi berita mencapai 30% (11).
Namun, terdapat indikasi perbaikan (“membaik”) kinerja penerimaan pajak yang tercatat khusus pada bulan Maret 2025 (7). Penerimaan pajak bruto pada bulan Maret dilaporkan tumbuh positif (7). Perbaikan atau “rebound” pada bulan Maret ini diatribusikan pada beberapa jenis pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 (pajak karyawan), PPh Pasal 25/29 Badan (angsuran pajak perusahaan, khususnya dari sektor pertambangan), dan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) (9).
Pola kinerja yang sangat lemah di Januari-Februari, yang bertepatan dengan peluncuran sistem Coretax pada 1 Januari 2025 (12), menguatkan dugaan bahwa disrupsi awal akibat implementasi sistem baru ini berdampak negatif terhadap kelancaran proses pelaporan dan pembayaran pajak, sehingga menekan realisasi penerimaan (10). Sumber secara eksplisit mengaitkan data penerimaan yang “buram” atau suram di awal tahun dengan masalah implementasi Coretax (10). Sumber lain juga menyebutkan adanya kendala transisi Coretax dan potensi penghapusan sanksi atas keterlambatan terkait sistem (15). Perbaikan di bulan Maret dapat mencerminkan mulai stabilnya sistem, adaptasi Wajib Pajak dan DJP, atau pengaruh faktor eksternal seperti kenaikan harga komoditas yang mendorong penerimaan dari sektor pertambangan (9). Klaim DJP pada pertengahan Maret bahwa sistem Coretax sudah jauh lebih stabil juga mendukung interpretasi ini (18). Namun, pemulihan ini masih perlu diuji keberlanjutannya di bulan-bulan berikutnya.
C. Proyeksi Pakar dan Tantangan
Meskipun awal tahun menunjukkan kinerja yang berat, beberapa pakar masih memproyeksikan adanya perbaikan penerimaan pajak di bulan-bulan mendatang. Ada optimisme bahwa target penerimaan 2025 masih dapat tercapai dan Indonesia bisa terhindar dari “kutukan shortfall” (realisasi di bawah target), asalkan tren positif yang terlihat di bulan Maret dapat terus berlanjut didukung oleh terjaganya pertumbuhan ekonomi dan konsumsi dalam negeri (9).
Namun, optimisme ini bersifat kondisional dan dibayangi oleh berbagai tantangan. Proyeksi ekonomi global yang relatif stagnan dapat membatasi ruang pertumbuhan ekonomi domestik (4). Normalisasi harga komoditas setelah periode booming hingga 2023 juga menjadi faktor penekan penerimaan, terutama dari sektor sumber daya alam (4). Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari lembaga internasional seperti Bank Dunia (sebesar 4,7% untuk tahun berjalan) juga lebih rendah dibandingkan asumsi pemerintah (2). Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai keamanan APBN jika penerimaan pajak terus berjalan lambat (“seret”) yang dapat memperlebar defisit anggaran (9).
Melihat kondisi ini, prediksi awal mengenai potensi tidak tercapainya target penerimaan pajak 2025, bahkan dengan upaya ekstra dari DJP, tampak memiliki dasar yang kuat. Kesenjangan yang signifikan pada Q1, ditambah dengan tantangan ekonomi eksternal dan internal serta ketidakpastian pasca-implementasi Coretax, menciptakan risiko penurunan (downside risks) yang nyata terhadap pencapaian target.
D. Strategi Pemerintah
Menghadapi tantangan tersebut, pemerintah dan DJP menerapkan berbagai strategi untuk mengamankan target penerimaan pajak 2025. Fokus utama adalah mendorong pertumbuhan penerimaan dari PPh nonmigas serta PPN & PPnBM, yang diharapkan sejalan dengan aktivitas ekonomi (4). Upaya standar penegakan hukum (law enforcement) melalui pemeriksaan dan pengawasan Wajib Pajak terus dilakukan ([User Query Point 1]). Hal ini juga didukung oleh fungsi-fungsi dalam Coretax seperti manajemen risiko kepatuhan (Compliance Risk Management) dan audit (19). DJP juga melaksanakan program bersama antar unit di Kementerian Keuangan untuk melakukan analisis, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, dan intelijen terhadap lebih dari 2.000 Wajib Pajak yang teridentifikasi berisiko tinggi (18).
Implementasi Coretax itu sendiri merupakan inisiatif strategis jangka panjang yang fundamental, bertujuan untuk membangun sistem administrasi yang lebih efisien, akuntabel, dan terintegrasi, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan sukarela dan penerimaan negara (13). Di samping itu, RUU Pengampunan Pajak kini tengah dipersiapkan di ranah legislatif sebagai opsi kebijakan tambahan (23 – 24).
Dengan demikian, strategi pemerintah bertumpu pada kombinasi antara harapan pertumbuhan ekonomi organik yang akan mendorong basis pajak utama (PPh dan PPN), efektivitas jangka panjang dari sistem Coretax setelah stabil, upaya penegakan hukum yang berkelanjutan, serta persiapan instrumen kebijakan khusus berupa pengampunan pajak yang dapat digunakan untuk mendongkrak penerimaan di tengah prospek yang menantang.
III. Rencana Pengampunan Pajak 2025: Status dan Tujuan
Seiring dengan tantangan penerimaan pajak, wacana mengenai program pengampunan pajak kembali mengemuka pada akhir 2024 dan awal 2025.
A. Status Legislatif
Informasi dari berbagai sumber mengonfirmasi bahwa RUU tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) telah secara resmi dimasukkan sebagai salah satu prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2025 (23). RUU ini juga menjadi bagian dari Prolegnas jangka menengah untuk periode 2025-2029 (6).
Inisiatif pengusulan RUU ini berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya diusulkan oleh Komisi XI yang membidangi keuangan dan perbankan, dan diproses melalui Badan Legislasi (Baleg) (23). Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, pada November 2024 menjelaskan bahwa Komisi XI secara resmi telah menyampaikan surat untuk memprioritaskan RUU Pengampunan Pajak, menggantikan usulan RUU lain sebelumnya (23).
Pembahasan RUU ini antara DPR dan pemerintah dijadwalkan akan dimulai pada tahun 2025 (28). Harapannya adalah agar dapat disepakati tahun pajak mana yang akan dicakup oleh program pengampunan ini, dengan kemungkinan menggunakan tahun 2024 sebagai batas waktu (cut-off) pengungkapan (29). Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polhukam) Budi Gunawan pada awal Januari 2025, juga mengindikasikan bahwa persiapan untuk program pengampunan pajak ini telah dimulai (30).
Meskipun RUU ini telah menjadi prioritas, pada rapat Panitia Kerja (Panja) penyusunan Prolegnas Prioritas 2025 di Baleg pada November 2024, kesepakatan final mengenai RUU ini dilaporkan belum tercapai sepenuhnya pada saat itu (27). Namun, laporan-laporan berikutnya menegaskan kembali status prioritasnya dan rencana dimulainya pembahasan pada Januari 2025 (23). Beberapa sumber juga mencatat bahwa program ini tidak akan berlaku pada tahun berjalan (2024), yang konsisten dengan rencana implementasi pada tahun 2025 atau setelahnya (31). Kejelasan status legislatif ini memvalidasi informasi mengenai adanya RUU Pengampunan Pajak yang diinisiasi oleh DPR/Baleg.
B. Tujuan yang Dinyatakan
Rencana pengampunan pajak ini dilandasi oleh beberapa tujuan utama yang dinyatakan secara eksplisit. Tujuan yang paling konsisten disebutkan adalah untuk meningkatkan penerimaan perpajakan (24). Tambahan penerimaan ini diharapkan dapat mendukung pembiayaan pembangunan nasional (25). Mengingat adanya tekanan pada penerimaan di awal 2025, aspek peningkatan pendapatan ini menjadi sangat relevan.
Selain peningkatan penerimaan jangka pendek, program ini juga dibingkai dalam konteks reformasi perpajakan yang lebih luas. Tujuan lainnya mencakup upaya mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, memperluas basis data perpajakan (tax base broadening), meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), serta menciptakan basis data perpajakan yang valid, komprehensif, dan terintegrasi (25). Pengampunan pajak dipandang sebagai kebijakan strategis untuk mendukung agenda pembangunan ekonomi nasional (25) dan mungkin juga sejalan dengan visi dan misi pemerintahan baru (29).
Beberapa pandangan juga mengaitkan pengampunan pajak ini sebagai kesempatan bagi Wajib Pajak untuk “membersihkan” catatan kepatuhan masa lalu (“membersihkan hati masing-masing”) sebelum menghadapi era penegakan hukum yang berpotensi lebih ketat, terutama dengan adanya sistem Coretax (29). Program ini juga diharapkan dapat menjaring aset-aset yang mungkin belum sempat diungkapkan pada program pengampunan pajak atau pengungkapan sukarela sebelumnya (28). Dengan demikian, meskipun peningkatan penerimaan menjadi sorotan utama, program ini juga dikemas dengan tujuan reformasi dan peningkatan kepatuhan jangka panjang.
C. Konteks Historis
Usulan pengampunan pajak pada tahun 2025 bukanlah yang pertama kali di Indonesia. Pemerintah sebelumnya telah melaksanakan program serupa sebanyak dua kali dalam dekade terakhir. Pertama adalah program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang berlangsung pada periode 2016-2017, didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 (25). Kedua adalah Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada tahun 2022, yang sering dianggap sebagai Tax Amnesty Jilid II, berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) (25).
Program pengampunan pajak 2016-2017 dilaporkan berhasil mengumpulkan penerimaan PPh dari uang tebusan sebesar Rp 61,01 triliun (25). Namun, persepsi mengenai keberhasilan atau kegagalan program-program sebelumnya masih menjadi perdebatan (28).
Munculnya usulan untuk program ketiga kalinya (sering disebut “Jilid III” 17) dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun menunjukkan bahwa pengampunan pajak telah menjadi instrumen kebijakan yang berulang. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai respons terhadap tantangan yang persisten dalam hal kepatuhan pajak sukarela atau keterbatasan administrasi perpajakan yang ada sebelum era Coretax. Frekuensi penggunaan instrumen ini juga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas jangka panjangnya dibandingkan dengan upaya perbaikan fundamental pada sistem administrasi dan penegakan hukum pajak.
IV. Implementasi Coretax: Modernisasi Administrasi Perpajakan
Tahun 2025 menjadi tonggak penting dalam reformasi perpajakan Indonesia dengan diluncurkannya sistem inti administrasi perpajakan yang baru, dikenal sebagai Coretax.
A. Gambaran Umum Sistem dan Tujuan
Coretax, atau Core Tax Administration System (CTAS), merupakan bagian dari proyek besar Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) (19). Sistem ini secara resmi diluncurkan secara nasional pada 1 Januari 2025 (12), setelah diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 31 Desember 2024 (12). Coretax dirancang sebagai platform digital terintegrasi yang mencakup hampir seluruh proses bisnis inti administrasi perpajakan.
Fungsi yang terintegrasi dalam Coretax meliputi pendaftaran Wajib Pajak (WP), pengelolaan dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dan Masa, pembayaran pajak, pengelolaan akun Wajib Pajak (Taxpayer Account Management/TAM), manajemen risiko kepatuhan (Compliance Risk Management/CRM), pemeriksaan (audit), penagihan pajak, layanan perpajakan digital, dukungan proses keberatan dan banding, pertukaran informasi otomatis antarnegara (Automatic Exchange of Information/AEoI), serta fungsi intelijen dan analisis data perpajakan (13).
Tujuan utama pembangunan Coretax adalah untuk memodernisasi sistem administrasi perpajakan yang sebelumnya dianggap sudah usang (ketinggalan zaman), belum terintegrasi, dan tidak didukung infrastruktur yang memadai (19). Dengan sistem baru ini, DJP menargetkan peningkatan efisiensi dan efektivitas operasional, peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak, peningkatan kualitas layanan kepada WP (misalnya, mengurangi potensi sengketa dan biaya kepatuhan), peningkatan kemampuan analisis data untuk pengambilan kebijakan dan pengawasan, serta peningkatan kredibilitas dan akuntabilitas institusi DJP (13). Muara dari semua perbaikan ini adalah optimalisasi penerimaan negara (19).
Akses ke layanan Coretax disediakan melalui portal web coretaxdjp.pajak.go.id (20) atau melalui laman landas pajak.go.id/portal-layanan-wp (32). Pengguna lama layanan DJPOnline perlu melakukan pengaturan ulang kata sandi, sementara WP yang belum pernah menggunakan layanan online atau WP baru perlu melakukan aktivasi akun atau pendaftaran melalui portal tersebut (12). DJP menyediakan berbagai buku panduan penggunaan dan saluran dukungan (Kring Pajak, live chat, email, media sosial, kantor pajak terdekat) untuk membantu WP beradaptasi dengan sistem baru ini (12).
B. Linimasa Implementasi dan Transisi
Implementasi Coretax merupakan hasil dari proses panjang yang didasari oleh Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 dan berbagai keputusan Menteri Keuangan (14). Proses persiapan dan pengembangan sistem berlangsung dalam beberapa tahapan sejak awal 2021 hingga 2023, melibatkan perancangan proses bisnis, teknologi, infrastruktur, hingga pelatihan pegawai DJP (19). Uji coba sistem secara nasional dilaksanakan pada akhir tahun 2024, dimulai pada 16 Desember 2024, sebagai langkah final sebelum peluncuran penuh (13).
Sistem Coretax resmi beroperasi secara nasional mulai 1 Januari 2025, melayani seluruh administrasi perpajakan untuk masa pajak Januari 2025 dan seterusnya (12). Namun, fase awal implementasi sistem berskala masif ini tidak berjalan mulus. Berbagai laporan mengindikasikan adanya masalah teknis, kendala penggunaan, dan gangguan (“bermasalah,” “kendala,” “masalah”) yang dihadapi oleh Wajib Pajak pada minggu-minggu pertama peluncuran (10). Permasalahan ini dikhawatirkan tidak hanya menyulitkan WP tetapi juga berpotensi mengganggu kelancaran pelaporan dan pembayaran pajak, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi realisasi penerimaan negara di awal tahun, seperti yang tercermin pada data Januari-Februari 2025.
Menyikapi kendala ini, DJP mengambil langkah-langkah transisional. Pemerintah menegaskan komitmen untuk tidak membebani Wajib Pajak selama masa adaptasi ini (16). Salah satu kebijakan penting adalah memastikan tidak ada pengenaan sanksi administrasi atas keterlambatan yang disebabkan oleh masalah pada sistem Coretax, misalnya keterlambatan penerbitan faktur pajak elektronik (e-faktur) atau pelaporan (15). DJP juga terus menyediakan dukungan teknis dan informasi perkembangan sistem (21). Pada pertengahan Maret 2025, DJP mengklaim bahwa sistem Coretax sudah menunjukkan perbaikan stabilitas yang signifikan (18).
Implementasi Coretax jelas merupakan sebuah perubahan fundamental dan transformasi digital besar-besaran dalam administrasi perpajakan Indonesia. Tujuan jangka panjangnya sangat ambisius dan sejalan dengan praktik tata kelola modern. Namun, tantangan pada fase awal peluncuran (teething problems) adalah hal yang kerap terjadi pada proyek IT skala besar, yang membawa risiko operasional jangka pendek, termasuk potensi dampak pada kelancaran arus penerimaan pajak.
V. Menganalisis Keterkaitan: Coretax, Pengampunan Pajak, dan Penerimaan
Ketiga elemen utama yang dibahas โ tantangan penerimaan pajak 2025, rencana pengampunan pajak, dan implementasi Coretax โ tampak saling terkait dan memengaruhi satu sama lain.
A. Mengevaluasi Hubungan Coretax dan Pengampunan Pajak
Salah satu klaim yang muncul adalah bahwa implementasi Coretax menjadi alasan utama di balik rencana pengampunan pajak 2025. Meskipun tidak ada sumber yang secara eksplisit menyatakan Coretax sebagai satu-satunya penyebab, terdapat logika strategis yang kuat yang menghubungkan keduanya.
Coretax dirancang untuk secara signifikan meningkatkan kemampuan DJP dalam mengintegrasikan data, memantau kepatuhan melalui Taxpayer Account Management (TAM) dan Compliance Risk Management (CRM), serta melakukan penegakan hukum yang lebih efektif berbasis data (13). Dengan kemampuan pengawasan dan deteksi yang jauh lebih kuat di bawah Coretax, risiko bagi Wajib Pajak yang selama ini tidak patuh akan meningkat secara drastis.
Dalam konteks ini, menawarkan program pengampunan pajak sebelum sistem Coretax beroperasi penuh dan stabil dapat menjadi strategi “wortel dan tongkat” (carrot and stick). Ini memberikan kesempatan terakhir (“last chance”) bagi Wajib Pajak untuk secara sukarela mendeklarasikan aset atau penghasilan yang belum dilaporkan dengan tarif tebusan yang relatif rendah, sebelum mereka menghadapi risiko pemeriksaan dan sanksi yang lebih berat di bawah sistem baru yang lebih canggih.
Beberapa tujuan pengampunan pajak juga secara inheren terkait dengan Coretax. Misalnya, tujuan untuk menciptakan “basis data perpajakan yang valid dan terintegrasi” (25) sangat selaras dengan arsitektur Coretax yang berbasis data terpusat. Data yang diperoleh dari program pengampunan pajak berpotensi dimasukkan ke dalam sistem Coretax untuk meningkatkan profil risiko Wajib Pajak dan mendukung upaya kepatuhan di masa depan (18). Narasi mengenai “membersihkan catatan masa lalu” sebelum penegakan yang lebih ketat (29) juga memperkuat kaitan strategis ini.
Oleh karena itu, meskipun faktor lain seperti tekanan penerimaan dan pertimbangan politik juga berperan, implementasi Coretax memberikan justifikasi strategis yang kuat dan masuk akal untuk waktu pengusulan RUU Pengampunan Pajak pada tahun 2025. Coretax kemungkinan besar menjadi faktor pendorong utama atau setidaknya kontributor signifikan dalam keputusan untuk mengajukan kembali kebijakan pengampunan pajak.
B. Peran Pengampunan Pajak dalam Menutup Kesenjangan Penerimaan
Secara eksplisit dinyatakan bahwa salah satu tujuan utama RUU Pengampunan Pajak adalah untuk meningkatkan penerimaan negara (24). Tujuan ini menjadi sangat krusial mengingat kondisi fiskal awal 2025. Dengan realisasi penerimaan pajak Q1 yang hanya mencapai 14,7% dari target (1) dan adanya tantangan ekonomi serta disrupsi Coretax, pencapaian target tahunan sebesar Rp 2.189,3 triliun terlihat semakin berat.
Dalam situasi ini, program pengampunan pajak dapat diposisikan sebagai instrumen kebijakan untuk memberikan suntikan penerimaan yang signifikan dalam jangka pendek. Mekanismenya adalah melalui pembayaran uang tebusan (seperti PPh pada program 2016-17 25) atas harta yang diungkapkan. Selain itu, dengan masuknya aset atau penghasilan baru ke dalam sistem perpajakan, program ini juga berpotensi memperluas basis pajak (tax base) yang dapat dikenakan pajak secara reguler di masa mendatang, terutama dengan dukungan sistem Coretax yang lebih baik.
Dengan demikian, menghadapi pelemahan penerimaan di awal tahun dan hambatan transisi Coretax, pengampunan pajak berfungsi sebagai opsi intervensi kebijakan potensial untuk membantu menutup kesenjangan fiskal dan mencapai target penerimaan 2025 yang ambisius. Waktu pengusulannya tampaknya dipengaruhi baik oleh peluncuran Coretax maupun oleh tekanan fiskal yang mendesak.
C. Sintesis: Interaksi Antar Faktor
Situasi fiskal Indonesia pada awal 2025 ditandai oleh target penerimaan yang tinggi, namun menghadapi tekanan dari kondisi ekonomi dan gangguan signifikan akibat implementasi sistem Coretax. Rencana pengampunan pajak muncul sebagai respons kebijakan yang multifungsi. Di satu sisi, ia bertujuan mengatasi tekanan penerimaan jangka pendek. Di sisi lain, ia berfungsi memfasilitasi transisi ke rezim Coretax yang lebih ketat dengan mendorong pengungkapan sukarela sebelum kemampuan pengawasan DJP meningkat drastis. Program ini juga sejalan dengan tujuan reformasi perpajakan yang lebih luas.
Keberhasilan pencapaian target penerimaan 2025 tampaknya akan sangat bergantung pada kombinasi beberapa faktor: keberlanjutan pemulihan ekonomi, kecepatan stabilisasi dan efektivitas penggunaan sistem Coretax oleh DJP dan Wajib Pajak, serta keberhasilan desain dan implementasi program pengampunan pajak (jika RUU ini disahkan dan dijalankan). Mengingat kompleksitas dan tantangan yang ada pada setiap faktor ini, prediksi awal mengenai potensi terjadinya shortfall penerimaan pada tahun 2025 tetap merupakan kemungkinan yang nyata.
VI. Kesimpulan
Berdasarkan analisis terhadap sumber-sumber yang tersedia, berikut adalah rangkuman temuan :
Prediksi Shortfall Penerimaan Pajak 2025: Prediksi ini masuk akal (plausible). Data Q1 2025 menunjukkan kesenjangan signifikan (realisasi 14,7% vs target proporsional 25%). Gangguan awal implementasi Coretax kemungkinan besar turut menekan penerimaan di Januari-Februari. Meskipun ada perbaikan di bulan Maret, pemulihan ini bersifat kondisional dan masih dibayangi risiko ekonomi serta tantangan adaptasi Coretax (1).
Informasi RUU Pengampunan Pajak oleh DPR/Baleg: RUU Pengampunan Pajak secara resmi telah dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2025, diinisiasi oleh DPR melalui Komisi XI dan Baleg (23).
Tujuan Pengampunan Pajak (Meningkatkan Penerimaan): Peningkatan penerimaan pajak secara eksplisit dinyatakan sebagai salah satu tujuan utama dari RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan (24).
Alasan Pengampunan Pajak (Implementasi Coretax): Ini merupakan faktor pendorong strategis yang masuk akal, namun kemungkinan bukan satu-satunya alasan. Namun, waktu peluncuran Coretax dan peningkatan kemampuan pengawasannya memberikan logika strategis yang kuat untuk menawarkan pengampunan pajak sebagai ‘kesempatan terakhir’ sebelum penegakan hukum yang lebih ketat, di samping tujuan peningkatan penerimaan dan reformasi lainnya (13).
Sebagai penutup, perlu ditekankan bahwa analisis ini didasarkan sepenuhnya pada informasi yang tersedia hingga awal Mei 2025. Situasi fiskal dan perkembangan kebijakan bersifat dinamis. Realisasi penerimaan pajak 2025 serta nasib dan dampak RUU Pengampunan Pajak dapat terus berkembang seiring berjalannya waktu.
Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 15 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemeriksaan. PMK ini merupakan tata cara pemeriksaan pajak yang diperkirakan “penyesuaian” dengan sistem inti Coretax. Dan tentu saja bertujuan untuk meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan.
Tata cara pemeriksaan 2025 mengadopsi pemeriksaan secara hybrid, yaitu pemeriksaan secara online melalui Coretax, tetapi masih bisa dilakukan pemeriksaan di tempat Wajib Pajak. Kewenangan-kewenangan pemeriksa pajak sesuai Undang-Undang KUP masih tetap berlaku.
Hak dan Kewajiban Menurut UU KUP
Pemeriksaan pajak diatur di Pasal 29 sampai dengan Pasal 31 Undang-Undang KUP. Pemeriksaan pajak merupakan hak atau kewenangan Direktur Jenderal Pajak. Hal ini diatur di Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP:
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk mengujikepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuanlain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undanganperpajakan.
Walaupun yang berwenang melakukan pemeriksaan pajak seorang Direktur Pajak, tetapi pelaksanaan pemeriksaan dilakukan oleh pemeriksa pajak. Direktur Jenderal Pajak memerintahkan kepada petugas pemeriksa, atau PNS DJP, untuk melakukan pemeriksaan. Ketentuan ini diatur di Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang KUP:
Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tandapengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan sertamemperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang KUP memberikan kewajiban kepada auditee, atau Wajib Pajak yang diperiksa, untuk “membantu kelancaran” pemeriksaan. Berikut kutipannya:
Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
memberikan keterangan lain yang diperlukan.
Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.
Ada sanksi administrasi jika Wajib Pajak tidak menyampaikan buku, catatan, dan dokumen dalam 1 bulan, yaitu sanksi administrasi berupa penetapan secara jabatan. Surat Ketetapan Pajak dihitung oleh pemeriksa pajak berdasarkan “cara lain”, bukan berdasarkan keadaan sebenarnya.
Pasal 30 Undang-Undang KUP memberikan kewenangan kepada pemeriksa pajak untuk melakukan penyegelan tempat Wajib Pajak. Walaupun demikian, penyegelan sudah jarang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Bahkan saya menduga, pemeriksa pajak yang diangkat era 2010 ke sini tidak ada yang melakukan penyegelan. Berbeda dengan dulu, era saya masih muda, apapun sering saya segel ^_^
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b
Selain itu, Pasal 29 Undang-Undang KUP juga mencabut semua rahasia Wajib Pajak. Tidak ada alasan bagi Wajib Pajak untuk tidak memberikan data, dan informasi apapun terkait usahanya walaupun data dan informasi tersebut bersifat rahasia. Sifat rahasianya sudah dicabut dengan Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang KUP:
Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Prosedur Wajib Pemeriksaan Pajak
Tata cara pemeriksaan pajak tentu saja mengatur prosedur-prosedur yang harus dilakukan oleh pemeriksa pajak. Namun, ada dua pendapat tentang PMK tata cara pemeriksaan.
Pendapat pertama, bahwa tata cara pemeriksaan merupakan aturan administrasi berupa prosedur-prosedur yang harus dilakukan oleh pemeriksa pajak. Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa, syarat sahnya Keputusan meliputi: a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; b. dibuat sesuai prosedur; dan c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
Artinya, jika ada surat ketetapan pajak yang prosedur pemeriksaannya tidak sesuai dengan PMK tata cara pemeriksaan maka dapat dibatalkan.
Namun di sisi lain, Undang-Undang KUP mengatur hasil pemeriksaan yang dapat dibatalkan, yaitu diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP:
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
Berdasarkan ketentuan ini, maka prosedur wajib dalam pemeriksaan hanya ada dua, yaitu SPHP dan pembahasan akhir hasil pemeriksaa. Selain 2 prosedur tersebut, maka dianggap tidak wajib. Jika bukan wajib maka jika tidak dilaksanakan tidak ada sanksi.
Sebagian hakim di Pengadilan Pajak berpendapat bahwa PMK tata cara pemeriksaan merupakan panduan dari Menteri Keuangan agar pemeriksaan pajak berlaku benar. Bukan syarat sah atau tidak sahnya surat ketetapan pajak.
Jadi, jangan heran jika jangka waktu pemeriksaan pada praktiknya tidak sama dengan PMK Tata Cara Pemeriksaan. Jangka waktu pembahasan tidak sama dengan PMK tata cara pemeriksaan, dan seterusnya.
Pembahasan Daftar Temuan Sementara
PMK baru tata cara pemeriksaan menghadirkan prosedur baru, yaitu Pembahasan Temuan Sementara.
Pembahasan Temuan Sementara adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak atas temuan sementara Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara untuk memberikan keyakinan bahwa temuan telah didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pembahasan Temuan Sementara diatur di Pasal 17 PMK 15 Tahun 2025. Pembahasan Temuan Sementara dilakukan melalui penyampaian panggilan Pembahasan Temuan Sementara kepada Wajib Pajak dilampiri dengan daftar temuan sementara. Waktu Pembahasan Temuan Sementara dilakukan 1 bulan sebelum jangka waktu pengujian berakhir. Artinya, pembahasan dilakukan 1 bulan sebelum SPHP.
Jika jangka waktu pengujian pemeriksaan lengkap 5 bulan, maka pada bulan ke 4 harus sudah ada panggilan Pembahasan Temuan Sementara. Jika tidak ada panggilan, patut ditanyakan kepada pemeriksanya kapan dilakukan Pembahasan Temuan Sementara.
Menurut saya, Pembahasan Temuan Sementara lebih penting daripada Pembahasan Hasil Pemeriksaan (setelah SPHP). Biasanya tensi setelah SPHP sudah tinggi jika sengketanya banyak. Sehingga mungkin pembahasannya tidak optimal.
Fungsi Pembahasan Temuan Sementara sebenarnya untuk “klarifikasi” tentang data-data temuan. Bisa jadi pemeriksa pajak melakukan koreksi fiskal karena datanya kurang, sehingga pada saat Pembahasan Temuan Sementara, data-data yang diperlukan dilengkapi.
Karena itu, PMK tata cara pemeriksaan mengatur:
Dalam pelaksanaan Pembahasan Temuan Sementara, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk:
memberikan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk Data Elektronik;
memperlihatkan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk Data Elektronik;
memberikan buku, catatan, dan/atau dokumen termasuk Data Elektronik, yang dipinjam atau diminta berdasarkan surat permintaan yang berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak; dan/atau
menghadirkan saksi, ahli, atau pihak ketiga dengan menyampaikan surat penunjukan saksi, ahli, atau pihak ketiga oleh Wajib Pajak.
Dengan demikian, kita harapkan pada saat Pembahasan Temuan Sementara, sebagian BESAR koreksi fiskal sudah jelas, memiliki dasar koreksi kuat, dan dapat dipertanggung jawabkan.
Tinggal perbedaan pendapat terkait penafsiran atau penerapan aturan perpajakan. Masalah perbedaan pendapat sangat wajar. Jangankan antara Wajib Pajak dengan fiskus yang berada dalam kubu berseberangan, diantara fiskus yang sama-sama dalam satu kubu, sangat dimungkinkan untuk berbeda pendapat.
Karena itu perlu ditengahi dengan pendapat pihak ketiga melalui Pembahasan Dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan.
Pemeriksaan Secara Online
PMK tata cara pemeriksaan yang baru ini juga mengakomodir pemeriksaan secara online. Bisa saja nanti dilakukan pemeriksaan yang 100% secara online. Pertemuan dengan tim pemeriksa pajak dilakukan melalui aplikasi zoom. Pemberian dokumen dilakukan secara elektronik.
Pertemuan daring (online) antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak diatur di Pasal 11 ayat (3) PMK tata cara pemeriksaan. Walaupun ayat tersebut dalam rangka pertemuan pertama, tetapi dapat dijadikan alasan bolehnya dilakukan secara daring.
Sebelumnya, pertemuan pertama harus dilakukan secara tatap muka langsung, dan yang menghadap harus direksi. Tidak boleh diwakilkan atau dikuasakan.
Sekarang, pertemuan pertama dapat dikuasakan kepada konsultan pajak. Artinya, konsultan pajak yang sudah memiliki ijin dan terdaftar di SIKOP dapat ditunjuk oleh Wajib Pajak sebagai kuasa khusus, baik melalui Coretax maupun surat kuasa khusus.
Pasal 27 ayat (4) PMK tata cara pemeriksaan mengatur:
Dalam hal Pemeriksaan dilakukan secara daring dan dokumen Pemeriksaan memerlukan tanda tangan kedua belah pihak, baik Wajib Pajak maupun tim Pemeriksa Pajak, penandatanganan dilakukan secara elektronik.
Pasal 27 PMK tata cara pemeriksaan mengatur tentang penyampaian dokumen oleh Wajib Pajak kepada pemeriksa pajak. Sejak era Coretax, dokumen yang disampaikan kepada pemeriksa pajak tidak harus berbentuk fisik, tapi bisa berbentuk elektronik. Bisa di-pdf-kan dulu, baru dikirim.
Apakah anda sedang mencari cara impor data ke Coretax? Jika sebelumnya biasa menggunakan CSV di DJP Online, maka di Coretax CSV tidak digunakan lagi. Tapi anda masih dapat impor data di Coretax melalui file XML.
File XML dapat dibuat menggunakan aplikasi MS Excel. Bagi staf keuangan, MS Excel merupakan aplikasi wajib yang digunakan sehari-hari. Artinya, anda tidak asing lagi menggunakan file MS Excel.
Silakan unduh file MS Excel yang dapat dijadikan file XML di sini:
Chapter 8: Conventer XML ke SPT Tahunan, yaitu untuk Biaya Promosi, Biaya Entertainment, Piutang Tak Tertagih, Penyusutan dan Amortisasi, Daftar Debitul NPL
Kenapa XML?
File XML (Extensible Markup Language) memiliki peran penting dalam dunia finance karena kemampuannya untuk menyimpan dan mentransfer data dengan cara yang terstruktur dan terstandarisasi. Berikut adalah beberapa kegunaan utama file XML dalam sektor keuangan:
1. Pertukaran Data Antar Sistem
Dalam dunia keuangan, berbagai sistem dan aplikasi sering kali perlu berkomunikasi untuk berbagi data, seperti data transaksi, laporan keuangan, atau data pajak. XML memungkinkan pertukaran data antar sistem yang menggunakan platform atau perangkat lunak yang berbeda, berkat sifatnya yang universal dan berbasis teks.
2. Pembuatan dan Pelaporan Dokumen Pajak
File XML sering digunakan untuk memenuhi persyaratan pelaporan pajak yang ditentukan oleh otoritas pajak. Di Indonesia, misalnya, aplikasi seperti DJP Online dan Coretax mengandalkan format XML untuk mengimpor data, seperti laporan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
3. Penyimpanan Data yang Terstruktur
Dalam dunia finance, data seperti transaksi harian, detail pelanggan, atau laporan akuntansi perlu disimpan dalam format yang mudah dibaca dan diproses oleh sistem. XML menyediakan struktur hierarkis yang memungkinkan penyimpanan data dalam format yang jelas, terorganisir, dan dapat diakses oleh berbagai perangkat lunak.
4. Integrasi dengan Sistem ERP
Banyak perusahaan keuangan menggunakan sistem ERP (Enterprise Resource Planning) untuk mengelola operasi mereka. File XML digunakan untuk mengintegrasikan data dari sistem keuangan, seperti data penjualan, pembelian, atau anggaran, ke dalam modul ERP tanpa kehilangan informasi.
5. Otomasi dan Validasi Data
File XML mendukung otomatisasi proses dengan menyediakan format yang dapat dengan mudah divalidasi menggunakan skema seperti XML Schema (XSD). Hal ini memastikan bahwa data yang dikirim atau diterima memenuhi standar tertentu, sehingga mengurangi risiko kesalahan dalam proses keuangan.
6. Kemudahan Akses dan Analisis
Karena sifatnya yang berbasis teks, file XML mudah dibaca baik oleh manusia maupun mesin. Data yang disimpan dalam XML dapat dengan mudah diakses, diproses, dan dianalisis menggunakan perangkat lunak keuangan seperti Microsoft Excel atau alat analisis data lainnya.
7. Penggunaan dalam Pasar Keuangan Global
XML digunakan secara luas dalam standar internasional, seperti ISO 20022, yang merupakan standar untuk pertukaran data keuangan dalam pembayaran, sekuritas, kartu kredit, dan transaksi pasar global lainnya.
Dengan berbagai keunggulan ini, file XML menjadi alat penting dalam dunia keuangan untuk mendukung efisiensi, keandalan, dan interoperabilitas sistem yang semakin kompleks.
Siapa Saja Yang Mengharuskan XML?
Sebelum 2025, Direktorat Jenderal Pajak telah mewajibkan pembuatan CbCR dengan format XML. CbCR diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 213/PMK.03/2016 tentang jenis dokumen dan/atau informasi tambahan yang wajib disimpan oleh Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak berelasi. CbCR merupakan instrumen penting dalam meningkatkan transparansi dan mencegah praktik penghindaran pajak di era globalisasi ekonomi. Regulasi ini mencerminkan upaya bersama berbagai negara untuk menciptakan sistem perpajakan internasional yang adil dan efektif.
Selain Direktorat Jenderal Pajak, instansi yang mengharuskan penggunaan XML yaitu Otoritas Jasa Keuangan. OJK menggunakan XML untuk pelaporan data dari lembaga keuangan, seperti laporan bulanan bank atau laporan portofolio investasi. Perusahaan publik diwajibkan melaporkan laporan keuangan dalam format XBRL berbasis XML. Format XML berdasarkan standar ISO 20022 juga digunakan untuk laporan transaksi keuangan dalam sistem pembayaran internasional. Di beberapa negara, pelaporan transaksi derivatif sering diwajibkan dalam format XML.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mengharuskan laporan manifest elektronik dan dokumen kepabeanan harus dalam format XML. Hal ini sesuai dengan standar yang ditetapkan World Customs Organization (WCO). Sistem pertukaran data bea cukai internasional menggunakan XML berdasarkan Kerangka Standar SAFE.
Otoritas analisis transaksi keuangan sudah menggunakan XML dalam setiap laporannya. Laporan aktivitas mencurigakan (Suspicious Activity Reports/SAR) ke otoritas keuangan di banyak negara sering menggunakan format XML.
Botax Consulting Indonesia membuat komunitas UMKM. Komunitas ini diberi nama UMKM Naik Kelas. Isinya para pengusaha menengah ke bawah. Komunitas ini dibuat sebagai tempat belajar, bertanya, dan menyelesaikan masalah yang dihadapi Wajib Pajak.
Jika anda tertarik dengan UMKM Naik kelas, silakan daftar di:
Dirancang khusus untuk membantu UMKM seperti Anda, yang kini harus berhadapan dengan tarif pajak normal.
Tak hanya membahas teori, Program ini hadir dengan langkah-langkah praktis yang bisa langsung diaplikasikan untuk mengoptimalkan bisnis Anda di tengah kenaikan pajak ini.
Pengusaha UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) sering menghadapi berbagai tantangan terkait pajak. Beberapa permasalahan utama yang dihadapi oleh pengusaha UMKM terkait pajak antara lain:
Pemahaman Pajak yang Terbatas Banyak pengusaha UMKM yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kewajiban perpajakan. Mereka mungkin tidak memahami peraturan pajak yang berlaku, jenis pajak yang harus dibayar, dan bagaimana cara menghitung pajak yang benar. Hal ini sering menyebabkan ketidakpatuhan pajak yang tidak disengaja.
Proses Administrasi Pajak yang Rumit Pengusaha UMKM sering merasa kesulitan dengan prosedur administrasi pajak yang rumit dan memakan waktu, seperti pengisian SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan), penghitungan pajak yang tepat, dan pelaporan pajak secara tepat waktu.
Tingkat Tarif Pajak yang Membebani Meskipun ada program pengurangan pajak untuk UMKM, tarif pajak yang masih dianggap tinggi atau tidak proporsional dengan keuntungan yang diperoleh sering kali menjadi beban. Beberapa pengusaha merasa tarif pajak ini mengurangi margin keuntungan mereka, terutama bagi UMKM yang berada di sektor usaha dengan margin tipis.
Ketidakpastian dan Perubahan Peraturan Pajak Perubahan peraturan perpajakan yang sering terjadi dapat membingungkan pengusaha UMKM, yang mungkin kesulitan untuk mengikuti perubahan tersebut. Ketidakpastian dalam kebijakan perpajakan juga dapat menghambat perencanaan dan pengembangan usaha.
Kurangnya Insentif atau Dukungan Meskipun beberapa insentif pajak tersedia bagi UMKM, tidak semua pengusaha UMKM mengetahui cara memanfaatkannya. Kurangnya dukungan atau sosialisasi tentang program insentif pajak juga menjadi kendala.
Keterbatasan Teknologi dan Sumber Daya Beberapa pengusaha UMKM mungkin belum memiliki sistem keuangan atau perangkat lunak yang memadai untuk mengelola pajak mereka dengan efisien. Hal ini menyulitkan mereka dalam menghitung dan melaporkan pajak secara akurat dan tepat waktu.
Ketidakpastian dalam Pengawasan dan Penegakan Hukum Pajak Beberapa pengusaha UMKM mungkin khawatir tentang audit pajak yang tidak transparan atau penegakan hukum yang tidak adil. Ketidakpastian tentang pengawasan pajak dapat menimbulkan ketakutan akan sanksi atau denda yang mungkin diberikan tanpa pemahaman yang jelas.
Kesulitan dalam Memisahkan Keuangan Pribadi dan Bisnis Pengusaha UMKM sering kali mencampuradukkan keuangan pribadi dengan keuangan usaha. Hal ini bisa menyulitkan mereka dalam melaporkan penghasilan yang tepat dan mematuhi kewajiban pajak, karena mereka tidak dapat memisahkan secara jelas antara pendapatan pribadi dan usaha.
Akses terhadap Pembukuan yang Tepat Tidak semua UMKM memiliki pembukuan yang rapi dan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Pembukuan yang kurang baik atau tidak lengkap bisa menyebabkan kesulitan dalam perhitungan pajak dan berpotensi memicu masalah hukum jika ada ketidakakuratan dalam laporan pajak.
Beban Administrasi untuk Pajak yang Kecil Beberapa UMKM merasa bahwa beban administrasi pajak, meskipun jumlahnya kecil, tidak sebanding dengan penghasilan yang mereka peroleh. Ini termasuk waktu yang dihabiskan untuk memenuhi kewajiban perpajakan yang dapat dianggap tidak proporsional dengan keuntungan mereka.
Pengusaha UMKM sering membutuhkan lebih banyak dukungan dalam hal edukasi pajak, kemudahan akses informasi, serta kebijakan perpajakan yang lebih sederhana dan terjangkau. Pemerintah dan lembaga terkait perlu memberikan fasilitas, insentif, dan layanan konsultasi untuk membantu mengatasi masalah-masalah tersebut.
Komunitas UMKM Naik Kelas bisa memberikan edukasi perpajakan kepada para pengusaha. Anda jangan ragu untuk bergabung.
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajak (HPP) sudah disahkan dan diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2021. Namun berlakunya Undang-Undang HPP ada 3 tanggal yaitu, tanggal 29 Oktober 2021 (KUP), 1 Januari 2022 atau tahun pajak 2022 (PPh dan PPS), dan 1 April 2022 (PPN dan Pajak Karbon). Undang-Undang HPP melengkapi reformasi perpajakan terutama di bidang aturan.
CATATAN: Tulisan ini sebenarnya sudah lama dibuat. Hanya saja telanjur “ketinggalan” sehingga belum sempat dilengkapi. Sekarang, daripada hanya tersimpan di konsep, saya publikasikan saja.
Bagian lain dari reformasi perpajakan adalah program pengadaan coretax atau Sistem Informasi Administrasi Perpajakan (SIAP). Direncanakan 2024 SIAP akan digunakan secara penuh oleh DJP. SIAP ada sebuah “mesin” baru dan modern yang membawa DJP ke pelayanan serba digital.
Perubahan Undang-Undang KUP di UU HPP meliputi: penggunaan NIK sebagai NPWP, penyelarasan sanksi administrasi dengan perubahaan Cipta Kerja, penambahan kewenangan otoritas pajak terkait pajak internasional, kuasa wajib pajak, dan penambahan kewenangan penyidik PNS pajak.
Integrasi NIK ke NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan
Pasal 2 ayat (1a) Undang-Undang KUP
Integrasi NIK menjadi NPWP sebenarnya sudah disiapkan sejak lama oleh DJP. Prinsipnya agar ada identitas tunggal. Dulu, ada nomor khusus PKP. Kemudian nomor PKP dihapus digabung dengan NPWP. Sehingga, status PKP atau bukan hanya tahu setelah kita cek di sistem informasi.
Begitu juga nantinya jika NIK sudah diaplikasikan sebagai NPWP. Status wajib lapor dari Wajib Pajak hanya bisa dicek di sistem. Karena NIK adalah sekedar nomor. Bahkan nomor tersebut diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Seseorang wajib lapor SPT atau tidak tergantung penghasilan yang diperoleh. Jika penghasilannya diatas PTKP, tentu saja menjadi wajib lapor dan wajib bayar Pajak Penghasilan.
Pengungkapan Ketidakbenaran SPT Saat Pemeriksaan
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan
Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP
Sebenarnya, setelah pemeriksa pajak sudah menyampaikan SP2 ke Wajib Pajak, maka tidak ada lagi pembetulan SPT. Setelah dimulainya pemeriksaan, pajak terutang akan dihitung oleh pemeriksa pajak. Berubah dari self assessment menjadi official assessment.
Walaupun demikian, wajib pajak tetap dapat menyampaikan SPT. Tetapi SPT ini tidak lagi dibaca sebagai SPT. Karena itu istilahnya menjadi pengungkapan ketidakbenaran SPT.
Adalanya pengungkapan ketidak benaran SPT tidak serta merta menjadikan pemeriksaan berhenti. Pemeriksaan tetap dilanjutkan. Dan pemeriksa pajak tetap memperhatikan isi dari pengungkapan ketidakbenaran SPT tersebut.
Karena itu, perlu ada batasan sampai kapan pengungkapan ketidakbearan SPT tersebut dapat disampaikan. Undang-Undang KUP lama mengatur bahwa paling lambat sebelum surat ketetapan pajak diterbitkan.
Namun dalam praktiknya, jika wajib pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran SPT saat dilakukan pembahasan (setelah SPHP), maka pembahasannya akan sulit. Sehingga bisa jadi pengungkapan ketidakbenaran SPT akan menjadi tidak diperhatikan pemeriksa pajak.
Karena itu, dengan Undang-Undang HPP, ketentuan batas pengungkapan ketidakbenaran SPT dimajukan menjadi sebelum SPHP.
Besaran Sanksi Pada Saat Pemeriksaan
Untuk keadilan dan kepastian hukum, dilakukan penurunan sanksi pada saat pemeriksaan. Hal ini juga sejalan dengan semangat pengaturan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Penagihan atas Wanprestasi Pembayaran Angsuran
Berdasarkan kuasa Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Kewenagnan ini kemudian didelegasikan menjadi kewenagan Juru Sita pajak.
Namun dalam pelaksanaannya, bisa jadi Wajib Pajak tidak membayar pajak sesuai komitmen dengan Juru Sita pajak terserbut. Sehingga kemudian menjadi tidak ada kepastikan, kapan dibayar.
Karena itu, Undang-Undang HPP kemudian memberikan tambahan kewenangan untuk petugas Juru Sita pajak. Juru Sita pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak dalam hal terdapat jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam jangka waktu sesuai dengan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
Besaran Sanksi Pada Saat Upaya Hukum
Untuk keadilan dan kepastian hukum, dilakukan penurunan sanksi pada saat upaya hukum. Hal ini juga sejalan dengan semangat pengaturan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Kuasa Wajib Pajak
Undang-Undang HPP menyelaraskan aturan Kuasa Khusus Pajak dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor PUT-63/PUU-XV/2017.
Kuasa Wajib Pajak adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua
Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang KUP
Kuasa Wajib Pajak dapat dilakukan oleh siapapun, sepanjang memenuhi persyaratan kompetensi menguasai bidang perpajakan. Pengecualian syarat diberikan jika kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah/semenda sampai 2 (dua) derajat
Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemotong/Pemungut Pajak
Mengikuti perkembangan teknologi, memungkinkan otoritas pajak Indonesia menyuruh Subjek Pajak Luar Negeri untuk melakukan kewajiban tertentu, seperti memungut PPN produk digital.
Dalam hal ternyata Subjek Pajak Luar Negeri tidak melakukan kewajibannya, Menteri Keuangan melakukan teguran. Kemudian jika teguran tersebut tidak diindahkah, maka Menteri Keuangan memintan Kementerian di bidang komunikasi dan informatika untuk melakukan pemutusan akses.
Hal ini sebagai sebagai solusi bagi perkembangan transaksi ekonomi yang semakin dinamis, termasuk yang melibatkan penyedia sarana transaksi elektronik, sehingga pemungutan pajak dapat dilakukan secara efisien, sederhana, dan efektif.
Ultimum Remedium
Ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.
Hukuman pidana pajak adalah memenjarakan tersangka. Dalam hal ini biasanya yang menjadi tersangka adalah wakil Wajib Pajak badan.
Pajak pada dasarnya tidak bertujuan untuk memenjarakan orang. Tetapi untuk menagih pajak, mengumpulkan uang pajak untuk Kas Negara.
Karena itu, di Undang-Undang HPP, “upaya damai” masih bisa dilakukan sebelum vonis hakim. Upaya damai yang dimaksud yaitu dengan membayar pajak terutang ditambah sanksi administrasi.
Tabel sanksi administrasi sebagai “upaya damai” tindak pidana pajak
Tambahan Kewenangan Penyidik PNS Pajak
Undang-Undang HPP memberikan tambahan kewenangan penyidik PNS pajak. Tambahan kewenangan ini dalam rangka pembayaran pajak terutang dan sanksi administrasinya.
Pemberian tambahan kewenangan kepada Penyidik untuk melakukan penyitaan dan/atau pemblokiran aset milik tersangka sebagai jaminan untuk memulihkan Kerugian Pada Pendapatan Negara.
melakukan pemblokiran harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau penyitaan harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana, termasuk tetapi tidak terbatas dengan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat;
Pasal 44 ayat (2) huruf j Undang-Undang PPh
Penyitaan dapat dilakukan terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Yang dimaksud dengan โpihak lainโ adalah pihak yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
File PDF
Berikut ini adalah file PDF Undang-Undang HPP ditambah dengan salindia sosialisasi Undang-Undang HPP. Semua file dalam bentuk pdf.
Undang-Undang HPP
Salindia Sosialisasi Undang-Undang HPP
QnA Undang-Undang HPP
Di bawah ini merupakan salinan dari https://pajak.go.id/uu-hpp yang saya tulis ulang dalam bentuk QnA dari wordpress ๐
Apa Tujuan Undang-Undang HPP?
Undang-Undang HPP memiliki 4 (empat) tujuan utama, yaitu:
memperluas basis pajak;
menciptakan keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum;
memperkuat administrasi perpajakan; dan
meningkatkan kepatuhan.
Bagaimana pengaturan fringe benefit?
Terdapat pengaturan kembali Fringe Benefit, di mana dalam pasal ini pemberian dalam bentuk natura dapat dibiayakan oleh pemberi kerja dan merupakan penghasilan bagi pegawai (Pasal 4, Pasal 6, dan Pasal 9 UU HPP).
Natura tertentu bukan merupakan penghasilan bagi penerima:
Penyediaan makan/minum bagi seluruh pegawai
Natura di daerah tertentu
Natura karena keharusan pekerjaaan, contoh: alat keselamatan kerja atau seragam.
Natura yang bersumber dari APBN/APBD.
Natura dengan jenis dan Batasan tertentu.
Apakah ada perubahan PTKP?
WP OP yang memiliki peredaran bruto tertentu tidak dikenai Pajak Penghasilan (PPh) atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak (Pasal 7 ayat 2a).
Bagi orang pribadi pengusaha yang menghitung PPh dengan tarif final 0,5% (PP 23/2018) dan memiliki peredaran bruto sampai Rp 500 juta setahun tidak dikenai PPh.
Apakah ada perubahan terkait penyusutan dan amortisasi?
Terdapat pengaturan kembali penyusutan dan amortisasi dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (Pasal 11 dan Pasal 11A). Atas penyusutan/amortisasi bangunan dan asset tidak berwujud dengan masa manfaat lebih dari 20 tahun dapat dilakukan sesuai masa manfaat berdasar pembukuan Wajib Pajak. Ini dilakukan untuk memberikan keleluasaan kepada Wajib Pajak melakukan penyusutan atau amortisasi bangunan dan asset tidak berwujud di atas 20 tahun.
Apa tujuan diubahnya bracket tarif PPh OP?
Perubahan tarif dan bracket PPh OP bertujuan untuk meningkatkan keadilan serta mengedepankan keberpihakan Pemerintah terhadap masyarakat berpenghasilan menengah/bawah. Di mana pada pasal ini, batasan bawah untuk penghasilan yang dikenakan pajak yang awalnya berjumlah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) naik menjadi Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan batasan atas tarif yang sebelumnya hanya maksimal di angka 30% ditingkatkan menjadi 35% dengan penghasilan di atas Rp5 miliar.
Apa Pertimbangan Pemerintah Mempertahankan Tarif PPh Badan?
Hal ini dilakukan sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai berupaya meningkatkan kontribusi penerimaan pajak korporasi, namun dengan tetap menjaga iklim investasi di Indonesia.
Apabila dibandingkan dengan rata-rata tarif PPh Badan untuk beberapa wilayah dan organisasi kerjasama pada tahun 2021, maka tarif PPh Badan Indonesia merupakan salah satu yang terendah.
Apakah ada ketentuan pencegahan penghindaran pajak di UU HPP?
Terdapat upaya mencegah penghindaran pajak dengan diterapkannya metode yang sesuai dengan international best practice yang diatur dalam Perubahan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang PPh.
Hal ini merupakan upaya antisipasi untuk mencegah penghindaran pajak melalui pembebanan biaya pinjaman yang berlebihan yang saat ini diatur hanya dengan pembatasan perbandingan utang dengan modal, sehingga upaya mencegah penghindaran pajak dapat tetap adil dan seimbang dengan upaya untuk mendorong investasi dan pemulihan ekonomi nasional.
Apa latar belakang penambahan kewenangan terkait tax treaty di UU HPP?
Penambahan kewenangan Pemerintah Indonesia untuk ikut serta dalam perjanjian multilateral diatur dalam Perubahan Pasal 32 A Undang-Undang PPh.
Penambahan ini dilakukan untuk mewujudkan kerja sama internasional di bidang perpajakan sehingga diperlukan suatu instrumen perjanjian atau kesepakatan internasional dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Oleh karena itu diperlukan penguatan kewenangan Pemerintah Indonesia untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra baik secara bilateral maupun multilateral.
Pajak Pertambahan nilai
Apakah ada perbedaan objek PPN dan bukan objek PPN?
Pengecualian objek PPN dan fasilitas PPN:
Barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya, diberikan fasilitas pembebasan PPN, sehingga masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial.
Pengurangan atas pengecualian dan fasilitas PPN agar lebih mencerminkan keadilan dan tepat sasaran, serta dengan tetap menjaga kepentingan masyarakat dan dunia usaha.
Pengaturan ini dimaksudkan bahwa perluasan basis PPN dilakukan dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, asas kemanfaatan khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum dan asas kepentingan nasional, sehingga optimalisasi penerimaan negara diselenggarakan dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.
Apa tujuan dinaikkannya tarif PPN?
Kenaikan tarif PPN bertujuan untuk meningkatkan penerimaan serta keadilan dalam proses pemungutan PPN, namun pemerintah juga tetap mempertimbangkan kondisi masyarakat dan kegiatan usaha yang masih dalam masa pemulihan pasca pandemi COVID-19, sehingga kenaikannya diatur dalam dua tahap dan tidak dalam waktu dekat.
Terdapat kenaikan tarif PPN dari 10% (sepuluh persen) menjadi 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022 dan menjadi 12%(dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Apa yang dimaksud pengenaan PPN Final?
Pasal 9A Undang-Undang PPN mengatur kemudan dan kesederhanaan PPN atau disebut PPN final. Misal Penerapan tarif 1%, atau 2%, atau 3% untuk barang / jasa tertentu.
Pasal ini juga menunjukkan keberpihakan pemerintah dan memberikan kemudahan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) Tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu, melakukan kegiatan usaha tertentu, dan/atau melakukan penyerahan BKP tertentu dan/atau JKP tertentu.
Ketentuan umum dan tata cara perpajakan
Apa tujuan pemberlakukan NIK menjadi NPWP? Dan apakah setiap orang yang memiliki NIK wajib bayar pajak?
ujuannya adalah Integrasi basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan agarmempermudah WP orang pribadi melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakandemi kesederhanaan administrasi dan kepentingan nasional.
Penggunaan NIK sebagai NPWP tidak serta merta menyebabkan setiap orang pribadi membayar pajak. Pembayaran pajak dilakukan apabila:
Penghasilan setahun di atas batasan PTKP; atau
Peredaran bruto di atas Rp 500 juta setahun bagi pengusaha yang membayar PPh Final 0,5% (PP-23/2018).
Apakah Wajib Pajak dapat mengungkapkan ketidak benaran pengisian SPT?
WP diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT (Pasal 8 ayat 4), meskipun sudah dilakukan pemeriksaan, selama DJP belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).
Apa tujuan pengurangan sanksi di UU HPP?
Pengurangan sanksi administratif pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU HPP merupakan wujud sinkronisasi aturan terbaru ini (UU HPP) dengan UU Cipta Kerja.
Apakah ada sanksi administrasi terkait keterlambatan pembayaran pajak atau penundaan pembayaran?
DJP dapat mengenakan Surat Tagihan Pajak (STP) atas keterlambatan pembayaran angsuran atau penundaan (wanprestasi) pembayaran pajak (Pasal 14 ayat 1 huruf i).
Apa tujuan disisipkannya Pasal 20A asistensi penagihan pajak global?
Pasal ini bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak yang dilakukan WP, dimana salah satunya adalah dengan menghindari pembayaran utang pajak. Untuk mencegah penghindaran tersebut salah satunya dilakukan melalui kerja sama internasional di bidang bantuan penagihan pajak. Namun dikarenakan belum terdapat ketentuan dalam undang-undang domestik, sehingga ketentuan bantuan penagihan dalam P3B tersebut menjadi tidak efektif.
Agar ketentuan dalam P3B tersebut menjadi efektif diperlukan suatu pengaturan pasal bantuan penagihan pajak dalam undang-undang domestik yang bertujuan sebagai:
dasar hukum untuk melaksanakan bantuan penagihan pajak dengan otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sesuai prinsip resiprokal;
mendorong peningkatan kepatuhan WP dan/atau Penanggung Pajak, terutama terkait kepatuhan pembayaran tagihan atas utang pajak; dan
dapat mendukung upaya pengamanan penerimaan pajak sekaligus untuk mencegah WP atau Penanggung Pajak melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) terkait tagihan atas utang pajaknya.
Apa tujuan diturunkankan tarif sanksi administrasi pada proses keberatan dan banding?
Penurunan sanksi ini akan meningkatkan keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Sanksi setelah upaya hukum namun keputusan keberatan/pengadilan menguatkan ketetapan DJP akan diberikan penurunan, dengan persentase seperti di bawah ini:
Apa tujuan diaturnya MAP di pasal 27C?
Ketentuan saat ini WP dapat mengajukan MAP, namun proses MAP dihentikan dalam hal telah terdapat Putusan Pengadilan Pajak atau Mahkamah Agung (MA). Situasi ini menyebabkan WP kehilangan haknya untuk mendapatkan keadilan dalam penghindaran pengenaan pajak berganda, atas isu yang tidak dijadikan sengketa di Pengadilan Pajak atau MA. Hal tersebut berdampak kurang positif karena MAP tidak dilaksanakan sesuai dengan international best practice. Aturan ini menjadi solusi atas hal tersebut dan dapat memberikan keadilan kepada WP dalam pengajuan MAP.
Bagaimana ketentuan kuasa di UU HPP?
Berdasarkan Pasal 32 UU HPP, setiap orang yang ditunjuk menjadi kuasa Wajib Pajak harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali apabila kuasa Wajib Pajak merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua. Ketentuan ini menyesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUU-XV/2017 sehinngga kuasa Wajib Pajak dapat dilakukan oleh konsultan pajak atau pihak lain sepanjang memenuhi persyaratan sesuai persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Apakah ada pengaturan pertukaran data antar instansi pemerintah?
Pasal 34 UU HPP mengatur tentang sinergi antar instansi pemerintah untuk melakukan pemberian data dalam rangka penegakan hukum dan Kerjasama. Pasal ini memberikan kewenangan Menteri Keuangan untuk memberikan izin tertulis kepada pejabat dan tenaga ahli yang ditunjuk untuk memberikan keterangan dan bukti tertulis kepada pihak ditunjuk.
Apakah ada perubahan daluwarsa tindak pidana perpajakan?
Penegasan daluwarsa penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan diatur dalam Pasal 40 UU HPP, khususnya dalam Penjelasan Pasal 40 UU HPP.
Diperlukan kepastian hukum terkait kapan perbuatan pidana perpajakan tidak dapat dilakukan penanganan pidana atau penyidikan. Jika dalam jangka waktu 10 tahun sejak terutangnya pajak, atas WP tidak dilakukan proses Penyidikan, maka setelah lewat 10 tahun tersebut, DJP tidak memiliki hak lagi untuk melakukan penanganan pidana di bidang perpajakan atas WP tersebut.
Apakah ada perubahan ketentuan Pemeriksaan Bukti Permulaan?
Terdapat penambahan 1 ayat pada Pasal 43A sebagai penegasan PPNS DJP merupakan petugas pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Penyelidikan di DJP dikenal dengan nama Pemeriksaan Bukti Permulaan. Selama ini masih ada yang menganggap Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah sama dengan Pemeriksaan untuk pengujian kepatuhan. Padahal, Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan Penyelidikan sebagaimana yang diatur di KUHAP. Di DJP yang diberikan kewenangan melakukan Penyelidikan adalah PPNS, karena Penyelidikan adalah bagian dari Penyidikan itu sendiri.
Apakah PPNS dapat menyita harta Wajib Pajak?
Terdapat penambahan wewenang PPNS DJP berupa pelaksanaan penyitaan dan/atau pemblokiran harta kekayaaan tersangka berdasarkan Pasal 44 ayat (2) huruf j dan juga penjelasannya di UU HPP. Pemblokiran dan/atau penyitaan harta kekayaan bertujuan untuk mengamankan aset tersangka sebagai jaminan pemulihan kerugian pada pendapatan negara, sehingga aset tidak hilang, dialihkan kepemilikannya, atau dipindahtangankan.
Apa alasan penghentian tindak pidana pajak?
Dalam UU HPP ditegaskan beberapa alasan PPNS dapat menghentikan penyidikan, yakni:
Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dengan membayar kerugian pada pendapatan negara beserta sanksi administratif sebesar 100%,
tidak ditemukan cukup bukti pidana,
peristiwa bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, dan;
alasan demi hukum, antara lain karena WP meninggal dunia, daluwarsa pidana, serta telah ada putusan atas peristiwa pidana yang berkekuatan hukum tetap (nebis in idem).
Apa alasan perluasan ultimum remedium sampai ke persidangan PN?
Pengaturan perluasan ultimum remedium hingga ke tahap persidangan dapat dilihat pada Pasal 44B UU HPP, khususnya pada ayat (2), ayat baru (2a), (2b), dan ayat (2c).
Tujuan pemidaan pajak bukanlah pemenjaraan, namun lebih kepada bagaimana kerugian pada pendapatan negera dapat dipulihkan (dikembalikan ke negara). Penegakan Hukum Pidana Pajak dengan mengedepankan Pemulihan Kerugian Pendapatan Negara.
Demi keadilan dan kepastian hukum, hingga tahap persidangan, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk mengembalikan kerugian pada pendapatan negara dengan membayar pokok pajak dan sanksi, sebagai pertimbangan untuk dituntut tanpa penjatuhan pidana penjara.
Apa latar belakang Pasal 44C Undang-Undang KUP?
Selama ini, jumlah pidana denda yang dapat dieksekusi atau dibayarkan oleh terpidana masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah yang tercantum dalam vonis pidana denda. Hal ini dikarenakan adanya opsi untuk menggantikan (subsider) pembayaran pidana denda dengan kurungan. Melalui disisipkannya Pasal 44C UU HPP, diharapkan dapat memaksimalkan pengembalian kerugian pada pendapatan negara melalui sita dan lelang harta terpidana. Jika pada akhirnya, harta terpidana tidak mencukupi untuk melunasi pidana denda, atas terpidana akan dikenakan pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari pidana penjara yang telah diputus.
Apa tujuan Pasal 44D Undang-Undang KUP?
Pengaturan mengenai peradilan pidana di bidang perpajakan in absentia dilakukan melalui penambahan pasal di UU HPP, yaitu Pasal 44D. Dalam pengaturan saat ini, penanganan perkara pidana di bidang perpajakan masih mengharuskan kehadiran terdakwa. Namun, dalam UU HPP, perkara pidana di bidang perpajakan tetap dapat diperiksa dan diputus walaupun tanpa kehadiran terdakwa atau sering dikenal dengan in absentia. Peradilan in absentia memberikan kepastian hukum, sehingga tidak ada lagi perkara yang menggantung karena menunggu kehadiran terdakwa.
program pengungkapan sukarela (pps)
Apa yang dimaksud program pengungkatapn sukarela?
Pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui:
Pembayaran Pajak Penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program Pengampunan Pajak; dan
pembayaran Pajak Penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020.
Kapan periode PPS?
Program Pengungkapan Sukarela dilaksanakan selama 6 bulan (1 Januari 2022 s.d. 30 Juni 2022)
Bagaimana pengaturan PPS?
Ada 2 subjek pajak yang dapat mengikuti PPS yaitu, pertama orang pribadi dan badan yang telah mengikuti tax amnesti (disebut kebijakan I) yaitu untuk harta yang dimiliki per 31 Desember 2015 yang belum diungkap, dan kedua orang pribadi (disebut kekebijakan II) yaitu untuk harta yang diperoleh tahun 2016 sampai dengan 2020 dan belum di laporkan di SPT 2020.
Tarif Kebijakan I yaitu,
11% untuk harta yang dideklarasikan
8% untuk harta di DN dan harta di LN yang direpatriasi,
6% untuk harta di DN dan harta di LN yang direpatriasi dan diinvestasikan di SBN / hilirisasi / renewable energy
Tarif Kebijakan II yaitu:
18% untuk harta yang dideklarasikan,
14% untuk harta di DN dan harta di LN yang direpatriasi,
12% untuk harta di DN dan harta di LN yang direpatriasi dan diinvestasikan di SBN / hilirisasi / renewable energy
Apa tujuan dilaksanakan PPS?
Berdasarkan data pasca TA, kepatuhan pelaporan pajak dan pembayaran pajak para peserta TA tahun 2017 dan setelahnya mengalami peningkatan, sehingga program pengungkapan sukarela WP ini diharapkan juga memberikan efek positif yang sama atas kepatuhan perpajakan masyarakat/WP. Dalam program ini juga diberikan kemudahan dan kebebasan untuk memilih tarif maupun prosedur yang digunakan kepada WP untuk secara sukarela mengungkapkan harta yang belum dilaporkannya.
pajak karbon
Apa yang dimaksud dengan pajak karbon?
Pajak Karbon yaitu pengenaan pajak atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pajak karbon menjadi salah satu instrumen ekonomi lingkungan untuk menurunkan emisi karbon sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk menurunkan gas rumah kaca sesuai dengan NDC dalam Paris Agreement. Penerapan pajak karbon secara bertahap yang diselaraskan dengan perdagangan karbon sebagai bagian dari roadmap green economy.
Berapa tarif pajak karbon?
Tarif pajak karbon ditetapkan Rp30 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Kapan pajak karbon akan diberlakukan?
Implementasi pertama kali 1 April 2022 untuk badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara.
Pemerintah tetap memperhatikan transisi yang tepat agar penerapan pajak karbon ini tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi, sehingga untuk tahap awal pajak ini hanya akan diterapkan pada sektor PLTU Batubara dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax).
Apa latar belakang pajak karbon?
Hal penting mengenai perubahan iklim merupakan ancaman dan tantangan bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Penerapan pajak karbon merupakan langkah penting dalam mengendalikan dampak perubahan iklim. Dengan memperkenalkan pajak karbon membuat Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang yang akan mengimplementasikannnya terlebih dahulu dan memberikan sinyal yang kuat tentang keseriusan Indonesia dalam menangani risiko perubahan iklim.
Coretax atau Sistem Inti Administrasi Pajak yang disingkat SIAP akhirnya jadi. Kepastian jadinya dibuktikan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomoro 81 Tahun 2024. Coretax ini merupakan langkah besar menuju sistem pajak modern di Indonesia.
Sebelum Coretax ditenderkan, Direktorat Jenderal Pajak pernah memiliki proyek untuk mengganti SIDJP (Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak) yang diberi nama PINTAR, yaitu singkatan dari Project For Indonesia Tax Administration Reform.
PINTAR didanai oleh Bank Dunia dengan nilai pinjaman sebesar USD100 juta. Berikut dokumen dari Bank Dunia:
Perjalanan Coretax sebagai pengganti PINTAR sudah dimulai sejak 2019. Dan akan diluncurkan mulai 1 Januari 2025. Mundur setahun dari rencana semula yang direncanakan 1 Januari 2024.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 memuat dari 484 pasal yang terdiri dari 11 Bab, yaitu:
Bab 1 Ketentuan Umum
Bab 2 Ruang Lingkup
Bab 3 Tata Cata Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Dan Penerbitan,Penandantangan, Serta Pengirimankeputusan, Dan Dokumen Elektronik
Bab 4 Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak, Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Dan Pendaftaran Objek Pajak Bumi Dan Bangunan, terbagi dalam 3 bagian yaitu: Tata Cara Pendaftaraan Wajib Pajak, Tata Cara Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dan Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan.
Bab 5 Tata Cara Pembayaran Dan Penyetoran Pajak, Pengembalian Atas Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang, Imbalan Bunga, Serta Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, yang terdiri dari 4 bagian yaitu: Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang, Tata Cara Pemberian Imbalan Bunga, dan Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Bab 6 Tata Cara Penyampaian Dan Pengolahan Surat Pemberitahuan, yang terdiri dari 23 bagian, yaitu:
Surat Pemberitahuan
Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya
Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu
Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Lain Kontraktor Berupa Uplift atau Imbalan Lain yang Sejenis dan/atau Penghasilan Kontraktor dari Pengalihan Partisipasi Interes
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan Di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain
Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak Lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat Laporan Keuangan Berkala dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang Dibayar kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri
Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan Penghitungan Pajak penghasilan untuk Keperluan Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi Berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi
Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permintaan Kembali Pajak pertambahan Nilai Barang Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri
Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai
Tata Cara Pengurang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak yang Dikembalikan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang Dibatalkan
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Badan Usaha Milik Negara dan Perusahaan Tertentu yang Dimiliki secara Langsung oleh Badan Usaha Milik Negara sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/ Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk memungut, Menyetorkan, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya
Penunjukan Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi untuk memungut, menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, penyetoran, dan Pelaporannya
Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasuransi
Pajak pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri
Tata Cara Penunjukan Pihak Lain, Pemungtuan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto
Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak penghasilan atas Dividen atau Penghasilan Lain
Tata Cara Pengkreditan Pajak Masukan
Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak dan Tata cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak
Bab 7 Tata cara pemberian pelayanan administrasi perpajakan, yang terdiri dari 6 bagian, yaitu:
Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan Usaha
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu / atau di Daerah-daerah Tertentu
Pemberian Fasilitas Pengurang Penghasilan Neto atas Penanaman Modal Baru atau Perluasan Usaha pada Bidang Usaha Tertentu yang Merupakan Industri Padat Karya
Pemberian Pengurang Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu di Indonesia
Kriteria Keahlian Tertentu serta Tata Cara Pengenaan pajak Penghasilan bagi Warga Negara Asing
Tata Cara Melakukan Pencatatan dan Kriteria Tertentu serta Tata cara Menyelenggarakan Pembukuan untuk Tujuan Perpajakan
Bab 8 Ketentuan Teknis Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan
Bab 9 Contoh Format Dokumen Dan Contoh Penghitungan, Pemungutan, Dan/Atau Pelaporan
Bab 10 Ketentuan Peralihan
Bab 11 Ketentuan Penutup
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
Standar pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak dilakukan secara online. Secara umum, Pasal 3 PMK-81 mengatur:
Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan merupakan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.
Berdasarkan ketentuan ini, bisa saja Wajib Pajak memberikan dokumen pembukuan dalam bentuk dokumen elektronik. Tidak lagi diminta secara fisik. Mungkin di Coretax akan disediakan media online untuk mengunggah dokumen yang diminta oleh petugas pajak. Karena itu, di Pasal 6 diatur bahwa Coretax menyediakan Akun Wajib Pajak.
Dokumen elektronik yang disampaikan Wajib Pajak ke Coretax harus ditandatangani secara elektronik. Karena itu, Wajib Pajak harus punya tanda tangan elektronik agar bisa melaksanakan hak dan kewajibannya.
Kewajiban Mendaftarkan Diri
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat kedudukan Wajib Pajak. Wajib Pajak orang pribadi wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, wajib mendaftarkan diri paling lama 1 (satu) bulan setelah kegiatan usaha atau pekerjaan bebas mulai dilakukan.
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan menerima atau memperoleh penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak, wajib mendaftarkan diri paling lambat akhir bulan berikutnya setelah diterimanya penghasilan yang menyebabkan akumulasi penghasilan pada Tahun Pajak berjalan sama dengan atau melebihi penghasilan tidak kena pajak.
Wajib Pajak Badan, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Tata Cara Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha yang melakukan penyerahan dan/ atau ekspor sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ketentuan kewajiban ini tidak berlaku bagi pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri.
Dalam hal tempat kedudukan Pengusaha Badan menggunakan Kantor Virtual, Kantor Virtual tersebut dapat digunakan sebagai tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan sepanjang Pengusaha yang menyediakan jasa Kantor Virtual memenuhi ketentuan:
telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
menyediakan ruangan fisik untuk tempat melakukan kegiatan usaha bagi Pengusaha yang akan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; dan
secara nyata melakukan kegiatan layanan pendukung kantor.
Selain itu, Pengusaha yang menyediakan jasa Kantor Virtual harus memiliki:
dokumen yang menunjukkan adanya kontrak, perjanjian, atau dokumen sejenis yang masih berlaku antara Pengusaha yang menyediakan jasa Kantor Virtual dan Pengusaha; dan
dokumen yang menunjukkan adanya pemberian izin, keterangan usaha, atau keterangan kegiatan dari pejabat atau instansi yang berwenang, yaitu nomor induk berusaha atau dokumen lain yang sejenis.
Ketentuan jasa Kantor Virtual berlaku juga untuk Pengusaha Badan yang berada di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dan memilih untuk menggunakan tempat kegiatan usaha berupa Kantor Virtual di luar kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagai tempat pelaporan usaha.
Buku manual Modul Permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak:
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak
Pajak yang terutang wajib dibayar dan disetor sebelum melewati tanggal jatuh tempo.
Pembayaran dan penyetoran wajib dilakukan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir meliputi:
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
Pajak Penghasilan Pasal 15;
Pajak Penghasilan Pasal 21;
Pajak Penghasilan Pasal 22;
Pajak Penghasilan Pasal 23;
Pajak Penghasilan Pasal 25;
Pajak Penghasilan Pasal 26;
Pajak Penghasilan minyak bumi dan/atau gas bumi dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/ atau gas bumi yang dibayarkan setiap Masa Pajak;
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas kegiatan membangun sendiri;
Bea Meterai yang dipungut oleh pemungut Bea Meterai;
Pajak Penjualan; dan
Pajak Karbon yang dipungut oleh pemungut Pajak Karbon.
Pembayaran produk hukum seperti STP dan Surat Ketetapan Pajak (skp) wajib dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. Namun, bagi Wajib Pajak Kecil dan Wajib Pajak di Daerah Tertentu, wajib melunasi STP dan skp paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan.
Untuk mendapatkan perpanjangan jangka waktu pelunasan, Wajib Pajak usaha kecil atau Wajib Pajak di daerah tertentu harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan kepada Direktur Jenderal Pajak, paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran dengan menggunakan surat permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan.
Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran clan penyetoran pajak menggunakan Deposit Pajak.
Pengisian Deposit Pajak dilakukan dengan:
pembayaran melalui sistem penenmaan negara secara elektronik;
permohonan Pemindahbukuan; atau
permohonan atas sisa kelebihan pembayaran pajak atau sisa imbalan bunga setelah diperhitungkan dengan Utang Pajak.
Tanggal pengisian Deposit Pajak diakui sebagai tanggal pembayaran dan penyetoran pajak sesuai dengan tanggal bayar yang tertera pada Bukti Penerimaan Negara, Bukti Pemindahbukuan; dan sesuai tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
Dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas, permohonan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
Wajib Pajak telah menyampaikan: Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir, dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir.
Wajib Pajak menyampaikan surat permohonan yang mencantumkan: alasan pengajuan permohonan karena kesulitan likuiditas, dan jumlah kekurangan pembayaran pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran atau jumlah kekurangan pembayaran pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan.
surat permohonan dilampiri dokumen berupa: laporan keuangan interim atau laporan keuangan untuk Wajib Pajak yang menyelenggarakan Pembukuan; atau catatan tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/ atau Penghasilan Bruto untuk Wajib Pajak yang melakukan pencatatan.
Surat Pemberitahuan (SPT)
Coretax membagi SPT menjadi tiga jenis, yaitu:
SPT Masa
SPT Tahunan
SPT Objek Pajak
Surat Pemberitahuan Masa, yang terdiri atas:
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26;
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi;
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final pengungkapan harta bersih;
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final dalam rangka program pengungkapan sukarela; dan
laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/ atau gas bumi;
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak;
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan;
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak;
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai; dan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Karbon.
Surat Pemberitahuan Tahunan, yang terdiri atas:
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak;
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak; dan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karban;
Berikut manual pelaporan SPT Tahunan orang pribadi:
Berikut modul pelaporan SPT Tahunan badan:
Modul Coretax dari DJP
Modul layanan Wajib Pajak. Buku ini merupakan petunjuk penggunaan aplikasi Coretax khususnya terkait Layanan Wajib Pajak (Taxpayer Services)
Modul Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi. Buku ini merupakan petunjuk penggunaan aplikasi Coretax khususnya terkait Modul Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi
Modul Pendaftaran Wajib Pajak Badan. Buku ini merupakan petunjuk penggunaan aplikasi Coretax khususnya terkait Modul Pendaftaran Wajib Pajak Badan.
Modul Pendaftaran Wajib Pajak Instansi Pemerintah. Buku ini merupakan petunjuk penggunaan aplikasi Coretax khususnya terkait Modul Pendaftaran Wajib Pajak Instansi Pemerintah
Modul Pendaftaran Wajib Pajak PMSE. Buku ini merupakan petunjuk penggunaan aplikasi Coretax khususnya terkait Modul Pendaftaran Wajib Pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
Modul Penghapusan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan. Buku ini merupakan petunjuk penggunaan aplikasi Coretax khususnya terkait Modul Penghapusan NPWP
Modul Perubahan Status Wajib Pajak. Buku ini merupakan petunjuk penggunaan aplikasi Coretax khususnya terkait Modul Perubahan Status Wajib Pajak
Modul Perubahan Data Wajib Pajak. Buku ini merupakan petunjuk penggunaan aplikasi Coretax khususnya terkait Modul Perubahan Data Wajib Pajak
Modul Permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Buku ini merupakan petunjuk penggunaan aplikasi Coretax khususnya terkait Tata Cara Permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Modul Permohonan Sertifikat Digital di Coretax. Buku ini merupakan petunjuk penggunaan aplikasi Coretax khususnya terkait Modul Permohonan Kode Otorisasi DJP atau Sertifikat Digital
Bahan Sosialisasi Coretax:
TaxPayer Account Management
Manajemen akun wajib pajak merupakan proses bisnis pengelolaan informasi perpajakan untuk tiap wajib pajak yang menampilkan profil serta hak dan kewajiban perpajakan yang komprehensif dan terkini.
Informasi terkini dan komprehensif tersebut dapat diakses oleh wajib pajak kapan saja dan dimana saja melalui portal wajib pajak.
Untuk menunjang tampilan informasi tersebut, proses bisnis TAM mengelola informasi yang berasal dari proses bisnis yang relevan seperti proses bisnis registrasi, SPT, pembayaran, layanan perpajakan dan proses bisnis relevan lainnya.
Definisi Perpajakan
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Undang-Undang Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai.
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pajak Penghasilan Pasal 29 adalah Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak pertambahan nilai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak bumi dan bangunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan selain pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan.
Bea Meterai adalah pajak atas dokumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Bea Meterai.
Pajak Karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Pajak Penjualan (PPn) adalah pajak yang dipungut atas penyerahan barang dan/ atau jasa yang dilakukan oleh pengusaha di dalam daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Perobahan/Tambahan Undang-Undang Pajak Penjualan 1951.
Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) adalah Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan/ atau Pajak Penghasilan Pasal 22.
Pajak Keluaran (PK) adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak, ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan/ atau ekspor jasa kena pajak.
Pajak Masukan (PM) adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena pajak karena perolehan barang kena pajak dan/ atau perolehan jasa kena pajak dan/ atau pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/ atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean dan/ atau impor barang kena pajak.
Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/ atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan danan/ atau pembayaran pajak, objek pajak dan/ atau bukan objek pajak, dan/ atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.
Portal Wajib Pajak adalah sarana Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
Contact Center adalah saluran interaksi antara Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak secara elektronik yang dikelola unit tertentu di Direktorat Jenderal Pajak dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
Waktu Indonesia Barat adalah waktu Indonesia barat sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden tentang pembagian wilayah Republik Indonesia menjadi 3 (tiga) wilayah waktu.
Akun Wajib Pajak adalah tempat pencatatan, penyimpanan, dan penyampaian dokumen, data, dan/ atau informasi terkait pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak maupun dari pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Pajak, yang diidentifikasi menggunakan nomor pokok wajib pajak.
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange, surat elektronik ( electronic mail, telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/ atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Surat Ketetapan Pajak (skp) adalah surat ketetapan yang meliputi surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak nihil, atau surat ketetapan pajak lebih bayar.
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik.
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggungjawab penggunaan anggaran.
Kode Otorisasi adalah alat verifikasi dan autentikasi yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.
Wajib Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi adalah Wajib Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Instansi Pemerintah Pusat adalah satuan kerja pada kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural, termasuk badan layanan umum, selaku pengguna anggaran pendapatan dan belanja negara yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
Instansi Pemerintah Daerah adalah satuan kerja perangkat daerah provinsi dan satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota, termasuk badan layanan umum daerah, selaku pengguna anggaran pendapatan dan belanja daerah yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
Instansi Pemerintah Desa adalah unit organisasi penyelenggara pemerintahan desa selaku pengguna anggaran pendapatan dan belanja desa yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/ atau sanksi administratif berupa bunga dan/ atau denda.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SKPPBB) adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok Pajak Bumi dan Bangunan atau selisih pokok Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya denda administratif, dan jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang masih harus dibayar.
Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan adalah Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/ atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, surat keputusan pengurangan sanksi administratif, surat keputusan penghapusan sanksi administratif, surat keputusan pengurangan ketetapan pajak, surat keputusan pembatalan ketetapan pajak, surat keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, surat keputusan pemberian imbalan bunga, surat pemberitahuan pajak terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, surat keputusan pemberian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, surat keputusan pengurangan denda administrasi Pajak Bumi dan Bangunan, atau surat keputusan persetujuan bersama.
Surat Keputusan Persetujuan Bersama adalah surat keputusan yang diterbitkan untuk menindaklanjuti kesepakatan dalam persetujuan bersama.
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, surat pemberitahuan pajak terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, pemotongan pajak oleh pihak ketiga, atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga.
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
pengurangan sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, atau Surat Tagihan Pajak; atau
penolakan atas permohonan pengurangan sanksi administratif yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
penghapusan sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, atau Surat Tagihan Pajak; atau
penolakan atas permohonan penghapusan sanksi administratif yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
pengurangan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
penolakan atas permohonan pengurangan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
pengurangan atas materi penetapan yang tidak benar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Tagihan Pajak;
pengurangan atas jumlah pajak yang tidak benar dalam surat pemberitahuan pajak terutang;
pengurangan jumlah pokok pajak, jumlah selisih pokok pajak, dan/ atau denda administratif yang tidak benar dalam Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
penolakan atas permohonan pengurangan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang kepada Wajib Pajak.
Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
pembatalan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
penolakan atas permohonan pembatalan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.
Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan besarnya imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak adalah surat keputusan yang digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat perintah membayar kelebihan pajak.
Segel Elektronik adalah data elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik untuk menjamin asal, integritas, dan keutuhan dari Informasi Elektronik dan/ a tau Dokumen Elektronik yang digunakan oleh badan usaha atau instansi.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang bangsa Indonesia asli atau orang bangsa lain yang telah disahkan sebagai warga negara Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewarganegaraan Republik Indonesia.
Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada 1 (satu) atau lebih tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) adalah nomor identitas yang diberikan untuk setiap tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, termasuk tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
Nomor Induk Kependudukan (NIK) adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali untuk Pajak Penghasilan dapat menggunakan tahun buku dalam hal Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/ atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.
Wajib Pajak Nonaktif adalah Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif namun belum dilakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Surat Keterangan Warga Negara Indonesia Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Warga Negara Indonesia memenuhi persyaratan menjadi subjek pajak luar negeri.
Penghapusan Nomor Pokok WajibPajak adalah tindakan menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) adalah prosedur administratif yang diatur dalam persetujuan penghindaran pajak berganda untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pengusaha adalah orang pribadi atau Badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Kantor Virtual (virtual office) atau Kantor Bersama (coworking space), yang selanjutnya disebut Kantor Virtual, adalah suatu kantor yang memiliki ruangan fisik dan dilengkapi dengan layanan pendukung kantor yang disediakan oleh Pengusaha jasa kantor virtual untuk dapat digunakan sebagai tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha, atau korespondensi secara bersama-sama oleh 2 (dua) atau lebih Pengusaha yang atas pemanfaatan kantor dimaksud terdapat pembayaran dalam bentuk apapun, tidak termasuk jasa persewaan gedung dan jasa persewaan kantor (serviced office).
Warga Negara Asing (WNA) adalah setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia.
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak.
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah tindakan mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Bagian Tahun Pajak adalah bagian darijangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai pemberitahuan bahwa objek pajak dan Wajib Pajak telah terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau badan pengelola migas Aceh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission yang selanjutnya disebut Lembaga Online Single Submission (OSS) adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
Nomor Objek Pajak (NOP) adalah nomor identitas objek pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut Objek Pajak adalah bumi dan/ atau bangunan yang merupakan objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan, Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan, Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi, Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara, dan Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya.
Surat Pemberitahuan Objek Pajak adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data Objek Pajak menurut ketentuan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang dilampiri dengan lampiran surat pemberitahuan Objek Pajak yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan surat pemberitahuan Objek Pajak.
Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik adalah Surat Pemberitahuan Objek Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik.
Pendataan adalah kegiatan Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data Objek Pajak dan/ atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis Objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan.
Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, objek Pajak Pertambahan Nilai dan/ atau bukan objek Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk suatu Masa Pajak.
Jasa Kena Pajak (JKP) adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, Badan, atau Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, Badan, atau Instansi Pemerintah tersebut.
Pihak Lain adalah pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pembahasan akhir hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi pokok pajak terutang baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dan perhitungan sanksi administratif.
Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan pemnJauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau putusan gugatan dari badan peradilan pajak.
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dihasilkan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan untuk membayar seluruh pengeluaran negara.
Collecting Agent adalah agen penerimaan meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi valas, lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya valas yang ditunjuk oleh kuasa bendahara umum negara pusat untuk menerima setoran penerimaan negara.
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Negara melalui Collecting Agent.
Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas dokumen.
Bukti Penerimaan Negara adalah dokumen yang diterbitkan oleh Collecting Agent atas transaksi penerimaan negara yang mencantumkan nomor transaksi penerimaan negara dan nomor transaksi bank/nomor transaksi pos/nomor transaksi lembaga persepsi lainnya sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.
Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak adalah surat setoran atas penerimaan negara dalam rangka impor berupa bea masuk, denda administrasi, penerimaan pabean lainnya, cukai, penerimaan cukai lainnya, jasa pekerjaan, bunga dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor, Pajak Pertambahan Nilai Impor, serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah Impor.
Bukti Pemindahbukuan adalah bukti yang menunjukkan pemindahbukuan.
Pemindahbukuan (Pbk) adalah suatu memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak yang sesuai.
Surat Perintah Pencairan Dana adalah surat perintah yang diterbitkan oleh kantor pelayanan perbendaharaan negara selaku kuasa bendahara umum negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan surat perintah membayar kelebihan pajak atau surat perintah membayar imbalan bunga.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) adalah satuan kerja penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang dibentuk sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Badan Pengelola Migas Aceh adalah suatu badan pemerintah yang dibentuk untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian bersama kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh (0 s.d. 12 mil laut).
Deposit Pajak adalah pembayaran pajak yang belum merujuk pada kewajiban pajak tertentu.
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau Jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
Bank Persepsi Valas adalah bank devisa yang ditunjuk oleh kuasa bendahara umum negara pusat untuk menerima setoran penerimaan negara dalam mata uang asing dari dalam negeri dan/ atau luar negeri.
Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) adalah surat perintah dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak kepada kantor pelayanan perbendaharaan negara untuk menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana sebagai dasar kompensasi Utang Pajak dan/ atau dasar pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak.
Penghasilan Bruto adalah semua penghasilan yang diterima dan/ atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha, setelah dikurangi dengan retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean adalah surat ‘penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administratif, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.
Surat Penetapan Kembali Tarif dan/ atau Nilai Pabean adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administratif, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.
Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor adalah formulir penagihan untuk menagih bea masuk, cukai, denda administrasi, bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor yang tidak atau kurang dibayar oleh importir, pengangkut, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tern pat penimbunan berikat, atau pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, yang diterbitkan oleh pejabat bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penagihan piutang bea masuk, cukai, denda administrasi, bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor.
Surat Penetapan Pabean adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administratif, serta penetapan Direktur J enderal Bea dan Cukai a tau pejabat bea dan cukai.
Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda oleh pejabat berwenang dari pemerintah Indonesia dan pejabat berwenang dari pemerintah mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sehubungan dengan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang telah dilaksanakan.
Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di bidang perpajakan ( competent authority) atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berisi status domisili (resident) subjek pajak luar negeri dengan menggunakan formulir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Menteri untuk membayar imbalan bunga kepada Wajib Pajak.
Arsip Data Komputer adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari bendahara umum negara untuk melaksanakan se bagian fungsi kuasa bendahara umum negara.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/ a tau pemungutan Pajak Penghasilan, penyetoran atas pemotongan dan/ a tau pemungutan Pajak Penghasilan, dan/ a tau penyetoran sendiri atas beberapa jenis Pajak Penghasilan dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Lifting adalah sejumlah minyak bumi dan/atau gas bumi yang tersedia untuk dijual atau dibagi di titik penyerahan ( custody transfer point).
Real Estat adalah tanah secara fisik dan bangunan yang ada di atasnya.
Kontrak Investasi Kolektif (KIK) adalah kontrak investasi kolektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pasar modal.
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak berjalan untuk suatu bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UndangUndang Pajak Penghasilan.
Penelitian Surat Pemberitahuan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan perhitungannya.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Special Purpose Company (SPC) adalah perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki oleh dana investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif paling kurang 99,9% (sembilan puluh sembilan koma sembilan persen) dari modal disetor yang dibentuk semata-mata untuk kepentingan dana investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Dana Investasi Real Estat (DIRE) adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan pada aset Real Estat, aset yang berkaitan dengan Real Estat, dan/ atau kas dan setara kas.
Surat Keterangan Fiskal (SKF) adalah informasi mengenai kepatuhan Wajib Pajak selama periode tertentu untuk memenuhi persyaratan memperoleh pelayanan atau dalam rangka pelaksanaan kegiatan tertentu yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan badan pelaksana.
Uplift adalah imbalan yang diterima oleh Kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan untuk pembiayaan operasi kontrak bagi hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi Kontraktor lain, yang ada dalam satu Kontrak Kerja Sama, dalam pembiayaan.
Partisipasi Interes (PI) adalah hak, kepentingan, dan kewajiban kontraktor berdasarkan Kontrak Kerja Sama di bidang minyak dan gas bumi.
Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan, serta kegiatan lain yang mendukungnya.
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan.
Uang Persediaan adalah uang muka kerja dalamjumlah tertentu yang diberikan kepada bendahara pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari satuan kerja atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.
Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan Badan yang baru terdaftar pada suatu Tahun Pajak, termasuk Wajib Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pengambilalihan usaha dan/ a tau perubahan bentuk badan usaha.
Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Lainnya adalah Wajib Pajak yang melaksanakan kegiatan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan.
Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negen maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/ a tau kegiatan pada bidang tertentu.
Perseroan adalah perseroan terbatas dalam negeri yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak luar negeri dan tidak berstatus sebagai emiten atau perusahaan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asurans1 umum dan perusahaan asuransi jiwa.
Dividen adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh pemegang saham.
Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.
Harga Minyak Mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) adalah harga minyak mentah yang ditetapkan oleh pemerintah dengan suatu formula dalam rangka pelaksanaan Kontrak Kerja Sama minyak bumi dan/ atau gas bumi serta penjualan minyak mentah bagian pemerin tah yang berasal dari pelaksanaan Kontrak Kerja Sama minyak bumi dan/ atau gas bumi.
Overlifting Kontraktor adalah kelebihan pengambilan minyak dan/ atau gas bumi oleh Kontraktor dibandingkan dengan haknya yang diatur dalam Kontrak Kerja Sama pada periode tertentu.
Underlifting Kontraktor adalah kekurangan pengambilan minyak dan/ atau gas bumi oleh Kontraktor dibandingkan dengan haknya yang diatur dalam Kontrak Kerja Sama pada periode tertentu.
Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) adalah nomor unik tanda bukti pembayaran/penyetoran ke Kas Negara yang diterbitkan sistem settlement terdiri dari kombinasi huruf dan angka.
Nomor Transaksi Bank adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan bank persepsi atau Bank Persepsi Valas
Operator adalah Kontraktor atau dalam hal Kontraktor terdiri atas beberapa pemegang Partisipasi Interes, salah satu pemegang Partisipasi Interes yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang Partisipasi Interes lainnya sesuai dengan Kontrak Kerja Sama.
Partner adalah Kontraktor yang memiliki Partisipasi Interes dalam suatu Wilayah Kerja dan tidak bertindak sebagai Operator.
Barang Bawaan adalah Barang Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibeli oleh turis asing dari Pengusaha Kena Pajak toko retail dan dibawa keluar Daerah Pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan oleh yang bersangkutan dengan menggunakan moda transportasi pesawat udara.
Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri yang selanjutnya disebut Turis Asing adalah orang pribadi yang memiliki paspor yang diterbitkan oleh negara lain.
Pengusaha Kena Pajak Toko Retail adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak melalui toko retail.
Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara adalah unit khusus dari Kantor Pelayanan Pajak, yang lokasi kerjanya meliputi suatu tempat sebelum check in counter di bandar udara dan bertugas memproses permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai bagi Turis Asing.
Konter Pemeriksaan Barang Bawaan yang selanjutnya disebut Konter Pemeriksaan adalah bagian dari Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara yang bertugas memeriksa Barang Bawaan.
Formulir Permintaan Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai adalah formulir yang digunakan oleh Turis Asing untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai atas pembelian Barang Bawaan.
Bendahara Pengeluaran Pembantu adalah pegawai yang ditunjuk untuk membantu bendahara pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.
Konter Pembayaran adalah bagian dari Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara yang bertugas mengembalikan Pajak Pertambahan Nilai yang bernilai kurang dari atau sama dengan Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang telah dibayar oleh Turis Asing.
Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Uang Persediaan untuk membayar pengembalian Pajak Pertambahan Nilai bagi Turis Asing.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh pengguna anggaran/ kuasa pengguna anggaran untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Surat Perintah Membayar Uang Persediaan adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar untuk mencairkan Uang Persediaan.
Surat Perintah Membayar Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang diterbitkan untuk membayar Uang Persediaan Pengembalian Pajak.
Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar dengan membebani daftar isian pelaksanaan anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan Uang Persediaan yang telah dipakai.
Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang diterbitkan untuk menggantikan Uang Persediaan Pengembalian Pajak yang telah digunakan.
Bendahara Pengeluaran adalah pegawai yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada kantor / satuan kerja kementerian negara/ lembaga pemerin tah nonkementerian.
Tambahan Uang Persediaan adalah uang muka kerja yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi pagu Uang Persediaan yang telah ditetapkan.
Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Tambahan Uang Persediaan untuk membayar pengembalian Pajak Pertambahan Nilai bagi Turis Asing.
Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar untuk mencairkan tambahan Uang Persediaan.
Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang diterbitkan untuk membayar Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak.
Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak yang dihasilkan di dalam Daerah Pabean untuk dimanfaatkan oleh penerima ekspor Jasa Kena Pajak di luar Daerah Pabean.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, Ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/ atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak tidak berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan perikatan dan menerima manfaat langsung atas Ekspor Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, dan merupakan Wajib Pajak luar negeri yang tidak mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana diatur dalam UndangUndang Pajak Penghasilan beserta perubahannya.
Penerima Jasa adalah orang pribadi atau Badan yang menerima a tau seharusnya menerima penyerahan J asa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
Pengembalian Barang Kena Pajak adalah pengembalian Barang Kena Pajak baik sebagian maupun seluruhnya oleh pembeli Barang Kena Pajak.
Pembatalan Jasa Kena Pajak adalah pembatalan Jasa Kena Pajak baik sebagian maupun seluruh hak atau fasilitas atau kemudahan oleh Penerima Jasa.
Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah.
Perusahaan Asuransi Syariah adalah Perusahaan Asuransi umum syariah dan Perusahaan Asuransi jiwa syariah.
Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan usaha di bidang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang terdiri dari pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik luar negeri, dan/ atau penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dalam negeri.
Pedagang Luar Negeri adalah orang pribadi atau Badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yang melakukan transaksi dengan pemanfaat barang di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik.
Penyedia Jasa Luar Negeri adalah orang pribadi atau Badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yang melakukan transaksi dengan pemanfaat Jasa di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik.
Pemanfaat Barang adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Barang Kena Pajak tidak berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik.
Pemanfaat Jasa adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik.
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Dalam Negeri adalah Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean.
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Luar Negeri adalah Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean.
Barang Digital adalah setiap barang tidak berwujud yang berbentuk Informasi Elektronik atau digital meliputi baik barang yang merupakan hasil konversi atau pengalihwujudan maupun barang yang secara originalnya berbentuk elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada peranti lunak, multimedia, dan/ atau data elektronik.
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Jasa Digital adalah jasa yang dikirim melalui internet atau jaringan elektronik, bersifat otomatis atau hanya melibatkan sedikit campur tangan manusia, dan tidak mungkin untuk memastikannya tanpa adanya teknologi informasi, termasuk tetapi tidak terbatas pada layanan jasa berbasis peranti lunak.
Aset Kripto adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk digital, menggunakan kriptografi, jaringan informasi teknologi, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.
Sarana Elektronik adalah sarana komunikasi melalui sistem elektronik yang digunakan dalam perdagangan Aset Kripto, diantaranya mencakup pernyataan, deklarasi, permintaan, pemberitahuan atau permohonan, konfirmasi, penawaran atau penerimaan terhadap penawaran, yang memuat kesepakatan para pihak untuk pembentukan atau pelaksanaan perjanjian.
Penjual Aset Kripto adalah orang pribadi a tau Badan yang melakukan penjualan dan/ atau pertukaran Aset Kripto.
Penambang Aset Kripto adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan verifikasi transaksi Aset Kripto untuk mendapatkan imbalan berupa Aset Kripto, baik sendiri-sendiri maupun dalam kelompok penambang Aset Kripto (mining pool).
Pedagang Fisik Aset Kripto adalah pihak yang telah memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi, untuk melakukan transaksi Aset Kripto baik atas nama diri sendiri dan/ a tau memfasilitasi transaksi Penjual Aset Kripto atau pembeli Aset Kripto.
Pembeli Aset Kripto adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Aset Kripto dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Aset Kripto tersebut.
Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi adalah dokumen berupa formulir kertas atau Dokumen Elektronik yang memuat data atau informasi pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan tertentu dan kedudukannya dipersamakan dengan bukti pemotongan/pemungutan unifikasi berformat standar.
Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi adalah dokumen dalam format standar atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan sebagai bukti atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan dan menunjukkan besarnya Pajak Penghasilan yang telah dipotong/ dipungut.
Bidang-bidang Usaha Tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
Bidang-bidang Usaha Tertentu dan di Daerah-daerah Tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi dan daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
Aktiva Tetap Berwujud adalah aktiva berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun dan/ atau dirakit lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan, dan tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan atau dipindahtangankan.
Aktiva Tak Berwujud adalah aktiva tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang digunakan dalam operasi perusahaan, dan tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan a tau dipindahtangankan.
Kegiatan Usaha Utama adalah bidang usaha dan jenis produksi sebagaimana tercantum dalam izin prinsip, izin investasi, pendaftaran Penanaman Modal, atau perizinan berusaha pada saat pengajuan permohonan pengurangan Pajak Penghasilan Badan atau fasilitas Pajak Penghasilan.
Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik ( Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem Online Single Submission adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga Online Single Submission untuk penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.
Saat Mulai Berproduksi Komersial adalah saat pertama kali hasil produksi atau Jasa dari Kegiatan Usaha Utama dijual atau diserahkan, atau digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut.
Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/ atau kegiatannya.
Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut metodologi ilmiah untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan pemahaman tentang fenomena alam dan/ a tau sosial, pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis, dan penarikan kesimpulan ilmiah.
Pengembangan adalah kegiatan untuk peningkatan manfaat dan daya dukung ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah terbukti kebenaran dan keamanannya untuk meningkatkan fungsi dan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kekayaan Intelektual adalah kekayaan yang timbul karena hasil olah pikir manusia yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna bagi kehidupan manusia.
Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia dan/ atau pemegang hak perlindungan varietas tanaman untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau Badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu.
Komersialisasi adalah kegiatan produksi di Indonesia dan penjualan atas barang dan/atau jasa hasil Penelitian dan Pengembangan.
Pemberi Kerja adalah Badan hukum atau Badan-Badan lainnya yang mempekerjakan Warga Negara Asing dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang dibuat dan disempurnakan secara terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79 Tahun 2024. Menariknya, peraturan menteri keuangan ini memberikan ketentuan baru, dan kepastian tentang perpajakan KSO. Bahwa pasca peraturan menteri keuangan ini, KSO sebagai Subjek Pajak. Sehingga Wajib lapor SPT Tahunan.
Pengertian KSO
Kerja Sama Operasi yang selanjutnya disingkat KSO adalah Badan yang berbentuk pengaturan bersama antaranggota kerja sama operasi yang mengatur bahwa anggota kerja sama operasi memiliki pengendalian bersama atau memiliki hak atas aset, dan kewajiban terhadap liabilitas, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Anggota KSO yang selanjutnya disebut Anggota adalah orang pribadi atau Badan termasuk bentuk usaha tetap yang melakukan perjanjian kerja sama KSO.
Pelanggan adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahari barang dan/ ataujasa dari KSO atau Anggota, dan yang membayar atau seharusnya membayar harga barang dan/ atau membayar atau seharusnya membayar penggantian atas jasa tersebut.
Dalam hal KSO dalam bentuk proyek, maka pelanggan adalah pemilik proyek. Pada kebanyakan KSO proyek konstruksi pemerintah, maka pelanggan merupakan bendahara pemerintah.
Ketentuan Sebelumnya
Sebelum ada Peraturan Menteri Keuangan nomor 79 tahun 2024, tidak ada aturan yang secara tegas yang mengatur tentang KSO. Saya sudah membahas tentang KSO dengan dua tulisan berikut:
Kesimpulan saya sebelumnya bahwa KSO wajib PKP jika invoice kepada pelanggan atas nama KSO. Sedangkan dari sisi Pajak Penghasilan, KSO bukan subjek pajak. Karena bukan subjek pajak, maka KSO tidak wajib lapor SPT Tahunan. Karena peredaran bruto dan biaya tidak dilaporkan di SPT Tahunan KSO, maka peredaran bruto, dan biaya-biaya terkait KSO dilaporkan di SPT Tahunan Anggota KSO.
Ketentuan PPN KSO
Ketentuan PPN KSO tidak banyak berubah. Hal ini sebelumnya juga sudah berlaku bahwa KSO itu wajib mendaftarkan diri sebagai PKP dan berlaku ketentuan Undand-Undang PPN pada umumnya.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 79 tahun 2024 (PMK) mengatur PPN KSO hanya dalam 1 pasal yaitu Pasal 6.
Pasal 6 ayat (1) PMK berbunyi:
Penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat ( 1) yang dilakukan oleh:
Anggota kepada KSO; dan
KSO kepada Pelanggan,
dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Bunyi ayat (1) PMK ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Penyerahan BKP dan JKP dari Anggota kepada KSO merupakan Pajak Masukan (PM) bagi KSO. Penerbit faktur pajak transaksi ini adalah Anggota KSO.
Kenapa PMK ini mengatur transaksi dari Anggota kepada KSO? Karena kebiasaan dalam KSO, setiap anggota memberikan kontribusi kepada KSO. Kontribusi ini biasanya dibuatkan perjanjian atau kontrak. Dalam kontrak disebutkan berapa masing-masing kontribusi anggota. Logikanya memang, tidak mungkin ada anggota yang tidak memiliki kontribusi. Kecuali memang ada niat tersembunyi seperti yang pernah saya temukan saat menjadi Kepala Seksi Pengawasan.
Nilai Pajak Masukan dari masing-masing anggota harus sesuai kontrak. Hal ini diatur di Pasal 6 ayat (3) PMK.
Ketentuan PPh KSO
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79 tahun 2024 memberikan penegasan bahwa KSO wajib menghitung, memperhitungkan, membayar, dan lapor SPT Tahunan badan. Hal ini berarti KSO dianggap sebagai subjek pajak di PPh Badan. Tetapi hal ini ada syaratnya, yaitu invoice atau faktur pajak atas nama KSO. Pasal 3 ayat (1) PMK mengatur:
Sebaliknya, Pasal 18 ayat (1) PMK mengatur:
KSO tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam hal perjanjian kerja sama KSO atau pelaksanaan kerja samanya tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Karena KSO sebagai Wajib Pajak badan, maka berlaku hak dan kewajiban sebagai Wajib Pajak badan sesuai ketentuan peraturan perpajakan, baik Undang-Undang PPh, maupun Undang-Undang KUP.
Hal yang menarik dari PMK ini adalah sisa hasil usaha. Sisa hasil usaha secara umum dipahami sebagai bagi hasil. Atau dalam konteks perseroan terbatas, sisa hasil usaha setara dengan dividen.
Istilah sisa hasil usaha sebenarnya sering digunakan dalam koperasi dan disingkat SHU. Di Undang-Undang PPh yang berlaku sekarang, SHU diperlakukan sebagai bukan objek pajak.
Sisa hasil usaha KSO diperlakukan sebagai bukan objek karena memang KSO tidak terbagi atas saham. Hal ini sesuai dengan ketentuan di CV tanpa saham, atau persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.
Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-Undang PPh mengatur:
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah : .. bagian labaatau sisa hasil usaha yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
Dengan demikian, KSO sekarang diperlakukan sama seperti CV tanpa saham, firma, dan kongsi lainnya.
Bagi pembaca yang akan meneliti lebih lengkap, termasuk contoh-contoh di lampiran PMK dapat dibaca di pdf berikut:
Bagi sebagian Wajib Pajak, pemeriksaan pajak adalah sebuah tragedi. Sebagian lain malah minta diperiksa. Perbedaannya ada di cara merespon pemeriksaan. Agar Wajib Pajak tidak panik saat diperiksa, baiknya baca dulu eBook Pemeriksaan Pajak yang diberikan secara gratis.
eBook ini disusun oleh saya, Raden Agus Suparman berdasarkan pengalaman sebagai pemeriksa pajak dan konseptor Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan.
Seminar ini lebih fokus kepada bagaimana merespon SP2DK dan Pemeriksaan Pajak. Bukan tentang teknis pemeriksaan. Apa dan bagaimana pemeriksaan bisa dibaca di ebook.
Setelah Seminar
Karena banyaknya permintaan eBook Pemeriksaan Pajak, baik yang langsung kepada saya maupun melalui komentar, setelah seminar saya jual secara terpisah. Jadi hanya jual eBook Pemeriksaan Pajak saja.
Saya telah memiliki pengalaman sebagai pemeriksa pajak dari tahun 1995. Mulai dari fungsional pemeriksa pajak, dan kepala seksi perencanaan pemeriksaan Wajib Pajak badan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan kantor pusat DJP dari 2010 sampai 2014.
Setelah itu, saya menjadi pengawas, yakni kepala seksi pengawasan (dan konsultasi) di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama (2014 sd 2018) dan KPP Pratama Bandung Tegallega (2018 sd Maret 2022). Setelah itu pensiun dini, dan menjadi konsultan pajak.
Dengan pengalaman itu, saya paham bagaimana perjalanan SP2DK dan status SP2DK dibandingkan pemeriksaan pajak. Saya juga paham, bagaimana pemeriksaan pajak itu direspon. Semua pengalaman itu akan disampaikan di seminar.
Kemarin ada dua orang yang memberikan info ke saya melalui pesan Instagram. Kedua pemilik akun instagram tersebut merupakan korban penipuan mengatas namakan Raden Agus Suparman.
Saya perhatikan nomor telepon keduanya beda. Saya menduga, masih banyak lagi nomor lain yang mengatasnamankan Raden Agus Suparman.
Padahal nomor saya hanya ada di 08888110017. Tidak ada nomor lain.
Bagi anda yang dikontak oleh nomor lain, tapi mengatasnamakan Raden Agus Suparman, padahal bukan nomor FREN di atas silakan diblokir saja nomor tersebut.
Jika ada pesan WhatsApp yang mengatasnamakan kantor pajak, silakan konfirmasi dulu ke Kring Pajak di 1500200 atau Twitter Kring Pajak 1500200. Atau langsung konfirmasi ke KPP terdaftar.
Saya ingatkan juga, bahwa semua jenis tagihan itu harus berasal dari Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Atau Surat Tagihan Pajak (STP). Tidak ada tagihan pajak yang ujug-ujug muncul.
SKPKB pasti berasal dari pemeriksaan pajak. Pastikan sebelumnya anda pernah diperiksa dan pemeriksa pajak menyampaikan Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak dengan memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2). Jika tidak ada pemeriksaan, pasti tidak ada tagihan pajak.
Jika tagihan pajak berasal dari STP, maka datanglah ke petugas Account Representative yang mengampu kita. Setiap Wajib Pajak ditugaskan seorang Account Representative (AR) di KPP terdaftar untuk melakukan pengawasan. STP mungkin saja berupa denda karena tidak lapor SPT. Nah, yang menerbitkan STP denda adalah petugas AR. Jadi wajib hukumnya memastikan STP kepada petugas AR.
Namun, jika tidak memiliki keberanian untuk datang ke kantor pajak, boleh kontak kami di Botax Consulting Indonesia
Kebanyakan toko online digunakan oleh UMKM. Mereka sudah terbiasa dengan tidak memungut PPN. Dan tidak ada pembukuan. Lama-lama, omset toko online ternyata sudah besar melebihi batasa Pengusaha Kecil di PPN. Bagaimana menyiasatinya?
Selama 8 tahun menjadi kepala seksi pengawasan di kantor pajak, saya telah mendapatkan banyak data toko online yang dikirim oleh kantor pusat. Data-data tersebut berisi omset setiap tahun toko online dari berbagai marketplace. Sehingga dapat diketahui, berapa total omset toko tersebut setiap tahunnya.
Kemudian, saya dan AR di KPP pun pada akhirnya diberikan pelatihan bagaimana mencari data toko online di marketplace. Data-data tersebut diambil dan dijadikan bahan pembuatan SP2DK.
Kebanyakan dari Wajib Pajak tidak sadar bahwa toko online sebenarnya lebih mudah diawasi dari pada toko konvensional (offline). Masih banyak toko konvensional yang menggunakan uang tunai dalam transaksi jual belinya. Transaksi uang tunai lebih susah diawasi dan ditelusuri oleh kantor pajak.
Jika toko konvensional membeli barang dari distributor, sudah pasti distributor tersebut PKP. Semua PKP wajib menerbitkan faktur pajak. Sekarang ini, semua distributor pasti menerbitkan faktur pajak.
Berdasarkan faktur pajak yang diterbitkan oleh distributor tersebut, kantor pajak sebenarnya dapat mengira-ngira berapa omset toko tersebut. Perkiraan berdasarkan arus barang. Barang yang masuk berapa berdasarkan faktur pajak, sisanya berapa, maka yang tidak ada dianggap sebagai penjualan. Tinggal ditentukan, berapa marjin toko tersebut biasanya dibuat.
Toko online lebih mudah lagi diawasi oleh kantor pajak. Bahkan walaupun toko online tersebut membuat sendiri barangnya. Pembeliannya tidak ada PPN. Sehingga kantor pajak tidak dapat melakukan analisi arus barang. Tetapi kantor pajak dapat menggunakan aplikasi yang dapat merekam transaksi digital.
Berdasarkan rekam jejak atas transaksi digital tersebut, kantor pajak dapat membuat penghitungan potensi pajak yang seharusnya dilaporkan oleh Wajib Pajak. Kemudian membandingkan dengan SPT yang sudah dilaporkan.
Perbedaan antara potensi pajak dengan data di SPT dapat dijadikan dasar pembuatan SP2DK. Wajib Pajak diminta klarifikasi tentang kegiatan usaha toko online selama ini.
Ketentuan pajak tidak bisa diatur oleh Wajib Pajak. Tetapi Wajib Pajak dapat menyiasati aturan pajak.
Bagaimana cara menyiasatinya?
Botax Consulting Indonesia membuat webinar tentang Strategi Mengelola Pajak Toko Online: Tips dan Trik untuk Pemilik Usaha
Anda dapat mengikut webinar tersebut di institut-botax.com/rekaman
Webinar dilaksanakan pada tanggal 14 Agustus 2024 melalui aplikasi zoom mulai jam 9.00 WIB sampai 12.00 WIB. Namun anda masih bisa menonton rekaman zoom tersebut di institut-botax.com/rekaman
Rekaman Webinar Tanggal 14 Agustus 2024 dapat dilihat di channel youtube:
Tips-tips menyiasati kelemahan aturan perpajakan tetapi tetap patuh peraturan perpajakan.
Siapa yang harus mengikuti webinar ini? Pengusaha online, pemilik toko online atau offline yang ingin memaksimalkan keuntungannya dengan meminimalisir pajak, tetapi tetap patuh peraturan perpajakan.
Mematuhi pajak adalah investasi yang cerdas untuk bisnis Anda. Mari kita bicarakan bagaimana kami dapat membantu Anda memulainya.
Kuota terbatas! Segera pesan sebelum kehabisa kuota.
Siapa Pemateri Webinar Ini
Raden Agus Suparman telah menjadi CPNS di Ditjen Pajak sejak Maret 1993 dan pensiun dini dari Ditjen Pajak per 1 April 2022 .
Selama bekerja di Ditjen Pajak, Raden Agus Suparman menjadi fungsional pemeriksa pajak sejak 1995 sampai dengan 2010. Berdinas di Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa) Samarinda, Karikpa Jakarta Enam, Karikpa Kudus, dan Kanwil DJP Jawa Barat I.
Mulai Juli 2010 diangkat diangkat Kepala Seksi Perencanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Badan, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan. Lanjut mutasi ke Kepala Seksi Pengawasan di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama, dan KPP Pratama Bandung Tegallega sampai pensiun dini.
Raden Agus Suparman adalah alumnus angkatan ke enam Magister Administrasi dan Kebijakan Perpajakan Universitas Indonesia. Diwisuda Februari 2003.
Selain itu, Raden Agus Suparman mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di Pusdiklat Pajak, yaitu:
Diklat Penyidik PNS Pajak Diklat Fungsional Keterampilan Dasar Pemeriksa Pajak Diklat Fungsional Keahlian Pemeriksa Pajak I Training Of Trainer (TOT) Diklat Fungsional Dasar Diklat Pengamatan Diklat Pengawasan Diklat Ahli Perpajakan
Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 164 tahun 2023 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Kewajiban Pelaporan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Istilah peredaran bruto tertentu mengacu kepada pengusaha kecil, yaitu pengusaha yang memiliki omset Rp4,8 miliar atau kurang. Batasan omset ini mengikuti Undang-Undang UMKM.
Hasil penjualan sampai dengan Rp4,8 miliar setahun, oleh pajak dijadikan batasan pengusaha kecil. Dari sisi pajak penghasilan, pengusaha dikenai PPh final 0,5% dan dari sisi pajak pertambahan nilai, tidak diwajibkan memungut PPN.
Objek PPh 0,5% dan Pengecualian
Tarif PPh final 0,5% diberlakukan hanya untuk usaha yang memiliki omset kurang dari Rp4,8 miliar. Objek yang dikenai tarif PPh final 0,5% sebenarnya hampir semua kegiatan usaha (bisnis), seperti dagang, industri, dan jasa.
Namun, ada beberapa penghasilan yang tidak dapat dikenai PPh 0,5%. Artinya penghasilan tersebut hanya boleh dikenai PPh Pasal 17 UU PPh atauโyang sering saya sebut PPh umum.
Berikut penghasilan yang dikecualikan dari PPh 0,5%, yaitu:
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;
penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak
Pekerjaan bebas yang tidak boleh menggunakan PPh final 0,5% yaitu:
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri atas pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, pejabat pembuat akta tanah, penilai, dan aktuaris;
pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak,bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
olahragawan;
penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
pengarang, peneliti, dan penerjemah;
agen iklan;
pengawas atau pengelola proyek;
perantara;
petugas penjaja barang dagangan;
agen asuransi; dan
distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.
Dan penghasilan yang dikecualikan dari PPh final 0,5% yaitu penghasilan yang diteroleh oleh:
Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan;
Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus yang menyerahkan jasa yang sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4);
Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 31A, PP 94, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Wajib Pajak bentuk usaha tetap.
Wajib Pajak yang memilih untuk menggunakan PPh umum, harus memberitahukan DJP paling lambat pada akhir Tahun Pajak. Pemberitahun dapat dilakukan secara online melalui laman pajak.go.id
Namun, bagi wajib pajak baru penggunaan PPh umum dapat diberitahukan saat pendaftaran NPWP. Jadi tidak perlu lagi melalui laman pajak.go.id
Namun, jika kesulitan menggunakan cara online, Wajib Pajak masih bisa menyampaikan permohonan secara manual melalui surat biasa dan dikirim ke alamat kantor pajak terdaftar. Berikut contoh format surat permohonan menggunakan PPh umum:
Omset Rp1 Miliar Bisa Bebas PPh
Sejak berlakunya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah memberikan PTKP (penghasilan tidak kena pajak) kepada Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan PPh final 0,5%.
Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e tidak dikenai Pajak Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak.
Pasal 7 ayat (2a) Undang-Undang PPh
Menariknya, di Peraturan Menteri Keuangan nomor 164 tahun 2023 diatur bahwa ketentuan ini berlaku untuk masing-masing suami dan istri yang:
menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis; atau
istrinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
Kata “masing-masing” di Pasal 6 ayat (5) PMK 164 tahun 2023 saya maknai suami memiliki PTKP sebesar Rp500 juta, dan istri memiliki PTKP sebesar Rp500 juta. Dengan demikian, suami dan istri digabungkan memiliki PTKP sebesar Rp1 miliar.
Wajib Pajak yang memilih menggunakan PPh umum, wajib membayar PPh Pasal 25 sebagai cicilan PPh OP atau badan.
PMK 164 mengatur bahwa Wajib Pajak yang:
memilih dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a;
peredaran bruto atas penghasilan dari usahanya telah melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak; atau
telah melewati Jangka Waktu Tertentu,
wajib membayar Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 mulai Tahun Pajak pertama Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan.
Untuk tahun pertama, PPh Pasal 25 masih nihil. Tahun pertama yaitu tahun pertama menggunakan PPh umum karena memilih sendiri, dan tahun pertama karena telah selesai jangka waktu menggunakan PPh 0,5%.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2022, PPh final 0,5% berlaku paling lama:
7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badanberbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perserban perorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang; dan
3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai juga menganut “pengusaha kecil”. Bagi pengusaha kecil, tidak diwajibkan untuk memungut PPN. Tidak diwajibkan dikukuhkan sebagai PKP.
Namun demikian, pengusaha kecil boleh saja memilih untuk menjadi PKP. Biasa pengusaha kecil memilih menjadi PKP karena kebutuhan, seperti menjadi rekanan BUMN, menjadi rekanan pemerintah yang mewajibkan PKP.
Sebelum PMK 164, ketentuan wajib PKP ditentukan masa pajak per masa pajak. Contoh, jika omset dari Januari sampai dengan Juli sudah melewati Rp4,8 miliar, maka bulan September wajib dikukuhkan sebagai PKP.
Namun, PMK 164 tahun 2023 mengatur sebagai beriktu:
Kewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dilakukan paling lambat akhir tahun buku saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 17 ayat (3) PMK 164
Saya garibawahi frasa “paling lambar akhir tahun buku”. Dengan demikian, setelah berlakunya PMK 164 maka kewajiban dikukuhkan sebagap PKP mundur, dari semulan masa pajak, menjadi tahun buku.
Contoh, jika omset dari Januari sampai dengan April 2024 sudah mencapai Rp4,8 miliar maka kewajiban permohonan dikukuhkan PKP paling lambar akhir tahun 2024. Mungkin saja sampai dengan akhir tahun 2024 omset sudah melampaui Rp15 miliar.
Menurut saya, ketentuan baru ini menjadi loophole bagi Wajib Pajak. Pengusaha dapat saja membuat WP badan (misalnya membuat PT) setiap tahun agar tidak dikenai kewajiban memungut PPN.
Misal, PT A dibuat tahun 2024 dengan omset Rp25 miliar. Namun kewajiban PKP akan dimulai 1 Januari 2025. Nah, di tahun 2025, dibuat lagi PT B. Sedangkan PT A dibuat omset nihil karena omset bergeser ke PT B.
Pembayaran premi asuransi ke luar negeri wajib dipotong oleh pembayar premi asuransi jika negara tujuan premi asuransi tersebut tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia. Hal ini berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Jika negara tujuan merupakan treaty partner maka tidak ada kewajiban pemotongan berdasarkan tax treaty dan memori penjelasan Pasal 26 ayat (2) UU PPh.
Sebagian besar tax treaty Indonesia dengan treaty partner memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi yang menerima penghasilan premi dari negara sumber. Ketentuan ini mengadopsi Pasal 5 ayat (6) UN model.
Pasal tersebut mengatur bahwa perusahaan asuransi di negara domisili dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara sumber asal perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan premi asuransi dari negara sumber atau menanggung resiko di negara sumber.
Sebagian lain, tax treaty Indonesia dengan treaty partner tidak memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi. Tax treaty ini mengadopsi ketentuan dalam OECD model.
Menurut OECD model, perusahaan asuransi di suatu negera yang menerima penghasilan premi asuransi dari negara lain dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara lain tersebut jika perusahaan asuransi tersebut memiliki a fixed place of business sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) OECD model atau perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan asuransi dari negara lain melalui agen tidak bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.
Indonesia memiliki hak pemajakan penuh (exclusively taxing rights) terhadap Bentuk Usaha Tetap. Walaupun status Bentuk Usaha Tetap merupakan Wajib Pajak luar negeri tetap kewajiban perpajakan Bentuk Usaha Tetap disamakan dengan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri lainnya, yaitu wajib melaporkan seluruh penghasilannya dari usaha atau kegiatannya di Indonesia. Wajib Pajak luar negeri yang lain tidak ada kewajiban melaporkan penghasilan usahanya seperti Bentuk Usaha Tetap.
Pengiriman premi asuransi ke luar negeri dibawah ini dapat menimbulkan Bentuk Usaha Tetap :
Tertanggung langsung mengadakan pertanggungan dengan penanggung di luar negeri. Jika luar negeri tempat domisili perusahaan asuransi merupakan treaty partner yang memiliki ketentuan khusus tentang asuransi (UN model), maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dan Indonesia memiliki hak pemajakan penuh atas Bentuk Usaha Tetap tersebut.
Perusahaan asuransi di luar negeri menerima penghasilan premi asuransi melalui agen asuransi di Indonesia. Jika dalam praktek ditemukan cara ini maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap baik berdasarkan tax treaty yang mengacu ke OECD model maupun tax treaty yang mengacu ke UN model.
Sekilas Ketentuan Pajak Penghasilan
Salah satu ciri khas pajak adalah tidak adanya kontra prestasi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. Mungkin saja pelayanan negara kepada pembayar pajak dengan penyelundup pajak sama saja. Jadi, apa bedanya membayar pajak dengan tidak membayar pajak?
Hampir semua orang tidak akan membayar pajak dengan senang hati. Jika mungkin, setiap orang dapat menikmati hasil usahanya tanpa berkurang karena pajak. Supaya pajak dapat tetap dibayar oleh Wajib Pajak maka pajak harus memiliki kekuatan memaksa agar Wajib Pajak melaksanakan kewajibannya.
Dalam negara hukum, sifat memaksa hanya dapat dibenarkan jika berdasarkan undang-undang. Sesuai dengan konstitusi, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, pajak yang membebani rakyat harus didasarkan pada undang-undang.
Bagian Ketentuan Pajak Penghasilan, penulis akan menguraikan yurisdiksi pengenaan pajak, siapa dan apa yang kenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan domestik, mengapa perlu membuat tax treaty dengan negara lain, dan bagaimana kewenangan Indonesia memungut pajak atas premi asuransi berdasarkan tax treaty yang ada.
Yurisdiksi Pengenaan Pajak
Dasar hukum pengenaan pajak di Indonesia adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi, โSegala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang.โ
Ketentuan ini sesuai dengan suatu dalil yang berkembang di Inggris yaitu No Taxation without representation . Semua jenis pungutan yang membebani rakyat harus didasarkan pada undang-undang. Khusus untuk Pajak Penghasilan, seperti yang berlaku sekarang, Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPh).
Berdasarkan Pasal 2 UU PPh, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakan berdasarkan dua kaitan fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif dan objektif .
Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh yang mengatur subjek pajak dalam negeri, berbunyi, โOrang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.โ
Menurut ketentuan ini, orang pribadi dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi salah satu syarat berikut: tempat tinggal atau domisili, keberadaan, atau niat bertempat tinggal di Indonesia. Ketiga syarat ini merupakan cara pengujian, dimanakah seseorang berdomisili.
Sedangkan untuk subjek pajak badan, ketentuan tentang domisili diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh. Suatu badan dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi syarat sebagai berikut: badan tersebut didirikan di Indonesia, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Kepastian domisili ini sangat penting karena berkaitan dengan hak pemajakan berdasarkan asas domisili. Asas domisili yaitu asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara tempat Wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan lebih berhak mengenakan pajak atas hasil-hasil yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang berasal dari sumber di mana saja sumber itu ada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun di luar negeri .
Selain asas domilisi, terdapat satu asas lagi yang berlaku dalam UU PPh dan diterima secara global , yaitu asal sumber. Yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan kepada dua unsur, yaitu: menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.
Menurut asas sumber, negara tempat sumber itu terletak, lebih berhak mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu, tak pandang dimana orang yang memiliki sumber itu berada (di luar negeri yang mengenakan pajak).
Siapapun, orang pribadi atau badan, yang menerima atau memperoleh penghasilan, baik penghasilan dari usaha (active income) atau penghasilan dari modal (passive income), dari Indonesia dapat dikenakan Pajak Penghasilan. Dasar hukum asas ini adalah Pasal 2 ayat (4) UU PPh.
Subjek Pajak
Subjek pajak itu adalah subjek hukum yang oleh undang-undang pajak diberi kewajiban perpajakan. Subjek pajak itu pada umumnya subjek hukum berdasarkan cabang hukum lain di luarnya hukum pajak, yang kemudian diatur dalam undang-undang pajak, dan dinyatakan sebagai subjek pajak.
Subjek pajak diatur oleh Pasal 2 UU PPh. Menurut Pasal 2 ayat (1), subjek pajak adalah (a) 1) orang pribadi; 2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; (b) badan; (c) bentuk usaha tetap. Selanjutnya, menurut Pasal 2 ayat (2), subjek pajak terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Pembagian subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri mengacu kepada domisili subjek pajak tersebut seperti yang diuraikan diatas.
Sedangkan perlakuan perpajakannya terdapat perbedaan yang mendasar. Subjek pajak luar negeri hanya dikenakan PPh di Indonesia atas penghasilan yang bersumber di Indonesia. Sebaliknya subjek pajak dalam negeri dikenakan PPh atas seluruh penghasilannya, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri (world wide income).
Objek Pajak
Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan (seperti: memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki tanah atau barang tak gerak, menempati rumah tertentu), perbuatan (seperti: melakukan penyerahan barang karena perjanjian), maupun peristiwa (seperti: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak) .
Tetapi objek pajak yang menjadi sasaran PPh adalah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yang lengkapnya berbunyi, โYang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun,โฆโ
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh bahwa penghasilan yang dikenakan pajak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
tambahan kemampuan ekonomis Bahwa yang termasuk penghasilan itu adalah setiap tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang berkenaan. Maksud โtambahanโ disini adalah jumlah neto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto dikurangi dengan biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu.
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Maksudnya adalah hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai cash basis maupun dengan memakai accrual basis.
baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia Bahwa penghasilan yang dikenakan pajak itu meliputi penghasilan yang didapat di mana pun juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia. Bagi subjek pajak dalam negeri, kewajiban pajak objektifnya adalah world wide income sedangkan bagi subjek pajak luar negeri kewajiban pajak objektifnya terbatas hanya yang diatur dalam Pasal 26 UU PPh.
yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan harta Unsur (d) merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang dikenakan pajak itu, yaitu sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi. Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan. Ini lazim disebut metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.
dengan nama dan dalam bentuk apapun Bahwa dalam penentuan ada tidaknya penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya penghasilan itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak dan juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak melainkan yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya. Pedoman yang harus dipegang teguh ini disebut the Substance-Over-Form Principle, yang berarti bahwa hakekat ekonomis adalah lebih penting daripada bentuk formal yang dipakai.
Prinsip Netralitas
Dalam sistem pajak, netralitas dimaksudkan sebagai suatu pola kebijakan pemajakan (tax policy) yang tidak mencampuri atau mempengaruhi maupun mengarahkan pemilihan Wajib Pajak untuk apakah melakukan kegiatan ekonomi atau investasi di dalam atau di luar negeri. Suatu pajak yang netral merupakan dambaan dari setiap pemegang yurisdiksi pemajakan karena sistem demikian mendorong alokasi sumber daya yang paling efesien dan optimal.
Menurut Parthasarathi Shome , efesiensi perekonomian akan tercermin dari pemajakan penghasilan global yang โnetralโ yaitu keputusan pemilihan lokasi investasi tidak dipengaruhi dengan perbedaan tarif pajak internasional atau tipe perlakuan pajak.
Dalam pelaksanaannya, netralitas pajak harus dijadikan sebagai standar penanggulangan distorsi pemajakan antara investasi dan tabungan. Distorsi tersebut harus diminimalisasi dengan mekanisme seperti kredit pajak luar negeri dan pengecualian penghasilan (income exemption) dan bahkan dengan perjanjian penghindaran pajak berganda multilateral.
Doernberg, sebagaimana dikutif oleh Gunadi, menyebut tiga unsur netralitas:
netralitas ekspor modal (capital-export neutrality) Sistem pajak mempunyai citra netralitas ekspor modal atau netralitas pasar domestik (domestic-market neutrality) jika memberikan beban (perlakuan) yang sama terhadap investasi apakah dilakukan di dalam atau di luar negeri. Di mana pun investasi dilakukan, penghasilannya akan dikenakan pajak dengan ketentuan yang sama yang berlaku atas investasi domestik. Aplikasi dari prinsip ini adalah pemberian kredit pajak luar negeri yang diatur dalam Pasal 24 UU PPh, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 640/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 dan telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tanggal 19 April 2002.
netralitas impor modal (capital-impor neutrality) Netralitas impor modal sering disebut sebagai netralitas pasar mancanegara atau kompetitif (foreign market or competitive neutrality). Maksud netralitas ini adalah bahwa semua perusahaan yang menjalankan usaha atau investasi pada tempat yang sama menanggung (total) beban pajak dengan jumlah yang sama. Setiap investasi yang dilakukan pada suatu negara dikenakan pajak berdasarkan tarif (ketentuan) yang sama, tanpa memperhatikan kebangsaan atau tempat kedudukan investor. Para investor di suatu negara bersaing dengan sandaran ekualitas basis pemajakan.
netralitas nasional (national neutrality). Netralitas nasional suatu pajak akan terwujud apabila pembagian penghasilan antara investor dan pemerintah tetap sama tanpa memperhatikan tempat investasi (pemberi penghasilan) dilakukan. Perlakuan perpajakan akan sama terhadap penghasilan dalam negeri atau penghasilan dari luar negeri.
Sementara Peggy B. Musgrave menyebutkan international tax neutrality yaitu pola perpajakan yang tidak mempengaruhi atau mengganggu pemilihan investasi Wajib Pajak apakah di dalam negeri maupun di luar negeri.
International tax neutrality mengharuskan tidak ada perbedaan beban pajak yang mempengaruhi hasil bersih antara investasi luar negeri dan dalam negeri. Setiap investor asing harus diyakinkan bahwa mereka menanggung beban pajak yang sama dengan investor dalam negeri.
Terjadinya Pajak Ganda
Prinsip netralitas tersebut sering kali sulit terwujud karena terdapat pengenaan pajak berganda. Investasi yang ditanam di luar negeri akan mendapat beban pajak yang lebih tinggi karena akan dikenakan di dua negara yaitu di negara tempat investasi (negara sumber) dan di negara domisili. Artinya, tidak ada netralitas ekspor modal.
Terdapat dua jenis pajak berganda internasional yaitu, pajak ganda ekonomi dan pajak ganda yuridis . Pajak ganda internasional ekonomis (economic international double taxation) adalah pajak ganda yang dikenakan oleh dua negara atas dua Subjek Pajak yang berbeda mengenai penghasilan yang sama yang didapat dari kegiatan ekonomi yang sama.
Contoh pajak ganda ini adalah pengenaan pajak atas dividen. Sebelum dibagikan kepada pemegang saham, penghasilan yang sama telah dikenakan pajak ditingkat perusahaan. Satu objek pajak yang diterima oleh dua Subjek Pajak yang berbeda dikenakan pajak dua kali.
Pajak ganda ekonomis akan selalu muncul jika suatu negara menganut classical system. Sistem ini didasarkan atas asas pemisahan yang tegas antara badan di satu sisi dan pemiliknya di sisi lain.
Dalam sistem ini pengenaan pajak atas badan dan pemiliknya yaitu orang pribadi dikenakan pajak sendiri-sendiri sehingga kalau pajak keduanya digabungkan akan menghasilkan tarif efektif yang lebih besar. Penerapan sistem ini menimbulkan efek pengenaan pajak berganda dan tidak mencerminkan asas keadilan dan pemerataan.
Untuk menghindari pajak ganda ekonomis, dibanyak negara diterapkan integration system yang terdiri dari Full integration system, deviden deduction system, split rate system, devidend examption system dan imputation system. Dua sistem yang terakhir dikenakan pada tingkat pemegang saham, sedangkan devidend deduction system dan split rate system dilakukan pada tingkat perusahaan.
Full integration system didasarkan pada filosofi bahwa beban pajak hanya dapat dirasakan oleh orang pribadi. Laba yang diperoleh perusahaan menjadi bagian penghasilan Orang Pribadi. Perusahaan hanya menjadi sarana dari Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memperoleh penghasilan sehingga pajak harus dikenakan kepada orang pribadi. Pajak yang dikenakan atas perusahaan harus sepenuhnya dikreditkan atas pajak penghasilan orang pribadi pemegang saham. Sistem ini menghilangkan pajak ganda ekonomis.
Pada sistem yang lainnya pajak ganda ekonomis tidak hilang sama sekali tetapi efek gandanya tidak sebesar pada classical system. Efek gandanya sudah dieliminir. Contohnya devidend deduction system, yaitu integrasi yang dilakukan hanya sebesar persentase normal deviden yang diperhitungkan.
Bagian laba yang dikenakan pajak pada level perusahaan adalah sebesar jumlah laba yang sudah dikurangi dengan dividen. Sedangkan pada devidend exemption system penghasilan dividen yang diterima oleh pemegang saham dikecualikan dari objek pajak penghasilan, baik sebagian atau seluruhnya.
Sistem lainnya yaitu split rate system pengenaan pajak yang berbeda antara laba yang ditahan dengan laba yang dibagikan sebagai dividen. Tarif pajak atas laba yang dibagikan sebagai dividen lebih rendah daripada tarif atas laba ditahan. Terakhir, imputation system yaitu dengan memberikan imputed corporate tax kepada pemegang saham sebesar jumlah persentase tertentu dari dividen yang dibagikan dan imputed corporate tax ini menjadi kredit pajak bagi pemegang saham.
Jenis pajak ganda yang kedua adalah pajak ganda yuridis yang terdiri dari tiga macam, yaitu : (1) karena ada dual residence; (2) konflik antara asas domisili dengan asas sumber; (3) perbedaan definisi tentang sumber penghasilan (source rule).
Dual residence adalah seorang Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki status penduduk rangkap untuk tujuan perpajakan misalnya ia diperlakukan masing-masing sebagai penduduk Indonesia dan Singapura . Penyelesaian masalah dual residence ini dilakukan berdasarka a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency) artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya.
Kriteria dimaksud adalah (i) tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence; (ii) pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada; (iii) kebiasaan berdiam (habitual abode); (iv) status kewarganegaraan (nationality) Wajib Pajak; (v) prosedur kesepakatan (mutual agreement procedure) yaitu prosedur kesepakatan antara kedua otoritas pajak dari masing-masing negara.
Konflik antara asas domisili dengan asas sumber merupakan jenis pajak ganda yuridis yang kedua. Biasanya terjadi konflik antara world wide income principle dan konsep kewenangan atas wilayah. Negara domisili mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh penduduknya, sedangkan negara sumber mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari negara tersebut.
Sebab ketiga yang dapat menyebabkan pajak ganda yuridis adalah bila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan sebagai penghasilan yang bersumber dari wilayahnya. Karena pengertian sumber penghasilan (source rule) dari negara satu dengan negara lain berbeda maka masing-masing dapat saling mengakui sebagai negara sumber. Ini berakibat penghasilan yang sama dikenai pajak di dua negara.
Metode Penghindaran Pajak Berganda
Untuk menghindari beban pajak yang berlebihan, masing-masing negara biasanya memiliki peraturan sendiri untuk menghindari pengenaan pajak berganda. Tetapi yang telah menjadi konvensi di banyak negara ada dua metode, yaitu metode pembebasan dan metode kredit.
Metode pembebasan menghendaki suatu negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara sumber. Metode pembebasan meliputi:
Pembebasan subjek Pembebasan subjek umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatik, konsuler dan organisasi internasional. Mereka umumnya dikenakan pajak di negara pemegang hak istimewa. Seperti para diplomat Indonesia, dimana pun mereka ditempatkan, dikenakan pajak di Indonesia. Pembebasan subjek ini di Indonesia diatur dalam Pasal 3 UU PPh.
Pembebasan objek Pembebasan objek dikenal juga dengan full excemption atau excemption without progression. Metode ini mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan Wajib Pajak dalam negeri negara tersebut (negara domisili). Artinya, penghasilan yang diperoleh dari luar negeri (negara sumber) diabaikan sama sekali.
Pembebasan pajak Metode ini dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode ini, penghasilan luar negeri dibebaskan dari pajak domestik, namun untuk keperluan pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Pengaruh progresi akan terasa efektif jika di negara domisili memberlakukan tarif progresif.
Selain itu, metode ini akan berpengaruh positif saat penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebut harus diganti kembali (recapture) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba.
Metode penghindaran pajak berganda yang kedua adalah metode kredit pajak. Metode ini yang paling lazim dipakai dan Indonesia merupakan salah satu negara yang memakai varian metode ini.
Metode kredit pajak memperkenankan pajak yang dibayar di negara sumber untuk dikreditkan di negara domisili. Pada dasarnya, varian metode kredit pajak terdapat dua yaitu, kredit pajak penuh atau full credit dan kredit pajak dengan pembatasan atau ordinary credit. Menurut metode full credit, negara domisili akan mengakui semua pajak yang telah dibayar di negara sumber sebagai kredit pajak di negara domisili. Dengan demikian, tidak ada pengenaan pajak berganda karena seluruh beban pajak yang dibayar di negara sumber dapat dikurangkan seluruhnya.
Kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit) pada intinya sama dengan full credit tetapi yang dapat dikurangkan dari pajak di negara domisili dibatasi sebesar pajak yang dihitung berdasarkan tarif di negara domisili.
Beberapa varian dari ordinary credit, yaitu:
Overall limitation Menurut metode ini, batas kredit pajak yang diperkenankan adalah seluruh penghasilan luar negeri. Jika penghasilan diperoleh dari beberapa negara yang memiliki tarif bervariasi, cara ini dapat membuat batas kredit pajak yang lebih tinggi dari pada metode per country limitation. Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:
Per country limitation Menurut metode ini, batas kredit pajak yang dapat diperkenankan adalah jumlah kredit pajak dari setiap negara yang dihitung berdasarkan jumlah penghasilan di setiap negara. Indonesia termasuk negara yang menganut metode ini berdasarkan Pasal 24 UU PPh. Aturan pelaksana tentang kredit pajak luar negeri diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tanggal 19 April 2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri. Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:
Tax sparing Metode ini disebut juga fictitious tax credit atau kredit pajak semu. Tax Sparing biasanya berkaitan dengan insentif pajak berupa bebas pajak atau tax holiday. Pembebasan pajak yang dilakukan oleh negara sumber tidak akan dinikmati oleh investor jika di negara domisili tetap dikenakan pajak. Artinya, hanya memindahkan tempat pembayaran pajak dari negara sumber ke negara domisili sekaligus menganulir insentif pajak yang diberikan negara sumber. Untuk melindungi investor dan tujuan dari insentif pajak, maka negara domisili dapat memberikan kredit pajak sejumlah tertentu atas pajak yang tidak dipungut oleh negara sumber.
Underlying tax credit Variasi lain yang termasuk dalam kategori tax credit adalah underlying tax credit, yaitu pajak yang dibayar oleh anak perusahaan di luar negeri yang dapat dikreditkan untuk keperluan penghitungan pengenaan pajak atas dividen yang dibagikan yang berasal dari laba. Tujuan dari underlying tax credit adalah terciptanya perlakuan pajak yang sama (tax neutrality) antar cabang dengan anak perusahaan.
Matching credit Matching credit biasaya diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang dan dituangkan dalam suatu persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty). Penduduk dari satu negara maju dapat memperoleh kredit pajak dengan tarif penuh atas dividen yang diterima dari penduduk negara berkembang, walaupun tarif pajak di negara sumber dividen tersebut adalah lebih rendah.
Tax Treaty
Tujuan dari pembebasan dan kredit pajak adalah untuk menghindari pajak berganda. Undang-undang domestik biasanya telah mengatur secara unilateral pencegahan pajak ganda internasional. Pasal 3 dan Pasal 24 UU PPh merupakan ketentuan domestik mengenai pencegahan pajak berganda. Tetapi pengaturan unilateral pencegahan pajak berganda tersebut sering kurang memadai untuk menghilangkan sama sekali pengenaan pajak berganda. Paling sedikit ada tiga hal yang menyebabkan ketentuan unilateral tidak efektif , yaitu:
Satu, apabila Wajib Pajak dalam negeri suatu negara menerima penghasilan dari negara lain yang telah mengenakan pajak sebagai negara sumber, negara domisili tersebut dapat saja secara unilateral membebaskan pengenaan pajak di negara domisili tersebut dengan tujuan mencegah pajak ganda dengan memakai metode pembebasan, namun tidak ada jaminan negara lain tersebut juga akan melakukan pencegahan pajak ganda yang sama. Jika di negara sumber dan di negara domisili tidak timbal balik (reciprocal) maka akan tetap ada pajak ganda.
Dua, suatu sistem pajak atas penghasilan di suatu negara itu unik, sehingga kemungkinan pengenaan pajak ganda atas penghasilan dari transaksi antara dua negara adalah sangat besar, apabila pencegahan pajak ganda hanya diserahkan kepada pengaturan kententuan pencegahan pajak ganda unilateral dari undang-undang domestik. Misalnya dalam hal ketentuan tentang negara sumber dari penghasilan tertentu yang berkenaan dengan source rule. Masing-masing negara mendefinisikan sendiri sehingga di dua negara atau lebih berbeda. Perbedaan definisi source rule merupakan penyebab pajak berganda seperti diuraikan diatas.
Tiga, ketentuan undang-undang domestik biasanya kaku dan tidak lentur. Biasanya interpretasi atas undang-undang domestik tidak memungkinkan memberi akomodasi untuk mencegah pajak ganda, sebab ketentuan undang-undang domestik itu ditujukan guna memasukkan sejumlah penerimaan pajak dan bukan untuk mencegah pajak ganda internasional.
Karena itu, untuk mencegah pajak ganda internasional dibuat ketentuan bilateral antara dua negara yang disebut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty. Agar benar-benar tidak terjadi pajak berganda, biasanya dalam tax treaty dibuat aturan yang berlapis-lapis. Setidaknya ada tiga lapis aturan untuk menghindari pajak ganda.
Lapis pertama adalah ketentuan untuk mencegah dual residence. Dalam OECD model dan UN model, ketentuan tentang penduduk diatur dalam Pasal 4 tax treaty. Penyelesaian masalah dual residence ini biasanya dilakukan berdasarkan a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan. Jika kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah maka digunakan kriteria kedua, dan seterusnya. Kriteria yang dimaksud adalah permanent home, centre of vital interest, habitual abode, nationality dan mutual agreement. Dengan ditiadakannya kemungkinan dual residence maka pajak ganda yang disebabkan oleh hal ini dengan sendirinya tercegah.
Lapis kedua aturan untuk pencegahan pajak ganda internasional yaitu: pembagian hak pemajakan antara negara sumber dan negara domisili. Pada dasarnya suatu tax treaty adalah membagi hak pemajakan dua negara yang mengadakan kesepakatan. Sebagai akibat dari pembagian hak pemajakan ini penghasilan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Pertama, jenis penghasilan yang dapat dikenakan pajak di negara sumber tanpa pembatasan. Hak pemajakan diserahkan sepenuhnya kepada negara sumber. Contoh jenis penghasilan ini:
penghasilan business profit yang berasal dari Bentuk Usaha Tetap (BUT).
penghasilan immovable propertypenghasilan dari independent personal services jika terdapat fixed base di negara sumber, atau telah melewati uji waktu yang ditetapkan dalam tax treatypenghasilan yang diterima oleh karyawan perusahaan swasta (dependet personal servises)penghasilan yang diperoleh dari kegiatan olah ragawan dan artis atau entertainer tanpa melihat apakah penghasilan tersebut diterima oleh mereka atau orang / badan lain
imbalan kepada para direktur yang dibayarkan oleh perusahaan yang berdomisili di negara tersebut.
Kedua, jenis penghasilan yang dikenakan pajak di negara sumber dengan pembatasan. Contoh jenis penghasilan ini adalah bunga, dividen dan royalti.
Ketiga, Jenis penghasilan yang tidak dikenakan pajak di negara sumber. Artinya, negara sumber melepaskan hak pemajakannya kepada negara domisili. Contoh jenis penghasilan ini:
penghasilan dari angkutan laut, darat dan udara di jalur internasional
capital gain dari property yang dimiliki oleh Bentuk Usaha Tetap dan capital gain selain berasal dari immovable property, pensiunan, business profit jika tidak memenuhi ketentuan Bentuk Usaha Tetap
penghasilan dari independent personal service jika di negara sumber tidak ada fixed base atau tidak memenuhi time test
penghasilan yang diterima dari dependent personal service jika, syarat kumulatif, (i) si penerima penghasilan berada di negara sumber kurang dari time test; dan (ii) balas jasa tersebut dibayar oleh, atau atas nama pemberi kerja yang bukan penduduk negara sumber; dan (iii) balas jasa tersebut tidak menjadi beban dari suatu Bentuk Usaha Tetap atau tempat usaha tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja di sumber.
Lapis ketiga aturan untuk pencegahan pajak ganda internasional yaitu mutual agreement procedure (MAP). MAP merupakan suatu upaya yang diberikan kepada setiap subjek pajak yang masih mengalami pemajakan ganda untuk meminta pejabat pajak yang berwenang dari negara domisili untuk melakukan mutual agreement dengan pejabat pajak yang berwenang dari negara sumber, sehingga tercapai kesepakatan untuk menghilangkan adanya pajak ganda yang dikenakan kepada subjek pajak tersebut.
Bentuk Usaha Tetap
Seperti diuraikan diatas, dalam tax treaty biasanya hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah jika penghasilan usaha tersebut didapat atau dilakukan melalui Bentu Usaha Tetap (BUT). Ketentuan tentang hal ini dalam OECD model dan UN model diatur dalam Pasal 7 ayat (1).
Jika kegiatan usaha dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap maka hak pemajakan sepenuhnya milik negara sumber (exclusively taxing rights). Karena itu, pengertian Bentuk Usaha Tetap tersebut sangat penting agar diketahui dengan jelas negara mana yang berhak mengenakan pajak. OECD model dan UN model memuat pengertian Bentuk Usaha Tetap dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu:
For the purposes of this Convention, the term โpermanent establishmentโ means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on
Pasal 5 ayat (1) ini memiliki pengertian bahwa suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung tiga syarat:
Satu, adanya tempat usaha berupa prasarana, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) yaitu: tempat manajemen perusahaan, cabang, kantor, pabrik, bengkel dan tambang, sumur minyak atau gas, galian atau tempat lain untuk mengambil sumber daya alam.
Dua, tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan
Tiga, kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.
Selain itu, karakteristik lain dari dari Bentuk Usaha Tetap adalah bersifat produktif, artinya ia turut memberikan andil dalam memperoleh laba usaha bagi kantor pusatnya.
Selanjutnya, yang akan dibahas disini pembatasan Bentuk Usaha Tetap untuk bidang usaha asuransi. OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5).
Pasal 5 ayat (1) mensyaratkan adanya a fixed place. Seperti diuraikan diatas, Pasal 5 ayat (1) memerlukan tiga syarat, yaitu : adanya tempat usaha, bersifat tetap, dan dilakukan melalui tempat tetap tersebut. Sedangkan Pasal 5 ayat (5) mengatur bahwa orang / badan dapat ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas
Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan asal:
Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.
Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara.
Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.
Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi. UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai Bentuk Usaha Tetap apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7).
Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model. Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Bentuk Usaha Tetap adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.
Batasan Bentuk Usaha Tetap Perusahaan Asuransi
Sebagaimana diuraikan diatas bahwa terdapat dua model pengenaan premi asuransi ke luar negeri. Model pertama disarankan oleh OECD model. Commentary Pasal 5 ayat (5) menyebutkan, โaccording to the definition of the term โpermanen establishmentโ an insurance company of one State may be taxed in the other State on its insurance business, if it has a fixed place of business within the meaning of paragrap 1 or if it carries on business through a person within the meaning of paragraph 5โ.
Model kedua disarankan oleh UN model. Commentary Pasal 5 ayat (6) menyebutkan, โ.. the Group agreed that the case of representation through independent agents should be left to bilateral negotiations, which could take account of the methods used to sell insurance โฆ.โ
Australia
Tax treaty dengan Australia bernama โAgreement between the goverment of The Republic of Indonesia and the goverment of Australia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax Treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 22 April 1992, dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 62 tahun 1992 tanggal 10 Nopember 1992.
Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (4).
Austria
Tax Treaty dengan negara Austria bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Austria for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect of taxes on income and on capitalโ. Tax Treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Vienna pada tanggal 24 Juli 1986 dan telah diratifikasi oleh Keputusan Presiden No. 8 tahun 1987 tanggal 20 April 1987.
Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Belgia
Tax Treaty dengan negara Belgia terdapat dua periode, yang pertama didasarkan pada โAgreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Belgium for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capitalโ yang ditandatangani oleh kedua negara di Brussels pada tanggal 13 Nopember 1973 kemudian diratifikasi Keputusan Presiden No. 50 tahun 1974 tanggal 13 September 1974. Tax Treaty ini berlaku dari tanggal 1 Januari 1975 sampai dengan 31 Desember 1998.
Periode kedua didasarkan pada โAgreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Belgium for the avoidance of double taxation and prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 16 September 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 149 tahun 1998 tanggal 18 September 1998. Tax treaty yang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1999 sampai sekarang.
Pada periode pertama, tax treaty mengatur secara khusus batasan Bentuk Usaha Tetap asuransi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (5). Tetapi pada periode kedua, batasan Bentuk Usaha Tetap asuransi dihilangkan. Dengan demikian sejak tanggal 1 Januari 1999 Bentuk Usaha Tetap diuji dengan dependensi agen asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5).
Brunei Darussalam
Tax treaty dengan negara Brunei Darussalam bernama โAgreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Brunei Darussalam for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandantangani oleh kedua negara di Bandar Seri Begawan pada tanggal 27 Februari 2000 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 2000 tanggal 20 April 2000.
Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Bulgaria
Tax treaty dengan negara Bulgaria bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and The Republic of Bulgaria for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Sofia pada tanggal 11 Januari 1991 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 33 tahun 1991 tanggal 18 Juli 1991.
Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).
Kanada
Tax treaty dengan negara Kanada bernama โConvention between The Republic of Indonesia and Canada for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capitalโ. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1979 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1979 tanggal 3 Desember 1979.
Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Tax treaty dengan Kanada telah diamandemen pada tanggal 1 April 1998 tetapi Pasal 5 ayat (5) tidak mengalami perubahan (tidak diamandemen).
Sri Lanka
Tax treaty dengan negara Sri Lanka bernama โAgreement between Republic of Indonesia and The Democratic Socialist Republic of Sri Lanka for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect ot taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Kolombo pada tangga 3 Februari 1993 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 6 tahun 1994 tanggal 17 Februari 1994.
Tax treaty ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiap perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Taiwan
Tax treaty dengan negara Taiwan bernama โAgreement between The Indonesian Economic and Trade Office to Taipei and The Taipei Economic and Trade Office for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini telah ditandatangani di Taipei pada tanggal 1 Maret 1995 dan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 507/KMK.04/1995 tanggal 7 Nopember 1995.
Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).
Ceko
Tax treaty dengan negara Ceko bernama โAgreement between the govenment of Republic of Indonesia and the government of The Czech Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1994 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1995 tanggal 6 Desember 1995.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Denmark
Tax Treaty dengan negara Denmark bernama โConvention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Kingdom of Denmark for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ.Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1985 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 15 tahun 1986 pada tanggal 21 April 1986.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Finlandia
Tax Treaty dengan negara Finlandia bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and The Republic of Finland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani oleh kedua negara di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 49 tahun 1987 tanggal 11 Desember 1987.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Perancis
Tax Treaty dengan negara Perancis bernama โConvention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The French Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capitalโ.Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1979 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Jerman
Tax treaty ย dengan negara Jerman bernama โAgreement between The Republic of Indonesia and The Federal Republic of Germany for the avoidance of double taxation with respect to taxes on income and capitalโ.Tax treaty ini ditandatangani di Bonn pada tanggal 30 Oktober 1990 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1991 tanggal 20 Nopember 1991.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Hungaria
Tax treaty dengan negara Hungaria bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Hungarian Peopleโs Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1989 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 60 tahun 1989 tanggal 9 Desember 1989.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
India
Tax treaty dengan negara India bernama โAgreement between The Republic of Indonesia and The Republic of India for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 47 tahun 1987 tanggal 8 Desember 1987.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Italia
Tax treaty dengan negara Italia bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the gorvernment of The Italian Republic of for the avoidance of double taxation with respet to taxes on income and the prevention of fiscal evasionโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 18 Februari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1990 tanggal 9 Oktober 1990.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Jepang
Tax treaty dengan negara Jepang bernama โAgreement between The Republic of Indonesia and Japan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Tokyo pada tanggal 3 Maret 1982 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1982 tanggal 27 Oktober 1982.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain. ย
Yordania
Tax treaty dengan negara Yordania bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Hashemite Kingdom of Jordan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Amman pada tanggal 12 Nopember 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 151 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.ย
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Korea
Tax treaty dengan negara Korea Selatan bernama โAgreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Korea for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 10 Nopember 1988 dan diratifikasi pada dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1989 tanggal 8 Maret 1989.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain. ย
Kuwait
Tax treaty dengan negara Kuwait bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The State of Kuwait for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capitalโ. Tax treaty ini ditandatangani di Kuwait pada tanggal 23 April 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 152 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (8). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain. ย
Luxembourg
Tax treaty dengan negara Luxembourg bernama โAgreement between The Republic of Indonesia and The Grand Duchy of Luxembourg for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capitalโ. Tax treaty ini ditandatangani di Luxembourg pada tanggal 14 Januari 1993 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 7 tahun 1994 tanggal 17 Februari 1994.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Malaysia
Tax treaty dengan negara Malaysia bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Malaysia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 12 September 1991 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 31 tahun 1992 tanggal 26 Juni 1992.
Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).
Mauritius
Tax treaty dengan negara Mauritius bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Mauritius for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 10 Desember 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 6 tahun 1998 tanggal 12 Januari 1998.
Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).
Mongolia
Tax treaty dengan negara Mongolia bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Mongolia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Ulan Bator pada tanggal 2 Juli 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 157 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung risiko di negara lain.
Belanda
Sampai saat ini, terdapat dua tax treaty dengan negara Belanda yang telah diratifikasi. Tax treaty yang pertama bernama โAgreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of The Netherlands for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capitalโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1973 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 1 tahun 1974 tanggal 14 Januari 1974. Kemudian, tahun 1993 tax treaty ini diamandemen dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 11 tahun 1994 tanggal 24 Januari 1994.
Kedua tax treaty dengan Belanda mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5) dalam tax treaty tahun 1973 dan Pasal 5 ayat (6) dalam tax treaty tahun 1994. Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Selandia Baru
Tax treaty dengan negara Selandia Baru bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of New Zealand for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Wellington pada tanggal 23 Maret 1987 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1987 tanggal 11 Desember 1987.
Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).
Norwegia
Tax treaty dengan negara Norwegia bernama โConvention between The Republic of Indonesia and the Kingdom of Norway for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capitalโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 19 Juli 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 45 tahun 1988 tanggal 8 Nopember 1988.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Pakistan
Tax treaty dengan negara Pakistan bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Islamic Republic of Pakistan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Islamabad pada tanggal 7 Oktober 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 4 tahun 1991 tanggal 23 Januari 1991.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Filipina
Tax treaty dengan negara Filipina bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of The Philippines for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Manila pada tanggal 18 Juni 1981 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1981 tanggal 28 Oktober 1981.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Polandia
Tax treaty dengan negara Polandia bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Poland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Warsawa pada tanggal 16 Oktober 1992 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 72 tahun 1993 tanggal 4 Agustus 1993.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Rumania
Tax treaty dengan negara Rumania bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Romania for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 3 Juli 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 147 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Singapura
Tax treaty dengan negara Singapura bernama โAgreement between The Republic of Indonesia and The Republic of Singapore for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Singapura pada tanggal 8 Mei 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 60 tahun 1990 tanggal 20 Desember 1990.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Vietnam
Tax treaty dengan negara Vietnam bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Socialist Republic of Vietnam for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Hanoi pada tanggal 22 Desember 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 177 tahun 1998 tanggal 29 September 1998.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Afrika Selatan
Tax treaty dengan negara Afrika Selatan bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of South Africa for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 15 Juli 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 148 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.
Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).
Spanyol
Tax treaty dengan negara Spanyol bernama โAgreement between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Spain for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capitalโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 30 Mei 1995 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Sudan
Tax treaty dengan negara Sudan bernama โAgreement between the government of the Republic of Indonesia and the government of The Republic of The Sudan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Khartoum pada tanggal 10 Februari 1998 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 150 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Swedia
Tax treaty dengan negara Swedia bernama โConvention between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Sweden for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 28 Februari 1989 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 19 tahun 1989 tanggal 30 April 1989.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Swis
Tax treaty dengan negara Swis bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Swiss Confederation for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Bern pada tanggal 29 Agustus 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1989 tanggal 31 Agustus 1989.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (5). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Siria
Tax treaty dengan negara Siria bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Syria Arab Republic for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 27 Juni 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 176 tahun 1998 tanggal 29 September 1998.
Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).
Thailand
Tax treaty dengan negara Thailand bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Kingdom of Thailand for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and on capitalโ. Tax treaty ini ditandatangani di Bangkok pada tanggal 25 Maret 1981 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 28 tahun 1981 tanggal 7 Juli 1981.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (4). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Uni Emirat Arab
Tax treaty dengan negara Uni Emirat Arab bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the governement of The United Arab Emirates for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 30 Nopember 1995 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 156 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.
Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).
Tunisia
Tax treaty dengan negara Tunisia bernama โAgreement between the Republic of Indonesia and The Republic of Tunisia for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Denpasar tanggal 13 Maret 1992 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 19 tahun 1993 tanggal 24 Februari 1993.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (8). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Turki
Tax treaty dengan negara Turki bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government fo The Republic of Turkey for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Februari 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 160 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.
Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (4).
Ukraina
Tax treaty dengan negara Ukraina bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of Ukraine for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capitalโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 11 April 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 155 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.
Tax treaty ini tidak mengatur secara khusus tentang asuransi. Sehingga batasan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi diuji dengan dependensi agen asuransi seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (5).
Mesir
Tax treaty dengan negara Mesir bernama โAgreement the government of The Republic of Indonesia and The Arab Republic of Egypt for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Kairo pada tanggal 13 Mei 1998 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 153 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Inggris
Tax treaty dengan negara Inggris bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government fo The United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income and capitalโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 13 Maret 1974 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1975 tanggal 13 September 1975. Kemudian pada tanggal 5 April 1993 di Jakarta ditandatangani tax treaty yang kedua yang merupakan renegosiasi tax treaty yang pertama. Taxtreaty yang kedua diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 118 tahun 1993 tanggal 8 Desember 1993.
Kedua tax treaty dengan Inggris mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Amerika Serikat
Tax treaty dengan negara Amerika Serikat bernama โConvention between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of United States of Amerika for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1988 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 44 tahun 1988 tanggal 31 Oktober 1988.
Kemudian pada tanggal 24 Juli 1996 di Jakarta ditandatangani protokol amandemen tax treatyย yang pertama. Amandemen ini telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 88 tahun 1996 tanggal 20 Nopember 1996.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (7), dan tahun 1996 Pasal 5 ini tidak diamandemen. Sehingga setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Uzbekistan
Tax treaty dengan negara Uzbekistan bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Uzbekistan for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income (profits)โ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1996 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 161 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Venezuela
Tax treaty dengan negara Venezuela bernama โAgreement between the government of The Republic of Indonesia and the government of The Republic of Venezuela for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on incomeโ. Tax treaty ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 27 Februari 1997 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 158 tahun 1998 tanggal 18 September 1998.
Tax treaty ย ini mengatur secara khusus tentang asuransi dalam Pasal 5 ayat (6). Setiapย perusahaan asuransi, kecuali reasuransi, dapat di deem memiliki Bentuk Usaha Tetap jika mengumpulkan atau menerima premi dari negara lain atau menanggung resiko di negara lain.
Perantara Asuransi
Pada bagian ini, penulis membahas ketentuan perantara asuransi yang berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-undang Usaha Perasuransian.
Pengertian Asuransi
Terdapat beberapa definisi asuransi atau pertanggungan yang dapat menjelaskan pertanyaan โapa itu asuransiโ. Baik definisi yang ditulis oleh pakar tentang asuransi maupun definisi menurut undang-undang. Di bawah ini dua definisi asuransi berdasarkan definisi undang-undang :
Menurut Pasal 246 KUHD:
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992:
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Jika diperhatikan, kedua definisi hukum tersebut tidak ada pertentangan. Tetapi definisi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Perasuransian) lebih luas. Definisi UU Perasuransian mencakup asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Sedangkan definisi KUHD hanya mencakup asuransi kerugian.
Jika dilihat dari sudut tertanggung asuransi merupakan kemauan untuk menetapkan kerugian kecil atau sedikit yang sudah pasti untuk sebagai pengganti (substitusi) kerugian besar yang belum pasti. Tertanggung bersedia membayar premi dimasa sekarang agar bisa menghadapi kerugian besar yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.
Manfaat Asuransi
Banyak menfaat yang dapat dipetik oleh individu atau perusahaan dari kegiatan perasuransian, seperti perasaan aman yang diperoleh tertanggung ketika resiko-resiko yang mungkin timbul dimasa yang akan datang. Dibawah ini beberapa manfaat asuransi menurut pandangan Riegel dan Miller, sebagaimana dikutif oleh Abbas Salim :
Asuransi menyebabkan atau membuat masyarakat dan perusahaan-perusahaan berada dalam keadaan aman. Dengan membeli asuransi, para pengusaha akan menjadi tenang.
Dengan asuransi efesiensi perusahaan dapat dipertahankan. Guna menjaga kelancaran perusahaan, maka dengan asuransi resiko dapat dikurangi.
Penarikan biaya akan dilakukan seadil mungkin (the equitable assestment of cost). Ongkos-ongkos asuransi harus adil menurut besar kecilnya resiko yang dipertanggungkan.
Asuransi sebagai dasar pemberian kredit.
Asuransi merupakan alat penabung, umpamanya dalam asuransi jiwa.
Asuransi dapat dipandang sebagai suatu sumber pendapatan (earning power). Sumber pendapatan ini didasarkan kepada financing the business.
Perantara Asuransi
Hubungan antara penanggung dan tertanggung harus dituangkan dalam dokumen tertulis yang disebut polis. Hubungan tersebut harus mematuhi prinsip-prinsip asuransi yang berlaku umum. Ada lima prinsip asuransi dan satu prinsip tambahan untuk reasuransi yang disebut Follow the fortunes of the ceding company . Berikut ini keenam prinsip asuransi tersebut :
Prinsip itikad baik Penanggung dan tertanggung wajib melakukan sesuatu yang tidak bertentangan atau tidak melanggar undang-undang. Tertanggung tidak diperkenankan menyembunyikan segala data atau keterangan yang selayaknya diketahui oleh penanggung. Sebaliknya, penanggung tidak boleh menolak atau melakukan penundaan penyelesaian klaim yang menjadi tanggung jawabnya dengan berbagai dalih.
Prinsip kepentingan yang dapat dipertanggungkan Pihak tertanggung wajib membuktikan diri bahwa dialah yang mempunyai kepentingan atas objek yang dipertanggungkan pada saat terjadinya kerugian.
Prinsip Ganti Rugi (Indemnitas) Penggantian dan/atau pemulihan yang dapat dilaksanakan oleh para penanggung hanya terbatas pada kerugian sebenarnya yang dibayarkan oleh tertanggung sesuai dengan persyaratan dan ketentuan polis yang berlaku serta sah menurut hukum.
Prinsip Subrograsi Berdasarkan prinsip ini, penanggung yang telah melakukan pembayaran ganti kerugian yang sah kepada tertanggung berhak menggantikan kedudukan pihak tertangggung untuk memperoleh pemulihan dan/atau menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga yang berdasarkan hukum wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi akibat kesalahan atau kelalaian mereka.
Prinsip saling menanggung Prinsip saling menanggung (kontribusi) merupakan dasar menentukan pembagian risiko dan/atau sesi kepada pihak yang bersangkutan, termasuk pembagian beban klaim yang harus ditanggung bersama sesuai dengan saham atau penyertaannya dalam hal asuransi, ko-asuransi, dan reasuransi.
Prinsip follow the fortune of the ceding company Prinsip ini juga diartikan dengan prinsip โmengikuti suka dukanya penanggung pertamaโ, dalam arti sebagai berikut: 1). Bila penanggung pertama mengalami kerugian karena besarnya klaim yang harus dibayar, secara seimbang pihak reasuransi juga akan mengikuti hasil yang tidak menguntungkan. 2). Bila penanggung pertama mengalami keuntungan, pihak reasuransi juga akan menikmati keuntungan.
Bila penanggung pertama berhasil memperoleh hasil pemulihan (recoveries) dari pihak ketiga, reasuransi juga berhak memperoleh sebagian hasil pemulihan tersebut, seimbang dengan saham kepesertaan mereka dalam kontrak reasuransi.
Dalam hubungan hukum asuransi, penanggung menerima pengalihan risiko dari tertanggung dan tertanggung membayar sejumlah premi sebagai imbalannya . Pada prakteknya, seringkali hubungan penanggung dan tertanggung tidak langsung tetapi melalui satu perantara asuransi.
Kepentingan dan harapan tertanggung dipertemukan dengan penanggung oleh perantara sehingga perusahaan asuransi yang dipilih benar-benar penanggung yang dapat memenuhi kepentingan dan harapan tertanggung. Sering kali tertanggung sangat buta terhadap informasi asuransi dan sangat awam tentang peraturan perasuransian. Karena itu, sangat diperlukan suatu perantara yang menjembatani tertanggung dan penanggung.
Secara ilmu tatalaksana, menurut Abbas Salim, terdapat tiga bagian organisasi asuransi , yaitu kantor pusat, sistem keagenan dan sistem cabang. Sistem keagenan dan sistem cabang adalah kepanjangan tangan kantor pusat di daerah (selain kantor pusat). Perbedaan antara sistem agen dan sistem cabang adalah :
pada sistem agen, agen kepala bekerja atas dasar kontrak yang mempunyai hak dan kewajiban terhadap kantor-kantor cabang. Sedangkan pada sistem cabang, kepala cabang bekerja sebagai karyawan dan diberi gaji serta harus bertanggung jawab penuh kepada kantor pusat.
Untuk menjalankan tugas penjualan asuransi, agen kepala berhak mengangkat sub agen dan agen-agen lainnya. Mereka bekerja tidak diberi upah/gaji seperti cabang.
Dalam melakukan penjualan asuransi agen kepala ikut aktif, sedangkan pada sistem cabang kepala cabang hanya bekerja mengawasi administrasi dan penjualan asuransi tersebut.
Agen kepala penghasilannya tergantung kepada komisi, oleh sebab itu ia harus bekerja lebih giat agar penghasilannya bertambah.
Menurut Purwosutjipto, dalam bidang hukum pertanggungan terdapat empat jenis perantara :
Pertama, Agen pertanggungan, yakni ada tiga bentuk:
Agen pertanggungan bentuk pertama yaitu agen pertanggungan yang bertugas mencari langganan bagi perusahaannya. Tetapi agen ini juga bertindak untuk kepentingan calon tertanggung dan menerima amanatnya.
Agen pertanggungan bentuk kedua yaitu agen pertanggungan yang dibayar oleh perusahaan dan semacam โpekerja kelilingโ. Agen pertanggungan memiliki surat kuasa yang mengikat majikannya.
Agen pertanggungan bentuk ketiga yaitu agen pertanggungan yang berdiri sendiri, yang mempunyai hubungan tetap dengan beberapa perusahaan pertanggungan berdasarkan perjanjian keagenan. Berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga tidak memiliki surat kuasa dan hanya memberi bantuan saja.
Kedua, Agen pertanggungan bentuk ketiga yaitu agen pertanggungan yang berdiri sendiri, yang mempunyai hubungan tetap dengan beberapa perusahaan pertanggungan berdasarkan perjanjian keagenan. Berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga tidak memiliki surat kuasa dan hanya memberi bantuan saja.
Ketiga, Makelar pertanggungan. Makelar pertanggungan adalah perantara yang berdiri sendiri dan tidak ada hubungan tetap dengan satu atau beberapa perusahaan pertanggungan tertentu. Sebelum melaksanakan tugasnya, makelar pertanggungan harus mengangkat sumpah dulu dimuka hakim pengadilan negeri.
Keempat, Assurantiebezorger, yaitu perantara pertanggungan yang bertindak sebagai pemegang kuasa calon tertanggung dan mewakili perusahaan pertanggungan (di bursa Amsterdam) yang atas namanya turut menandatangani polis. Kedudukan ini di Indonesia tidak ada. Di Indonesia perantara pertanggungan ini tidak ada.
Wirjono Prodjodikoro, membedakan antara agen asuransi dan makelar asuransi. Agen asuransi yaitu seorang yang ada hubungan tetap dengan perusahaan asuransi dan yang mengadakan pembicaraan tentang asuransi itu sebagai kuasa dari perusahaan asuransi itu. Sedangkan makelar asuransi yaitu orang yang menjadi perantara dalam segala macam perdagangan, termasuk perantara dalam hal mengadakan asuransi yang diatur dalam Pasal 62 sampai dengan Pasal 73 KUHD.
Sedangkan UU Perasuransian membedakan usaha perasuransian menjadi dua, yaitu usaha asuransi dan usaha penunjang asuransi. Menurut Pasal 3 hurub b UU Perasuransian, usaha penunjang asuransi terdiri dari:
usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.
usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada objek asuransi yang dipertanggungkan.
usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultasi aktuaria.
usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.
Broker Asuransi
Terdapat tiga istilah yang sering dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu broker, makelar atau pialang. Istilah broker berasal dari bahasa Inggris tetapi sangat sering dipergunakan sehari-hari. Istilah makelar adalah istilah yang dipakai di Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Sedangkan dalam UU Perasuransian memakai istilah pialang. Karena itu, dalam tesis ini ketiga istilah tersebut digunakan dengan maksud yang sama.
KUHD mengatur makelar umum dalam Pasal 62 sampai dengan 73 KUHD, sedangkan khusus mengenai makelar pertanggungan laut diatur dalam Pasal 681 sampai dengan Pasal 685 KUHD.
Untuk menjadi makelar, orang harus diangkat oleh pemerintah dan sebelum diperbolehkan melakukan pekerjaannya, ia harus bersumpah dimuka Pengadilan Negeri, Pasal 62 KUHD.
Kemudian, Pasal 64 KUHD menyebutkan bahwa pekerjaan makelar adalah melakukan penjualan dan pembelian bagi majikannya akan barang-barang dagangan dan lainnya, kapal-kapal, andil-andil dalam dana umum dan efek-efek lainnya, obligasi-obligasi, surat wesel, surat order dan surat-surat dagang lainnya, pula untuk menyelenggarakan perdiscontoan, pertanggungan, perutangan dengan jaminan kapal dan pencarteran kapal, perutangan uang atau lainnya.
Pasal 66 KUHD mewajibkan para makelar membuat catatan dalam suatu buku tentang segala perbuatan sebagai makelar dan setiap hari semua itu ditulis dalam suatu buku harian secara teliti.
Khusus makelar asuransi laut, Pasal 681 KUHD mewajibkan :
Membuat nota penghabisan (sluitnota) selaku hasil dari perundingan dengan seorang asurador untuk pihak yang dijamin. Dalam nota ini disebutkan wujud barang yang dijamin, jumlah uang asuransi, berapa preminya dan berbagai perjanjian.
Mengisi polis sesuai dengan undang-undang dan dengan keinginan kedua belah pihak.
Mengadakan daftar polis-polis.
Memasukkan dalam daftar itu segala catatan-catatan, surat-surat pemberitahuan-pemberitahuan tentang apa saja yang bersangkutan dengan asuransi-asuransi yang diadakan dengan perantaraan makelar itu.
Apabila terjadi suatu kerugian yang harus diganti, makelar harus memberikan kepada pihak yang menjamin segala bahan-bahan untuk melaksanakan persetujuan asuransi.
Atas permintaan kedua belah pihak, memberikan turunan dari polis dan lain-lain surat kepada merekan.
Undang-Undang Perasuransian membagi perusahaan pialang menjadi dua yaitu: perusahaan pialan asuransi dan perusahaan pialang reasuransi.
Pasal 5 UU Perasuransian mengatur kegiatan usaha masing-masing sebagai berikut:
Perusahaan pialang asuransi menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi;
Perusahaan pialang reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili perusahaan asuransi dalam rangka transaksi kontrak asuransi.
Jika dilihat dari badan usahanya, usaha pialang asuransi merupakan usaha yang mandiri, artinya pialang asuransi merupakan badan hukum terpisah dari perusahaan asuransi, walaupun mungkin saja pialang asuransi tersebut merupakan anak perusahaan dari perusahaan asuransi.
Pasal 7 ayat (1) UU Perasuransian mengatur bahwa usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk :
Perusahaan Perseroan (Persero);
Koperasi;
Perseroan Terbatas;
Usaha Bersama (Mutual).
Selanjutnya, dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian mengharuskan memiliki susunan organisasi perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi sekurang-kurangnya ada fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan.
Modal disetor perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi sekurang-kurangnya Rp. 500.000.000,00. Jika perusahaan tersebut terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing, modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 3.000.000.000,00.
Ketentuan tentang modal disetor ini terdapat dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992. Tetapi dalam Peraturan Pemerinah No. 63 tahun 1999 tentang perubahan atas peraturan pemerintah no. 73 tahun 1992 tentang penyelenggaraan usaha asuransi, tidak diatur lagi jumlah modal disetor kecuali bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.
Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan reasuransi dapat membentuk modal disetor sesuai dengan kebutuhan. Menurut memori penjelasannya, penghilangan batas minimum modal disetor bagi perusahaan pialang asuransi dan pialang reasuransi dikarenakan pialang merupakan sebuah profesi, karena itu yang lebih diutamakan adalah profesionalisme dari perusahaan pialang.
Sebagai sebuah profesi, perusahaan pialang asuransi dan pialang reasuransi membentuk asosiasi yang bernama Asosiasi Broker Asuransi dan Reasuransi Indonesia atau disingkat ABAI. Asosiasi ini didirikan pada tanggal 11 Maret 1978 dan menyelenggarakan program akreditasi yang disebut CIIB atau Certified Indonesian Insurance and Reinsurance Brokers.
Seorang broker yang memiliki CIIB, dapat mengusulkan dan merencanakan seluruh program asuransi serta memberikan pilihan program asuransi yang terbaik untuk dapat disesuaikan dengan kebutuhan pembeli dan penempatan resikonya pada penanggung asuransi dan mengurus klaim dengan baik.
Berbeda dengan agen asuransi yang hanya mementingkan keuntungan penanggung, broker asuransi akan membela kepentingan tertanggung melalui konsultasi ahli dan berperan sebagai โbagian asuransiโ perusahaan tertanggung.
Broker asuransi berfungsi memilih penanggung yang aman bagi tertanggung, memilih jenis pertanggungan yang sesuai dengan kebutuhan tertanggung, melakukan negosiasi tingkat premi dengan penanggung, dan jika terjadi klaim maka mereka juga berfungsi memberikan pelayanan dan administrasi penyelesaian klaim.
Berdasar uraian diatas, pialang asuransi dan pialang reasuransi merupakan usaha yang berdiri sendiri dalam arti badan hukum tersendiri dan tidak ada usaha lain selain usaha pialang.
Pialang asuransi dan pialang reasuransi juga merupakan suatu profesi yang lebih mengutamakan profesionalisme daripada modal perusahaan. Selain itu, pialang asuransi dan pialang reasuransi merupakan perantara antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan tertanggung, calon tertanggung atau pihak lain yang memerlukan jasa asuransi dan jasa reasuransi.
Agen Asuransi
Agen asuransi merupakan bagian dari pemasaran bagi perusahaan asuransi sebagaimana broker asuransi. Keduanya sama-sama mencari calon tertanggung dan merupakan perantara antara penanggung dan tertanggung.
Perbedaan hakiki antara agen asuransi adalah agen asuransi bekerja untuk dan atas nama penanggung sedangkan broker asuransi bekerja untuk tertanggung. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari definisi agen asuransi dan pialang asuransi menurut UU Perasuransian.
Pasal 1 angka 8 UU Perasuransian, โPerusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertangung.โ
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 10 UU Perasuransian, โAgen Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.โ
Definisi tersebut dengan tegas membedakan antara pialang asuransi dengan agen asuransi. Pialang asuransi bekerja atas nama dan untuk kepentingan tertanggung sedangkan agen asuransi bekerja atas nama dan untuk kepentingan penanggung.
Agen asuransi karena bekerja untuk dan atas nama penanggung maka agen asuransi tidak beda dengan kepanjangan tangan dari penanggung. Semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan penanggung.
Agen asuransi terdapat dua macam, yaitu agen asuransi yang menjadi karyawan penanggung dan agen asuransi yang independen, dalam arti bukan karyawan penanggung.
Bagi perusahaan asuransi jiwa, agen asuransi yang independen lebih disukai karena tidak terikat dengan peraturan ketenaga-kerjaan . Tetapi keduanya sama-sama memiliki fungsi untuk membentuk product image. Untuk itu, perusahaan asuransi biasanya memberikan training kepada agen agar menjadi tenaga pemasar yang unggul.
Seperti diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992, bahwa semua tindakan agen asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi yang diageni. Walaupun agen asuransi merupakan agen yang independen, tetapi agen asuransi tetap merupakan kepanjangan tangan perusahaan asuransi karena semua tindakan agen tersebut merupakan atau mengatasnamakan tindakan perusahaan asuransi yang diageni.
Kententuan lain yang mengikat agen asuransi dengan perusahaan asuransi adalah Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan No. 226/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Perijinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi. Untuk mendapatkan ijin usaha agen asuransi, usaha agen asuransi harus memiliki bukti perjanjian keagenan dengan perusahaan asuransi yang diageni.
PPh Pasal 26 Atas Premi Asuransi Ke Luar Negeri
Pada bagian ini, penulis membagi menjadi 3 bagian, yaitu : (a) withholding tax yang menguraikan alasan dan keuntungan metode withholding disamping kerugiannya; (b) PPh Pasal 26 dan tax treaty yang membahas kewenangan memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri; (c) PPh Pasal 26 atas premi asuransi yang membahas kewajiban memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri.
Withholding Tax
Withholding merupakan metode pengumpulan pajak penghasilan pada saat pembayaran penghasilan oleh pihak lain kepada Wajib Pajak. Sebelum penghasilan diterima oleh Wajib Pajak maka penghasilan tersebut dipotong terlebih dahulu sebesar pajak yang terutang.
Pembayar penghasilan merupakan pemotong pajak. Tujuan dari withholding tax adalah memajaki (memotong pajak) penghasilan ketika penghasilan tersebut diterima. Karena itu, kadang-kadang metode ini juga dikenal dengan pay as you earn (PAYE).
Withholding merupakan bagian dari tax settlement. Ada dua pendekatan tax settlement yaitu : (a) self payment atau pembayaran angsuran bulanan oleh Wajib Pajak sendiri, dan (b) withholding system atau pelunasan pajak oleh pihak ketiga.
Dasar penghitungan self payment adalah prestasi kinerja tahun pajak yang lalu sedangkan dasar penghitungan withholding system adalah besarnya transaksi penerimaan atau perolehan penghasilan.
Pendekatan withholding tax terdapat dua macam. Pertama, pajak yang telah dipotong merupakan kredit pajak bagi pajak yang terutang pada tahun yang sama. Dengan kata lain, withholding tax merupakan pembayaran pajak dimuka yang akan dikreditkan pada akhir tahun saat penghitungan pajak terutang atas semua penghasilan yang diterima Wajib Pajak.
Pendekatan kedua, pajak yang dipotong merupakan pajak yang bersifat final dan tidak dapat dikreditkan dengan pajak terutang lainnya.
Khusus bagi negara berkembang, withholding tax sangat penting. Administrator pajak mereka akan lebih baik menegakkan hukum pajak dan merupakan solusi bagi masalah pengumpulan pajak.
Keuntungan lain dari sistem pemotongan adalah :
meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak karena pihak yang dibayar diwajibkan melaporkan penghasilan atas pajak yang telah dipotong oleh pemotong.
pajak yang terutang otomatis akan terkumpul oleh pemotong dan akan dilaporkan oleh pemotong sehingga akan teridenfikasi dari laporan pemotong.
meningkatkan keadilan pajak karena walaupun Wajib Pajak tidak melaporkan penghasilannya atau hanya sebagian penghasilan yang dilaporkan, tetapi semua pajak terutangnya telah dibayar.
mengurangi beban / membantu tugas kantor pajak untuk mengumpulkan pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
metode ini biasanya โmeringankanโ beban Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang karena Wajib Pajak membayar pajak saat penghasilan diterima.
Sedangkan kelemahan dari metode ini, dapat memberikan beban bagi Wajib Pajak karena kelebihan pemotongan. Bagi Wajib Pajak yang mengalami kerugian, pemotongan pajak merupakan beban tambahan karena seharusnya Wajib Pajak tersebut tidak membayar pajak penghasilan.
Walaupun kelebihan pajak penghasilan tersebut dapat dikembalikan, tetapi Wajib Pajak mengalami opportunity cost. Metode withholding juga akan menambah beban bagi pemotong yang seharusnya menjadi beban kantor pajak.
Selain itu, khusus pemotongan yang bersifat final akan menciptakan ketidakadilan bagi Wajib Pajak. Wajib Pajak tetap akan dipotong pajak oleh pemotong walaupun โseharusnyaโ Wajib Pajak tersebut tidak wajib membayar pajak.
Sistem perpajakan di Indonesia juga mengenal withholding tax. Ketentuan tentang withholding tax diatur dalam :
Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Untuk pemotongan PPh atas : penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya yang diatur oleh peraturan pemerintah.
Pasal 21 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh pemberi penghasilan.
Pasal 22 UU PPh. Yaitu pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan pembayaran atas penyerahan barang kepada badan pemerintah.
Pasal 23 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan harta oleh orang lain, hadiah dan penghargaan.
Pasal 24 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh di luar negeri atas penghasilan di luar negeri.
Pasal 26 UU PPh. Yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia.
PPh Pasal 26 dan tax treaty
Ada dua perlakuan PPh atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri yaitu :
penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap. Wajib Pajak luar negeri ini diperlakukan seperti Wajib Pajak dalam negeri, yaitu pemenuhan sendiri (self assessment) kewajiban perpajakannya
Wajib Pajak luar negeri lainnya. Atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap yang bersumber dari Indonesia dipotong oleh pemberi penghasilan.
Pasal 26 UU PPh mengatur pemotongan PPh oleh pemberi penghasilan bagi Wajib Pajak (penerima penghasilan) yang berstatus Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.
Withholding tax PPh Pasal 26 bersifat final sehingga tidak dapat dikreditkan oleh penerima penghasilan, kecuali :
pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dan penghasilan yang diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud;
pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap.
Salah satu penghasilan yang menjadi objek pajak PPh Pasal 26 adalah premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Ketentuan tentang hal ini diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh.
Atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.
Besarnya perkiraan penghasilan neto kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Berdasarkan keputusan menteri keuangan tersebut, besarnya perkiraan penghasilan neto sebagai berikut :
atas premi yang dibayar oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan reasuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.
Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri ditegaskan lebih lanjut dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995. Siapa pun yang membayar premi asuransi ke luar negeri wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar (tarif efektif) :
10% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan tertanggung;
2% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan asuransi;
1% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan reasuransi.
Ketentuan kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 diatas merupakan ketentuan domestik. Sebagai negera berdaulat, Indonesia dapat mengatur dan merumuskan pemajakan terhadap subjek dan objek berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Khusus untuk subjek pajak luar negeri yang menerima penghasilan (objek pajak) berupa premi asuransi dari Indonesia diatur dengan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Tetapi otoritas negara / domestik untuk mengatur perpajakan mungkin akan dibatasi oleh treaty dan agreement internasional, yaitu
Bilateral tax conventions lebih populer dengan nama tax treaty, yaitu perjanjian atau kesepakatan dibidang perpajakan antara dua pemerintah yang berdaulat yang bersifat resiprokal untuk menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda.
Menurut Kees Van Raad , walaupun hierarki antara treaty dengan undang-undang domestik tidak sama setiap negara, tetapi menurut hukum sipil di kebanyakan negara, treaty memiliki status superior daripada undang-undang domestik.
Ketentuan dalam treaty mungkin saja dikesampingkan oleh undang-undang khusus seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Ketentuan hukum nasional dapat membatalkan ketentuan treaty yang sudah ada hanya jika Kongres Amerika Serikat secara tegas mengeluarkan ketentuan yang secara khusus mengesampingkan ketentuan treaty yang sudah ada tersebut.
Timbulnya kewenangan untuk memungut pajak oleh pemerintah berasal dari undang-undang domestik bukan berasal dari tax treaty. Undang-undang domestik mengatur siapa-siapa yang dikenakan pajak, apa yang dikenakan pajak, berapa tarif pajaknya dan bagaimana prosedur pembayaran pajak tersebut. Tax treaty justru membatasi hak pemerintah untuk mengenakan pajak tertentu.
Dalam beberapa peraturan pemerintah dan keputusan menteri keuangan secara tegas disebutkan bahwa ketentuan PPh Pasal 26, khususnya tentang tarif, dikesampingkan dan berlaku ketentuan dalam tax treaty. Contoh peraturan yang secara tegas menyebutkan berlakunya tax treaty daripada ketentuan PPh Pasal 26 adalah :
Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 1991 tanggal 31 Desember 1991 tentang Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan. Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 1991 menyebutkan bahwa atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai tarif yang ditetapkan berdasarkan tax treaty yang berlaku.
Keputusan Menteri Keuangan No. 1287/KMK.04/1991 tanggal 31 Desember 1991 tentang tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan. Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 1287/KMK.04/1991 juga menyebutkan bahwa atas bunga deposito berjangka, sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai tarif yang ditetapkan berdasarkan tax treaty yang berlaku.
Dari uraian diatas terbukti bahwa ketentuan dalam undang-undang domestik โdikalahkanโ oleh ketentuan tax treaty.
Tarif dalam tax treaty selalu lebih rendah daripada tarif dalam UU PPh atau ketentuan domestik. Hal ini terkait dengan fungsi suatu tax treaty yaitu membatasi kewenangan masing-masing negara yang bersepakat. Dengan tax treaty ditentukan hak pemajakan masing-masing treaty partner.
Kedudukan tax treaty lebih superior daripada ketentuan domestik karena tax treaty lebih spesialis (lex specialis derogat lex generalis).
Walaupun demikian, tax treaty tidak menciptakan ketentuan pajak yang baru karena kewenangan / hak pemajakan sebagaimana diatur dalam tax treaty hanya akan berlaku jika ketentuan domestik mengatur.
Maksud dari tax treaty biasanya dapat dilihat dari pembukaannya, yaitu โmenghindari pemajakan berganda dan mencegah penghindaran pajakโ.
Bahkan untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, terdapat maksud lain yang tidak tertulis tetapi sebenarnya lebih penting daripada maksud yang tertulis, yaitu:
Pertama, merupakan pembagian penerimaan pajak dari penghasilan kedua negara treaty partner.
Kalau arus investasi dan bisnis seimbang antara kedua negara yang membuat tax treaty, biasanya bukan masalah besar jika masing-masing negara membatasi pemajakan di negara sumber dan menyerahkan pemajakan kepada negara domisili.
Sebaliknya, kalau arus investasi dan bisnis tidak seimbang akan berakibat pemindahan pendapatan pajak dari satu negara kepada negara lain. Biasanya keadaan tidak seimbang tersebut antara negara berkembang sebagai importir modal dan negara maju sebagai eksportir modal. Negara berkembang akan memperjuangkan hak pemajakan atas sumber penghasilan dari negaranya.
Kedua, negara-negara berkembang sekarang umumnya berusaha meningkatkan modal masuk dari negara-negara pengekspor modal.
Tax treaty dapat memfasilitasi maksud tersebut. Pembuatan tax treaty mengharuskan penerapan kaidah-kaidah internasional terutama tentang nondiscrimination, sehingga para investor yang menanamkan modalnya di negara lain akan terlindungi dengan tax treaty.
Menurut John Hutagaol, tax treaty memberikan banyak manfaat bagi Indonesia diantaranya :
kemudahan informasi melalui pertukaran informasi,
pemberian insentif pajak, dan
kepastian hukum bagi investor asing.
Berdasarkan uraian diatas, ketentuan dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh hanya dapat diterapkan terhadap Wajib Pajak luar negeri yang berdomisili di negara yang tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia.
Jika Wajib Pajak luar negeri berdomisili di negara yang telah memiliki tax treaty dengan Indonesia, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan sebagaimana diatur dalam tax treaty.
PPh Pasal 26 atas premi asuransi
PPh Pasal 26 atas premi asuransi diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh yang berbunyi,โAtas penghasilan dari โฆ premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.โ
Memori penjelasan ayat ini menyebutkan bahwa ketentuan tersebut mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia. Atas penghasilan dari premi asuransi, premi reasuransi, dipotong pajak sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.
Pasal 15 UU PPh memberikan wewenang kepada menteri keuangan untuk menentukan norma penghitungan khusus. Dasar pemberian wewenang tersebut adalah kepraktisan atau kelaziman.
Tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan norma penghitungan khusus. Hanya Wajib Pajak tertentu yang mengalami kesulitan untuk menghitung penghasilan neto sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (1) UU PPh atau Pasal 16 ayat (3) UU PPh.
Pasal 26 ayat (3) UU PPh juga memberikan kewenangan kepada menteri keuangan untuk menentukan perkiraan penghasilan neto. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana kedudukan keduanya?
Menurut penulis, keduanya mengatur sesuatu yang berbeda walaupun sama mengatur tentang penghasilan neto. Pasal 15 UU PPh mengatur tentang penghasilan neto bagi Wajib Pajak tertentu.
Penghasilan neto yang dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh adalah โtambahan kemampuan ekonomisโ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Karena itu, Pasal 15 termasuk dalam Bab III tentang objek pajak.
Sedangkan Pasal 26 UU PPh termasuk dalam Bab IV yang mengatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan. Pasal 26 UU PPh mengatur tentang salah satu cara pelunasan pajak yaitu withholding tax. Jadi Pasal 26 ayat (3) UU PPh merupakan kewenangan yang diberikan kepada menteri keuangan dalam rangka withholding tax.
Berdasarkan kuasa Pasal 26 ayat (3) UU PPh, menteri keuangan kemudian menetapkan besarnya penghasilan neto yaitu dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Besarnya perkiraan penghasilan neto berdasarkan keputusan menteri keuangan tersebut:
atas premi yang dibayar oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan reasuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.
Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri ditegaskan lebih lanjut dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995.
Dengan demikian, siapa pun yang membayar premi asuransi ke luar negeri wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar (tarif efektif) :
10% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan tertanggung;
2% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan asuransi;
1% dari jumlah premi asuransi yang dibayar jika pembayar merupakan perusahaan reasuransi.
Tetapi, pada tanggal 05 Desember 1995 direktur jenderal pajak mengeluarkan surat No. S-428/PJ.432/1995 (Surat Dirjen) yang membebaskan pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di :
Darimana kewenangan direktur jenderal pajak tersebut?
Seharusnya, direktur jenderal pajak tidak berwenang menentukan negara-negara mana saja yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 mengingat UU PPh tidak memberikan kuasa kepada direktur jenderal pajak.
Satu-satunya kewenangan yang didelegasikan oleh Pasal 26 UU PPh adalah besarnya perkiraan penghasilan neto dan diberikan kepada menteri keuangan.
Kewenangan pemotongan PPh Pasal 26 atas premi asuransi yang dikirim ke luar negeri hanya mungkin โdikalahkanโ oleh suatu tax treaty. Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 hanya dapat dikecualikan oleh tax treaty yang telah dibuat oleh Indonesia dengan negara mitra (treaty partner). Sebagaimana dikemukakan oleh Kees Van Raad bahwa tax treaty memiliki kedudukan lebih superior daripada undang-undang domestik.
Pendapat senada dikemukakan oleh R. Santoso Brotodihardjo, S.H. bahwa Indonesia mengakui โprimat hukum antar negaraโ, sehingga hukum antar negara memiliki kedudukan lebih tinggi daripada hukum nasional.
Pendapat ini didasarkan pada pernyataan Perdana Menteri RI Moh. Hatta dalam pidatonya pada tanggal 11 Agustus 1950 di Dewan Perwakilan Rakyat. Pendapat ini juga berdasarkan asas hukum modern yang termuat dalam dalil โpersetujuan mematahkan undang-undangโ.
Suatu tax treaty merupakan perjanjian antara dua negara yang merdeka dibidang perpajakan. Sebagai negara merdeka, Indonesia memiliki kewenangan untuk mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara lain termasuk dalam bidang perpajakan.
Sampai tahun 2000, terdapat 50 tax treaty yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Dari 50 tax treaty tersebut satu tax treaty tidak paripurna yaitu tax treaty dengan negara Arab Saudi sedangkan sisanya, 49 tax treaty, merupakan tax treaty paripurna.
Khusus tentang pemajakan atas premi asuransi oleh negara sumber, tax treaty yang disepakati oleh Indonesia terdapat dua macam, yaitu yang mengacu kepada OECD model dan UN model.
Tax treaty yang mengacu kepada OECD model adalah tax treaty dengan negara-negara :
Tax treaty dengan negara-negara tersebut tidak memuat aturan khusus tentang usaha asuransi. Hak pemajakan terhadap usaha asuransi disamakan dengan usaha yang lainnya, khususnya tentang usaha jasa.
Negara sumber memiliki hak pemajakan jika terdapat Bentuk Usaha Tetap di negara tersebut. Syarat adanya Bentuk Usaha Tetap menurut Pasal 5 ayat (1) tax treaty adalah adanya fixed place of business.
Rachmanto Surahmat menguraikan lebih lanjut bahwa definisi Pasal 5 ayat (1) mengandung tiga syarat, yaitu :
adanya tempat usaha berupa prasarana;
tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan
kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.
โTempat usaha tetapโ tetap tersebut contohnya adalah tempat pemasaran di Indonesia yang disewa oleh perusahaan asuransi di luar negeri untuk memasarkan produknya di Indonesia.
Tempat pemasaran bisa berupa bangunan kantor atau hanya ruangan tertentu di suatu pusat perdagangan sekalipun. Server komputer juga menurut sebagian ahli perpajakan dapat disamakan seperti halnya suatu gedung yang salah satu ruanggannya disewa untuk dipakai sebagai tempat penjualan barang-barang perusahaan luar negeri .
Jika ada perusahaan asuransi luar negeri menempatkan servernya di Indonesia maka perusahaan asuransi tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Selain itu, perusahaan asuransi luar negeri juga dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia jika memiliki agen tidak bebas di Indonesia.
Menurut OECD model (khususnya commentary on article 5 ), perusahaan asuransi dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara lain jika memiliki a fixed place of business sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) atau memiliki agen tidak bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5).
Bunyi lengkap Pasal 5 ayat (5) tersebut sebagai berikut, โNotwithstanding the provisions of paragraphs 1 and 2, where a person โ other than an agent of an independent status to whom paragraph 6 applies โ is acting on behalf of an enterprise and has, and habitually exercises, in a Contracting State an authority to conclude contracs in the name of the enterprise, that enterprise shall be deemed to have a permanent establishment in that State in respect of any activities which that person undertakes for the enterprise, unless the activities of such person are limited to those mentioned in paragraph 4 which, if exercised through a fixed place of business, would not make this fixed place of business a permanent establishment under the provisions of that paragraph.โ
Menurut Yari Yuhariprasetya , bahwa ayat ini mensyaratkan dua hal secara kumulatif, yaitu
adanya orang atau badan yang bertindak atas nama perusahaan asuransi di luar negeri; dan
adanya otorisasi dari perusahaan asuransi di luar negeri kepada orang atau badan untuk menandatangani kontrak.
Khusus tentang agen asuransi di Indonesia, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Perasuransian, โAgen Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.โ
Selain itu, Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1992 menyebutkan, โ Semua tindakan agen asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi yang diageni.โ
Artinya, agen asuransi selalu bertindak atas nama perusahaan asuransi yang diageninya dan semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan penanggung atau perusahaan asuransi.
Wawancara dengan fihak Direktorat Asuransi juga lebih menegaskan bahwa semua tindakan agen asuransi secara hukum merupakan tindakan perusahaan asuransi. Dengan demikian, syarat pertama telah terpenuhi.
Syarat kedua mengharuskan adanya otorisasi untuk menandatangani kontrak oleh agen. Tetapi bisa saja kontrak sudah ditandatangani oleh kantor pusat tetapi klien atau nasabah dicari oleh agen.
Hal ini juga berarti agen tersebut memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.
Menurut Rachmanto Surahmat , โapabila bentuk maupun format kontrak itu sudah dibuat standar dan ditandatangani oleh salah seorang dari kantor pusat, agen tersebut dapat dianggap mempunyai wewenang menandatangani kontrak, sebab ia mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan.โ
Apakah polis asuransi sudah dibuat standar? A. Hasymi Ali menyebutkan bahwa Polis Standar Kebakaran New York 1943 yang terdiri dari 165 baris menjadi pola semua proteksi asuransi.
Begitu juga Abdulkadir Muhammad, menyebutkan,โ..untuk mencegah persaingan yang tidak sehat (unfair competition) sesama perusahaan asuransi, maka diupayakan penyeragaman syarat-syarat khusus dalam polis dengan cara menciptakan polis standar, baik secara nasional maupun secara internasional.. ada tiga jenis polis yang terkenal yaitu polis maskapai, polis bursa dan polis Lloyd.
Di bagian lain, Abdulkadir Muhammad, menyebutkan, โUntuk itu, penanggung membuat polis yang bentuk dan isinya sudah dibakukan (standard policy) serta dicetak. Dalam polis dimuat syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus tertentu.
Kemudian polis tersebut disodorkan kepada tertanggung yang berminat mengadakan asuransi agar diteliti dan dipahami isinya. Apabila tertanggung setuju, penanggung akan menyelesaikan dan menandatangani polis kemudian diserahkan kepada tertanggung.
Tetapi apabila tertanggung tidak setuju, dia tidak perlu mengadakan asuransi dengan penanggung. Dalam praktik hukum kontrak bisnis, asas ini disebut take it or leave it.
Berdasarkan uraian diatas dan pengalaman penulis memeriksa terhadap perusahaan asuransi, penulis berkesimpulan bahwa polis asuransi adalah kontrak yang sudah distandarkan.
Oleh karena itu, perusahaan asuransi di luar negeri yang memperoleh penghasilan premi asuransi dari Indonesia melalui agen asuransi di Indonesia, maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia karena telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.
Berikut ini adalah tax treaty yang dibuat oleh Indonesia dengan treaty partner yang mengacu kepada OECD model :
Sedangkan tax treaty yang mengacu kepada UN model khusus untuk bentuk usaha tetap perusahaan asuransi adalah tax treaty dengan negara-negara :
Tidak seperti OECD model yang syarat bentuk usaha tetapnya disamakan dengan perusahaan jasa lainnya, UN model memiliki syarat khusus yang dimuat di Pasal 5 ayat (6) UN model yaitu :
pengumpulan atau penerimaan premi dalam wilayah negara lain; atau
menanggung resiko yang terletak di negara lain.
Pasal 5 ayat (6) UN model bunyi lengkapnya sebagai berikut, โNotwithstanding the preceding provisions of this article, an insurance enterprise of a Contracting State shall, except regard to re-insurance, be deemed to have permanent establishment in the other Contracting State if it collects premiums in the territory of that other State or insures risks situated therein through a person other than an agent of an independent status to whom paragraph 7 appliesโ.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (6) UN model tersebut, perlakuan terhadap perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi dari Indonesia atau memiliki objek asuransi yang ditanggung di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga macam, yaitu :
Perusahaan asuransi (baik perusahaan asuransi umum maupun perusahaan reasuransi) di luar negeri yang menerima premi reasuransi dari Indonesia. Perusahaan ini dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia jika menerima premi reasuransi dari Indonesia melalui agen tidak bebas atau memiliki a fixed place of business di Indonesia. Ketentuan adanya Bentuk Usaha Tetap bagi reasuransi disamakan dengan perusahaan jasa lainnya.
Perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi asuransi dari Indonesia atau menanggung resiko yang terletak di Indonesia, baik melalui agen asuransi maupun tidak, kecuali melalui broker asuransi. Selama bukan mengenai reasuransi dan penerimaan premi asuransi tersebut tidak melalui broker asuransi, maka perusahaan asuransi di luar negeri dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Perusahaan asuransi di luar negeri yang menerima premi (baik premi asuransi umum maupun reasuransi) dari Indonesia melalui broker asuransi. Perusahaan asuransi seperti ini tidak dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia karena broker asuransi merupakan usaha yang independen (bebas) sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 5 ayat (6) OECD model dan Pasal 5 ayat (7) UN model.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah terhadap pembayaran premi asuransi yang diterima oleh perusahaan asuransi di luar negeri yang dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dapat dipotong PPh Pasal 26 oleh fihak pembayar premi di Indonesia?
Hasil wawancara dengan fihak Direktorat Peraturan Perpajakan berpendapat bahwa tax treaty tidak memberikan hak withholding bagi perusahaan asuransi.
Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi disamakan dengan perusahaan jasa lain dan pemajakannya diatur dalam Pasal 5 UU PPh. Tetapi jika memang harus dipotong maka pemotongan tersebut menjadi kredit pajak bagi Bentuk Usaha Tetap tersebut dan diperhitungkan diakhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) huruf b UU PPh.
Penulis juga sependapat bahwa pemajakan Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi luar negeri disamakan dengan Bentuk Usaha Tetap perusahaan jasa lain dan mengacu kepada Pasal 5 UU PPh.
Kewajiban pemotongan terhadap pengahasilan premi asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPh tidak dapat dilaksanakan berdasarkan memori penjelasan Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) yaitu, โKetentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).โ
Berdasarkan uraian diatas, terhadap pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak di dalam negeri kepada perusahaan asuransi terdapat tiga perlakuan Pajak Penghasilan yang berbeda, yaitu :
Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di dalam negeri. Pembayaran premi ini tidak dipotong (tidak ada withholding).
Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di luar negeri yang bukan merupakan treaty partner. Pembayaran premi ini dipotong PPh Pasal 26 dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994.
Pembayaran premi asuransi oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada perusahaan asuransi di luar negeri yang merupakan treaty partner. Jika negara tujuan merupakan treaty partner maka pembayaran premi tidak dipotong PPh Pasal 26.
Catatan:
Tulisan ini disalin dari tesis saya dengan beberapa perubahan, pengurangan, dan penyesuaian. Tesis dibuat pertengahan 2002 dan mendapat persetujuan tanggal 5 Nopember 2002.
CORPORATE TAX MANAGEMENT DAN PENYUSUNAN KERTAS KERJA REKONSILIASI FISKAL SPT PPH BADAN 2023
Mengoptimalkan resiko perpajakan perusahaan dapat pembuatan SPT Tahunan, sehingga perusahaan dapat dilakukan sebelum mengantisipasi dan meminimalkan resiko perpajakan di kemudian hari. Dalam seminar kali ini kami akan mengupas tuntas bagaimana perusahaan dapat mengelola resiko tersebut, dengan membuat analisa yang dapat dilakukan seperti ekualisasi biaya, ekualisasi omset, arus piutang dan yang lainnya.
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan kita semua maka Botax Consulting Indonesia menyelenggarakan kegiatan seminar dengan tema:
CORPORATE TAX MANAGEMENT DAN PENYUSUNAN KERTAS KERJA REKONSILIASI FISKAL SPT PPH BADAN 2023
Tempat : Hotel Santika Bandung (Sabtu, 4 November 2023) Pkl 09.00 – 16.00 WIB
Tidak selamanya konsultasi dengan konsultan pajak berbayar, ada juga konsultasi pajak gratis atau free tax clinic. Cek informasi di bawah ini.
PT Botax Consulting Indonesia berkantor pusat di Bogor, (Bogor Tax disingkat Botax). Selain di Bogor, Botax juga memiliki kantor cabang di Bandung yaitu di: Lantai 6 blok C, Graha Pos, Jalan Banda 30, Bandung
Kantor cabang Bandung memberikan konsultasi pajak gratis (free tax clinics) yang bertempat di kantor Botax, Lantai 6 blok C, Graha Pos Indenesia, Bandung.
Konsultasi pajak gratis diadakan setiap hari Rabu dan Kamis, dari jam 09.00 sampai dengan jam 15.00
Bapak/ibu yang berkenan datang ke kantor Botax Bandung, silakan booking di laman Botax.
Apakah anda mendapatkan surat cinta (SP2DK, surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan) dari kantor pajak? Atau anda sedang diperiksa oleh kantor pajak dan sudah mendapatkan SPHP (surat pemberitahuan hasil pemeriksaan) dari kantor pajak? Dan masih bingung bagaimana merespon SP2DK atau SPHP? Baik dikonsultasikan dulu dengan saya, Raden Agus Suparman.
Saya memiliki pengalaman 15 sebagai fungsional pemeriksa pajak, tiga setengah tahun Kepala Seksi Perencanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Badan di Kantor Pusat Ditjen Pajak, dan 8 tahun Kepala Seksi Pengawasan yang memimpin petugas AR (Account Representative) di KPP Pratama.
Konsultasi gratis ini hanya bisa dilakukan setelah anda booking di laman botax.
P3B adalah perjanjian bilateral antara Indonesia dengan negara mitra tentang perpajakan. Kedudukan P3B diatas undang-undang. Karena itu, sebagian aturan di Undang-Undang PPh tidak berlaku, kalah dengan aturan P3B berdasarkan asas hukumlex specialis derogat legi generalis.
P3B dalam bahasa Inggrisnya tax treaty. Tax Treaty memiliki 5 tujuan, yaitu:
menghindari pajak berganda yang akan membebani dunia usaha,
meningkatkan investasi asing,
meningkatkan sumber daya manusia (SDM),
pertukaran informasi untuk mencegah pengelakan pajak (tax evasion), dan
kedudukan antar negara adalah setara.
Sekilas Sejarah Tax Treaty
Menurut Brian J. Arnold, tax treatymodel memiliki sejarah panjang, dimulai dengan perjanjian diplomatik awal abad 19. Tujuan dari perjanjian diplomatik ini adalah memastikan bahwa diplomat negara yang bekerja di negara lain tidak akan didiskriminasi. Perjanjian diplomatik ini diperluas dengan menambahkan pajak penghasilan di awal Abad ke 20.
Sementara itu, Darussalam memberikan ringkasan perkembangan tax treaty model sebagai berikut:
Setelah Perang Dunia I, ekonomi dunia meningkat pesat. Khususnya di Eropa yang saat itu menjadi pusat ekonomi dunia. Orang kaya makin banyak, sehingga banyak yang memiliki usaha di beberapa negara. Dan masing-masing negara mengenakan pajak penghasilan. Akibatnya, perusahaan besar yang usahanya antar negara dikenakan pajak 2 kali atau lebih.
Grafik ekonomi dunia dalam 2000 tahun.
Karena itu, mucul muncul P3B agar pengusaha tidak dikenakan pajak ganda. Karena waktu itu pusat ekonomi berada di Eropa, maka P3B juga pertama kalinya berada di negara-negara Eropa.
P3B itu ditujukan untuk menghilangkan pajak ganda. Tetapi aturan masing-masing P3B tidak seragam. Tentu saja karena namanya perjanjian (treaty) ada perundingan dan negosiasi. Makanya P3B itu secara umum mirip, tapi banyak coraknya.
Akibat banyak corak tersebut, maka ada orang yang memanfaatkan kelemahan (loopholes) P3B. Perusahaan besar banyak memanfaatkan P3B dengan tujuan menghindari pajak. Hal ini disebuttreaty shopping.
Treaty shopping adalah salah satu bentuk penyalahgunaan P3B, dimana seseorang bertindak melalui suatu entity di negara mitra lainnya dengan tujuan hanya untuk memanfaatkan keuntungan yang ada dalam P3B, yang sebenarnya tidak dapat dimanfaatkan oleh seseorang tersebut.
Kriteria sebuah transaksi digolongkan sebagai treaty shopping jika:
Transaksi tersebut tidak mempunyai substansi ekonomi dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
Transaksi yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
Penerima penghasilan bukan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis penghasilan (beneficial owner atau BO), khusus untuk penghasilan yang pasal dalam tax treaty-nya memuat klausul BO.
Celah P3B dan treaty shopping ini tentu saja menguntungkan perusahaan tetapi merugikan negara. Ya, negara sama sekali tidak mendapatkan pajak, baik negara sumber maupun negara domisili. Kondisi ini disebut double non taxation. Karena itu, topik otoritas pajak dunia saat ini sebenarnya lebih maju, bukan hanya P3B tetapi memerangi double non taxation melalui Global Forum.
Tata Cara Penerapan P3B
Wajib Pajak Dalam Negeri (Indonesia) yang melakukan transaksi dengan mitra bisnisnya di Luar Negeri dapat memanfaatkan aturan P3B. Aturan P3B seperti fasilitas, bisa digunakan dan bisa tidak digunakan.
Tetapi dalam hal akan menggunakan P3B, harus diperhatikan syarat-syaratnya. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka penggunaan P3B tidak berlaku. Artinya ketentuan yang berlaku kembali ke Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagai aturan domestik.
Tata cara penerapan P3B diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2018. Berdasarkan PER-25/PJ/2018, WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat memperoleh Manfaat P3B sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dengan syarat:
penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.
Syarat pertama, penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri. Tentu saja penerima penghasilan harus subjek pajak luar negeri. Jika penerima penghasilan masih subjek pajak dalam negeri maka berlaku Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Syarat kedua, bahwa penerima penghasilan merupakan penduduk negara mitra. Artinya, sudah ada P3B antara Indonesia dengan negara dimana penerima penghasilan berdomisili. Jika belum ada perjanjian dengan negara tersebut, terus P3B mana yang dapat digunakan?
Di perpajakan, bukti subjek pajak terdaftar di negara tertentu dibuktikan dengan Certificate of Residence (CoR), atau Certificate of Domicile (CoD). Certificate of Residence adalah surat keterangan dengan nama apapun yang menjelaskan status penduduk (resident) untuk kepentingan perpajakan bagi WPLN yang diterbitkan dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B. CoR seperti KTP (kartu tanda penduduk) di Indonesia.
Syarat kedua juga mengharuskan Wajib Pajak Luar Negeri mengisi form DGT :
Form DGT ini harus diisi benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani. Form DGT harus disahkan oleh Competent Authority. Competent Authority adalah pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengesahkan SKD WPLN dan/atau Certificate of Residence berdasarkan peraturan domestik di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. Tetapi, CoR berfungsi juga sebagai pengesahan form DGT oleh Competent Authority. Jadi, jika ada CoR tidak perlu lagi pengesahan form DGT.
Terakhir, jangan lupa untuk unggah form DGT ke eSKD di pajak.go.id
Lampiran SPT PPh Pasal 26 cukup dengan tanda terima dari eSKD ini.
Syarat ketiga, tidak terjadi penyalahgunaan P3B. Syarat ini mengharuskan Wajib Pajak Luar Negeri memiliki :
Substansi ekonomi yang valid,
Bentuk hukum yang sama dengan substansi ekonomi,
Manajemen mengelola usaha sendiri dan wewenangnya cukup,
Aset yang cukup sesuai dengan profil usaha,
Pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian dan keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan perusahaan; dan
Kegiatan atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia.
Serta tidak terdapat pengaturan transaksi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat dari penerapan P3B antara lain: pengurangan beban pajak; dan/atau tidak dikenakannya pajak di negara atau yurisdiksi manapun (double non taxation), yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dibentuknya P3B.
Syarat keempat, Wajib Pajak Luar Negeri yang akan menggunakan P3B tertentu merupakan Beneficial Owner (BO). Beneficial Owner adalah pemilik dan/atau penerima manfaat sebenarnya atas penghasilan.
Ciri-ciri WPLN sebagai BO yaitu :
tidak bertindak sebagai Agen, Nominee atau Conduit
mempunyai kendali atas asset,
tidak lebih dari 50% penghasilan digunakan memenuhi kewajiban kepada pihak lain,
menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban, dan
tidak mempunyai kewajiban tertulis maupun tidak tertulis meneruskan sebagian/seluruh penghasilan dari Indonesia kepada pihak lain.
Struktur P3B
P3B adalah perjanjian dua negara. Karena yang berjanji adalah negara, maka kekuatan hukumnya diatas undang-undang berdasarkan asas hukum lex specialis derogat legi generalis.
Walaupun demikian, P3B tidak menggantikan Undang-Undang PPh. P3B hanya mengurangi hak pemajakan antar negara. Contoh, tarif PPh Pasal 26 di Undang-Undang PPh sebesar 20%. Tetapi dengan P3B menjadi 10%. Maka aturan yang dipakai adalah P3B.
Sebaliknya, jika Undang-Undang PPh tidak mewajibkan pemotongan atas jenis penghasilan tertentu, sedangkan di P3B diatur tarif tertentu, maka Indonesia tidak memotong PPh atas jenis penghasilan tertentu.
Karena itu perlu dipahami, jenis-jenis penghasilan apa saja yang diatur di P3B dan jenis penghasilan apa yang diatur di Undang-Undang PPh. Berikut ini struktur pengaturan P3B berdasarkan P3B Indonesia dengan Amerika Serikat. Ini contoh saja.
Pasal 1 Personal Scope Pasal 2 Taxes Covered Pasal 3 General Definitions Pasal 4 Fiscal Residence Pasal 5 Permanent Establishment Pasal 6 Income From Immovable (Real) Property Pasal 7 Source Of Income Pasal 8 Business Profits Pasal 9 Shipping And Air Transport Pasal 10 Related Persons Pasal 11 Dividends Pasal 12 Interest Pasal 13 Royalties Pasal 14 Capital Gains Pasal 15 Independent Personal Services Pasal 16 Dependent Personal Services Pasal 17 Artistes And Athletes Pasal 18 Government Service Pasal 19 Students And Trainees Pasal 20 Teachers And Researchers Pasal 21 Private Pensions And Annuities Pasal 22 Social Security Payments Pasal 23 Relief From Double Taxation Pasal 24 Non-Discrimination Pasal 25 Mutual Agreement Procedure Pasal 26 Exchange Of Information Pasal 27 Diplomatic And Consular Officers Pasal 28 General Rules Of Taxation Pasal 29 Assistance In Collection Pasal 30 Entry Into Force Pasal 31 Termination
Contohtax treaty model 2017 dari OECD :
Tax treaty model merupakan model perjanjian atau contoh perjanjian di bidang pajak yang akan jadi acuan dua negara (bilateral) yang berunding. Tetapi contoh ini tidak mengikat, artinya masing-masing negara yang berunding bebas menggunakan model aturan yang akan diterapkan.
Negara Domisili dan Negara Sumber
Negara domisili adalah negara di mana Wajib Pajak berdomisili atau berkantor pusat. Negara sumber adalah negara asal penghasilan. Contoh, perusahaan di Indonesia membayar royalti ke perusahaan yang berkantor di negara Jepang. Artinya Indonesia sebagai negara sumber, sedangkan Jepang sebagai negara domisili.
Pada dasarnya suatu tax treaty (P3B) adalah membagi hak pemajakan dua negara yang mengadakan kesepakatan. Sebagai akibat dari pembagian hak pemajakan ini penghasilan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Pertama, jenis penghasilan yang dapat dikenakan pajak di negara sumber tanpa pembatasan. Hak pemajakan diserahkan sepenuhnya kepada negara sumber. Contoh jenis penghasilan ini:
Kedua, jenis penghasilan yang dikenakan pajak di negara sumber dengan pembatasan.
Jenis penghasilan yang tidak dikenakan pajak di negara sumber. Artinya, negara sumber melepaskan hak pemajakannya kepada negara domisili. Contoh jenis penghasilan ini:
Contoh jenis penghasilan yang dapat dikenakan pajak di negara sumber tanpa pembatasan:
penghasilan business profit yang berasal dari Bentuk Usaha Tetap (BUT).
penghasilan immovable property.
penghasilan dari independent personal services jika terdapat fixed base di negara sumber, atau telah melewati uji waktu yang ditetapkan dalam tax treaty
penghasilan yang diterima oleh karyawan perusahaan swasta (dependet personal servises).
penghasilan yang diperoleh dari kegiatan olah-ragawan dan artis atau entertainer tanpa melihat apakah penghasilan tersebut diterima oleh mereka atau orang / badan lain.
imbalan kepada para direktur yang dibayarkan oleh perusahaan yang berdomisili di negara tersebut.
Contoh jenis penghasilan yang dikenakan pajak di negara sumber dengan pembatasan adalah bunga, dividen dan royalti.
Contoh jenis penghasilan yang tidak dikenakan pajak di negara sumber yaitu:
penghasilan dari angkutan laut, darat dan udara di jalur internasional
capital gain dari property yang dimiliki oleh Bentuk Usaha Tetap dan capital gain selain berasal dari immovable property
pensiunan
business profitjika tidak memenuhi ketentuan Bentuk Usaha Tetap
penghasilan dari independent personal servicejika di negara sumber tidak ada fixed base atau tidak memenuhi time test
penghasilan yang diterima dari dependent personal service jika, syarat kumulatif, (i) si penerima penghasilan berada di negara sumber kurang dari time test; dan (ii) balas jasa tersebut dibayar oleh, atau atas nama pemberi kerja yang bukan penduduk negara sumber; dan (iii) balas jasa tersebut tidak menjadi beban dari suatu Bentuk Usaha Tetap atau tempat usaha tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja di sumber.
Active Income dan Passive Income
Selanjutnya, hal penting yang harus dipahami para pembelajar P3B adalah jenis penghasilan. Setiap pasal mengatur jenis penghasilan tertentu dengan aturan tertentu. Jenis penghasilan tertentu biasanya ditentukan negara mana yang berhak memajaki.
Tetapi untuk memudahkan, jenis-jenis penghasilan dapat digolongkan dalam 3 golongan, yaitu:
Active Income,
Passive Income, dan
Other Income.
Active income merupakan penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan pekerjaan. Umumnya (secara pasti harus cek di masing-masing P3B), active income dikenakan pajak di negara domisili. Negara sumber berhak memajaki jika terdapat Permanent Establishment.
Active income adalah penghasilan dari business profit. Selain business profit pada umumnya, termasuk dalam active income yaitu : shipping, inland waterways transport and air transport, independent personal services, dependent personal services, directors, entertainer and sport person, government services, dan student.
Passive income merupakan penghasilan yang berasal dari harta, baik harta berwujud maupun tidak berwujud. Umumnya, passive income dikenakan pajak di negara domisili dan negara sumber.
Tarifnya sudah ditentukan di P3B. Karena itu biasa disediakan tabel tarif pemotongan di negara sumber. Termasuk passive income yaitu penghasilan dari immovable property, divident, interest, royalty, capital gains, pensions.
Other income yaitu penghasilan yang tidak termasuk di dua golongan diatas.
Contoh tabel tarif pemotongan di negara sumber untu jenis penghasialn dividen, bunga, dan royalti:
Shall be Taxable Only dan May be Taxed
Pembagian hak pemajakan di P3B bisa juga dilihat dari kata-kata yang digunakan di setiap pasal P3B. Ya, karena pada dasarnya perjanjian dimulai dengan negosiasi, sebelum ditanda tangani. Saat negosiasi, disepakati kata-kata (terminologi) mana yang akan dipakai.
Terminologi shall be taxable only untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan hanya diberikan kepada negara domisili. Artinya, negara sumber tidak memiliki hak untuk memajaki berdasarkan P3B. Walaupun demikian, bisa jadi ada pengecualian dengan syarat tertentu.
Terminologi may be taxed digunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas penghasilan tersebut diberikan kepada negara domisili dan negara sumber.
Darussalam memberikan ringkasan pasal-pasal yang menggunakan terminologi shall be taxable only dan may be taxed. Berikut salinannya.
Jenis-jenis penghasilan yang biasanya menggunakan terminologi shall be taxable only :
Jenis-jenis penghasilan yang biasanya negara domisili memiliki hak pemajakan (menggunakan terminologi may be taxed) :
Permanent Establishment
Permanent Establishment (PE) dalam P3B diartikan sebagai hak pemajakan negara sumber. Beberapa pasal P3B mensyaratkan terpenuhinya P3B agar negara sumber dapat mengenakan pajak penghasilan.
For the purposes of this Convention, the term โpermanent establishmentโ means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on
Pasal 5 ayat (1) OECD model 2017
Kata kunci PE adalah fixed placeof business. Menurut Rachmanto Surahmat, PE memiliki tiga syarat, yaitu:
adanya tempat usaha berupa prasaran, seperti gedung atau dalam hal-hal tertentu mesin dan peralatan,
tempat usaha ini harus bersifat tetap, dan
kegiatan usaha dilakukan melalui tempat tetap ini.
Istilah place of business mencakup setiap tempat, fasilitas atau instalasi yang digunakan untuk menjalankan bisnis perusahaan baik digunakan secara eksklusif untuk tujuan itu maupun tidak. Tidaklah penting apakah tempat, fasilitas atau instalasi dimiliki atau disewa oleh perusahaan.
Cakupan Pasal BUT di P3B
Istilah through which harus diberi arti yang luas agar dapat diterapkan pada setiap kegiatan bisnis dilakukan di lokasi tertentu yang dapat digunakan oleh perusahaan. Jadi, misalnya, suatu badan usaha yang bergerak di bidang pengaspalan jalan akan dianggap menjalankan usahanya melalui lokasi tempat kegiatan tersebut berlangsung.
Fixed secara umum diartikan tetap di titik geografis tertentu. Contoh yang paling mudah seperti kantor, gudang, dan tambang. Tetapi untuk peralatan, fixed juga diartikan jika berada di tempat tertentu. Tidak harus menancap ke bumi.
Keberadaan Wajib Pajak Luar Negeri tidak harus memiliki kantor. Orang yang disuruh atau menerima perintah dari perusahaan di Luar Negeri baik berstatus pegawai maupun agen tidak bebas (dependent agent) dapat dalam pengertian PE. Mungkin orang ini tinggal di hotel dan bekerja di mitra bisnisnya. Keberadaan orang ini biasanya akan diuji dengan time test.
A building site or construction or installation project constitutes a permanent stablishment only if it lasts more than twelve months.
Pasal 5 ayat (3) OECD model 2017
Proyek konstruksi dan jasa teknis biasanya harus lulus time test agar bisa disebut PE. Di OECD model 2017 diatas time test minimal 12 bulan. Ini karena OECD lebih banyak merepresentasikan negara maju yang biasanya tempat negara domisili.
Sebaliknya bagi negara berkembang, time test yang dikehendaki justru lebih pendek. Semakin singkat time test berarti kesempatan untuk mengenakan pajak atas kegiatan tersebut semakain besar.
Sebagai contoh : dalam hal konstruksi, negara berkembang cenderung untuk tidak menerapkan tes waktu sama sekali dengan alasan : proyek konstuksi, instalasi, dan perakitan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat; masa hadirnya personel dari perusahaan asing tersebut tidak relevan dengan penyelesaian proyek.
Berikut daftar time test berdasarkan P3B Indonesia dengan negara mitra yang saya salin dari aplikasi TKB :
Perhitungan time test konstruksi dimulai pada saat kontraktor mempersiapkan dan memulai pekerjaannya di negara tempat dilakukannya pembangunan. Termasuk pekerjaan persiapan yaitu mendirikan bangunan untuk keperluan perencanaan.
Proyek tersebut dianggap terus berlangsung sampai pekerjaan selesai atau ditinggalkan untuk seterusnya. Proyek tidak dianggpa berhenti ketika pekerjaan tersebut diberhentikan sementara. Penghentian sementara bisa disebabkan oleh kurangnya bahan bangunan, kesulitan buruh, atau cuaca yang tidak mendukung.
Apabilan kontraktor luar negeri membagi proyek dengan subkontraktor dalam negeri, maka penghitungan time test meliputi semua pekerjaan dengan subkontraktor. Tetapi jika subkontraktor berasal dari luar negeri, maka subkontraktor dapat dianggap mempunyai PE jika kegiatan subkontraktor melewati time test.
Jika kontraktor luar negeri memiliki beberapa proyek di Indonesia, maka penghitungan time test harus dihitung proyek per proyek. Penghitungan waktunya harus terpisah antara proyek A dengan proyek B, dan seterusnya.
Pasal 5 ayat (4) OECD model mengatur pengecualian PE dalam P3B. Pengecualian ini banyak dimanfaatkan oleh Wajib Pajak untuk penghindaran pajak. Kantor pusat di luar negeri mendesaian kantor cabang di Indonesia supaya masuk kriteria pengecualian ini sehingga tidak memiliki PE.
Namun demikian, harus diperhatikan istilah semata-mata atau solely for the purpose. Sebagai contoh, “the use of facilities solely for the purpose of storage, display or delivery of goods or merchandise belonging to the enterprise“. Wajib Pajak mengatakan bahwa kantor di Indonesia hanya untuk display atau contoh. Bukan stok untuk jualan. Padahal, selain display, kantor tersebut juga memiliki fungsi sebagai marketing. Sehingga bukan solely for purpose of display.
Kata kunci pengecualian PE di Pasal 5 adalah kegiatan yang bersifatpreparatoryor auxiliary. Belum ada penjualan, atau tidak menghasilkan. Karena bersifat persiapan, maka sulit untuk mengalokasikan keuntungan apapun ke PE.
Kuncinya, seberapa penting kegiatan di negara sumber. Contoh adanya PE di Indonesia tanpa ada penjualan di Indonesia. Contoh ini modifikasi dari contoh di paragrap 68 Commentary OECD model :
RCO perusahaan di Singapura mendirikan kantor pembelian di Indonesia. RCO membeli produk pertanian di Indonesia. Karyawan RCO di Indonesia punyak keahlian tentang produk pertanian yang sesuai dengan standar internasional. Dan melakukan kontrak pembelian. Meskipun satu-satunya aktivitas yang dilakukan RCO di Indonesia hanya pembelian, tetapi kantor tersebut merupakan PE karena fungsi pembelian merupakan suatu hal yang esensial dan bagian penting dari keseluruhan aktivitas RCO.
Jadi, kegiatan kantor perusahaan asing di Indonesia dapat ditetapkan sebagai PE di Indonesia jika terdapat kegiatan yang melampaui preparatoryor auxiliary.
Pasal 5 ayat (5) dan ayat (6) OECD Model 2017
Contoh yang diberikan di SE-52/PJ/2021 sebagai berikut:
ABC Ltd. memiliki pengurusan suatu tempat usaha di Indonesia yang digunakan untuk melakukan administrasi pengiklanan atas barang hasil produksinya. Jika tempat usaha tetap ini digunakan semata-mata untuk tujuan administrasi pengiklanan barang hasil produksinya sendiri, maka tempat usaha tetap ini tidak dianggap sebagai suatu BUT. Namun, jika tempat usaha tetap ini selain melakukan administrasi pengiklanan barangnya sendiri juga melakukan administrasi pengiklanan untuk barang atau jasa milik perusahaan lain, maka tempat usaha tetap ini dianggap merupakan BUT bagi ABC Ltd
ABC Ltd. yang bergerak di bidang penjualan secara daring (online) memiliki gudang yang berukuran besar di Indonesia dan mempekerjakan pegawai dalam jumlah besar untuk mengurusi penyimpanan barang di gudang tersebut. Kegiatan penyimpanan ini tidak dapat dianggap sebagai kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang dikarenakan kegiatan tersebut merupakan bagian yang esensial dan signifikan dari kegiatan perusahaan tersebut secara keseluruhan.
ABC Ltd. memiliki tempat usaha tetap di Indonesia yang digunakan untuk melakukan pembelian komoditas hasil pertanian berupa tembakau untuk kemudian dijual ke negara lain. ABC Ltd. mempekerjakan beberapa pegawai yang memiliki pengalaman dan pengetahuan akan kualitas dan kelas (grade) tembakau sesuai dengan standar dan permintaan pasar internasional. Para pegawai ini juga menyelesaikan proses transaksi dengan petani atau pedagang pengumpul di Indonesia. Dalam hal ini, kegiatan pembelian yang dilakukan oleh ABC Ltd. melalui tempat usaha tetap di Indonesia tidak termasuk dalam kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang karena merupakan bagian dari kegiatan esensial dan signifikan bagi ABC Ltd. secara keseluruhan.
Suatu perusahaan harus diperlakukan memiliki PE di suatu Negara jika dalam kondisi tertentu terdapat seseorang yang bertindak untuknya, walaupun perusahaan tersebut mungkin tidak memiliki kantor di Negara itu. Hal ini disebut BUT keagenan.
PE agen adalah PE yang dilakukan oleh agen tidak bebas. Agen terdapat dua jenis, yaitu agen bebas dan agen tidak bebas. Syarat seseorang dapat disebut agen tidak bebas:
seseorang bertindak di suatu Negara pihak pada Persetujuan atas nama (on behalf) suatu perusahaan;
dalam melakukannya, orang tersebut biasanya membuat kontrak, atau biasa memainkan peran utama yang mengarah pada penyelesaian kontrak, dan
kontrak-kontrak tersebut atas nama perusahaan atau untuk pengalihan kepemilikan, atau untuk pemberian hak untuk menggunakan.
Dalam bahasa lain, dalam buku Pajak Internasional, DJP menyebut syarat agen tidak bebas yang dapat dikenai PE yaitu:
Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.
Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara.
Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.
Dulu, Prof. R. Mansyuri pernah menyebutkan bahwa agen bebas itu seperti komisioner di Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Setelah saya cek, komisioner diatur di Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Bunyinya seperti ini:
Komisioner adalah orang yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri atau firmanya, dan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas order dan atas beban pihak lain
agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai oleh prinsipal yang menunjuknya.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006
Agen bebas (independen) biasanya akan bertanggung jawab kepada prinsipal atas hasil pekerjaannya. Dia tidak akan tunduk pada instruksi rinci dari prinsipal mengenai pelaksanaan pekerjaan.
Suatu Orang yang bertindak sebagai agen hanya dapat dianggap independen jika:
agen tersebut independen terhadap perusahaan yang diwakilinya secara hukum dan ekonomis,
agen tersebut bertindak dalam rangka menjalankan usaha rutinnya sendiri ketika bertindak atau melaksanakan kegiatan atas nama perusahaan.
Suatu agen dianggap tidak independen secara hukum jika ia bertindak berdasarkan instruksi detil dari suatu perusahaan sehubungan dengan kegiatan usahanya atau dikendalikan secara komprehensif oleh suatu perusahaan.
Suatu agen dianggap tidak independen secara ekonomis jika:
agen tersebut tidak menanggung risiko usaha atau menanggung risiko yang tidak signifikan atas kegiatan usahanya;
kegiatan agen tersebut dilakukan sepenuhnya atau hampir sepenuhnya untuk satu perusahaan; atau
agen tersebut bertindak atau melaksanakan kegiatan untuk satu perusahaan dan dengan demikian hanya mempunyai satu sumber penghasilan.
Teorinya, perusahaan dapat dikenai PE karena 4 sebab, yaitu : aset (fixed place of business), aktivitas (konstruksi, perakitan, instalasi, aktivitas supervisi, dan kegiatan jasa), agentidak bebas, dan asuransi.
OECD model menyerahkan PE asuransi berdasarkan Pasal 5 terutama terkait agen tidak bebas. Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan PE bagi usaha asuransi.
Menurut UN model, bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai PE apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang agen tidak bebas.
P3B Indonesia yang mengatur khusus asuransi diantaranya P3B Indonesia dengan : Aljazair, Amerika Serikat, Austria, Belanda, Brunei Darussalam, Ceko, Denmark, Filipina, Finlandia, Hongaria, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Utara, Korea Selatan, Kuwait, Luxembourg, Maroko, Mesir, Meksiko, Mongolia, Norwegia, Pakistan, Perancis, Polandia, Romania, Rusia, Singapura, Spanyol, Sri Lanka, Sudan, Suriname, Swedia, Swiss, Thailand, Tiongkok (China), Tunisia, Uzbekistan, Venezuela, Vietnam, Yordania.
Terakhir, Prof RMansyuri memberikan kesimpulan tentang PE sebagai berikut:
kriteria umum : tempat tetap;
contoh-contoh tempat tetap yang merupakan BUT seperti cabang, kantor, pabrik, tambang, dan lain-lain;
perluasan pengertian BUT kepada tempat pembangunan gedung dan kegiatan usaha lainnya yang melampaui time test;
warehouse yang juga dipakai untuk menyerahkan barang atau barang dagangan dalam memenuhi penjualan di negara sumber dianggap BUT;
hanya agen tidak bebas yang dianggap BUT;
agen perusahaan asuransi di negara sumber dapat dianggap BUT jika agen tersebut mengutip premi di nengara sumber atau menanggung resiko yang terletak di negara sumber dan agen tersebut merupakan agen tidak bebas;
agen bebas tidak dapat dijadikan dasar adanya BUT;
pengusaan perseroan oleh perseroan lainnya tidak dapat dipakai sebagai dasar adanya BUT.
Berikut video penjelasan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang diunduh dari KLC BPPK Kementerian Keuangan. Karena tidak bisa “disematkan”, akhirnya saya unduh dari KLC dan unggah di sini:
Income From Immovable Property
Income from immovable property di OECD model diatur di Pasal 6. Pasal ini mengatur pemajakan atas penghasilan yang berasal dari aset tidak bergerak.
Income derived by a resident of a Contracting State from immovable property (including income from agriculture or forestry) situated in the other Contracting State may be taxed in that other State
Pasal 6 ayat (1) OECD Model 2017
Menurut DJP, seluruh tax treaty yang disepakati Indonesia memberikan hak pemajakan atas penghasilan dari immovable property kepada negara di mana immovable property tersebut berada (where the immovable property situated). Khusus perjanjian dengan Kuwait, hak pemajakan di negara di mana immovable property berada, dikurangi 50%.
Cakupan Pasal 6 Penghasilan dari Harta Tak Bergerak di P3B
Electronic Commerce
OECD model 2017 masih merekomendasikan bahwa pengenaan transaksi e-Commerce dilakukan di mana server berada. Server tempat situs web disimpan dan yang melaluinya dapat diakses adalah sebuah peralatan yang memiliki lokasi fisik dan lokasi tersebut dengan demikian dapat menjadi PE dari perusahaan yang mengoperasikan server tersebut.
Jika suatu perusahaan mengoperasikan peralatan komputer di lokasi tertentu, suatu PE mungkin ada meskipun tidak ada personel dari perusahaan tersebut yang diperlukan di lokasi tersebut untuk pengoperasian peralatan tersebut. Keberadaan personel tidak diperlukan. Kesimpulan ini berlaku untuk perdagangan elektronik.
Karena itu, di Perpu No 1 tahun 2020 Indonesia membuat pajak jenis baru. Namanya Pajak Transaksi Elektronik (PTE). Subjek Pajak Luar Negeri yang memanfaatkan P3B Indonesia sehingga tidak dapat dikenai Pajak Penghasikan, maka Indonesia mengenakan pajak transaksi elektronik.
Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik
Namun, pengenaan PTE masih menunggu kesepakatan Global Forum. Global Forum berencana mengenakan PPh atas transaksi e-Commerce berdasarkan pillar one atau pillar two. Rencana semula akan disepakati akhir tahun 2020. Ternyata digeser ke pertengahan tahun 2022.
PwC telah merangkum blueprint pillar one dan pillar two. Berikut rangkumannya:
The Blueprints menunjukkan bahwa kemajuan teknis telah dicapai dalam menyetujui arsitektur perantara dari rencana tersebut.
Elemen signifikan dari kedua kerangka kerja Pilar masih harus diselesaikan, seperti cakupan Jumlah dan tarif realokasi berdasarkan Pilar Satu, dan tarif pajak minimum dan ‘daftar putih’ dari rezim yang dianggap patuh berdasarkan Pilar Dua.
Analisis dampak ekonomi yang diperbarui menyatakan bahwa laba yang dialokasikan kembali ke yurisdiksi pasar dapat mencapai hingga USD 100 miliar setiap tahun di bawah Pilar Satu, dan pendapatan baru yang diperoleh di bawah Pilar Dua bisa berada pada kisaran USD 60-100 miliar per tahun.
Posisi AS dalam negosiasi tetap tidak pasti.
Mengutip dari laman Pertapsi, Unified Approach (Pillar one) merupakan usulan solusi yang berupaya menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital. Hal tersebut dilakukan melalui perombakan sistem pajak internasional yang tidak lagi berbasis kehadiran fisik.
Pillar One menawarkan hak pemajakan baru dengan memperkenalkan pembaruan terhadap alokasi profit dan konsep nexus baru. Perusahaan multinasional (MNE) yang memiliki peredaran bruto global di atas โฌ20 miliar dan profitabilitas di atas 10% masuk dalam ruang lingkup ini. Alokasi hak hemajakan diberikan kepada yurisdiksi pasar ketika MNE memiliki peredaran bruto lebih atau sama dengan โฌ1 juta dari yurisdiksi pasar terkait. Nilai yang dialokasikan adalah sejumlah 25% dari residual profit (laba yang melebihi 10% dari penghasilan).
Sedangkan Pillar Two yang juga dikenal sebagai “Global Minimum Tax, merupakan usulan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum secara global untuk melindungi basis pajak. Pilar Two ini terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global anti-Base Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR).
Pillar Two bertujuan untuk menegakkan pajak penghasilan perusahaan minimum global dengan tingkat efektif sebesar 15%, dihitung berdasarkan masing-masing yurisdiksi. Ini akan berlaku untuk perusahaan multinasional (MNE) yang memenuhi ambang batas EUR 750 juta yang ditentukan berdasarkan peraturan Country-by-Country, tetapi ambang batas yang lebih rendah dapat diterapkan atas kebijakan negara-negara pelaksana.
Pillar Two terdiri dari sejumlah tindakan yang memberikan hak untuk memungut pajak kepada yurisdiksi induk grup utama dan yurisdiksi entitas yang melakukan pembayaran antargrup ke perusahaan-perusahaan grup dengan tarif pajak rendah atau yurisdiksi yang mendukungnya.
Business Profits
Profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits that are attributable to the permanent establishment in accordance with the provisions of paragraph 2 may be taxed in that other State.
Pasal 7 ayat (1) OECD Model 2017
Pasal ini mengalokasikan hak-hak pemajakan sehubungan dengan laba usaha suatu perusahaan dari suatu Negara. Penghasilan usaha dari suatu perusahaan hanya akan dikenakan di negara domisili. Negara sumber memiliki hak mengenakan pajak hanya sebatas penghasilan PE di negara sumber.
Cakupan Pasal 7 Penghasilan dari Usaha
Penghasilan yang dikenakan di negara sumber pada dasarnya ada 2 jenis penghasilan, yaitu:
attribution principel, dan
force of attraction principle.
Attribution principle merupakan penghasilan PE yang berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh PE saja. Atau penghasilan yang didapat melalui PE tersebut. Prinsip atribusi ini diatur juga di Pasal 5 (1) huruf a Undang-Undang PPh.
Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
Pasal 5 (1) huruf a Undang-Undang PPh.
Force of attraction principle merupakan penghasilan PE yang berasal dari penghasilan kantor pusat tetapi penghasilan tersebut terkait dengan penghasilan PE. Atau Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis atau sama dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh PE di Indonesia.
Jadi kunci force of attraction principle adalah sama atau jenis, antara PE di negara sumber dengan pusat di negara domisili. Baik barang, kegiatan, atau jasa yang dilakan.
Menurut Rachmanto Surahmat, biasanya ada kompromi di force of attraction seperti di P3B dengan Jerman. Kompromi yang dimaksud adanya syarat pengenaan force of attraction, yaitu:
transaksi tersebut sengaja dialihkan dari PE dengan tujuan untuk mengindarkan pajak di negara sumber, dan
PE yang bersangkuta ikut campur tangan dalam transaksi tersebut.
Selain force of attraction, satu lagi istilah dalam PE yaitu effectively connected. Tentang hal ini, saya kutip penjelasan dari Undang-Undang PPh (cetak miring di bawah ini):
Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y.
Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.
Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.
Berikut ringkasan P3B Indonesia dengan negara mitra terkait Business Profits:
Branch Profit Tax
Branch Profit Tax adalah pajak yang dikenakan atas laba bersih setelah pajak BUT (PE). Branch profit tax (BTP) setara dengan pemajakan atas penghasilan dividen. Negara sumber mengenakan pajak atas dividen yang diterima perusahaan induk di luar negeri.
withholding tax atas dividen versus branch profit tax BUT
Indonesia menganut pemajakan atas laba bersih BUT. Kebanyakan P3B Indonesia dengan negara mitra mencantumkan klausul tetang BTP. Ketentuan BTP biasanya ada di pasal dividen. Contoh P3B Indonesia dengan United Arab Emirate:
Notwithstanding any other provisions of this Agreement, where a company which is a resident of a Contracting State has a permanent establishment in the other Contracting State, the profits of the permanent establishment may be subjected to an additional tax in that other State in accordance with its law, but the additional tax so charged shall not exceed 5% (five percent) of the amount of such profits after deducting therefrom income tax and other taxes on income imposed thereon in that other State
Pasal 10 ayat (7) P3B Indonesia – UAE
Berikut daftar tarif Branch Profit Tax berdasarkan P3B Indonesia dengan negara mitra:
International Shipping And Air Transport
Pada umumnya, pengenaan pajak atas transaksi pelayaran dan penerbangan internasional berada di negara domisili.
Profits of an enterprise of a Contracting State from the operation of ships or aircraft in international traffic shall be taxable only in that State.
Pasal 8 ayat (1) OECD Model 2017
Tidak diberikannya hak pemajakan kepada negara sumber didasari pemikian bahwa laba dari perusahaaan yang menjalankan kegiatan pelayaran atau penerbangan diperoleh di laut lepas atau di udara sehingga pemberian hak pemajakan kepada neara sumber dapat menimbulkan pajak berganda atau dapat menimbulkan kesultan dalam pengalokasian laba.
Tetapi dalam penerapannya, beberapa P3B memberikan hak pemajakan atas perusahaan pelayaran internasional ke negara sumber dengan ketentuan khusus. Seperti, pemotongan 50% pajak.
Profits from sources within a Contracting State derived by an enterprise of the other Contracting State from the operation of ships in international traffic may be taxed in the first-mentioned State, but the tax imposed shall be reduced by an amount equal to 50% there of.
Pasal 8 ayat (1) P3B Indonesia dengan Austria
Cakupan moda transportasi adalah kapal (ship, dan boat) atau pesawat (aircraft). Perbedaan penggunaan moda transportasi tidak berdasarkan bentuk legalnya. Namun lebih kepada kebiasaan penggunaan istilah.
Berikut ketentuan P3B untuk penerbangan internasional dan pelayaran internasional:
Dividends, Interest, Royalties
Di tax treaty OECD model, pengaturan dividen di Pasal 10, bunga di Pasal 11, dan Royalti di Pasal 12. Saya menggabungkan dalam satu subjudul karena banyak kesamaan, seperti hak pemajakan di negara sumber (Indonesia lebih banyak sebagai negara sumber) dibatasi tarifnya.
Pasal 10, 11, dan 12 P3B
Dividen adalah pembagian keuntungan kepada pemegang saham perseroan yang modalnya terbagi atas saham. Apapun bentuk usahanya, jika modalnya terbagi atas saham dan terdapat pembagian keuntungan maka keuntungan tersebut disebut dividen.
Apabila perseoran terbatas (WPDN Indonesia) membagikan dividen kepada Wajib Pajak luar negeri (bisa Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan) yang memiliki tax treaty dengan Indonesia, maka baik Indonesia maupun negara lain treaty partner tersebut sama-sama memiliki hak memajaki.
Contoh pembayaran dividen ke Luar Negeri:
PT ABC, yang merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) di Indonesia, membayarkan dividen kepada XYZ Ltd yang merupakan SPDN Negara Mitra P3B. Berdasarkan Pasal 10 P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra tersebut, atas penghasilan berupa dividen tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia.
Istilah โpaid’ atau โdibayarkanโ yang digunakan memiliki arti yang luas, yaitu bahwa pembayaran merupakan pemenuhan kewajiban untuk menempatkan sejumlah dana atau uang untuk pemegang saham berdasarkan tata cara yang telah disepakati dalam kontrak atau cara yang umum.
Istilah ini tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan saat terutang suatu pajak atas penghasilan berupa dividen. Ketentuan mengenai saat suatu penghasilan terutang pajak sepenuhnya tergantung kepada peraturan perundang-undangan domestik masing-masing Negara Pihak dalam Persetujuan.
Bunga adalah penghasilan karena jaminan pengembalian pinjaman. Seperti dividen, penghasilan bunga lazimnya dikenai pada sumbernya dengan cara dipotong (withholding tax).
Definisi bunga umumnya merujuk pada penghasilan yang berasal dari klaim utang dalam bentuk apapun, baik yang dijamin dengan hipotik atau tidak, dan baik yang berhak atas bagian laba debitur atau tidak. Termasuk dalam definisi bunga, yaitu penghasilan dari simpanan atau surat berharga dalam bentuk kas, surat berharga, obligasi atau surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah.
Bunga atas obligasi dengan hak partisipasi (participating bonds) umumnya tidak dianggap sebagai dividen dikarenakan karakter utama dari obligasi jenis ini adalah pemberian pinjaman yang diberikan imbalan dalam bentuk bunga.
Bunga atas obligasi konversi (convertible bonds) juga tidak dapat dianggap sebagai dividen sampai obligasi tersebut benar-benar dikonversi menjadi saham. Namun demikian, bunga obligasi dapat dianggap sebagai dividen jika pinjaman tersebut turut menanggung risiko yang dimiliki oleh debitur.
Pengertian bunga juga mencakup premium (premium) dan diskonto (discount) atau selisih antara jumlah yang dibayar oleh pemesan dengan nilai nominal atau nilai jatuh tempo suatu surat berharga utang
Dalam beberapa P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra, terdapat pembayaran bunga yang dibebaskan dari pemajakan di Negara Sumber, antara lain:
bunga yang dibayarkan kepada pemerintah atau institusi pemerintah;
bunga yang dijamin oleh pemerintah atau institusi pemerintah; dan
bunga yang dibayarkan kepada bank sentral; Daftar institusi milik pemerintah dan bank sentral yang dibebaskan dari pengenaan pajak tersebut dapat berubah sesuai kesepakatan kedua Negara Pihak dalam Persetujuan dari waktu ke waktu.
Namun, perlakuan atas bunga dapat berubah dari passive income menjadi business income apabila yang menerima bunga tersebut melakukan kegiatan usaha di negara sumber melalui suatu bentuk usaha tetap, dan bunga itu mempunya hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap tersebut.
Imbalan dalam bentuk royalti adalah pemberian hak untuk menggunakan suatu intelektual property, atau saya sering menyebut hak atas kekayaan intelektual (HAKI), yaitu pemilik harta tidak berwujud itu tidak perlu ikut campur tangan atas pemakaian hak tersebut.
Frasa “tidak perlu ikut campur tangan” merupakan pembeda antara royalti dengan jasa teknik. Jasa teknik, atau technical assistance, merupakan pemberian jasa. Sebagaimana jasa pada umumnya, jasa teknik memiliki tanggung jawab atas pemberian jasa tersebut.
Royalti adalah pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan, atau hak untuk menggunakan, setiap hak cipta atas kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah termasuk film bioskop atau film atau rekaman yang digunakan untuk siaran radio atau televisi, setiap hak paten, merk dagang, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, maupun penggunaan, atau hak untuk menggunakan peralatan Industri, komersial atau ilmu pengetahuan, atau untuk informasi mengenai pengalaman dl bidang industri, komersial atau ilmu pengetahuan.
Istilah royalti juga meliputi pembayaran yang dilakukan berdasarkan lisensi maupun pembayaran yang wajib dilakukan oleh suatu pihak karena memperbanyak suatu barang secara tidak sah atau melakukan pelanggaran hak cipta.
Mayoritas P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra mengatur bahwa imbalan atas penggunaan atau hak untuk menggunakan peralatan industri, komersial, atau ilmu pengetahuan termasuk dalam pengertian royalti.
Untuk tujuan pengelompokan sebagai royalti, pembayaran yang diterima sebagai imbalan untuk informasi terkait pengalaman di bidang industri, komersial, atau ilmu pengetahuan, yang belum dipatenkan dan tidak masuk dalam kategori hak kekayaan intelektual lainnya, ayat 3 merujuk pada konsep โknow-how”.
Kontrak know-how merupakan kontrak di mana salah satu pihak setuju untuk memberikan informasi kepada pihak lain sehingga pihak lain tersebut dapat menggunakan pengetahuan khusus atau pengalaman pihak pertama yang tidak diketahui umum (unrevealed to the public) untuk kepentingannya sendiri.
Kontrak pemberian know-how tersebut berbeda dengan kontrak penyerahan jasa, di mana salah satu pihak menggunakan keahlian tertentu yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan bagi pihak lainnya.
Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk membedakan kedua kontrak tersebut, antara lain: dalam kontrak penyerahan know-how, satu pihak memberikan informasi yang harus dirahasiakan kepada pihak lain. Dalam kontrak penyerahan jasa, satu pihak menggunakan pengetahuan atau keterampilan yang dimilikinya tanpa mentransfernya kepada pihak lain. Biasanya, dalam kontrak penyerahan know-how, pihak yang memberikan informasi tidak terlibat dalam kegiatan lain selain pemberian informasi. Sedangkan dalam kontrak penyerahan jasa, pihak yang memberikan jasa dapat memiliki keterlibatan lain selain pemberian informasi, seperti melakukan penelitian, desain, pengujian, atau membayar pihak lain untuk melakukan kegiatan tersebut.
Selain kontrak tersebut di atas, terdapat juga kontrak yang di dalamnya berisi pemberian know-how dan jasa. Penentuan perlakuan perpajakan atas kontrak dimaksud dapat dilakukan dengan memisahkan bagian kontrak yang merupakan pemberian know-how dan pemberian jasa.
Atas bagian kontrak yang merupakan pemberian know-how, berlaku ketentuan Pasal 12, dan atas bagian kontrak yang merupakan pemberian jasa, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 (Laba Usaha).
Akan tetapi, dalam hal salah satu bagian kontrak dimaksud merupakan tujuan utama kontrak tersebut secara keseluruhan dan bagian kontrak lainnya hanya bersifat penunjang dan tidak terlalu penting, maka ketentuan yang berlaku atas bagian kontrak yang bersifat utama diterapkan atas kontrak secara keseluruhan.
Imbalan jasa teknik adalah pembayaran untuk jasa manajerial, teknis, dan konsultansi. Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan, dan ilmu pengetahuan.
Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.
Sementara jasa konsultansi merupakan pemberian petunjuk, pertimbangan, atau nasihat profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
Dengan demikian, pemberian jasa yang bersifat rutin dan tidak melibatkan penggunaan pengetahuan, keterampilan, atau keahlian khusus.
Pemberian jasa teknik juga tidak melibatkan transfer informasi yang termasuk dalam pengertian royalti. Royalti merupakan pembayaran untuk pemberian informasi yang bersifat rahasia kepada pihak lain sehingga pihak lain tersebut dapat menggunakan informasi tersebut untuk kepentingannya. Berbeda dengan pemberian jasa teknik, umumnya pihak yang memberikan informasi tersebut tidak terlibat dalam kegiatan lain selain pemberian informasi.
Capital Gain
Kebanyakan negara mengenakan pajak atas capital gain apabila terjadi realisasi. Dalam hal tertentu, penjualan yang belum direalisasikan dapat terjadi tetapi untuk keperluan pajak, dianggap sudah direalisasikan. Penentuan apakah penjualan sudah diralisasikan atau belum direalisasikan adalah tergantung pada undang-undang domestik masing-masing negara.
Pengenaan pajak atas keuntungan dari pengalihan harta gerak yang merupakan bagian kekayaan suatu BUT, yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang negara lain, termasuk keuntungan dari pengalihan BUT atau tempat tetap tersebut.
Keuntungan dari pengalihan harta gerak tersebut dapat dikenai pajak di Negara di mana BUT atau tempat tetap berada (Negara Sumber).
Harta gerak yang dimaksud adalah harta gerak yang berlokasi di mana pun sepanjang menjadi bagian kekayaan BUT, atau menjadi bagian suatu tempat tetap yang digunakan untuk menjalankan jasa perorangan independen.
Contoh: Karo Ltd. merupakan residen negara Singapura mempunyai BUT Karo di Indonesia. BUT Karo mempunyai harta gerak di negara Singapura dan di Indonesia. BUT Karo melakukan pengalihan harta gerak yang berada di Indonesia. Atas keuntungan pengalihan tersebut menjadi bagian dari kekayaan dari BUT Karo. Dengan demikian, keuntungan atas pengalihan harta dimaksud dapat dikenai pajak di Indonesia.
Istilah โharta gerakโ juga berarti seluruh harta selain harta tak gerak, termasuk harta tak berwujud seperti goodwill, lisensi, dan sejenisnya. Keuntungan atas pengalihan harta tersebut dipajaki di mana BUT-nya atau di mana tempat tetap berada (Jasa Perorangan Independen).
Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of shares or comparable interests, such as interests in a partnership or trust, may be taxed in the other Contracting State if,at any time during the 365 days preceding the alienation, these shares or comparable interests derived more than 50 percent of their value directly or indirectly from immovable property, as defined in Article 6, situated in that other State
Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of shares or comparable interests, such as interests in a partnership or trust, may be taxed in the other Contracting State if,at any time during the 365 days preceding the alienation, these shares or comparable interests derived more than 50 percent of their value directly or indirectly from immovable property, as defined in Article 6, situated in that other State
Pasal 13 Capital Gain ayat (4)
Ayat 4 memberikan hak pemajakan kepada Negara Sumber atas keuntungan dari pengalihan saham pada suatu perseroan atau hak kepemilikan sejenis pada entitas lain yang asetnya atau hartanya sebagian besar terdiri dari harta tak gerak yang berada di Negara tersebut, jika dalam suatu waktu dalam 365 hari sebelum terjadinya pengalihan, saham atau hak kepemilikan sejenis tersebut memiliki nilai yang besarnya melebihi 50 persen secara langsung maupun tidak langsung dari keseluruhan nilai harta tak gerak yang dimiliki oleh perseroan, persekutuan, trust, maupun warisan.
Ayat 4 ini bertujuan, salah satunya, untuk mencegah penghindaran pajak atas keuntungan dari pengalihan harta tak gerak dengan cara membentuk sebuah perseroan yang berperan sebagai pemilik harta tak gerak.
Ayat 4 juga bertujuan agar pemajakan atas keuntungan dari pengalihan saham atau bentuk kepemilikan sejenis pada suatu perseroan atau bentuk entitas lainnya yang memperoleh sebagian besar nilainya dari harta tak gerak.
Contoh: Forco One Ltd. memiliki seluruh saham Forco Two Ltd., keduanya merupakan SPDN Negara A. Selanjutnya Forco Two Ltd. memiliki sebagian besar saham pada PT ABC yang merupakan SPDN Indonesia. Komposisi harta tak gerak PT ABC melebihi 50% dari total seluruh harta.
Indonesia memiliki P3B dengan Negara A yang salah satu klausulnya mengikuti klausul Pasal 13 ayat 4 di atas. Dalam hal ini, jika Forco One Ltd. mengalihkan sahamnya pada Forco Two Ltd. kepada pihak lain, maka berdasarkan ketentuan Pasal 13 aya4 ini, atas keuntungan dari pengalihan saham Forco Two Ltd. tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia.
Independent Personal Service
Cakupan pengaturan jasa perorangan independen yang umumnya dikenal sebagai jasa profesional, atau kegiatan lain yang sifatnya independen. Pengertian jasa profesional, atau kegiatan lain yang sifatnya independen ini dapat dipersamakan dengan pengertian pekerjaan bebas yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor KUP.
Yang dimaksud dengan pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
Dikecualikan dari pengaturan Independent Personal Service adalah kegiatan industrial dan komersial. Jasa profesional yang diberikan dalam suatu hubungan kerja juga dikecualikan dari cakupan Independent Personal Service, seperti dokter yang bekerja sebagai pegawai di bagian keselamatan kerja suatu perseroan. Dalam hal ini, ketentuan dalam Dependent Personal Serviceatas penghasilan yang diperoleh dokter tersebut dalam kapasitasnya sebagai pegawai.
Pengertian โjasa profesionalโ diilustrasikan melalui beberapa contoh seperti jasa profesional dalam bidang ilmu pengetahuan, kesusastraan, kesenian, kegiatan pendidikan atau pengajaran, dokter, pengacara, insinyur, arsitek, dokter gigi dan akuntan.
Pemberian contoh tersebut hanya berupa penjelasan dan tidak bersifat tertutup atau membatasi (non-exhaustive) kegiatan yang dicakup dalam pengertian jasa profesional.
Pengertian jasa profesional tidak termasuk kegiatan industri dan komersial dan juga jasa profesional yang dilakukan dalam suatu hubungan kerja, misalnya seorang tenaga kesehatan yang bekerja sebagai petugas medis dalam pabrik. Kegiatan independen yang dilakukan oleh artis dan atlet tidak termasuk dalam pengertian Pasal ini, kegiatan independen .
Dependent Personal Service
Subject to the provisions of Articles 16, 18 and 19, salaries, wages and other similar remuneration derived by a resident of a Contracting State in respect of an employment shall be taxable only in that State unless the employment is exercised in the other Contracting State. If the employment is so exercised, such remuneration as is derived therefrom may be taxed in that other State
Pasal 15 Dependen Personal Service ayat (1)
Pasal 15 mengatur mengenai pembagian hak pemajakan antara Negara Domisili dan Negara Sumber atas penghasilan yang diterima oleh SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan.
Negara Sumber dalam konteks penerapan Pasal ini merupakan Negara tempat suatu pekerjaan dilakukan. Pasal 15 berlaku untuk imbalan yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, termasuk pemberian natura atau kenikmatan (payment in kind) seperti opsi saham, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan penggunaan rumah dinas maupun kendaraan dinas.
Ayat 1 menyebutkan ketentuan umum Pasal 15, yakni, bahwa penghasilan dari pekerjaan hanya dapat dikenai pajak di Negara Domisili, kecuali jika pekerjaan tersebut dilakukan di Negara Sumber.
Pekerjaan dianggap dilakukan di tempat di mana pegawai yang bersangkutan secara fisik berada sewaktu menjalankan pekerjaan yang atasnya penghasilan tersebut dibayarkan.
Negara Domisili memiliki hak pemajakan eksklusif atas penghasilan dari pekerjaan jika:
pegawai merupakan SPDN Negara Domisili; dan
pegawai melakukan pekerjaannya di Negara Domisili.
Contoh: Tuan Candra yang merupakan SPDN Indonesia adalah seorang pegawai yang melakukan pekerjaannya di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia sebagai Negara Domisili memiliki hak pemajakan eksklusif atas penghasilan tersebut, kecuali jika pekerjaan tersebut dilakukan Tuan Candra di negara X, maka atas penghasilan tersebut dapat dipajaki di negara X.
Ayat 1 juga mengatur bahwa ketentuan Imbalan Direktur, Pensiun dan Imbalan Jaminan Sosial, dan Jasa Pemerintahan berlaku untuk penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang disebut dalam pasal-pasal tersebut. Misalnya, penghasilan berupa pensiun atau imbalan sejenis lainnya sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan di masa lampau.
Contoh2: Mr. Anand merupakan SPDN India yang bekerja pada X Corp., sebuah perusahaan berdomisili di India. Mr. Anand dikirim oleh perusahaan tersebut untuk melakukan pekerjaan di Indonesia dalam pada beberapa periode dalam tahun 202X. Berdasarkan P3B dengan India, penentuan hak pemajakan India dan Indonesia atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Mr. Anand dari pekerjaannya sebagai pegawai dapat dilakukan sebagai berikut:
Indonesia merupakan Negara Sumber, yaitu Negara tempat pekerjaan dilakukan sehingga memiliki hak pemajakan atas imbalan kerja yang diperoleh oleh Mr. Anand untuk pekerjaan yang dilakukan di Indonesia tersebut;
India merupakan Negara Domisili, yaitu Negara di mana Mr. Anand menjadi SPDN sehingga juga berhak mengenakan pajak atas imbalan kerja yang diperoleh atas pekerjaan yang dilakukan di Indonesia tersebut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 P3B antara Indonesia dengan India;
Berdasarkan kondisi pada angka 1 dan angka 2 di atas berlaku ketentuan Pasal 15 ayat 1 sehingga atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Mr. Anand dari pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia, dapat dikenai pajak di Indonesia.
Namun, dalam hal:
Mr. Anand berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam periode 12 bulan;
imbalan kerja yang diperoleh atas pekerjaan yang dilakukan di Indonesia tersebut dibayarkan oleh pihak yang bukan merupakan SPDN Indonesia; dan
imbalan tersebut tidak dibebankan pada BUT X Corp. yang berada di Indonesia, maka Indonesia, meskipun merupakan Negara Sumber, tidak dapat memajaki penghasilan yang diperoleh oleh Mr. Anand dari pekerjaan yang dilakukannya dl Indonesia karena semua kondisi yang terdapat pada ayat 2 terpenuhi.
Directors’ Fee
Directors’ fees and other similar payments derived by a resident of a Contracting State in his capacity as a member of the Board of Directors of a company which is a resident of the other Contracting State may be taxed in that other State.
Pasal 16 Directors Fees And Remuneration of Top Level Managerial Officials
Pasal 16 mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dalam kapasitasnya sebagai anggota Dewan Direksi dan pegawai manajerial level atas sebuah perseroan yang merupakan SPDN Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan.
Pasal ini memberikan hak pemajakan kepada Negara Domisili anggota Dewan Direksi dan juga kepada Negara Sumber atau Negara Pihak dalam Persetujuan tempat di mana perseroan menjadi SPDN.
Negara Pihak dalam Persetujuan dapat mengenakan pajak atas imbalan yang dibayarkan oleh suatu perseroan yang merupakan SPDN Negara tersebut kepada SPDN Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan dalam jabatannya sebagai direktur perseroan tersebut.
Istilah โfees and other similar paymentsโ meliputi seluruh pembayaran yang diterima oleh SPDN dalam kedudukannya sebagai anggota dewan direksi suatu perseroan, misalnya opsi saham, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan penggunaan rumah dinas maupun kendaraan dinas.
Jika posisi manajemen level atas (top-level management) dalam suatu perseroan yang merupakan SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dijabat oleh Orang yang merupakan SPDN Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan, maka penghasilan yang diterima oleh Orang tersebut akan dikenai pajak dengan prinsip pemajakan yang sama dengan pemajakan atas penghasilan yang diterima anggota Dewan Direksi.
Istilah โposisi manajemen level atasโ merujuk pada kedudukan yang tanggung jawab utamanya berkaitan dengan pengarahan kebijakan umum suatu perseroan, yang berbeda dengan kegiatan yang dilakukan oleh direktur perseroan. Istilah tersebut juga meliputi jabatan direktur yang merangkap sebagai manajer level atas.
Entertainers and Sportspersons
Notwithstanding the provisions of Articles 14 and 15, income derived by a resident of a Contracting State as an entertainer, such as a theatre, motion picture, radio or television artiste, or a musician, or as a sportsperson, from his personal activities as such exercised in the other Contracting State, may be taxed in that other State.
Pasal 17 Artistes And Sportpersons
Pasal ini mengatur mengenai pengenaan pajak di Negara Sumber atas penghasilan yang diterima sebagai seniman seperti artis teater, film, radio atau televisi, atau pemain musik atau sebagai atlet yang merupakan SPDN Negara Domisili dari kegiatan-kegiatan pribadi mereka berkaitan dengan pertunjukan yang dilakukan di Negara Sumber tersebut.
Seniman dan atlet yang merupakan SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dapat dikenai pajak di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan, tempat kegiatan atau pertunjukan dilakukan.
Contoh: Blu Erni Liv adalah seorang musisi yang merupakan SPDN Negara A dan mengadakan pertunjukan bagi para penggemarnya di Indonesia. Berdasarkan ketentuan ayat ini, penghasilan yang diterima oleh Blu Erni Liv dari pertunjukannya di Indonesia tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia.
Other Income
Capital represented by immovable property referred to in Article 6, owned by a resident of a Contracting State and situated in the other Contracting State, may be taxed in that other State.
Ayat 1 menyebutkan bahwa harta berupa harta tak gerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (Penghasilan dari Harta Tak Gerak) yang dimiliki oleh SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dan terletak di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan dapat dikenai pajak di Negara Pihak lainnya tersebut.
Capital represented by movable property forming part of the business property of a permanent establishment which an enterprise of a Contracting State has in the other Contracting State or by movable property pertaining to a fixed base available to a resident of a Contracting State in the other Contracting State for the purpose of performing independent personal services may be taxed in that other State
Ayat 2 menyebutkan bahwa harta berupa harta bergerak yang merupakan bagian dari harta suatu BUT yang dimiliki oleh perusahaan suatu Negara Pihak dalam Persetujuan dan berada di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan atau harta bergerak yang terkait dengan tempat tetap yang tersedia bagi SPDN suatu Negara Pihak dalam Persetujuan yang berada di Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan dapat dikenai pajak di Negara Pihak lainnya tersebut.
Capital represented by ships and aircraft operated in international traffic and by boats engaged in inland waterways transport, and by movable property pertaining to the operation of such ships, aircraft and boats, shall be taxable only in the Contracting State in which the place of effective management of the enterprise is situated
Ayat 3 menyebutkan bahwa hak pemajakan atas harta berupa kapal dan pesawat terbang yang dioperasikan pada jalur lalu lintas internasional, berupa perahu yang digunakan di jalur perairan darat, dan berupa harta gerak yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat terbang, dan perahu tersebut diberikan hanya kepada Negara di mana tempat kedudukan manajemen efektif perseroan berada.
Multilateral Instrument (MLI)
Multilateral Instrument, disingkat MLI, merupakan modifikasi pengaturan Tax Treaty secara serentak, sinkron-simultan dan efisien, tanpa melalui proses negosiasi bilateral.
MLI dikembangkan oleh OECD sebagai bagian dari solusi otoritas pajak untuk menutup celah (loophole) di tax treaty. Mengubah satu tax treaty membutuhkan waktu yang lama. Perundingan tax treaty bisa lebih dari 2 tahun. Bandingkan jika ada 100 tax treaty!
MLI merupakan modifikasi tax treaty secara serentak, tanpa melalui proses negosiasi bilateral.
Menteri Keuangan telah menandatangani MLI pada 7 Juni 2017 di Kantor Pusat OECD, Paris, Perancis.
Pada saat ditanda-tangani, terdapat 68 negara yang ikut menandatangani dan akan segera disusul 30 negara lain. Per 6 Oktober 2022, sudah ada 100 negara yang menandatangani MLI.
Dengan ikut MLI, artinya pemerintah Indonesia dapat mengamankan penerimaan pajak dengan mencegah penghindaran pajak dalam bentuk penyalahgunaan tax treaty, penghindaran yang dilakukan BUT dengan memecah fungsi organisasi, memecah waktu kontrak, rekayasa kontrak, rekayasa kepemilikan yang bertujuan menghindari kewajiban perpajakan di Indonesia.
Presiden Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 77 tahun 2019 sebagai syarat ambil bagian dalam program MLI. Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pengesahan Multilateral Convention To Implement Tax Treaty Related Measures To Prevent Base Erosion And Profit Shifting.
Surat Edaran Mengenai Multilateral Instrument (MLI) sampai dengan akhir 2021:
Pahami dapur SP2DK agar tahu bagaimana cara meresponnya
Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) sering diplesetkan dengan “Surat Cinta”. Hal ini terjadi karena, dulu, seringnya kantor pajak mengirim surat himbauan kepada Wajib Pajak.
Awalnya bernama Surat Himbauan. Kemudian berubah nama menjadi SP2DK. Sebenarnya, bagaimana SP2DK “diracik”?
Saya memiliki pengalaman 8 tahun menjadi Kepala Seksi Pengawasan (dan Konsultasi). Berdasarkan pengalaman, dan pengetahuan selama ini tentang konsep SP2DK, saya akan berbagi bagaimana SP2DK disiapkan dan bagaimana cara meresponnya.
Meminjam kata-kata Sun Tzu “Kenali dirimu, kenali musuhmu, kenali medan perangmu”, diharapkan peserta webinar menjadi tidak takut lagi jika menerima “surat cinta” dari kantor pajak.
Seiring dengan perkembangan teknologi informatika, teknologi kecerdasan buatan sudah banyak digunakan oleh para pembuat konten. Salah satu kecerdasan buatan di bidang video yaitu aplikasi Synthesia. Saya membuat video konten pajak di laman Synthesia. Sekarang, konten Agus Pajak hadir di Youtube dengan memanfaatkan teknologi Synthesia.
Insya Allah setiap hari ada video baru di channel Agus Pajak. Video sengaja dibuat berdurasi antara 5 sampai 10 menit. Bahkan banyak yang kurang dari 5 menit. Tujuannya agar penonton tidak bosan. Materi pajak itu sendiri sudah membosankan, ditambah dengan video Youtube yang panjang, lebih membosankan.
Seperti pepatah: sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Dengan mengikuti channel Agus Pajak, dan banyak menonton videonya, diharapkan anda akan jadi pakar perpajakan.
Saya berencana untuk menyampaikan materi Pajak Penghasilan, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Internasional. Saya berusaha “memeras” koleksi buku, modul, dan bahan diklat menjadi video yang mudah dimengerti penonton.
Playlist PPh
Pendahuluan UU PPh: Karakteristik PPh, dan Struktur Undang-Undang PPh
Pasal 1 PPh: Tiga Fondasi Pajak Penghasilan
Pasal 2: Subjek Pajak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan
Pasal 2A: Awal dan Akhir Kewajiban Subjek Pajak
Pasal 3: Bukan Subjek Pajak Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan
Pasal 4 Definisi Penghasilan
Pasal 4 Jenis Penghasilan Bunga dan Dividen
Pasal 4: Royalti dan Jasa Teknik, Apa Perbedaannya?
Pasal 4: Jasa Manajemen, Bagaimana Seharusnya?
Pasal 4: Tambahan Kekayaan Neto Yang Akan Dikenai Pajak Penghasilan
Pasal 4 ayat (2) Jenis-Jenis Penghasilan Yang Dikenai PPh Final
Bukan Objek Pajak Berupa Sumbangan, Hibah, dan Warisan
Bukan Objek Pajak Berupa Perimaan Natura, Asuransi, Dividen dan Penghasilan Luar Negeri
Bukan Objek Pajak Berupa Penerimaan Dana Pensiun, Penghasilan Prive, dan Modal Ventura
Bukan Objek Berupa Beasiswa, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Sosial
Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap atau BUT
Perbedaan BUT UU PPh dan Permanent Establishment Tax Treaty
Penghasilan BUT Yang Wajib Dilaporkan di SPT Tahunan
Biaya BUT Yang Tidak Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, Hanya Berlaku di BUT.
Penghitungan PPh BUT, dan Branch Profit Tax
Pasal 6: Biaya Untuk Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara (3M) Penghasilan
Biaya Fiskal, Prinsip Matching Costs Against Revenues
Biaya Fiskal: Sumbangan, Natura, dan Kenikmatan Yang Boleh Dibiayakan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Menurut Undang-Undang
Keluarga Sebagai Satu Entitas: Bagaimana Menghitung PPh OP?
Hak dan Kewajiban Suami Istri Di Undang-Undang Pajak Penghasilan
Pasal 9 UU PPh: Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
Pasal 10 UU PPh: Harga Perolehan Harta dan Harga Jual Harta Menurut Pajak
Pasal 11 UU PPh: Cara Menghitung Penyusutan Menurut Pajak
Cara Menghitung Kompensasi Kerugian
Perlakukan Pajak Penghasilan atas Pengeluaran Telepon Seluler dan Kendaraan Dinas Perusahaan
Pengeluaran Software Komputer dan Pembiayaannya Menurut Pajak Penghasilan
Biaya Bunga Menurut Pajak Penghasilan
Menurut Pajak, Bolehkah Pinjaman Tanpa Bunga?
Bagaimana membiayakan pembayaran PBB dan BPHTB?
Ketentuan Leasing Menurut Pajak Penghasilan, dilihat dari Lessee
Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau NPPN
Norma Khusus Pasal 15
Jasa Maklon (Contract Manufacturing) Internasional di bidang Produksi Mainan Anak-Anak
Pasal 15 Norma Khusus Usaha Pelayaran, dan Penerbangan Luar Negeri
Pasal 15 Norma Khusus Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri
Pasal 15 Norma Khusus Penerbangan Dalam Negeri
Pasal 15 Pajak Penghasilan atas Kantor Perusahaan Dagang Asing (KPDA)
Pajak Penghasilan atas Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer)
Norma Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Badan Yang Melakukan Kegiatan Usaha Di Bidang Pengeboran
Perbedaan dan persamaan Pajak Penghasilan Pasal 15 dan Pasal 4 ayat (2) Final
PPh final Penghasilan Sewa Tanah dan atau Bangunan
PPh Final Penjualan Tanah dan atau Bangunan
PPh final Jasa Konstruksi
PPh final Bunga Simpanan Koperasi
PPh Final Hadiah Undian
PPh Final Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
PPh final Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
PPh Final Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Penjualan Saham pada Perusahaan Pasangan
PPh Final atas Pengalihan Partisipasi Interes Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
PPh Final atas Penjualan Aset Kripto
Cara Menghitung Pajak Penghasilan
Tarif Pajak Penghasilan
PPh Final Penghasilan Dividen Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Pasal 18 Dasar Hukum DER, CFC, TP, dan APA
Pasal 18 Dasar Hukum SPC, Conduit Company, Hubungan Istimewa
Hybrid Mismatch Arrangements Menurut PP 55
Revaluasi Aset Perusahaan
Pemotongan Pajak Tahun Berjalan
Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 Final
Pajak Penghasilan Pasal 22
Tarif dan Objek PPh Pasal 23
Lanjutan Tarif dan Objek PPh Pasal 23
Pasal 24 Kredit Pajak Luar Negeri
Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan
Lanjutan PPh Pasal 25 Cicilan Pajak Tahun Berjalan
Objek dan Tarif PPh Pasal 26
Penghitungan Pajak Pada Akhir Tahun Sebelum Lapor SPT Tahunan
Insentif Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan
Super Tax Deduction, Insentif Pajak Penghasilan
Tax Holiday Industri Pionir, Diskon Pajak Penghasilan Badan Sampai 100%
Obral Insentif Pajak! Ini 8 Insentif Pajak Khusus IKN, mulai Tax Holiday sampai pengecualian
Ketentuan Imbalan Natura dan Imbalan Kenikmatan
Bagaimana Menghindari Pajak Ganda di Imbalan Kenikmatan?
Playlist KUP
Pajak Menurut Undang-Undang
Pajak Pusat dan Pajak Daerah
Undang-Undang Material dan Undang-Undang Formal
Kewajiban Pendaftaran NPWP Bagi Yang Memenuhi Persyaratan
Persyaratan Pemindahan Tempat Wajib Pajak
Fungsi NPWP
Permohonan NPWP NE
Penghapusan NPWP
Sertifikat Elektronik
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Pencabutan Pengukuhan PKP
Jenis-Jenis SPT
Sudah Lapor SPT Tapi Dianggap Tidak Lapor
Pembetulan SPT
Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan
Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisisan SPT
Cara Bayar Pajak
Jatuh Tempo Pembayaran Pajak
Bayar Ketetapan Pajak dan Sanksi Pajak
Mengangsur atau Menunda Bayar Pajak
Beda Pembukuan dan Pencatatan
Pembukuan Bahasa Asing dan Uang Asing
Mengenal lebih basic SP2DK
Tujuan Pemeriksaan
Ruang Lingkup Pemeriksaan, Kriteria Pemeriksaan, dan Jenis Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Saat Diperiksa
Alasan Wajib Pajak Diperiksa
Mengapa Wajib Pajak Diperiksa Oleh kantor Pajak?
Hak Wajib Pajak Saat Diperiksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak saat Diperiksa
Pertemuan Pertama Dengan Pemeriksa Pajak
Jangka Waktu Pemeriksaan Pajak
Peminjaman Dokumen, dan Pembukuan Wajib Pajak Pada Saat Pemeriksaan Pajak
Surat Peringatan Peminjaman Dokumen
Penyegelan Saat Pemeriksaan Pajak
Pengujian Pembukuan Wajib Pajak
Panggilan Wawancara Pemeriksaan Pajak
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP)
Pembahasan Dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan
Penolakan Pemeriksaan
Pemeriksaan Cabang
Pengalihan Pemeriksaan
Penagihan PPN Sebelum Wajib Pajak Dikukuhkan PKP
SPT Yang Pasti Diperiksa Kantor Pajak
Usulan Pemeriksaan Oleh AR
Hasil Pemeriksaan
Upaya Hukum Hasil Pemeriksaan
Siap Menghadapi dan Merespon SP2DK
Penagihan Pajak
Penanggung Pajak
Tahapan Penagihan
Penyitaan Harta Wajib Pajak Oleh Juru Sita
Barang Sitaan Yang Tidak Dapat Dilelang
Tujuan Pidana Pajak
Bukti Permulaan Bagian 1
Bukti Permulaan Bagian 2: Kewajiban dan Kewenangan Pemeriksa Pajak
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Yang Dilakukan Buper
Perbedaan Buper dan Penyidikan
Ultimum Rebedium dan Primum Remedium
Kedudukan Undang-Undang Pajak Dalam Hukum Pidana
Kewenangan Penyidik Pajak Setelah UU HPP
Pasal-Pasal Pidana Pajak
Unsur-Unsur Tinda Pidana Perpajakan
Begini Alur Penyidikan Pajak
Pentingnya Keterangan Ahli Dalam Pidana Perpajakan
Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Perpajakan
Pemeriksaan Pajak berdasarkan ketentuan dan pengalaman penulis
Saya sudah menulis tentang pemeriksaan pajak di blog pajaktaxes.blogspot.com yang cukup lengkap. Di tulisan kali ini, saya menulis ulang pemeriksaan pajak berdasarkan ketentuan dan pengalaman penulis.
Masih banyak Wajib Pajak yang menganggap apa yang dilakukan pemeriksa pajak sebagai pemeriksaan pajak. Padahal yang dimaksud adalah penelitian. Secara umum, penelitian merupakan tindakan administrasi pajak oleh petugas pajak.
Kegiatan penelitian oleh petugas pajak sangat beragam. Produk hasil penelitian juga sangat banyak. Bisa berupa surat biasa, permintaan keterangan, sampai keputusan.
Sedangkan ciri utama kegiatan pemeriksaan ditandai dengan adanya surat pemberitahuan pemeriksaan pajak, dan Surat Pemeriksaan Pajak yang disampaikan oleh pemeriksa pajak.
Tujuan Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP, “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Berdasarkan Pasal 29 ini, tujuan pemeriksaan pajak ada dua, yaitu: menguji kepatuhan kewajiban perpajakan, dan tujuan lain.
Pemeriksaan pajak merupakan bagian tak terpisahkan (built-in) dengan sistem self assessment yang dianut dalam sistem perpajakan di Indonesia. Pemeriksaan pajak dilakukan dalam rangka pengawasan (control) kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Tanpa pengawasan, Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya cenderung menghindari bayar pajak. Bahkan banyak juga Wajib Pajak yang menghindari bayar pajak dengan cara yang tidak benar dengan cara menurunkan omset, atau menambah biaya yang pada akhirnya menghilangkan keuntungan fiskal.
Menurut sistem self assessment, Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib:
Mendaftar diri ke Kantor Pelayanan Pajak untuk mendapatkan NPWP sesuai tempat tinggal, tempat domisili atau tempat kedudukan Wajib Pajak tersebut.
Menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang.
Menyetor sendiri pajak yang terutang ke bank persepsi.
Melaporkan kegiatan usaha, penghasilan, harta, dan hutang melalui media Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, jelas dan ditandatangan.
Benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
Jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
Penjelasan terbaik sistem self assessment ada pada Pasal 12 Undang-Undang KUP. Pasal ini merupakan penegasan bahwa kewajiban perpajakan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
Penerbitan surat ketetapan pajak terbatas hanya pada Wajib Pajak tertentu yang terbukti melaporkan SPT tidak benar. Berbeda dengan sistem official assessment bahwa pajak terutang timbul dari terbitnya surat ketetapan pajak.
Berikut kutipan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP dan bagian penjelasannya.
“Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.”
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP
Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP berbunyi:
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah: a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga; b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP
Fungsi pemeriksaan pajak adalah mendorong Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya dengan benar. Benar karena Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya, penghasilannya, hartanya, dan hutangnya sesuai keadaan sebenarnya. Tidak ada yang ditutupi, tidak ada yang disembunyikan dan terbuka.
Benar karena Wajib Pajak telah menghitung pajak terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Benar karena Wajib Pajak menyetor pajak-pajak ke Kas Negara yang telah dipungut atau dipotong dari pihak lain.
Pada saat pemeriksaan, pemeriksa akan menguji:
pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
harta dan kewajiban; dan/atau
pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Kewajiban perpajakan atas pajak Wajib Pajak sendiri yaitu Pajak Penghasilan atau yang dikenal PPh Badan dan PPh Orang Pribadi, maupun kewajiban pemotongan dan pemungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan.
Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap data, keterangan, dan/atau bukti maka pemeriksa akan menerbitkan surat ketetapan pajak:
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar;
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Kewajiban perpajakan atas pajak Wajib Pajak sendiri yaitu Pajak Penghasilan atau yang dikenal PPh Badan dan PPh Orang Pribadi, maupun kewajiban pemotongan dan pemungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan.
Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap data, keterangan, dan/atau bukti maka pemeriksa akan menerbitkan surat ketetapan pajak:
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar;
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
Berbeda dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak, pemeriksaan untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan pajak.
Pemeriksaan untuk tujuan lain di antaranya: [a.] pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan; [b.] penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; [c.] pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; [d.] Wajib Pajak mengajukan keberatan; [e.] pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; [f.] pencocokan data dan/atau alat keterangan; [g.] penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil; [h.] penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai; [i.] pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak; [j.] penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau [k.] pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak
Ruang lingkup pemeriksaan bisa juga disebut audit scope. Hanya saja, ruang lingkup pemeriksaan pajak terkait dengan kewajiban SPT yang disampaikan Wajib Pajak.
Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013:
Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
Ruang lingkup pemeriksaan merupakan cakupan dari jenis pajak dan periode dari pencatatan atau pembukuan yang menjadi objek untuk dilakukan pemeriksaan .
Dengan pengertian seperti ini, ruang lingkup pemeriksaan pajak dapat dibagi menjadi dua: [a.] jenis pajak yang diperiksa; dan [b.] periode pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak.
Ruang lingkup pemeriksaan pajak bisa diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui Surat Pemberitahuan yang disampaikan.
Dapat juga Wajib Pajak melihat ruang lingkup pemeriksaan dari SP2 yang diperlihatkan atau disampaikan oleh pemeriksa.
Kode pemeriksaan yang tercantum di SP2 juga memperlihatkan ruang lingkup atau batasan โperintahโ diberikan kepada pemeriksa pajak.
Jenis pajak yang diperiksa dapat berupa: [a.] seluruh jenis pajak (all taxes); [b.] beberapa jenis pajak; atau [c] satu jenis pajak (single tax).
Seluruh jenis pajak artinya semua kewajiban perpajakan yang menjadi kewajiban Wajib Pajak harus diperiksa oleh pemeriksa.
Atas pemeriksaan ini, dalam hal pemeriksaan untuk menguji kepatuhan, maka pemeriksa akan menerbitkan surat ketetapan pajak kecuali jika penyelesaian pemeriksaan melalui laporan hasil pemeriksaan (LHP) Sumir.
Pada umumnya, pemeriksaan khusus dengan jenis pemeriksaan lapangan biasanya pemeriksa diberikan ruang lingkup pemeriksaan suluruh jenis pajak.
Untuk seluruh jenis pajak, kode pemeriksaan yang tercantum di SP2 adalah dengan digit pertama 1 (satu).
Contoh: 1412, 1422, atau 1912. Artinya, jika digit pertama angka 1 maka jenis pajak yang diperiksa meliputi: PPh Badan atau PPh OP, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPN, PPnBM, dan PBB (kecuali PBB P2 yang sudah kewenangan Pemda).
Beberapa jenis pajak biasanya digunakan untuk jenis PPh pemotongan dan pemungutan, yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.
PPh pemotongan dan pemungutan biasa disingkat P2PPh. Tetapi sejak akhir 2013, bisa beberapa jenis pajak bisa juga ditambahkan PPN.
Untuk pemeriksaan Wajib Pajak yang bergerak dibidang minyak dan gas bumi, terutama yang baru tahap eksplorasi maka biasanya menggunakan beberapa jenis pajak karena kewajiban perpajakan PPh Badan belum ada.
Seperti seluruh jenis pajak tetapi dikurangi jenis pajak PPh Badan. Kode pemeriksaan untuk beberapa jenis pajak menggunakan digit pertama 0 (nol).
Untuk memperjelas jenis pajak apa saja yang diperiksa, setelah kode pemeriksaan maka disebutkan jenis pajak apa saja. Contoh kode 0412 (P2PPh dan PPN), atau 0412 (PPh Badan dan PPN), atau 0412 (P2PPh).
Satu jenis pajak artinya jenis pajak yang diperiksa hanya satu saja. Sebelumnya, satu jenis pajak lebih banyak digunakan untuk pemeriksaan lebih bayar PPN.
Tetapi sejak SE-28/PJ/2013 maka untuk pemeriksaan lebih bayar PPh Orang Pribadi dan PPh Badan diharuskan satu jenis pajak.
Maksud pembatasan jenis pemeriksaan menjadi satu jenis pajak adalah agar pemeriksaan fokus kepada yang lebih bayar dan mempercepat penyelesaian.
Analisis dari Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan menyimpulkan bahwa pemeriksaan rutin untuk pemeriksaan lebih bayar terlalu membebani kinerja pemeriksa pajak secara keseluruhan.
Kegiatan pemeriksaan lebih bayar sekitar 65% dari keseluruhan penugasan. Dan diantara penugasan pemeriksaan lebih bayar tersebut sebagiannya dikarena SPT lebih bayar yang nominalnya tidak signifikan.
Untuk mengurangi beban tersebut, maka sejak SE-28/PJ/2013 pemeriksaan pajak karena SPT lebih bayar dilakukan dengan satu jenis pajak.
Ditambah lagi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 198/PMK.03/2013 dan Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-12/PJ/2014 yang menggeser lebih bayar โreceh-recehโ dilakukan dengan penelitan oleh petugas AR.
Dan jangka waktu penyelesaian lebih bayar menjadi lebih cepat, yaitu 15 hari kerja untuk PPh OP dan satu bulan untuk PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai.
Ruang lingkup pemeriksaan yang kedua adalah periode pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak.
Undang-Undang KUP mengenal istilah masa pajak, tahun pajak, dan bagian tahun pajak.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
Secara umum, satu masa pajak adalah satu bulan kalender. Tetapi bisa juga satu masa pajak tiga bulan kalender. Masa pajak biasa digunakan untuk jenis pajak PPN.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Periode akuntansi menentukan tahun pajak. Yang pasti 1 tahun pajak sama dengan 12 bulan.
Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. Bagian tahun pajak artinya kurang dari 12 bulan kalender. Tahun pajak dan bagian tahun pajak biasa digunakan dalam PPh.
Bagian tahun pajak artinya periode yang diperika kurang dari 12 bulan.
SP2 yang diberikan harus secara jelas menyebutkan periode pembukuan yang diperiksa. Sehingga di SP2 biasanya disebutkan bulan atau masa pajak yang diperiksa.
Periode bulan pembukuan (periode akuntansi) kebanyakan dimulai dari bulan Januari dan diakhir bulan Desember.
Tetapi ada juga yang tidak mengikuti kalender masehi, seperti periode pembukuan mulai April sampai dengan Maret.
Dalam hal bulan permulaan periode pembukuan yang tercantum di SP2 berbeda dengan periode akuntansi yang dianut Wajib Pajak, maka atas SP2 tersebut harus dibatalkan dan dibuatkan SP2 baru yang sesuai dengan periode pembukuan Wajib Pajak.
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan PPh Badan tidak mungkin dilakukan untuk tahun berjalan.
Kenapa? Karena pemeriksaan untuk menguji kepatuhan harus menerbitkan surat ketetapan pajak.
Artinya, periode pembukuan yang diperiksa harus sudah lewat.
Tetapi pemeriksaan tahun berjalan masih bisa dilakukan untuk pemeriksaan PPN untuk masa pajak yang sudah lewat. Contoh SP2 ditandatangani bulan Agustus 2014 untuk pemeriksaan satu jenis pajak PPN masa pajak Maret 2014.
Contoh SP2
Ruang Lingkup Pemeriksaan, Kriteria Pemeriksaan, dan Jenis Pemeriksaan
Kriteria Pemeriksaan Pajak
Kriteria pemeriksaan pajak merupakan alasan atau dasar dilakukan pemeriksaan pajak.
Peraturan menteri keuangan selalu membagi alasan pemeriksaan menjadi dua, yaitu pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan pemeriksaan yang merupakan kewenangan Direktur Jenderal Pajak.
Pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak mengacu pada ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.
Sedangkan kewenangan Direktur Jenderal Pajak mengacu pada Pasal 29 Undang-Undang KUP.
Kewenangan Direktur Jenderal Pajak berasal dari kata “dapat” dalam kalimat “Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dalam halโฆ“
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam hal memenuhi kriteria:
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak;
Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;
Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap;
Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko;
Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko; atau
Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Ada tiga “mazhab” yang saya temukan terkait penafsiran kewenangan pemeriksaan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak (pemeriksa pajak).
Mazhab pertama alasan pemeriksaan mengatakan bahwa SPT Wajib Pajak diperiksa jika ada bukti ketidakpatuhan yang dimiliki oleh DJP.
Harus ditemukan bukti ketidakbenaran SPT Wajib Pajak, baru kemudian dilakukan pemeriksaan. Itulah pemeriksaan menguji kepatuhan.
Tetapi dalam kondisi database DJP yang belum terkelola dengan baik maka akan ada simalakama antara pencarian data dan pemeriksaan.
Salah satu kewenangan pemeriksaan itu adalah meminjam dokumen apapun yang dimiliki oleh Wajib Pajak.
Dengan data ini tentu pemeriksa bisa menguji kepatuhan Wajib Pajak. Tetapi untuk masuk ke pemeriksaan, apa yang dimiliki DJP?
Jika Wajib Pajak memiliki pembisik yang mengatakan bahwa database DJP belum terkelola dengan baik maka lebih aman bagi mereka untuk tidak melaporkan SPT-nya karena dengan begitu tidak akan diperiksa!
DJP tidak punya alasan untuk melakukan pemeriksaan.
Sehingga teman saya pernah mengatakan, “Untuk mendapatkan bukti ketidakpatuhan Wajib Pajak maka harus dilakukan pemeriksaan. Sebaliknya untuk dilakukan pemeriksaan, harus ada bukti ketidakpatuhan. Jadi mana dulu?”
Alasan Wajib Pajak Diperiksa Oleh Ditjen Pajak
Mazhab yang kedua mengatakan bahwa alasan pemeriksaan pajak adalah analisis risiko. Ini yang digunakan sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 199/PMK.03/2007.
Kata-kata pertama analisis risiko sebenarnya ada di Pasal 29A Undang-Undang KUP, yaitu terkait dengan pemeriksaan pajak atas Wajib Pajak yang terdaftar di bursa efek (listed company).
Istilah analisis risiko tetap digunakan sampai Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 seperti yang petikannya sudah diatas.
Bukti ketidakpatuhan tentu berbeda dengan analisis risiko.
Namanya analisis tentu bisa saja hanya berupa indikasi. Analisis juga bisa berbentuk kuantitatif yaitu angka-angka dan bisa juga kualitatif yang berupa deskripsi yang menggambarkan indikasi ketidakpatuhan.
Perkembangan selanjutnya, ditingkat kebijakan yang dituangkan dalam surat edaran, analisis risiko ini dibagi dua:
analisis manual, dan
analisis komputerisasi.
Analisis manual dilakukan dengan manual. Satu Wajib Pajak atau satu grup dilakukan analisis secara manual. Analisi ini dituangkan dalam lembar analisis yang disebut “Analisis Risko Wajib Pajak”.
Sedangkan analisis komputerisasi dilakukan oleh komputer kantor pusat. Mulai 2022, Direktur Pemeriksaan sudah menggunakan Compliance Risk Management (CRM) dan Business Intelligence (BI) untuk membuat analisis risiko.
Mazhab ketiga alasan pemeriksaan pajak adalah karena kewenangan yang diberikan oleh Pasal 29 Undang-Undang KUP yang sudah dikutip diatas.
Pemikiran lain dari mazhab ketiga ini bahwa tidak ada satupun ketentuan di Undang-Undang KUP yang melarang atau membatasi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan.
Artinya, dengan kewenangan yang diberikan Pasal 29 sudah jelas bahwa Dirjen Pajak bisa saja melakukan pemeriksaan pajak dengan “suka-suka”.
Setelah dilakukan pemeriksaan, baru diketahui apakah Wajib Pajak melaporkan SPT dengan benar atau salah. Ini merupakan kebalikan dari mazhab pertama diatas.
Pemeriksaan Rutin dan Pemeriksaan Khusus
Pada tingkat kebijakan, kriteria pemeriksaan dibagi dua:
pemeriksaan rutin, dan
pemeriksaan khusus
Pemeriksaan Rutin merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Pemeriksaan Khusus atau pemeriksaan berdasarkan analisis risiko (risk based audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko secara manual atau secara komputerisasi menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Menurut Surat Edaran SE-15/PJ/2018, Pemeriksaan Rutin dilakukan dalam hal:
Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi.
Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang-Undang KUP atau Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN.
Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi.
Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak Orang Pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Wajib Pajak melakukan: perubahan tahun buku; perubahan metode pembukuan; dan/atau penilaian kembali aktiva tetap
Wajib Pajak tidak menyampaikan SPOP PBB P3
Dan pemeriksaan khusus terdiri:
Pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret (audit based on data) yang menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
Pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko (risk-based audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Pada dasarnya, pemeriksaan yang harus dilakukan oleh DJP adalah pemeriksaan yang berdasarkan Pasal 17B Undang-Undang KUP, yaitu pemeriksaan restitusi pajak.
Selain Pasal 17B, maka masuk domain kewenangan Dirjen Pajak, boleh diperiksa tetapi boleh juga tidak diperiksa.
SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar tetapi dikompensasi: boleh diperiksa, boleh juga tidak.
SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi: boleh diperiksa, boleh juga tidak diperiksa.
Tujuan tidak diwajibkannya pemeriksaan pajak adalah mengurangi beban pemeriksaan dengan kriteria pemeriksaan rutin dan sekaligus memperbanyak ruang pemeriksaan dengan kriteria pemeriksaan khusus.
Sebagian pegawai pajak berpendapat bahwa SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi harus diperiksa karena memiliki risiko tinggi.
Kerugian tersebut seperti sebuah cek untuk mengurangi pajak terutang di tahun pajak berikutnya.
Terkait dengan ini, sebenarnya untuk SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi tidak benar-benar tidak diperiksa.
Dalam hal tahun pajak yang diperiksa terdapat kompensasi kerugian dari tahun lalu, maka dalam kebijakan pemeriksaan tetap mengharuskan kepada pemeriksa pajak untuk melakukan perluasan pemeriksaan sampai dengan tahun pajak yang belum daluwarsa.
Tetapi jika memang sudah daluwarsa atau segera akan daluwarsa tidak harus diperiksa.
Salah satu pertimbangannya, dilihat dari manajemen risiko bahwa SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi tidak otomatis memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT atau bahkan SPT Tahunan Nihil.
Jenis Pemeriksaan Pajak
Jenis pemeriksaan pajak membagi pemeriksaan menjadi dua, yaitu
pemeriksaan kantor, dan
pemeriksaan lapangan
Berdasarkan pengertiannya, Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
Sedangkan Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak.
Pada prakteknya bisa jadi tidak ada perbedaan antara pemeriksaan kantor dan lapangan, kecuali terkait dokumen awal yaitu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
Seharusnya antara Pemeriksaan Kantor dan Pemeriksaan Lapangan ada perbedaan yang signifikan. Terutama karena Pemeriksaan Kantor sebenarnya untuk pemeriksaan yang secara risiko lebih rendah.
Sedangkan Pemeriksaan Lapangan untuk pemeriksaan yang cakupannya luas, kompleks, dan memiliki risiko tinggi. Inilah salah satu alasan kenapa pemeriksaan transfer pricing harus Pemeriksaan Lapangan karena dianggap memiliki risiko tinggi.
Pada saat Pemeriksaan Kantor pemeriksa melakukan pengujian pengujian transfer pricing maka jenis pemeriksaan diubah menjadi jenis Pemeriksaan Lapangan.
Pada umumnya, Wajib Pajak yang meminta restitusi adalah Wajib Pajak tertentu yang berulang-ulang atau sering atau setidaknya lebih dari sekali meminta restitusi.
Terutama resitusi PPN yang bisa dilakan setiap bulan, setiap masa pajak oleh Wajib Pajak tertentu. Diantara yang sering restitusi tersebut adalah Wajib Pajak rekanan pemerintah yang pajaknya sudah dipotong dan/atau dipungut oleh bendahara.
Diantara yang sering restitusi, Wajib Pajak sudah menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pemeriksaan pajak.
Sehingga begitu datang pemeriksa pajak atau bahkan cukup ditelpon dari kantor, maka Wajib Pajak langsung meminjamkan dokumen yang sudah disiapkan tersebut. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa pada umumnya, Wajib Pajak yang meminta restitusi memiliki risiko relatif kecil.
Pasal 5 ayat (2) PMK Tata Cara Pemeriksaan mengatur bahwa pemeriksaan kantor dilakukan dalam hal:
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
Standar Pemeriksaan Pajak
PMK Tata Cara Pemeriksaan mengatur standar pemeriksaan di Pasal 6 sampai dengan Pasal 10. Standar pemeriksaan tidak pernah berubah sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.
Standar Pemeriksaan
Standara pemeriksaan adalah capaian minimum yang harus dicapai dalam melaksanakan pemeriksaan. Boleh dibilang, standar pemeriksaan merupakan syarat minimal.
Pelaksanaan pemeriksaan pajak boleh lebih bagus atau diatas standar pemeriksaan yang sudah ditetapkan. Dalam hal dibawah standar, sebenarnya tidak ada sanksi bagi pemeriksa pajak tetapi akan menjadi ukuran pembinaan pelaksanaan pemeriksaan oleh Direktorat Pemeriksaan.
Standara pemeriksaan dibagi tiga:
standar umum
standar pelaksanaan
standar pelaporan hasil pemeriksaan
Standar umum Pemeriksaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak. Peraturan menteri keuangan dan peraturan direktur jenderal pajak memberikan syarat minimal pemeriksa pajak sebagai berikut:
[a.] telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak.
Persyaratan ini merupakan syarat kompetensi untuk dapat menjadi seorang Pemeriksa Pajak, baik sebagai individu maupun sebagai tim Pemeriksa Pajak (kompetensi kolektif).
Pemeriksa Pajak harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai dibidang perpajakan, akuntansi, dan Pemeriksaan.
Pemeriksa Pajak diharuskan memiliki pengetahuan umum tentang lingkungan dan proses bisnis Wajib Pajak, termasuk di antaranya adalah kemampuan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku.
Pemeriksa Pajak harus memiliki keterampilan berkomunikasi secara jelas dan efektif, baik secara lisan maupun tulisan.
Pemeriksa Pajak harus memelihara dan meningkatkan keahlian dan kompetensinya melalui pendidikan berkelanjutan. Pendidikan dimaksud dapat berupa diklat-diklat, kursus singkat, maupun seminar, baik yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, maupun oleh instansi lainnya, di dalam negeri maupun di luar negeri.
[b.] menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama.
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan dan penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus menggunakan keterampilannya secara profesional, cermat dan seksama, objektif, dan independen, serta selalu menjaga integritas.
Pemeriksa Pajak dianggap telah menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama apabila dalam melaksanakan Pemeriksaan didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
[c.] jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara.
Pemeriksa Pajak dituntut untuk selalu jujur dan bersih dari tindakan tercela serta mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi ataupun golongan.
Pemeriksa Pajak harus tunduk pada kode etik yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam semua hal yang berkaitan dengan Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus bersikap independen, yaitu tidak mudah dipengaruhi oleh keadaan, kondisi, perbuatan dan/atau Wajib Pajak yang diperiksanya.
Gangguan independensi yang dapat dialami oleh Pemeriksa Pajak selama Penieriksaan meliputi hal-hal berikut: [c.1.] memiliki hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan Wajib Pajak.
[c.2.] memiliki kepentingan keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Wajib Pajak.
[c.3.] pernah bekerja atau memberikan jasa di bidang yang berhubungan dengan masalah perpajakan, akuntansi, atau pun keuangan kepada Wajib Pajak dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir.
[c.4.] memiliki teman dekat atau keluarga yang dapat berposisi sebagai wakil Wajib Pajak yang diperiksa.
[c.5.] keadaan, kondisi dan perbuatan tertentu lainnya yang menurut pertimbangan Pemeriksa Pajak dapat mengganggu independensi tersebut..
[d.] taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan.
Pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, yang paling sedikit meliputi kegiatan mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak, menyusun rencana Pemeriksaan (audit plan), dan menyusun program Pemeriksaan (audit program), serta mendapat pengawasan yang seksama.
Pemeriksaan dilaksanakan dengan melakukan pengujian berdasarkan metode dan teknik Pemeriksaan sesuai dengan program Pemeriksaan (audit program) yang telah disusun.
Temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim, dan seorang atau lebih anggota tim, dan dalam keadaan tertentu ketua tim dapat merangkap sebagai anggota tim.
Apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain.
Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus didokumentasikan dalam bentuk KKP (Kertas Kerja Pemeriksaan).
KKP wajib disusun oleh Pemeriksa Pajak dan berfungsi sebagai:
bukti bahwa Pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan;
bahan dalam melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak mengenai temuan hasil Pemeriksaan;
dasar pembuatan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan);
sumber data atau informasi bagi penyelesaian keberatan atau banding yang diajukan oleh Wajib Pajak; dan
referensi untuk Pemeriksaan berikutnya.
Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilaporkan dalam bentuk LHP yang disusun sesuai standar pelaporan hasil Pemeriksaan.
LHP disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, memuat simpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait dengan Pemeriksaan.
LHP untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sekurang-kurangnya memuat:
penugasan Pemeriksaan;
identitas Wajib Pajak;
pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak;
pemenuhan kewajiban perpajakan;
data/informasi yang tersedia;
buku dan dokumen yang dipinjam;
materi yang diperiksa;
uraian hasil Pemeriksaan;
ikhtisar hasil Pemeriksaan;
penghitungan pajak terutang; dan
simpulan dan usul Pemeriksa Pajak.
Hak dan Kewajiban Pemeriksa Pajak
Kewajiban pemeriksa versus hak Wajib Pajak. Keduanya sebenarnya berhadap-hadapan. Harusnya kewajiban disisi pemeriksa maka hak disisi Wajib Pajak.
Tetapi ternyata tidak semuanya seperti itu. Karena itu saya sandingkan antara kewajiban Pemeriksa dan hak Wajib Pajak supaya terlihat mana yang berhadapan dan mana yang tidak.
Pemeriksa pajak berhak (berwenang):
[a.] melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
[b.] mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
[c.] memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
[d.] meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa:
[d.1] menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
[d.2] memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
[d.3] menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;
[e.] melakukan Penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak;
[f.] meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan
[g.] meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
Terkait dengan kewenangan pemeriksa pajak, Undang-Undang KUP memberikan hak untuk mendapatkan semua informasi yang dimiliki oleh Wajib Pajak.
Walaupun informasi tersebut bersifat rahasia, baik rahasia dagang maupun rahasia pribadi Wajib Pajak, maka rahasia tersebut dicabut atau dinyatakan tidak rahasia berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang KUP.
Hanya rahasia bank yang membutuhkan ijin Menteri Keuangan untuk mendapatkan informasi perbankan Wajib Pajak. Namun sekarang, permintaah rekening bank ke OJK cukup dengan aplikasi. Sehingga sangat memangkas birokrasi.
Kewajiban Pemeriksa Pajak diatur terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No 18/PMK.03/2021. Berikut daftar lengkap kewajiban pemeriksa pajak:
[a.] menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor;
[b.] memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;
[c.] memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
[d.] melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dalam rangka memberikan penjelasan mengenai: [d.1] alasan dan tujuan Pemeriksaan;
[d.2] hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
[d.3] hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor dan
[d.4] kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak;
[e.] menuangkan hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak;
[f.] menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak;
[g.] memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;
[h.] menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
[i.] melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan menyampaikan saran secara tertulis;
[j.] mengembalikan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak; dan
[k.] merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak atas segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.
Kewenangan versus kewajiban diatas adalah untuk versi jenis Pemeriksaan Lapangan.
Ada beberapa kewenangan pemeriksa pajak yang tidak dimiliki manakala jenis Pemeriksaan Kantor.
Kewenangan pemeriksa pajak yang tidak dimiliki pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Kantor adalah kehadiran pemeriksa pajak di domisili, tempat usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Dengan kehadiran pemeriksa pajak di domisili, tempat usaha atau kegiatan Wajib Pajak maka timbul kewenangan pemeriksaan pajak untuk meminjam dokumen yang ditemukan saat itu juga, memasuki ruangan atau bangunan atau tempat tertentu dan pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Lapangan berwenang melakukan penyegelan.
Sebaliknya ada kewenangan pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Kantor yang tidak ada di Pemeriksaan Lapangan, yaitu meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik melalui Wajib Pajak.
Apakah pemeriksaan lapangan benar-benar tidak memiliki kewenangan meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik? Sebenarnya tidak juga.
Pemeriksaan lapangan tetap memiliki kewenangan untuk meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik baik melalui Wajib Pajak maupun tidak. Justru pemeriksaan lapangan lebih luas. Karena tidak harus melalui Wajib Pajak.
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, Wajib Pajak memiliki hak:
[a.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2;
[b.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
[c.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
[d.] meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;
[e.] menerima SPHP;
[f.] menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;
[g.] mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3); dan
[h.] memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan
Sedangkan kewajiban Wajib Pajak pada saat dilakukan pemeriksaan yaitu:
[a.] memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
[b.] memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
[c.] memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak;
[d.] memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, yang dapat berupa:
[d.1.] menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
[d.2.] memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
[d.3.] menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;
[e.] menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP; dan\
[f.] memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.
Jangka Waktu Pemeriksaan Pajak
Jangka waktu pemeriksaan pajak diatur terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 18/PMK.03/2021.
Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang KUP ini merupakan dasar hukum dan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang KUP bahwa jangka waktu pemeriksaan pajak “harus dibatasi”.
Ada sebagian yang tidak setuju dengan adanya jangka waktu pemeriksaan. Hal ini karena proses pengumpulan data untuk diuji seringkali tergantung pada pihak eksternal.
Contoh adalah ijin membuka rahasia perbankan yang seringkali bisa berbulan-bulan baru dijawab. Atau konfirmasi pihak ketiga yang berasal dari negara lain yang jawabannya seringkali baru bisa diterima sekian tahun kemudian.
Tetapi karena Undang-Undang KUP mengharuskan adanya jangka waktu pemeriksaan maka dalam peraturan menteri keuangan selalu diatur batas waktu pemeriksaan.
Pada awalnya, jangka waktu pemeriksaan memang tidak diatur. Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 tidak mengatur masalah jangka waktu.
Baru muncul jangka waktu pemeriksaan di Keputusan Menteri Keuangan nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.
Padahal keputusan menteri keuangan ini masih berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000. Jangka waktu pemeriksaan masuk Undang-Undang KUP baru pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, yaitu di Pasal 31 ayat (2).
Jangka waktu pemeriksaan dapat dibagi dua bagian, yaitu:
jangka waktu pengujian; dan
jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan
Kenapa jangka waktu pemeriksaan dibagi dua? Dulu, sebelum ada pembagian jangka waktu pemeriksaan, kadang pemeriksa pajak memberikan SPHP diujung jangka waktu pemeriksaan.
Contoh, Peraturan Menteri Keuangan nomor 82/PMK.03/2011 mengatur jangka waktu pemeriksaan 8 bulan. Pemeriksa pajak kemudian menyampaikan SPHP di bulan ke 8.
Padahal setelah SPHP ada pembahasan, lamanya 1 bulan. Dengan demikian, total pemeriksaan menjadi 9 bulan. Bukan 8 bulan lagi.
Karena itu, sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013, jangka waktu pemeriksaan dibagi dua, antara sebelum SPHP dan setelah SPHP.
Sebelum SPHP disebut jangka waktu pengujian. Dan setelah SPHP disebut jangka waktu pembahasan.
Jangka Waktu Pengujian
Jangka waktu pengujian Pemeriksan Lapangan paling lama 6 (enam) bulan.
Enam bulan dihitung dari Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Jangka waktu pengujian ini dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 2 (dua) bulan.
Alasan dilakukan perpanjangan jangka waktu pengujian yaitu:
Pemeriksaan Lapangan diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak ketiga;
ruang lingkup Pemeriksaan Lapangan meliputi seluruh jenis pajak; dan/atau
berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
Khusus pemeriksaan lapangan berikut:
Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi;
Wajib Pajak dalam satu grup; atau
Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan,
pemeriksaan dapat diperpanjang 6 bulan. Bahkan sampai 3 kali perpanjangan sehingga total jangka waktu pengujian 22 bulan.
Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor paling lama 4 (empat) bulan.
Empat bulan dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.
Alasan perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor yaitu:
Pemeriksaan Kantor diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak ketiga;
ruang lingkup Pemeriksaan Kantor meliputi seluruh jenis pajak; dan/atau
berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Data Konkret paling lama 1 (satu) bulan.
Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Data Konkret tidak dapat diperpanjang.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, apabila jangka waktu perpanjangan pengujian Pemeriksaan Lapangan atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor telah berakhir, SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak.
Namun, jika pemeriksa pajak tetap belum menyampaikan SPHP, walaupun jangka waktu pengujian sudah berakhir, pada kenyataannya tidak ada akibat hukumnya bagi hasil pemeriksaan.
Berbeda jika tidak ada SPHP dan tidak ada pembahasan, kelalaian tersebut berakibat hukum hasil pemeriksaan dibatalkan.
Jangka Waktu Pembahasan
Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan paling lama 2 (dua) bulan, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak sampai dengan tanggal LHP.
Sedangkan Pemeriksaan atas data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.
Jangka Waktu Pemeriksaan Restitusi Pajak
Restitusi pajak adalah pengembalian pajak (refund). Dilihat dari sisi pemeriksaan, pengembalian pajak ada yang dimohonkan kepada DJP dan tidak dimohonkan.
Pengembalian pajak yang dimohonkan diatur di Pasal 17B Undang-Undang KUP, sehingga kadang disebut pemeriksaan Pasal 17B.
Sedangkan kelebihan pajak yang tidak dimohonkan mengacu ke Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP.
Kenapa harus dibedakan? Karena jatuh tempo pengembalian pengembalian diatas berbeda.
Pasal 17B mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Ini kadang disebut jatuh tempo restitusi. Jangka waktu 12 bulan ini saya sebut saja jangka waktu restitusi.
Jangka waktu ini berbeda dengan jangka waktu pemeriksaan. Tetapi berlaku prinsip mana yang lebih dulu! a. berlaku jangka waktu pemeriksaan jika jangka waktu restitusi pajak lebih lama. b. berlaku jangka waktu restitusi pajak jika jangka waktu restitusi lebih dulu.
Contoh jangka waktu restitusi lebih dulu: SPT LB dengan permohonan restitusi diterima DJP tanggal 4 Juni 2012. Berdasarkan peraturan Pasal 17B UU KUP, DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 3 Juni 2013.
Jika pemeriksaan pajak baru dimulai 7 Januari 2013 maka pemeriksa harus mengatur waktu sebelum 3 Juni 2013. Artinya harus ada 2 bulan jangka waktu pembahasan.
Awal April 2013 pemeriksa pajak harus menerbitkan SPHP karena pemeriksa harus mengalokasikan jangka waktu pembahasan 2 bulan. Padahal dari 7 Januari 2013 sampai akhir Maret 2013 jangka waktu pemeriksaan baru 3 bulan saja.
Kecuali jika pemeriksa yakin bahwa pembahasan (closing conference) hanya dilakukan satu atau dua hari dan Wajib Pajak setuju! Pada kasus ini, jangka waktu pembahasan tidak berlaku.
Surat Perintah Pemeriksaan (SP2)
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak yang tergabung dalam suatu tim Pemeriksa Pajak berdasarkan SP2.
Idealnya, pemeriksaan dilakukan oleh tim yang sama sejak pertama kali SP2 disampaikan sampai diterbitkan surat ketetapan pajak.
Namun dalam kenyataannya, mutasi Pemeriksa Pajak dapat dilakukan kapan saja tanpa menunggu pemeriksaan selesai.
Oleh karena itu, jika terjadi mutasi Pemeriksa Pajak maka kantor pajak akan memberikan pemberitahuan bahwa tim Pemeriksa Pajak berubah. Pemberitahuan ini dalam bentuk SP2 Perubahan.
Pemeriksa pajak wajib bertemu dengan Wajib Pajak yang diperiksa, baik untuk pemeriksaa lapangan maupun pemeriksaan kantor.
Ada perbedaan antara pemeriksaan lapangan dengan pemeriksaan kantor, yaitu jika pemeriksaan lapangan maka pemeriksa pajak wajib datang ke tempat Wajib Pajak (pemeriksa pajak aktif) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan.
Sedangkan pemeriksaan kantor, Wajib Pajak diundang ke kantor pajak dengan mengirim Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
Pada saat pertama kali bertemu dengan Wajib Pajak, pemeriksa pajak wajib memberikan penjelasan mengenai: [a.] alasan dan tujuan Pemeriksaan;
[b.] hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
[c.] hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
[d.] kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak.
Kemudian penjelasan terkait 4 hal diatas wajib dibuatkan berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak.
Peminjaman Dokumen
Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, maka buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dan diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di tempat Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga dan Pemeriksa Pajak membuat bukti peminjaman dan pengembalian buku, catatan, dan dokumen.
Ini adalah contekan dari Pasal 28 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.
Saya mengingatkan saja bahwa pada saat datang ke tempat Wajib Pajak, pemeriksa pajak tidak perlu membuat surat peminjaman dokumen.
Kebiasaan sebagian pemeriksa, sebelum datang ke tempat Wajib Pajak, maka pemeriksa menyiapkan dulu surat peminjaman dokumen.
Sebenarnya, surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen itu dilakukan dalam hal: [a.] buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan belum ditemukan;
[b.] buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan belum diberikan oleh Wajib Pajak pada saat pelaksanaan Pemeriksaan (dengan segala alasannya, misalnya gudang arsipnya di luar kota).
Pada kesempatan pertama datang ke Wajib Pajak, pemeriksa pajak berwenang memasuki semua ruangan dan tidak ada ruangan rahasia karena semua rahasia demi kepentingan Negara (pajak merepresentasikan negara) menjadi tidak ada.
Semua harus terbuka bagi pemeriksa pajak. Pada saat menjalankan tugas sesuai SP2, pemeriksa pajak adalah perwakilan NKRI untuk tugas perpajakan.
Untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik, pemeriksa pajak memiliki kewenangan meminta Wajib Pajak untuk menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak.
Sebaliknya dari sisi Wajib Pajak, pada Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang KUP memerintahkan bahwa Wajib Pajak yang diperiksa wajib memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Dokumen yang diminta akan disampaikan sesuai ketentuan di Undang-Undang KUP, yaitu satu bulan.
Kemudian, jika ada perbedaan nama atau jenis dokumen antara yang digunakan oleh Wajib Pajak dengan yang tertulis di lampiran Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen maka Wajib Pajak dapat mengatakan, “Bapak/ibu, dokumen nomor sekian tidak ada di perusahaan kami.”
Padahal bisa jadi dokumen yang sejenis atau berfungsi sama tetapi namanya berbeda ada.
Kalaupun ada, kemudian Wajib Pajak mengatakan tidak ada, sebenarnya Pemeriksa Pajak tidak bisa membuktikan kebohongan Wajib Pajak.
Bandingkan jika Pemeriksa Pajak ketempat usaha Wajib Pajak dan menemukan dokumen yang diperlukan! Alasan apa yang bisa digunakan Wajib Pajak?
Masalah dokumen adalah masalah penting. Pemeriksa Pajak tidak boleh melakukan koreksi berdasarkan analisis.
Bukan berarti Pemeriksa Pajak tidak melakukan analisis tetapi analisis yang digunakan untuk mendeteksi ketidakpatuhan Wajib Pajak.
Dasar koreksi tetap dokumen dan dasar hukum. Temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 4 PER-23/PJ/2013).
Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan dengan tetap mempertimbangkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa.
Valid berarti bukti dapat diandalkan untuk menyimpulkan suatu fakta.
Relevan berarti bahwa bukti harus berkaitan dengan pos-pos yang akan diperiksa.
Bukti yang cukup adalah bukti yang memadai untuk mendukung temuan hasil Pemeriksaan.
Kecukupan terkait dengan pertimbangan profesional (professional judgement) Pemeriksa Pajak. Lebih lanjut, silakan cek Pasal 4 huruf c PER-23/PJ/2013.
Pada kenyataannya, Pemeriksa Pajak yang duduk manis di kantor menunggu kedatangan dokumen sering kali kecewa ketika dokumen yang diminta dengan Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen datang mendekati jangka waktu pengujian habis atau bahkan setelah SPHP diterima oleh Wajib Pajak.
Sebenarnya, Pemeriksa Pajak bisa menggunakan kewenangannya untuk menghitung pajak terutang secara jabatan.
Tetapi sangat jarang digunakan karena beberapa kasus kalah di pengadilan pajak. Itu yang jadi acuan. Padahal putusan Pengadilan Pajak tidak pernah jadi dasar hukum.
Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen bisa sampaikan beberapa kali sepanjang Pemeriksa Pajak memandang perlu.
Tetapi ketentuan satu bulan sebagaimana diatur Pasal 29 ayat (3a) Undang-Undang KUP tetap berlaku.
Sehingga, jika Pemeriksa Pajak setelah 7 bulan pemeriksaan masih mengeluarkan Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen maka bisa jadi atas dokumen tersebut tidak diuji karena jangka waktu pengujian mungkin sudah lewat.
Apakah buku, catatan, dan dokumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak setelah SPHP diterbitkan boleh diterima oleh Pemeriksa Pajak.
Ini adalah bagian dari perdebatan di internal DJP. Ada yang bilang boleh, ada yang bilang tidak boleh. Permasalahannya, setelah SPHP adalah waktu untuk pembahasan hasil pemeriksaan.
Bukan waktunya lagi menguji dokumen Wajib Pajak. Pengujian tetap disarankan sebelum SPHP.
Tetapi disatu sisi ada ketentuan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP:
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
Secara tidak langsung Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP mengatakan bahwa selama jangka waktu pemeriksaan belum selesai maka dokumen dapat diterima oleh Pemeriksa Pajak.
Sedangkan pemeriksaan selesai setelah ditanda-tanganinya LHP. Bagaimana jika Wajib Pajak sebelum SPHP tidak pernah menyampaikan dokumen, tetapi setelah SPHP menyampaikan dokumen seabreg-abreg?
Dalam hal Wajib Pajak tidak atau tidak sepenuhnya meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diminta berdasarkan berita acara tidak dipenuhinya permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen Pemeriksa Pajak harus menentukan dapat atau tidaknya melakukan pengujian dalam rangka menghitung besarnya penghasilan kena pajak berdasarkan bukti kompeten yang cukup sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan.
Jika kesimpulan Pemeriksa Pajak tidak dapat melakukan pengujian dalam rangka menghitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksa pajak memiliki kewenangan untuk melakukan penyegelan. Kewenangan penyegelan ini berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang KUP:
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b
Apa objek penyegelan dalam pemeriksaan pajak? Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 benda yang disegel adalah buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak.
Artinya semua benda yang menurut pemeriksa pajak akan memberikan petunjuk tentang kegiatan usaha Wajib Pajak.
Penyegelan dilakukan manakala: [a.] Wajib Pajak tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki tempat atau ruang serta memeriksa barang yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dan/atau dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik;
[b.] Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
[c.] Wajib Pajak tidak berada di tempat
Penyegelan hanya ada dalam jenis Pemeriksaan Lapangan. Sehingga jika Pemeriksa Pajak datang ke tempat usaha/domisili Wajib Pajak dengan membawa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan maka hal yang pertama kali dilakukan adalah memberikan penjelasan mengenai 4 hal diatas kemudian membuat berita acara.
Selanjutnya, Pemeriksa Pajak memeriksa tempat Wajib Pajak (tanpa pengecualian). Jika menolak, maka pemeriksa pajak berwenang untuk melakukan penyegelan.
Setelah melakukan pemeriksaan tempat Wajib Pajak, maka buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dan diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di tempat Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga .
Penyegelan dilakukan denga menempelkan tanda segel. Peraturan menteri keuangan menyebut “tanda segel” bukan “kertas segel”.
Tanda segel bisa dibuat dari apa saja. Tanda segel harus ditempel. Penyegelan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa selain anggota tim Pemeriksa Pajak.
Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal Penyegelan atau jangka waktu lain dengan mempertimbangkan tujuan Penyegelan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tetap tidak memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau tidak memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, Wajib Pajak dianggap menolak dilakukan Pemeriksaan.
Jika Pemeriksa Pajak merasa belum cukup waktu melakukan penyegelan, tidak ada larangan dilakukan penyegelan kedua dan seterusnya.
Pembukaan segel dilakukan apabila:
Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak telah memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau telah memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
berdasarkan pertimbangan Pemeriksa Pajak, Penyegelan tidak diperlukan lagi; dan/atau
terdapat permintaan dari penyidik yang sedang melakukan penyidikan tindak pidana.
Permintaan Keterangan
Pemeriksaan pajak membagi dua keterangan, yaitu: [a.] keterangan yang berasal dari Wajib Pajak atau pegawai Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau anggota keluarga; dan [b.] keterangan yang berasal dari pihak ketiga.
Terhadap pihak Wajib Pajak seperti [a.] diatas maka pemeriksa pajak dapat meminta keterangan langsung.
Pemeriksa Pajak dapat memanggil, dan membuat berita acara pemberian keterangan.
Tetapi untuk keterangan yang berasal dari pihak ketiga hanya dapat diminta dengan surat konfirmasi yang ditandatangan oleh kepala UP2.
Penyelesaian Pemeriksaan
Setiap SP2 akan diselesaikan dengan membuat LHP atau LHP Sumir. Kecuali jika atas SP2 tersebut dibatalkan.
Ciri penyelesaian dengan membuat LHP adalah pemeriksa pajak menyampaikan SPHP.
Tetapi jika pemeriksa pajak sampai dengan jangka waktu pemeriksaan habis tidak menyampaikan SPHP berarti penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir. Tidak ada ketentuan bahwa Wajib Pajak harus diberitahu jika penyelesaian pemeriksan dengan membuat LHP Sumir.
Kenapa? Karena awalnya LHP Sumir itu hanya untuk WP tidak ditemukan! Pemeriksaan yang dihentikan dengan membuat LHP Sumir karena Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dapat dilakukan Pemeriksaan kembali apabila dikemudian hari Wajib Pajak ditemukan.
Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir dilakukan dalam hal: [a.] Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa:
tidak ditemukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan.
[b.] Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka tersebut:
tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP;
tidak dilanjutkan dengan penyidikan tetapi diselesaikan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP; atau
dilanjutkan dengan penyidikan tetapi penyidikannya dihentikan karena tidak dilakukan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP.
[c.] Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan penyidikan sebagai tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dan penyidikan tersebut dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP. [d.] Pemeriksaan Ulang tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. [e.] Terdapat keadaan tertentu berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
SPHP dan Closing Conference
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) merupakan batas awal penghitungan jangka waktu pembahasan.
Jangka waktu pengujian telah berakhir. SPHP wajib disampaikan oleh pemeriksa pajak. SPHP diberikan sekali saja. Konsep pemeriksaan pajak: satu SP2 satu SPHP satu LHP. Tapi sekarang boleh direvisi sekali.
SPHP merupakan materi pemeriksaan pokok yang harus diatur di Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang KUP yang berbunyi:
Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan
Materi penting tata cara pemeriksaan menurut Pasal 31 (2) Undang-Undang KUP terdiri dari: [a.] pemeriksaan ulang, [b.] jangka waktu pemeriksaan, [c.] kewajiban menyampaikan SPHP, dan [d.] hak WP untuk hadir dalam pembahasan (closing conference)
Selain itu SPHP dan Closing Conference juga salah satu rukun (meminjam istilah santri) pemeriksaan yang harus ditunaikan.
Jika SPHP tidak ada maka hasil pemeriksaan menjadi batal, dan pembatalan tersebut bisa dengan permohonan Wajib Pajak atau inisitif DJP sendiri.
Ketentuan “rukun” pemeriksaan ini diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP:
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: … d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
Karena Undang-Undang KUP mengamanatkan hak Wajib Pajak untuk hadi dalam closing conference maka di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 diatur lebih detil masalah penyampaian SPHP, undangan pembahasan, dan pembahasan (closing conference).
Setidaknya ada 16 pasal di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang mengatur SPHP dan closing conference, yaitu mulai Pasal 41 sampai dengan Pasal 57 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013.
Pasal-Pasal tersebut diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 18/PMK.03/2021
Setelah pemeriksa dapat menghitung pajak-pajak terutang, atau karena jangka waktu pengujian telah terlampaui, maka pemeriksa pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).
Surat ini ditandatangani oleh kepala kantor, dan dalam lampirannya mencantumkan daftar pos-pos yang dikoreksi atau objek pajak tertentu yang dikoreksi.
Daftar pos-pos ini sering juga disebut daftar temuan. SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak, baik secara langsung melalui kurir maupun dikirim melalui faksimili.
Tidak diatur pengiriman melalui email karena tidak ada dasar hukumnya di Undang-Undang KUP. Dulu salah satu alasan tidak menggunakan email karena alamat email yang tidak standar.
Wajib Pajak diharapkan memberikan tanggapan. Tanggapan tertulis harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya SPHP oleh Wajib Pajak.
Jika setuju, sudah disediakan formulir persetujuan.
Jika tidak setuju sebagian atau seluruhnya maka harus dijelaskan apa dan kenapa tidak setuju.
Poin ketidaksetujuan inilah sebenarnya yang menjadi pokok pembahasan di closing conference.
Sehingga jika Wajib Pajak menuangkan ketidaksetujuan secara tertulis, maka akan membantu pemeriksa pajak untuk membuat risalah pembahasan.
Apakah jika tidak ada tanggapan maka tidak ada closing conference? Era sebelum Undang-Undang KUP 2007 ada pendapat seperti itu.
Tetapi karena ada rukun pemeriksaan diatas, dan Undang-Undang KUP mengamanatkan pengaturan pemberian hak kepada Wajib Pajak maka ada atau tidak ada tanggapan SPHP, tetap wajib dibuat undangan pembahasan!
Undangan pembahasan harus disampaikan 3 hari kerja setelah surat tanggapan diterima oleh kantor pajak, atau 10 hari kerja setelah SPHP jika Wajib Pajak meminta perpanjangan jangka waktu tanggapan.
Pada tanggal sesuai tertera di undangan, Pemeriksa Pajak membuat risalah pembahasan dengan mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dan membuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak.
Ini jika Wajib Pajak hadir. Jika tidak hadir maka dibuatkan berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak.
Pembahasan tidak harus dilakukan sehari sesuai tanggal undangan. Jika memang belum selesai, maka pembahasan bisa dilakukan hari berikutnya sesuai yang disepakati oleh Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak asalkan dalam periode jangka waktu pembahasan dua bulan.
Tetapi jika Wajib Pajak sudah berniat mengajukan pembahasan ke Tim Quality Assurance Pemeriksaan (Tim QA) maka tidak perlu lama-lama pembahasan dengan Wajib Pajak.
Diskusi atau pembahasan dengan pemeriksa pajak sebenarnya bisa dilakukan pada periode jangka waktu pengujian.
Pembahasan Dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan
Menurut Pasal 49 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tim Quality Assurance Pemeriksaan memiliki tugas:
a. membahas perbedaan pendapat yang terbatas pada dasar hukum koreksi antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
b. memberikan simpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak; dan
c. membuat risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang berisi simpulan dan keputusan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan bersifat mengikat.
Kemudian ditegaskan lagi oleh Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-28/PJ/2013 yang menyebutkan, “Tim Quality Assurance Pemeriksaan tidak melakukan pengujian pemeriksaan tetapi memberikan simpulan atas perbedaan pendapat antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak mengenai dasar hukum koreksi dan/atau penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Setelah menerima surat permohonan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, kemudian Tim Quality Assurance Pemeriksaan mengundang pemeriksa pajak dan Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
Tim Quality Assurance Pemeriksaan hanya menilai dan memutuskan pendapat yang mana yang benar.
Tim Quality Assurance hanya memeriksa bagian formal atau dasar hukum koreksi serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, keputusan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dapat: *** membenarkan pendapat Wajib Pajak; *** membenarkan pendapat pemeriksa pajak; atau *** memiliki pendapat lain diluar pendapat Wajib Pajak dan pemeriksa pajak.
Walaupun Tim Quality Assurance Pemeriksaan (Tim QA) boleh memiliki kesimpulan yang berbeda dengan Wajib Pajak dan pemeriksa, tetapi Tim QA tidak boleh membuat koreksi fiskal baru diluar yang disengketakan pada saat pembahasan.
Sesuai dengan tugasnya, Tim QA hanya memberikan kesimpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak.
Jika Tim QA boleh membuat koreksi baru, berarti Tim QA sudah bertindak sebagai pemeriksa pajak.
Tim QA juga tidak melakukan pengujian dokumen. Metode Pemeriksaan dan Teknik Pemeriksan diperuntukkan bagi pemeriksa pajak, bukan Tim QA. Pengujian-pengujian dilakukan oleh pemeriksa pajak saja.
Pembahasan masalah ini memang cukup panjang tetapi pembatasannya tidak secara detil tercantum. Alasannya, aturan yang terlalu detil sering membelenggu.
Tetapi inti pembatasan yang saya sarikan adalah jangka waktu pembahasan bukan saatnya pengujian dokumen.
Bagaimana jika pendapat Tim QA memerlukan pengujian? Karena pengujian dokumen merupakan domain pemeriksa pajak, maka setelah selesai pembahasan dengan Tim QA pelaksanaan pengujian tetap dilakukan oleh pemeriksaan pajak.
Tim QA hanya memberikan “batasan-batasan” koreksi mana yang boleh dan koreksi mana yang tidak boleh.
Sangat mungkin jika Tim QA memutuskan suatu kesimpulan tetapi mengenai jumlah atau nominal rupiah yang dikoreksi ditentukan sendiri oleh pemeriksa pajak setelah dilakukan “penghitungan ulang”.
Pendapat Tim QA harus berdasarkan masing-masing masalah. Sebagai contoh, hasil pemeriksaan PPh Badan yang dituangkan dalam SPHP dan Risalah Pembahasan, pemeriksa telah melakukan koreksi fiskal atas 7 pos baik penghasilan maupun biaya.
Bisa jadi Tim QA setuju dengan pendapat Wajib Pajak dalam 4 pos, tetapi 3 pos lain Tim QA sependapat dengan pemeriksa pajak.
Hasil pembahasan di Tim QA harus diformalkan dalam Risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan.
Risalah ini ditandatangani oleh tiga pihak, yaitu Tim QA, Wajib Pajak, dan pemeriksa pajak.
Dokumen Risalah Tim QA berfungsi seperti notula atau laporan hasil rapat. Pendapat masing-masing pihak: Wajib Pajak, pemeriksa pajak, dan pendapat Tim QA harus ditulis secara jelas di Risalah Tim QA.
Dan pendapat Tim QA adalah pendapat terakhir sampai diterbitkan surat ketetapan pajak.
Apakah Tim QA bertanggung jawab atas pendapatnya? Tentu saja, Tim QA harus bertanggung jawab atas keputusannya dan pemeriksa pajak harus bertanggung jawab atas pendapatnya.
Jika pendapat pemeriksa “dipatahkan” oleh Tim QA maka pemeriksa pajak sebenarnya seperti tidak berpendapat untuk masalah tersebut.
Pembahasan dengan Tim QA bukan berarti pemeriksaan selesai. Proses closing conference baru berakhir jika telah dibuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ihtisar hasil pembahasan akhir.
Artinya, Setelah pembahasan dengan Tim QA, Wajib Pajak harus menandatangani risalah pembahasan Tim QA, dan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Tetapi jika Wajib Pajak tidak meminta pembahasan dengan Tim QA maka saat pembahasan dengan pemeriksa pajak, langsung saja dibuatkan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri ihtisar hasil pembahasan akhir.
Pastikan bahwa angka yang masuk ke ihtisar hasil pembahasan akhir adalah angka terakhir yang dibahas atau angka sesuai keputusan Tim QA yang dituangkan dalam risalah Tim QA.
Pengungkapan Ketidakbenaran
Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, sepanjang Pemeriksa Pajak belum menyampaikan SPHP.
Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
Laporan tersendiri secara tertulis harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan: [a.] penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format SPT; [b.] SSP atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan [c.] SSP atas pembayaran sanksi administrasi berupa bunga KMK ditambah 10%.
Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Pemeriksaan Bukti Permulaan setara dengan penyelidikan menurut istilah di KUHAP.
Dalam hal pemeriksa pajak menemukan indikasi tindak pidana pajak pada saat pemeriksaan, maka pemeriksa harus mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Wajib Pajak tentu saja tidak pernah tahu apakah pemeriksa pajak mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau tidak sampai dengan adanya surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan.
Jika pemeriksaan pajak kemudian menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Wajib Pajak akan menerima: 1. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan, dan 2. Surat Pemberitahuan Penangguhan Pemeriksaan dari pemeriksa.
Semua pemeriksaan yang “ditingkatkan” menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan maka pemeriksaan pajaknya tertangguh.
Tergangguh jangka waktunya, dan penyelesaiannya. Setelah dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan, “nasib” pemeriksaan kemungkinannya disumir atau dilanjutkan.
Proses pemeriksaan akan dilanjutkan jika: [a.] Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka meninggal dunia;
[b.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
[c.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan namun penyidikan dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP, atau
[d.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat putusan pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pemeriksa Bukti Permulaan atau penyidik tidak mendapatkan cukup bukti tindak pidana.
Pertama, pemeriksaan Bukti Permulaan tidak dapat dilanjutkan karena calon tersangka meninggal.
Kedua, secara jelas menyebutkan tidak ada bukti pidana.
Ketiga, penyidikan dihentikan oleh penyidik karena bukan tindak pidana perpajakan.
Sebenarnya Pasal 44 A UU KUP mengatur empat alasan dihentikannya penyidikan, yaitu tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia.
Hanya saja jika penyidikan saja sudah daluwarsa maka penetapan pajak pun sudah pasti daluwarsa karena daluwarsa penetapan hanya 5 tahun saja.
Keempat, terbukti di pengadilan bahwa Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana perpajakan.
Alasan keempat ini cukup rasional, artinya Wajib Pajak terbukti berbuat salah.
Hanya saja setiap sanksi pidana ada denda 2 kali pajak terutang sampai dengan 4 kali denda pajak terutang.
Ini bukan denda administrasi. Sedangkan pemeriksaan akan menimbulkan pajak terutang yang secara administrasi ditagih oleh negara dan dicatat sebagai penerimaan pajak.
Surat ketetapan pajak akan disetor oleh Wajib Pajak melalui MPN ke kas negara. Sedangkan sanksi denda pidana akan dieksekusi oleh Kejaksaan.
Pemeriksaan Ulang
Pemeriksaan ulang didasarkan pada Pasal 15 Undang-Undang KUP. Berikut kutipan Pasal 15:
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Fungsi pemeriksaan ulang untuk melakukan koreksi atas surat ketetapan pajak lebih rendah dari yang seharusnya.
Koreksi atas surat ketetapan pajak sebenarnya bisa lewat keberatan, atau pembetulan Pasal 16 UU KUP, atau pembatalan Pasal 36 UU KUP.
Masing-masing memiliki “jalur” atau alasan. Misalnya, keberatan terkait dengan beda pendapat antara Wajib Pajak dengan fiskus, pembetulan karena ada salah tulis dan salah hitung, sedangkan pembatalan karena surat ketetapan tidak benar.
Sedangkan pemeriksaan ulang disebabkan karena ditemukan data baru. Karena itu perlu dipahami apa dan bagaimana data baru.
Nah, untuk lebih jelas masalah data baru sebagaimana dimaksud di Pasal 15 UU KUP, saya copy paste bagian penjelasan Pasal 15 UU KUP:
Yang dimaksud dengan โdata baruโ adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang: a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh: 1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap.
2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.
3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.
Ada aturan yang baru di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 terkait pemeriksaan ulang, yaitu pengaturan bahwa pemeriksaan ulang boleh sumir. Sebelumnya tidak diatur.
Karena tidak diatur boleh berujung LHP Sumir, maka sebelumnya pemeriksaan ulang selalu ditekankan harus berujung SKPKBT.
Harus jelas dulu novum-nya apa? Jika novum masing samar-samar maka tidak boleh dilakukan pemeriksaan ulang.
Sejak 1 Februari 2013, novum yang sama-sama pun boleh menjadi pemeriksaan ulang. Nanti pemeriksa pemeriksaan ulang yang menilai apakah benar-benar sudah ada novum atau tidak.
Pemeriksaan Tujuan Lain
Ada perbedaan mendasar antara pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dengan pemeriksaan untuk tujuan lain, yaitu pemeriksaan untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan. Jika pemeriksa pemeriksaan untuk tujuan lain menemukan potensi pajak yang belum disetor pada saat pemeriksaan untuk tujuan lain maka pemeriksa pajak tersebut harus mengusulkan pemeriksaan khusus. Sesuai dengan Pasal 69 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 bahwa ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
Contoh pemeriksaan untuk tujuan lain:
pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan;
pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
Wajib Pajak mengajukan keberatan;
pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
pencocokan data dan/atau alat keterangan;
penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/ atau
memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain empat bulan jika jenis pemeriksaannya pemeriksaan lapangan.
Tetapi jika pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor maka jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain hanya 14 hari saja.
Di pemeriksaan untuk tujuan lain tidak ada jangka waktu pembahasan karena memang tidak ada yang dibahas.
Juga tidak ada jangka waktu pengujian karena memang bukan menguji SPT. Intinya, pemeriksaan untuk tujuan lain bersifat pelayanan atau pendapat kedua (second opinion).
Raden Agus Suparman
Praktisi Pajak sejak 1995. Sekarang bergabung dengan Taxprime Academy
Variasi tarif PPh Jasa Konstruksi kini, 2022, lebih banyak
Pemerintah telah mengubah Tarif PPh Jasa Konstruksi. Perubahan ini mulai berlaku 21 Februari 2022 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022.
Perubahan ini terkait dengan adanya Pandemi Covid-19. Karena itu, di Pasal 10D disebutkan bahwa ketentuan tarif ini akan dievaluasi setelah 3 tahun berlaku. Artinya, mungkin ada perubahaan lagi di tahun 2025.
Dulu, jasa konstruksi itu dibagi 3 yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Hal ini bisa baca di definisi jasa kontruksi. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.
Sekarang jasa konstruksi dibagi 5, yaitu: a. klasifikasi usaha jasa konsultansi konstruksi untuk sifat umum; b. klasifikasi usaha jasa konsultansi konstruksi untuk sifat spesialis; c. klasifikasi usaha pekerjaan konstruksi untuk sifat umum; d. ktasifikasi usaha pekerjaan konstruksi untuk sifat spesialis; dan e. klasifikasi usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi.
Dan definisi jasa konstruksi menjadi :
Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi.
Pasal 1 angka 2 PP Nomor 9 Tahun 2022
Dari definisi ini, Jasa Konstruksi dibagi dua, yaitu jasa konsultansi, dan pekerjaan. Gampangnya jasa konsultansi yang dulunya jasa perencanaan dan jasa pengawasan.
Layanan jasa konsultansi konstruksi mencakup layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan.
Layanan jasa pekerjaan konstruksi mencakup kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan.
Sedangkan pekerjaan konstruksi terintegrasi merupakan gabungan keduanya. Lebih lengkap, dan lebih kompleks.
Layanan jasa pekerjaan konstruksi terintegrasi mencakup gabungan pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi konstruksi, termasuk di dalamnya penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan
Tarif PPh Jasa Konstruksi
Seperti di peraturan pemerintah sebelumnya, PPh Jasa Konstruksi dikenai PPh Final. Artinya, PPh terutang dikenai dari nilai kontrak dikalikan dengan tarif.
Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum atau seharusnya tercantum dalam kontrak Jasa Kohstruksi secara keseluruhan.
Sedangkan tarif PPh Jasa Konstruksi:
a. 1,75% (satu koma tujuh puluh lima persen) untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang memiliki sertifikat badan usaha kualifikasi kecil atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan;
b. 4% (empat persen) untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan;
c. 2,65% (dua koma enam puluh lima persen) untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b
d. 2,65% (dua koma enam puluh lima persen) untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki sertifikat badan usaha;
e. 4% (empat persen) untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha;
f. 3,5% (tiga koma lima persen) untuk jasa konsultansi konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan; dan
g. 6% (enam persen) untuk jasa konsultansi konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan.
Sertifikat badan usaha adalah tanda bukti pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan usaha Jasa Konstruksi termasuk hasil penyetaraan kemampuan Jasa Konstruksi asing yang dikeluarkan oleh:
lembaga sertifikasi badan usaha yang dibentuk oleh asosiasi badan usaha yang terakreditasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan dicatat oleh lembaga pengembangan jasa konstruksi (LPJK);
lembaga sertifikasi badan usaha yang telah diakreditasi oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral; atau
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Jadi, sekarang sertifkat badan usaha tidak hanya dikeluarkan oleh LPJK seperti dulu. Tetapi termasuk sertifikat teknik yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM.
Sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan adalah tanda bukti pengakuan kompetensi tenaga kerja konstruksi yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi profesi dan dicatat oleh lembaga pengembangan jasa konstruksi.
Yang sedikit membingungkan ada di huruf c, yaitu frase “penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b”. Ternyata menurut penjelasannya, tarif 2,65% untuk klasifikasi menengah dan besar.
Yang dimaksud dengan “Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b” antara lain Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha menengah atau kualifikasi usaha besar atau spesialis.
Penjelasan PP nomor 9 tahun 2022
Seperti definisi diatas, tarif juga dapat dibagi dua, yaitu jasa konsultansi, dan pekerjaan.
Tarif PPh Jasa Konsultasi yaitu:
jasa konsultansi konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan (huruf f), dan
jasa konsultansi konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan (huruf g).
Sedangkan PPh Pekerjaan Konstruksi sisanya. PPh Pekerjaan Konstruksi ada yang untuk UKM (huruf a), tidak memiliki sertifikat atau kompetensi perorangan (huruf b), dan besar termasuk spesialis (huruf c).
Huruf d dan huruf e untuk Pekerjaan Kontruksi Terintegrasi. Untuk yang tidak memiliki sertifikasi menggunakan huruf e.
Berdasarkan penggolongan terserbut, kita dapat kesimpulan bahwa pemborong bangunan (rumah dan kantor) perorangan yang tidak memiliki kompetensi keahlian jasa konstruksi tetap dikenai PPh final. Tidak dikenai PPh Pasal 21. Ini karena orang pribadi tersebut sebagai pengusaha. Berbeda dengan tukang yang bekerja kepada pengusaha perorangan tersebut.
Pajak daerah dan retribusi daerah update undang-undang terbaru
Pajak daerah artinya pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah, yaitu pemerintah provinsi, pemeriksan kota, atau pemerintah kebupaten. Walaupun namanya pajak daerah, namun dalam pelaksanaannya, pajak daerah dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan cq Ditjen Perimbangan Keuangan Daerah.
Pajak dapat digolongkan berdasarkan kewenangan yang memungutnya, yaitu pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat seperti: Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai. Pajak pusat telah mengalami reformasi undang-undang pada tahun 1985. Sedangkan pajak daerah seperti Pajak Kendaraan Bermotor baru “dikodifikasi” dari ordonansi menjadi pajak daerah pada tahun 1997.
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Baru pada tahun 1997 Indonesia memiliki Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebelumnya, pajak daerah masih diatur berdasarkan ordonansi dan perundang-undangan tahun 1950-an.
Undang-Undang nomor 18 tahun 1997 pertama kali menghimpun pajak-pajak daerah dalam satu undang-undang. Undang-Undang ini kemudian menghapus beberapa undang-undang yang menjadi dasar hukum pajak-pajak daerah. Undang-undang yang dihapus oleh Undang-Undang ini yaitu:
Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934
Ordonansi Pajak Potong 1936
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang PajakRadio
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan I
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri
Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah
Undang-undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah
Undang-undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing
Undang-undang Nomor 27 Prp. Tahun 1959 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bangsa Asing dan Pajak Radio Kepada Daerah
Undang-Undang nomor 18 tahun 1997 kemudian dicabut dengan Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Selanjutnya pada tahun 2022, Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 dicabut dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pajak Daerah Pemerintah Provinsi
Pajak daerah yang merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi yaitu:
a. PKB; b. BBNKB; C. PAB; d. PBBKB; e. PAP; f. Pajak Rokok; dan g. Opsen Pajak MBLB.
PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisq.n, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digu.nakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
PAB (Pajak Alat Berat) adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
PBBKB (Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor) adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
PAP (Pajak Air Permukaan) adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
Opsen Pajak MBLB (Mineral Bukan Logam dan Batuan) adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pajak Daerah Pemerintah Kota / Kabupaten
Sedangkan pajak daerah yang merupakan kewenangan Pemerintah Kota atau Pemerintah Kabupaten yaitu:
PBB-P2;
BPHTB;
PBJT;
Pajak Reklame;
PAT;
Pajak MBLB;
Pajak Burung Walet;
Opsen PKB; dan
Opsen BBNKB.
PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan / atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/ atau jasa tertentu. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
PAT (Pajak Air Tanah) adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
Pajak MBLB (Mineral Bukan Logam dan Batuan) adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Self Assessment dan Official Assessment
Self assessmentadalah sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menetapkan, menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terutang. Insitusi pemungut pajak bertugas mengawasi pelaksanaan self assessement ini.
Official Assessment adalah sistem perpajakan yang menetapkan besarnya pajak yang terutang ditetapkan sepenuhnya oleh institusi pemungut pajak. Tidak ada pajak terutang jika tidak ada penetapan dari institusi yang dimaksud. Wajib Pajak tinggal bayar saja.
Undang-Undang nomor 1 tahun 2022 menganut dua sistem assessment diatas. Beberapa pajak daerah merupakan self assessment, dan lainnya official assessment. Pembagian self assessment dan official assessment diatur di Pasal 5.
Pajak daerah yang menggunakan self assessment yaitu:
PBBKB (Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor);
Pajak Rokok;
Opsen Pajak MBLB (Mineral Bukan Logam dan Batuan);
BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan);
PBJT (Pajak Barang dan Jasa Tertentu);
Pajak MBLB (Mineral Bukan Logam dan Batuan);
Pajak Sarang Burung Walet.
Wajib Pajak wajib membuat Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, dan melaporkan ke Pemerintah Daerah sebagai bentuk pertanggung-jawaban self assessment.
Pajak daerah yang menggunakan official assessment, yaitu:
PKB (Pajak Kendaraan Bermotor);
BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor);
PAB (Pajak Alat Berat);
PAP (Pajak Air Permukaan);
PBB-P2;
Pajak Reklame;
PAT (Pajak Air Tanah);
Opsen PKB;
Opsen BBNKB.
Pemerintah daerah akan menerbitkan surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang untuk menagih pajak yang harus dibayar.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
Objek PBBKB adalah penyerahan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor. Seperti kita ketahui, penyedia bahan bakar yang langsung ke konsumen biasa disebut SPBU. Sehingga yang wajib bayar dan lapor PBBKB adalah SPBU.
Menurut ketentuannya, penyedia BBKB adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai. Dan tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.
Pajak Rokok
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
Rokok meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok. Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. Artinya, dipungut dan disetorkan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai bersamaan dengan cukai rokok.
Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok. Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
BPHTB
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Lebih spesifik maksud hak di sini adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan.
Seseorang yang memohon hak-hak diatas, wajib membayar lunas BPHTB sebagai persyaratan permohonan ke Badan Pertanahan Nasional. BPHTB sendiri di bayar ke Pemda Kota atau Pemda Kabupaten.
Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak. Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).
Nilai perolehan objek pajak ditetapkan sebagai berikut:
harga transaksi untuk jual beli;
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
Tetapi jika harga transaksi atau nilai pasar diatas ternyata masih dibawah NJOP (nilai jual objek pajak), maka dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP tahun perolehan hak.
Untuk menghitung BPHTB terutang, sebelum dikalikan dengan tarif yang berlaku, nilai perolehan diatas dikurangi dulu dengan NPOPTKP (nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak).
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditentukan :
untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah).
dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Sehingga rumus BPHTB terutang = (nilai perolehan – NPOPTKP) x 5%
BPHTB terutang ini wajib dilunasi sebelum:
dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
Perolehan hak yang dikecualikan sebagai objek BPHTB yaitu:
untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri;
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)
PBJT merupakan gabungan beberapa pajak yang sebelumnya sudah ada. Pajak yang digabungkan yaitu pajak restoran, pajak hotel, pajak parkir, pajak hiburan, dan pajak penerangan jalan.
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
Makanan dan/ atau Minuman;
Tenaga Listrik;
Jasa Perhotelan;
Jasa Parkir; dan
Jasa Kesenian dan Hiburan.
Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu. Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 4O% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen); dan
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling tinggi 1,5% (satu koma lima persen).
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh restoran, dan jasa boga atau katering.
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
Penyedia jasa boga atau katering yaitu orang pribadi atau badan yang melakukan:
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
Pengecualian objek PBJT atas penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
dengan peredaran usaha tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dalam Perda;
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
Konsumsi Tenaga Listrik yang menjadi objek PBJT adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir. Tenaga Listrik yang dikecualikandari objek PBJT yaitu:
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dai instansi teknis terkait; dan
konsumsi Tenaga Listrik lainnya yang diatur dengan Perda.
Jasa Perhotelan yang menjadi objek PBJT meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
hotel;
hostel;
vila;
pondok wisata;
motel;
losmen;
wisma pariwisata;
pesanggrahan;
rumah penginapan/guesthouse/bungalo/resort/cottage;
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
glamping.
Pengecualian objek PBJT atas jasa perhotelan:
Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
Jasa Parkir yang menjadi objek PBJT meliputi penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
Pengecualian objek PBJT atas jasa parkir:
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
jasa tempat parkir lainnya yang diatur dengan Perda.
Jasa Kesenian dan Hiburan yang menjadi objek PBJT meliputi:
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
Buku Panduan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) ini disusun oleh P2Humas Direktorat Jenderal Pajak.
Menurut Direktur P2Humas, Neilmaldrin Noor, buku Cara Mudah Ikut PPS ini disusun untuk memberikan panduan bagi Wajib Pajak yang ingin mengikuti program ini sekaligus sebagai pedoman untuk seluruh pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam memberikan pelayanan.
Buku ini terdiri dari dua seri, yakni Seri Panduan Program Pengungkapan Sukarela 2022 yang menjelaskan secara rinci baik teori maupun aplikasi dan Seri FAQ yang memuat berbagai pertanyaan yang sering ditanyakan terkait PPS.
Penyerahan BKP ke Batam dan sekitarnya tidak otomatis mendapatkan insentif PPN. Ada syarat agar PPN tidak dipungut yaitu adanya endorsement dari KPP Madya Batam. Selain itu, PKP di Batam harus menyerahkan PPBJ ke penjual BKP sebagai syarat pengiriman BKP ke Batam.
PPBJ adalah pemberitahuan perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, atau pengeluaran/pemasukan Barang Kena Pajak yang bukan penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha di KPBPB.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, PPN, PPnBM, dan cukai. Berdasarkan difinisi ini saya memahami bahwa KPBPB adalah pengganti istilah FTZ.
Sekarang, endorsement ke KPP dapat dilakukan secara elektronik melalui insw.go.id
Penyerahan BKP Tidak Dipungut
Daerah pabean, atau dalam konteks PPN adalah daerah selain Batam disebut TLDDP (Tempat Lain Dalam Daerah Pabean). TLDDP adalah Daerah Pabean selain KPBPB, tempat penimbunan berikat, dan kawasan ekonomi khusus.
Atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud oleh pengusaha di TLDDP, pengusaha di TPB, dan pelaku usaha di KEK kepada Pengusaha di KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a angka 1 tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM.
Pasal 3 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan No 173/PMK.03/2021
Sejak tahun 2007, Batam sudah dinyatakan sebagai daerah “bebas PPN” atau lebih dikenal FTZ (free trade zone). Tulisan di blog ini tentang FTZ adalah PPN Tidak Dipungut : Kawasan Bebas
Namun tidak semua barang yang masuk ke Batam mendapatkan insentif berupa PPN tidak dipungut. Ada syarat agar BKP yang masuk ke Batam mendapatkan insetif PPN tidak dipungut.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan No 173/PMK.03/2021, syarat Fasilitas PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut yait:
pemasukan Barang Kena Pajak berwujud ke KPBPB dilakukan di Pelabuhan yang ditunjuk; dan
Barang Kena Pajak berwujud benar-benar telah masuk di KPBPB yang dibuktikan dengan pemberian Endorsement.
Endorsement adalah pernyataan mengetahui dari pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak atasย pemasukan Barang Kena Pajak dari TLDDP ke KPBPB, berdasarkan penelitian formal atas dokumenย yang terkait dengan pemasukan Barang Kena Pajak tersebut.
Kantor pajak yang memberikan endersement adalah KPP Madya Batam.
PKP Batam Harus Membuat PPBJ
Pengusaha di KPBPB yang bermaksud memperoleh Barang Kena Pajak berwujud dari pengusaha di TLDDP, pengusaha di TPB, atau pelaku usaha di KEK harus membuat PPBJ sebelum pemasukan Barang Kena Pajak berwujud ke KPBPB.
PPBJ harus dibuat dan disampaikan oleh Pengusaha di KPBPB ke:
kantor pelayanan pajak tempat Pengusaha di KPBPB terdaftar;
Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak berwujud; dan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
Pengusaha di Batam cukup mengakses Sistem Indonesia National Single Window (SINSW) untuk menyampaikan dokumen diatas. Silakan akses ppbj.insw.go.id
SINSW adalah sistem elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.
PPBJ menjadi dasar bagi Pengusaha Kena Pajak di TLDDP, Pengusaha Kena Pajak di TPB, atau Pengusaha Kena Pajak di KEK yang menyerahkan Barang Kena Pajak berwujud kepada Pengusaha di KPBPB untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang sesuai dengan ketentuan diberikan fasilitas tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM.
Setelah menerima PPBJ, PKP baru boleh membuat faktur pajak dengan kode 07. Kode faktur pajak 07 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut atau Ditanggung Pemerintah (DTP).
Faktur Pajak dengan kode 07 ini harus mencantumkan keterangan sebagai berikut:
jenis barang diisi dengan nama Barang Kena Pajak berwujud sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya beserta kode pos tarif sesuai buku tarif kepabeanan Indonesia;
nomor PPBJ yang menjadi dasar pembuatan Faktur Pajak; dan
Atas penyerahan BKP berwujud oleh Pengusaha di KPBPB kepada pembeli di TLDDP dikenai PPN.
Saya memahami “Batam berada di luar negeri”. Sehingga pada saat BKP berwujud dijual ke pulau Jawa, misalnya, maka transaksi tersebut seperti impor.
Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan BKP berwujud berupa barang dan/atau bahan baku dari luar Daerah Pabean yang tanpa dilakukan pengolahan di KPBPB berupa nilai lain, yaitu sebesar nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai untuk pemasukan BKP berwujud dari luar Daerah Pabean, tidak termasuk PPN dan PPnBM yang dipungut menurut Undang-Undang PPN.
PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP berwujud kepada pembeli di TLDDP wajib dipungut oleh Pengusaha di KPBPB yang menyerahkan Barang Kena Pajak berwujud kepada pembeli.
Wajib Pajak yang tidak memiliki latar belakang akuntansi akan kesulitan untuk menghitung PPh Badan. Darimana mulai belajarnya? Inilah panduan lengkap menghitung PPh Badan dan cara mengisi SPT Tahunan PPh Badan, form 1771.
Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Pasal 1 Undang-Undang PPh
Berdasarkan Pasal 1 tersebut, terdapat 3 hal dasar pengenaan PPh yang harus dipahami terlebih dahulu. Ini berlaku juga untuk PPh Badan. Ketiganya yaitu:
Subjek Pajak
Penghasilan
Tahun Pajak
Salah satu karakteristik pajak penghasilan adalah sebagai pajak subjektif. Sebelum menghitung objek pajak, harus dipastikan dulu status subjek pajak.
Karena itu, pajak penghasilan mengatur subjek pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri. Masing-masing memiliki perlakuan pajak penghasilan yang berbeda.
Selanjutnya penghasilan. Setelah subjek pajak statusnya jelas, selanjutnya identifikasi objek pajak yang akan dikenakan. Objek pajak PPh jelas penghasilan.
Secara umum, penghasilan yang dikenai pajak adalah penghasilan neto. Karena itu, jika subjek pajak mengalami kerugian, maka tidak ada pajak penghasilan.
Terakhir, pajak penghasilan terutang pada akhir periode tahunan. Jika perusahaan menggunakan pembukuan sesuai dengan bulan kalender, maka akhir periode adalah 31 Desember.
Keadaan sebenarnya pada tanggal 31 Desember menentukan pajak terutang. Bisa jadi belum genap 12 bulan sampai 31 Desember, tetapi tetap harus dihitung PPh Badan terutang.
Contoh: perusahaan berdiri pada bulan September 2020. Pada 31 Desember baru berjalan 4 bulan. Maka PPh terutang tetap dihitung untuk penghasilan neto 4 bulan tersebut.
Jika wajib pajak ingin mengambil periode pembukuan tidak sesuai kalender, misalnya periode April – Maret, maka wajib pajak harus memberitahukan kantor pajak.
Subjek Pajak Badan
Subjek pajak diatur di Pasal 2 Undang-Undang PPh. Khusus subjek pajak dalam negeri, diatur di Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh. Begini aturannya:
Subjek pajak dalam negeri adalah : a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Warisan yang belum terbagi adalah pengganti subjek pajak orang pribadi yang sudah meninggal. Orangnya sudah meninggal tetapi warisannya masih menghasilkan, ada objek pajak. Contoh warisan misalnya pabrik tekstil.
Karena pajak penghasilan pajak subjektif, harus ada subjek pajaknya. Supaya dapat dikenai pajak penghasilan, maka si pabrik itu sendiri dijadikan subjek pajak. Pabrik tidak akan jadi subjek pajak lagi jika warisan tersebut sudah dibagi ke ahli waris.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang KUP
Jika membaca definisi badan di Undang-Undang KUP, subjek pajak badan konkretnya selain orang pribadi.
Badan Dalam Negeri
Semua bentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan undang-undang Indonesia merupakan subjek pajak dalam negeri badan. Undang-undang PPh menyebutnya โbadan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesiaโ.
Instansi yang berwenang menetapkan badan hukum di Indonesia adalah Kementerian Hukum dan HAM. Artinya, semua badan hukum yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Ham merupakan subjek pajak dalam negeri badan. Tidak peduli siapa pemilik badan hukum tersebut.
Logisnya, sepanjang badan hukum tersebut legal, maka masuk dalam pengertian subjek pajak dalam negeri badan.
Pengecualian badan sebagai subjek pajak hanya berlaku untuk lembaga pemerintah. Undang-undang PPh sudah memberikan batasan lembaga pemerintah, yaitu:
pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
Lembaga pemerintah yang bukan subjek pajak adalah lembaga pemerintah yang operasionalnya dibiayai dari APBN atau APBD. Dan atas penggunaan APBN atau APBD tersebut dilakukan audit oleh Inspektoran Jenderal atau Inspektorat Daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kenapa lembaga pemerintah dikecualikan dari subjek pajak? Karena pemerintah adalah pihak yang memungut pajak.
Jika pemerintah dijadikan subjek pajak maka pemerintah akan memungut pajak atas dirinya sendiri. Pemerintah sebagai โorangโ memungut pajak atas penghasilan โorang lainโ. Pajak adalah aliran dana dari sektor privat ke sektor publik.
Bentuk Usaha Tetap atau BUT merupakan kendaraan bagi subjek pajak luar negeri untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Maksud kendaraan subjek pajak luar negeri yaitu BUT sebagai sarana untuk mendapatkan active income.
Subjek pajak luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia terbagi 2 perlakuan perpajakan.
BUT yang diperlakukan seperti subjek pajak Badan dalam negeri, dan
Subjek pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan tidak melalui BUT.
Walaupun tidak tepat, untuk memudahkan memahami, anggap saja BUT adalah subjek pajak luar negeri yang memiliki usaha di Indonesia dan mendapatkan active income dari Indonesia.
Sedangkan selain BUT (no 2 diatas) adalah subjek pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia tetapi subjek pajak tidak dapat di-BUT-kan. No 2 ini pengenaan pajaknya masuk di Pasal 26 Undang-Undang PPh.
Karena itu penting memahami karakteristik BUT.
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang PPh
Jadi, BUT menurut ketentuan domestik:
subjek pajak luar negeri,
orang pribadi atau badan, dan
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Perbedaan BUT dan Anak Perusahaan
Berdasarkan pengalaman bertanya ke Wajib Pajak, banyak yang masih belum tahu perbedaan antara BUT dan anak perusahaan. Mereka bilang, kita cabang dari perusahaan XYZ di luar negeri. Padahal yang dimaksud anak perusahaan.
Padahal terdapat banyak perbedaan perlakuan perpajakan antara BUT dan anak perusahaan. Terutama dari sisi perlakuan biaya BUT.
Silakan cek tabel berikut:
Perbedaan BUT dan anak perusahaan (WPDN Badan).
Pemahaman saya, terdapat makna antar BUT menurut Undang-Undang PPh dan P3B. BUT di Undnag-Undang PPh bermakna subjek pajak. Sedangkan BUT di P3B bermakna hak pemajakan.
Pengecualian Subjek Pajak
Selain pemerintah, ada 3 golongan bukan subjek pajak, yaitu:
kantor perwakilan negara asing;
pejabat diplomatik; dan
organisasi internasional.
Ada dua syarat organisasi internasional statusnya bukan subjek pajak:
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
Daftar organisasi internasional yang bukan subjek pajak ditentukan oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 156/PMK.010/2015. Daftarnya ada di sini
Objek Pajak
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh
Berdasarkan definisi penghasilan diatas, kita bisa mengetahui bahwa penghasilan memiliki 5 yaitu:
Tambahan kemampuan ekonomis
Yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia
Yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan harta
Dengan nama dan dalam bentuk apapun
Setiap tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang berkenaan. Maksud โtambahanโ disini adalah jumlah neto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto dikurangi dengan biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu. Tetapi dalam penghitungan penghasilan neto, UU PPh mengharuskan mencatat secara bruto, yaitu dengan mencatatkan semua biaya dan penghasilan. Contoh pelaporan capital gain atas penjualan aktiva, semua hasil penjualan laporkan dan biaya-biaya termasuk penyusutan dicatat sebagai pengurang.
Tambahan Kemampuan Ekonomis
Maksudnya adalah hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai cash basis maupun dengan memakai accrual basis.
Realisasi juga dapat mengacu pada peristiwa hukum atau taxable event. Contoh, tanah dan rumah yang kita diami setiap tahun nilainya naik, minimal harga tanahnya yang naik. Tapi karena belum ada taxable event, maka tidak dikenai PPh setiap tahun. Tanah tersebut dikenakan PPh jika dijual atau dialihkan kepada orang lain.
Bagi subjek pajak dalam negeri, kewajiban pajak objektifnya adalah world wide income. Saya kutip ulang bunyi sebagian Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh:
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun
Penghasilan yang dikenakan PPh meliputi seluruh penghasilan yang didapat dari mana pun juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia. Semua penghasilan wajib hukumnya dilaporkan.
Berbeda dengan subjek pajak luar negeri yang memiliki kewajiban pajak objektifnya terbatas hanya yang diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh.
Undang-Undang Cipta Kerja memang sudah memberi pengecualian penghasilan dari luar negeri sebagai objek pajak. Tetapi pengecualian ini dengan syarat. Artinya, jika syarat tidak terpenuhi, maka penghasilan dari luar negeri tersebut tetap dikenai pajak penghasilan di Indonesia.
Dapat Dipakai Untuk Konsumsi atau Menambah Kekayaan
Unsur yang keempat ini merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang dikenakan pajak.
Objek PPh sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi.
Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan. Ini lazim disebut metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.
Penghasilan yang dipakai membeli harta menjadi dasar pengenaan pengampunan pajak (tax amnesty) berdasarkan Undang-Undang Pengampunan Pajak. Tax Amnesty tahun 2016 dan 2017 dikenakan terhadap harta yang masih dimiliki per 31 Desember 2015 dan tidak dilaporkan di SPT Tahunan. Dasar pemikirannya, atas harta yang belum dilaporkan tersebut atas penghasilannya (dianggap) belum bayar PPh.
Begitu juga dengan Program Pengungkapan Sukarela, yang dikenai pajak penghasilan adalah harta yang ada pada tanggal 31 Desember 2020 tetapi belum dilaporkan. Yakni harta yang diperoleh dari tahun 2016 sampai dengan 2020.
Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak adalah penghasilan
Pasal 4 ayat (1) huruf p Undang-Undang PPh
Dengan Nama dan Dalam Bentuk Apapun
Ini adalah penerapan prinsip the Substance-Over-Form Principle, yang berarti bahwa hakekat ekonomis adalah lebih penting daripada bentuk formal yang dipakai.
Dalam penentuan ada tidaknya penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya penghasilan itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak dan juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak melainkan yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya.
Prinsip ini sangat penting untuk diingat terutama jika kita mau memahami jenis penghasilan. Seringkali nama yang dipergunakan tidak mencermintkan hakikat yang sebenarnya.
Sengaja menggunakan istilan tertentu untuk mendapatkat insentif PPh. Jika kita tidak memahami substansi permasalahan, tentu akan terkecoh.
Umum, Final, Dikecualikan Dari Objek
Pasal 4 Undang-Undang PPh membagi penghasilan menjadi 3, yaitu:
Penghasilan umum (Pasal 4 ayat 1),
Penghasilan Final (Pasal 4 ayat 2), dan
Dikecualiakan Dari Objek (Pasal 4 ayat 3).
Penggolongan ini membedakan perlakukan perpajakan. Membedakan cara atau metode perhitungan.
Penghasilan umum dikenai tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh setelah dihitung penghasilan neto. Penghasilan bruto digunggung dari semua penghasilan. Digunggung maksudnya dijumlahkan semuanya. Setelah semua terkumpul baru dikurangi dengan biaya fiskal.
PPh Final merupakan penyederhanaan cara atau metode penghitungan PPh. Penyederhanaan karena Wajib Pajak tidak perlu membuat laporang keuangan untuk menghitung PPh terutang. Walaupun Undang-Undang KUP mewajibkan pembukuan, data yang diperlukan cukup data penghasilan bruto saja.
Berapapun nominal penghasilan brutonya, tinggal dikalikan dengan tarif tersebut.
Sedangkan dikecualikan dari objek artinya tidak dikenai PPh. Berapapun jumlah penghasilannya, pajaknya tetap nihil.
Penghasilan Umum
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh mengatur definisi penghasilan. Selain mengatur definisi, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh juga memberikan contoh-contoh penghasilan yang dikenai PPh umum.
Berikut ini merupakan contoh. Walaupun demikian, penghasilan tidak terbatas pada yang disebutkan di Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, termasuk natura dan/atau kenikmatan kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
laba usaha;
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis;
royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
keuntungan karena pembebasan utang
keuntungan selisih kurs mata uang asing;
selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
premi asuransi;
iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
penghasilan dari usaha berbasis syariah;
imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
surplus Bank Indonesia.
Penghasilan Yang Dikenai PPh Final
Secara ringkas, jenis-jenis penghasilan yang dikenai PPh final sebagai berikut:
Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia;
Bunga Obligasi;
Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN);
Bunga Simpanan yg Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi;
Hadiah Undian;
Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek;
Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau
Pengalihan Penyertaan Modal pd Perusahaan Pasangan Usahanya;
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
Penghasilan WP KKKS berupa Uplift atau Imbalan lain yang sejenis;
Penghasilan WP KKKS dari Pengalihan Interest;
Dividen yang diterima oleh WP Orang Pribadi Dalam Negeri;
Penghasilan Berupa Selisih Lebih Revaluasi Aktiva Tetap;
Penjualan BBM dan BBG oleh produsen atau importir kepada penyalur/agen.
Penghasilan istri yang semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong PPh Pasal 21 dan pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Dalam Negeri
Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah atau Build Operate And Transfer (BOT)
Penghasilan Yang Dikecualikan Dari Objek PPh
Berikut ini merupakan penghasilan tetapi Undang-undang PPh mengecualikan sebagai objek pajak, yaitu
Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat, infak, dan sedekah yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; dan harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Warisan
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, meliputi: makanan, bahan makanan, bahan minuman, danf atau minuman bagi seluruh pegawai; natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu; natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan; natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; atau natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.
Pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa;.
Dividen atau penghasilan lain (rincian pasca UU HPP ada di bawah daftar ini).
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Otoritas Jasa Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
Bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh anggota dari koperasi, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saharn-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia
Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu
Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.
Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu.
dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH khusus, dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu, diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH); dan
Sisa lebih yang diterima/diperoleh badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana sosial dan keagamaan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan sebagai dana abadi.
Dividen dan penghasilan lain yang dikecualikan sebagai objek pajak, dibagi dua:
dividen yang diterima dari perseroan terbatas di Indonesia, dan
dividen dan penghasilan lain dari Luar Negeri
Persyaratan dividen yang diterima dari PT yang dikecualikan :
diterima oleh wajib pajak badan, tidak ada syarat. Langsung dikecualian.
diterima oleh orang pribadi, syarat diinvestasikan selama 3 tahun.
Persyaratan dividen dan penghasilan lain dari Luar Negeri yang dikecualikan:
dividen dari perusahaan privat, syarat : dibagikan dan diinvestasikan minimal 30% dari penghasilan bersih setelah pajak.
dividen dari perusahaan terbuka, syarat: diinvestasikan di Indonesia.
penghasilan dari BUT (cabang) di luar negeri, syarat dibagikan dan diinvestasikan minimal 30% dari penghasilan bersih setelah pajak.
penghasilan dari usaha aktif di luar negeri, syarat diinvestasikan di Indonesia.
Ada beberapa objek pajak yang sebelumnya masuk penghasilan umum, setelah adanya Omnibus Law berubaha menjadi penghasilan yang dikecualikan. Intisarinya begini:
Dividen dari dalam negeri yang diterima oleh Wajib Pajak badan.
Dividen dan penghasilan setelah pajak dari Luar Negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk kegiatan usaha lainnya di Indonesia.
Penghasilan dari Luar Negeri selain BUT sepanjang diinvestasikan di Indonesia dikecualikan dari objek.
Pengecualian objek PPh atas : bagian laba/SHU koperasi, dan dana haji yang dikelola BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji)
Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto biasa disebut biaya fiskal, atau deductibleexpenses. Sedangkan biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sering disebut non-deductible expenses.
Biaya Yang Boleh Menjadi Pengurang
Pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur biaya pengurang penghasilan bruto. Tetapi beberapa jenis biaya diatur tersendiri seperti di Pasal 5 untuk BUT, di Pasal 11 dan 11A untuk penyusutan dan amortisasi.
Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur kaidah umum bolehnya biaya dikurangkan dari penghasilan bruto:
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Contoh biaya-biaya yang boleh menjadi pengurang penghasilan bruto setelah Undang-Undang HPP sebagai berikut:
biaya pembelian bahan;
biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
bunga, sewa, dan royalti;
biaya perjalanan;
biaya pengolahan limbah;
premi asuransi;
biaya promosi dan penjualan;
biaya administrasi;
pajak kecuali Pajak Penghasilan;
penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
kerugian selisih kurs mata uang asing;
biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat;
sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan.
Biaya Yang Tidak Boleh Menjadi Pengurang
Secara naluriah, pengusaha akan memperkecil pajak. Salah satu cara memperkecil pajak terutang adalah dengan memperbesar biaya supaya penghasilan neto kecil. Karena itu, Undang-undang PPh mengatur biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto walaupun biaya tersebut benar-benar ada. Tujuan pengaturan ini supaya laba bersih usaha wajar.
Pasal 9 Undang-undang PPh mengatur pengeluaran-pengeluaran perusahaan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya secara fiskal. Walaupun secara komersial (diantaranya) diperbolehkan.
Berikut ini adalah pengaturan di Pasal 9 Undang-Undang PPh setelah Undang-Undang HPP:
pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali: cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piurang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan; cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali: cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piurang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan; cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan; cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang memenuhi persyaratan tertentu;
premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan
jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang PPh.
Pajak Penghasilan.
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Cara Menghitungan Penyusutan Fiskal
Terdapat beberapa perbedaan aturan penghitungan penyusutan menurut akuntansi dan menurut Undang-Undang PPh (fiskal). Secara ringkas, perbedaan tersebut yaitu:
Masa manfaat menurut fiskal berdasarkan kelompok harta. Dan kelompok harta ditentukan oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.03/2009
Saat dimulai penyusutan adalah eksistensi harta di bulan tersebut. Atau penyusutan dimulai saat bulan pengeluaran. 1 hari = 1 bulan.
Fiskal tidak memperhitungkan nilai sisa harta. Harga perolehan dibagi habis selama masa manfaat, walaupun pada akhir masa manfaat masih bisa dijual (ada nilai sisa).
Setelah Undang-Undang HPP, harta yang memiliki masa manfaat lebih dari 20 tahun dapat menggunakan metode penyusutan berdasarkan standar akuntansi atau menggunakan metode yang diatur di Pasal 11 dan Pasal 11A tetapi masa manfaat sesuai masa manfaat sebenarnya. Tidak lagi mengacu ke Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.03/2009
Debt To Equity Ratio
Pajak membatasi jumlah biaya pinjaman yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Ketentuan ini disebut debt to equity ratio (DER). Lebih lanjut tentang penghitungan DER dapat dilihat di Ketentuan Debt Equity Ratio Menurut Pajak
Walaupun demikian, terdapat 3 alasan kenapa biaya pinjaman (biaya bunga) dapat dikoreksi. Ketiganya bisa dilihat di gambar berikut:
Koreksi biaya bunga
Kredit Pajak Luar Negeri
Pajak-pajak yang kita bayar di luar negeri dapat kita manfaatkan sebagai kredit pajak. Hal ini diatur di Pasal 24 Undnag-Undang PPh sehingga disebut PPh Pasal 24.
Peraturan terbaru tentang kredit pajak luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 192/PMK.03/2018.
Pada prinsip Indonesia mengatur per country limitation.
Besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:
jumlah pajak penghasilan yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di luar negeri dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah berlaku efektif;
jumlah PPh Luar Negeri yang benar-benar dibayar; dan
jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang terutang tersebut.
Seperti disampaikan diatas, bahwa pada dasarnya PPh Badan itu terutang pada akhir periode akuntansi. Dalam hal periode akuntansi menggunakan kalender, maka saat terutang PPh badan adalah 31 Desember.
Namun demikian, setiap bulan kita diminta atau diwajibkan untuk membayar PPh yang belum terutang. Ini namanya PPh Pasal 25. PPh ini dihitung berdasarkan jumlah terutang PPh Badan SPT 1771 yang terakhir disampaikan.
SPT Tahunan PPH disebut form 1771. Dalam bentuk pdf, format SPT 1771 sebagai berikut:
Dan petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Badan dapat diunduh di sini:
Semua penghasilan, baik penghasilan yang dikenakan tarif Pasal 17, maupun penghasilan yang dihitung menggunakan tarif final, dan penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak wajib hukumnya dilaporkan di form 1771.
Sedangkan biaya-biaya fiskal, walaupun menurut ketentuan boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pajak-pajak yang sudah dibayar, baik yang dipotong oleh pihak lain maupun yang kita bayar sendiri, hukumnya dapat dilaporkan. Jadi ini pilihan dari sisi Wajib Pajak.
Dalam hal terdapat bukti potong PPh Pasal 23 yang belum dilaporkan di SPT 1771, sepanjang penghasilan dari bukti potong tersebut sudah dilaporkan, maka itu tidak mengapa. Boleh.
Sudah Lapor Tetapi Dianggap Tidak Lapor
Pasal 3 ayat (7) Undang-undang KUP mengatur 4 hal yang menyebabkan SPT dianggap tidak disampaikan, yaitu :
Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani;
Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen;
Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
Teknologi pelaporan SPT melalui DJP Online setiap tahun selalu ditingkatkan. Tidak heran jika tiap tahun ada “cara baru” lapor SPT. Namun, ke depan format PDF yang dimodifikasi menjadi e-form akan menjadi trend. Seperti mulai tahun 2022, SPT Masa unifikasi juga menggunakan pdf.
Tutorial mengisi SPT Tahunan PPh Badan 1771 dengan menggunakan eform dapat dilihat di sini:
Konsultan Pajak
Sekarang, setiap orang bisa belajar pajak. Namun bagi sebagian pebisnis, mungkin tidak memiliki kemewahan waktu untuk belajar pajak. Perlu solusi cepat bagaimana mana membuat SPT Tahunan.
Saran terbaik tentu saja memanfaatkan jasa konsultan pajak untuk membuat SPT Tahunan. Bahkan bukan cuma SPT Tahunan, bisa juga SPT Masa.
Bagi anda yang ingin fokus ke bisnis, dan menyerahkan urusan pajak ke profesional, silakan isi form berikut:
JIka terdapat kesalahan, apakah saya dapat menghapus SPT Tahunan?
Semua SPT yang sudah disampaikan oleh Wajib Pajak tidak dapat dihapus di sistem database pajak. Tetapi, wajib pajak dapat melakukan pembetulan SPT. Tidak ada batasan berapa kali satu SPT dibetulkan. Boleh berkali-kali. Ada juga yang sampai lebih dari 4 kali pembetulan. Semua jenis SPT dapat dibetulkan berkali-kali. Lebih lanjut tentang pembetulan dapat dilihat di Pembetulan SPT
Kuasa Wajib Pajak memiliki kewenangan lebih luas dibandingkan konsultan pajak.
Kuasa Wajib Pajak adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sebelumnya, kuasa wajib pajak hanya boleh dilakukan oleh konsultan pajak atau karyawan wajib pajak. Namun, pasca keputusan Mahkamah Konstitusi nomor PUT-63/PUU-XV/2017, orang yang menjadi kuasa wajib pajak lebih meluas.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini kemudian diterapkan di Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang KUP setelah direvisi dengan Undang-Undang HPP. Bunyi Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang KUP sebagai berikut:
Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua
Kuasa Menurut KUH Perdata
Peraturan yang pertama mengatur kuasa adalah Bugerlijk Wetboek (BW) dan diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. BW menjadi hukum positif di Indonesia untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum).
Dikutif dari hukumonline.com bahwa menurut Pasal 1792 KUH Perdata menyatakan, โPemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.โ
Berdasarkan Pasal 1792 KUH Perdata ini, jika Wajib Pajak memberikan kuasa kepada kuasa pajak, karena wajib pajak merasa tidak kompeten dalam perpajakan, maka kekuasaan melaksanakan sesuatu telah berpindah dari Wajib Pajak kepada kuasa pajak. Sepanjang pemberian kuasa tersebut belum dicabut, maka kekuasaan melaksanakan sesuatu tersebut masih melekat di penerima kuasa.
Lebih lanjut dalam Pasal 1793 KUH Perdata menjelaskan bahwa kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.
Surat Kuasa memiliki sifat โmewakili dan melakukan suatu tindakan untuk dan atas nama Pemberi Kuasaโ
Menurut hukum96.com pemberian kuasa memiliki banyak jenis. Setidaknya ada tujuh jenis surat kuasa yaitu:
Pemberian Kuasa Akta umum : pemberian Kuasa Akta umum adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta notaris atau akta notariel. Yang berarti bahwa pemberian kuasa itu dilakukan di hadapan dan di muka Notaris. Oleh karena itu pemberian kuasa mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Surat di Bawah Tangan : Pemberian kuasa dengan surat di bawah tangan adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa yang berarti bahwa pemberian kuasa itu hanya dibuatkan oleh para pihak saja.
Pemberian kuasa secara Lisan : pemberian kuasa secara lisan adalah suatu kuasa yang dilakukan secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
Diam – Diam : Pemberian kuasa secara diam – diam merupakan suatu kuasa yang dilakukan secara diam – diam oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
Cuma – Cuma : Pemberuan kuasa secara Cuma – Cuma adalah suatu pemberia kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, Yang berarti bahwa penerima kuasa tidak memungut biaya dari pemberi kuasa.
Pemberian Kuasa Khusus : Kuasa khusus ini merupakan suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, Yang berarti bahwa pemberian kuasa itu hanya mengenai kepentingan tertentu saja atau lebih dari pemberi kuasa.
Pemberian Kuasa Umum : Kuasa Umum ini merupakan pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa yang berarti bahwa isi atau subtansi kuasanya bersifat umum dan segala kepentingan diri pemberi kuasa.
Surat Kuasa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud di Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang KUP termasuk jenis pemberian kuasa khusus. Sehingga nama surat kuasanya disebuat โSurat Kuasa Khusus Perpajakanโ. Lebih spesifik lagi, dalam surat kuasa juga harus disebutkan kekhususan yang diberikan, seperti khusus untuk menghadapi pemeriksaan tahun pajak 20×1. Bisa juga surat kuasa khusus untuk melaporkan kewajiban SPT.
Berdasarkan Pasal 1791 KUH Perdata, dalam hal Wajib Pajak memberikan kuasa khusus untuk menghadapi pemeriksaan di kantor pajak, maka yang maju menghadapi pemeriksaan adalah penerima kuasa. Wajib Pajak karena sudah memberikan kuasa, maka dia tidak lagi memiliki โkekuasaanโ.
Ketentuan Pasal 1800 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa, selama kuasanya belum dicabut, wajib melaksanakan kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak
Dikutif dari halaman 63 Putusan PUT-63/PUU-XV/2017
Pendapat IKHWPI tentang Kuasa WP
Beberapa hari yang lalu, beredar ringkasan eksekutif dari kegiatan kajian hukum mengenai kuasa wajib pajak yang diselenggarakan oleh Ikatan Kuasa Hukum Wajib Pajak Indonesia (IKHWPI). Berikut ini adalah salinan beberapa sub judul ringkasan eksekutif.
Kuasa Wajib Pajak (Kuasa WP)
Pada tahun 1983 sampai tahun 2000, UU KUP hanya mengatur tentang Kuasa WP tanpa lebih jauh memberikan delegasi wewenang membuat pengaturan mengenai persyaratan seseorang untuk dapat menjadi Kuasa WP kepada Peraturan Menteri Keuangan. Akibatnya, tidak terdapat Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang pembatasan kesempatan / hak Wajib Pajak untuk dapat menunjuk seseorang yang dianggapnya โmemahami masalah perpajakanโ (kompeten) sebagai Kuasanya. Dan pembatasan kesempatan / hak seseorang yang โmemahami masalah perpajakanโ (kompeten) untuk dapat menerima penunjukkan Wajib Pajak sebagai Kuasa WP.
Mulai tahun 2000, melalu ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, diberlakukan ketentuan mengenai pemberian wewenang kepada Peraturan Menteri Keuangan untuk membuat peraturan mengenai persyaratan seseorang yang dapat menjadi Kuasa WP. Akibatnya, mulai tahun 2000 diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang pembatasan kesempatan / hak Wajib Pajak untuk dapat menunjuk seseorang yang dianggap โmemahami masalah perpajakanโ (kompeten) sebagai Kuasa, dan pembatasan kesempatan / hak seseorang yang โmemahami masalah perpajakanโ (kompeten) untu dapat menerima penunjukkan Wajib Pajak sebagai Kuasa WP.
Peraturan Menteri Keuangan tersebut pada awalnya benar-benar memberikan keleluasaaan kesempatan kepada setiap orang yang โmemahami masalah perpajakanโ untuk dapat menjadi Kuasa. Namun, perlahan-lahan Peraturan Menteri Keuangan mulai membatasi kesempatan / hak seseorang yang โbukan konsultan pajakโ menjadi kuasa WP, dan terakhir hanya seorang konsultan pajak sajalah yang boleh menjadi seorang Kuasa WP, sehingga akibatnya seseorang yang โbukan konsultan pajakโ tidak lagi diberi kesempatan / hak untuk menjadi Kuasa WP.
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi nomor PUT-63/PUU-XV/2017 (Put MK-63/2017), Majelas Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP (sekarang Pasal 44E ayat (2) huruf e UU HPP) dinyatakan konsitusinal hanya apabila mengatur tentang materi pengatur yang bersifat teknis-administratif, bukan menatur tentang materi yang bersifat substantif (membatasi hak dan kewajiban Warga Negara, termasuk membatasi hak Wajib Pajak menunjuk seseorang sebagai Kuasanya, dan membatasi hak seseorang untuk menerima penunjukkan dari Wajib Pajak sebagai Kuasa WP.
Oleh karena itu, Peraturan Menteri Keuangan yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP) hendaknya mematuhi Amanah Put MK-63/2017 yaitu hanya memuat materi pengaturan yang bersifat teknis administrative, dan bukan membuat materi pengaturan yang bersifat substantif.
Cakupan Kuasa WP
Pasal 49 UU KUP mengatur bahwa ketentuan dalam UU KUP berlaku pula bagi โundang-undang perpajakan lainnyaโ. Kecuali apabila โundang-undang perpajakan lainnyaโ tersebut mengatur secara khusus mengenai hukum acara (tata cara) yang berbeda dengan ketentuan dalam UU KUP, maka ketentuan dalam โundang-undang perpajakan lainnyaโ tersebutlah yang berlaku (lex specialis derogate legi generalis).
Terkait dengan hal tersebut diatas, baik undang-undang mengenai Pengadilan Pajak, undang-undang mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak serta undang-undang mengenai Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara, mengatur bahwa Bea dan Cukai termasuk ke dalam definisi โperpajakanโ, sehingga undang-undang mengenai Kepabeanan dan undang-undang mengenai Cukai termasuk pula ke dalam kelompok โundang-undang perpajakan lainnyaโ.
Kemudian, di dalam โundang-undang perpajakan lainnyaโ, termasuk undang-undang mengenai Kepabeanan dan undang-undang menenai Cukai tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang โKuasaโ sebagai mana halnya ketentuan mengenai โKuasa Wajib Pajakโ yang ada dalam UU KUP (terakhir diubah dengan UU HPP). Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa โundang-undang perpajakan lainnyaโ tersebut tidak mengatur lain tentang โKuasa Wajib Pajakโ, sehingga ketentuan mengenai โKuasa Wajib Pajakโ yang ada di dalam UU KUP berlaku pula bagi โundang-undang perpajakan lainnyaโ, termasuk bagi undang-undang mengenai Kepabeanan dan undang-undang mengenai Cukai.
Dengan demikian, dalam Menyusun peraturan mengenai โKuasa Wajib Pajakโ yang terdapat di dalam UU KUP pembuat Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang teknis administrative โKuasa Wajib Pajakโ hendaknya mempertimbangkan pula untuk memasukkan ketentuan yang mempertegas bahwa ketentuan mengenai โKuasa Wajib Pajakโ tersebut perlu pula bagi โundang-undang perpajakan lainnyaโ, termasuk bagi undang-undang mengenai Kepabeanan dan undang-undang mengenai Cukai.
Perbedaan antara Kuasa WP dan Konsultan Pajak
Perbedaan antara Kuasa WP dan Konsultan Pajak adalah sebagai berikut:
Cakupan hak dan kewajiban seorang Kuasa WP sangat luas, yaitu pelaksanaan seluruh hak dan pemenuhan seluruh kewajiban perpajakan Wajib Pajak, yang di dalamnya termasuk pula pemberian jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak.
Cakupan hak dan kewajiban seorang konsultan pajak lebih sempit daripada cakupan hak dan kewajiban seorang Kuasa WP, karena hanya sebatas kepada pemberian jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak.
Dengan demikian, dalam membuat ketentuan mengenai pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak oleh seorang Kuasa WP, pemberian hak untuk menjadi seorang Kuasa WP hendaknya tidak dibatasi hanya kepada seorang konsultan pajak.
Hal tersebut di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (3) UU KUP dan penjelasannya yang secara jelas dan tega mengatur bahwa orang yang dapat menjadi Kuasa WP adalah setiap orang yang โmemiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajaknaโ, yang dibuktikan oleh antara lain jenjang Pendidikan tertentu, sertifikasi, dan atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan.
Hybrid mismatches yaitu pemberlakuan transaksi yang
berbeda oleh setiap negara untuk menghindari pajak dan pemberian special purposeentities (SPE) yang telah memberi keleluasaan kepada MNCs untuk mengalihkan keuntungan usahanya ke negara lain.
PERKEMBANGAN teknologi digital telah mengaburkan batas antaryuridiksi. Para pelaku bisnis dapat melakukan transaksi lintas batas negara dengan lebih mudah. Tentu saja peningkatan perdagangan internasional dapat membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara yang berpartisipasi.
Namin demikian, dalam praktiknya, transaksi lintas yurisdiksi menciptakan interaksi peraturan perpajakan antarnegara. Kondisi ini memunculkan inefisiensi karena perbedaan pengaturan perpajakan di negara satu dan lainnya.
Perbedaan ini normal karena adanya kedaulatan masing-masing negara dalam menciptakan aturan domestik. Pada umumnya, salah satu perhatian dalam perdagangan internasional adalah penghindaran pajak berganda. Walhasil, ada perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B).
Ketidakpaduan aturan antaryurisdiksi tidak hanya menimbulkan risiko pajak berganda (double taxation), tetapi juga risiko tidak dikenakan pajak di negara manapun atau dikenakan pajak dengan tarif efektif yang sangat rendah (double non-taxation).
Risiko double non-taxation inilah yang dieksploitasi para penghindar pajak untuk meraih posisi terbaik dari kewajiban fiskalnya. Mereka memodifikasi transaksi dan/atau entitasnya sehingga menghasilkan tidak adanya pengenaan pajak atau dikenakan pajak dengan tarif yang sangat rendah.
Salah satu cara yang paling umum untuk menghasilkan double non-taxation adalah dengan memodifikasi transaksi dan/atau entitas bisnis melalui pemanfaatan perbedaan perlakuan pajak. Transaksi dan/atau entitas yang telah dimodifikasi inilah yang dimaksud dengan hybrid mismatch arrangements.
Melalui Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan, negara-negara G-20 bekerja sama dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkenalkan 15 rencana aksi. Adapun 15 rencana aksi ini berupaya menyelaraskan ketidakpaduan peraturan perpajakan antarnegara untuk mengurangi celah penghindaran pajak internasional.
Adapun rencana aksi ke-2 secara khusus ditujukan untuk menetralkan perlakuan perpajakan akibat perbedaan pandangan antarnegara dalam melihat suatu entitas, instrumen, atau transaksi yang berakhir pada double non-taxation. Rencana aksi ini disebut Neutralizing the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements.
OECD memang tidak memberikan definisi khusus mengenai hybrid mismatch arrangements. Namun demikian, pada dasarnya, hybrid mismatch arrangements memiliki beberapa berikut:
Pertama, hybrid entities, yaitu entitas diperlakukan sebagai entitas transparan dari sisi perpajakan di satu negara, sekaligus entitas nontransparan di negara lainnya. Disebut transparan jika entitas tersebut bukan pemilik dari suatu penghasilan yang diperoleh entitas.
Dengan demikian, dalam konteks entitas transparan, subjek pajak atas penghasilan adalah pemilik modal. Sebaliknya, disebut nontransparan adalah apabila entitas tersebut diperlakukan sebagai subjek pajak atas penghasilan yang diperolehnya.
Kedua, hybrid instrument, yaitu instrumen keuangan yang diperlakukan berbeda oleh negara-negara yang terlibat. Sebagai contoh, suatu instrumen diperlakukan sebagai utang di suatu negara, tetapi dianggap modal di negara lain.
Ketiga, hybrid transfer, yaitu perbedaan penafsiran pengalihan harta. Di satu negara dianggap sebagai pengalihan harta, tetapi tidak di negara lainnya. Keempat, dual resident entities, yaitu suatu entitas yang menjadi subjek pajak di dua negara yang berbeda.
Penyalahgunaan P3B
SALAH satu contoh risiko praktik penghindaran pajak melalui bentuk hybrid mismatch arrangements di Indonesia dapat ditinjau dari P3B Indonesia-Belanda. P3B ini mengatur dividen yang diterima residen Belanda dari Indonesia atas kepemilikan substansial dipotong pajak sebesar 5%.
Tarif tersebut termasuk tarif terendah dibandingkan dengan ketentuan dalam P3B lainnya yang dimiliki Indonesia. Tidak heran jika Netherlands Bureau for Economic Policy Analysis mengungkapkan P3B Indonesia-Belanda banyak dimanfaatkan dalam skema penghindaran pajak.
Belanda juga memiliki peraturan domestik mengenai suatu bentuk mutual fund yang dikategorikan sebagai entitas transparan. Mutual fund ini disebut dengan Closed Fonds voor Gemene Rekening atau Closed Fund for Mutual Account (CFMA).
Menurut Belanda, CFMA bukanlah suatu entitas korporasi. Dengan demikian, CFMA merupakan suatu entitas transparan yang tidak dikenakan pajak penghasilan di Belanda.
Melalui CFMA, pemilik modal bukan residen Belanda dapat membuat skema penghindaran pajak dengan memanfaatkan P3B Indonesia-Belanda. Mereka bisa mendapatkan tarif pajak yang rendah dengan cara berinvestasi di Indonesia melalui CFMA Belanda.
Karena CFMA merupakan entitas transparan di Belanda, pemerintah Belanda tidak lagi memajaki penghasilan yang diterima CFMA. Pemajakan atas penghasilan yang diterima pemilik modal akan dipajaki pada level korporasi atau individu.
Dengan demikian, apabila pemilik modal berasal dari luar Belanda, pemerintah Belanda menyerahkan pemajakan atas penghasilan tersebut di negara asal pemilik modal. Namun, keberadaan CFMA menjadikan modal yang diinvestasikan di Indonesia seolah-olah seluruhnya berasal dari Belanda, sehingga pemilik modal tampak berhak memanfaatkan P3B Indonesia-Belanda.
Apabila tidak jeli, pemerintah Indonesia dapat tanpa sengaja memberikan manfaat P3B Indonesia-Belanda kepada pemilik modal yang seharusnya tidak berhak.
Dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2019, Indonesia telah meratifikasi konvensi multilateral untuk menerapkan tindakan-tindakan terkait dengan P3B untuk mencegah penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba sesuai dengan multilateral instrument (MLI) OECD.
Salah satu poin ketentuan yang disepakati dalam MLI ini adalah penerapan principle purpose test (PPT). Dengan PPT, Indonesia dapat menolak memberikan manfaat P3B Indonesia-Belanda jika terdapat potensi penyalahgunaan P3B menggunakan mekanisme hybrid mismatch arrangements.
Adanya simplified limitation on benefits (SLOB) sebagai tambahan mekanisme antipenghindaran pajak juga akan memperkuat posisi Indonesia dalam melawan hybrid mismatch arrangements. Namun, sampai dengan artikel ini ditulis, baik aturan teknis pelaksanaan PPT dan SLOB di Indonesia masih belum tersedia.
Aturan pelaksanaan sangat penting karena kedua alat antipenghindaraan pajak tersebut memiliki kewenangan yang sangat besar untuk menolak hak wajib pajak. Aturan pelaksanaan keduanya diperlukan untuk memberikan kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun pemerintah, yang dalam hal ini Ditjen Pajak.
Penulis:
Artikel ini ditulis oleh Naranggi Pramudya Soko dan telah dimuat di DDTC. Saya sudah mendapat ijin penulis untuk share.
Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 6/PMK.03/2021 tentang Penghitungan Dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pajak Penghasilan Atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan Dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, Dan Voucer.
Saat terbit peraturan ini, media sempat heboh karena judul beritanya. Media mainstream mengangkat judul “pajak baru”.
Seolah-oleh Menteri Keuangan telah menerbikan pajak baru di saat pandemi. Rakyat sedang susah, kemudian dipajaki.
Sebenarnya justru sebaliknya. Menurut saya, Menteri Keuangan justru memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak tentang perlakuan perpajakan atas transaksi tertentu.
Contoh: sebagian ahli berpendapat bahwa voucher bukan objek PPN. Voucher dianggap sebagai pengganti uang. Tetapi pada kenyataannya ada “tambahan nilai” antara harga beli voucher dengan nilai nominal voucher. Bahkan saya menemukan perusahaan yang usahanya memang jual beli voucher.
contoh voucher yang diperjualbelikan di blibli.com
Untuk menjelas peraturan baru tersebut, DJP kemudian membuat klarifikasi :
BUKAN PAJAK BARU
Menteri Keuangan menerbitkan peraturan untuk memberikan kepastian hukum dan penyederhanaan pemajakan atas PPN dan PPh penyerahan pulsa, kartu perdana, token, listrik, dan voucer.
Silakan simak saja poin-poin penting peraturan baru ini.
Pulsa Prabayar yang selanjutnya disebut Pulsa adalah hak penggunaan produk telekomunikasi dalam satuan perhitungan biaya telepon dan/atau biaya data dengan sistem pembayaran di awal periode pemakaian.
Kartu Perdana adalah kartu yang digunakan oleh pelanggan jasa telekomunikasi untuk dapat menggunakan jasa telekomunikasi pascabayar atau prabayar.
Pulsa prabayar dan Kartu Perdana biasanya dijual oleh operator telekomunikasi seperti Telkomsel, XL, Indosat, dan Tri. Keempatnya disebut prinsipal.
Di bawah prinsipal ada distributor tingkat I, distributor tingkat II, dan distributor tingkat selanjutnya.
Rantai Distributor Pulsa
Distributor tingkat satu terdiri dapat berupa : authorized distributor, agregator, device distributor, atau device principal.
Sedangkan distributor tingkat dua dapat berupa: sub dealer, modern trade, distributor, bank, online channel, dan e-Kiosk channel.
PPN Pulsa Prabayar dan Kartu Perdana
Distributor tingkat satu dan dua wajib dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sedangkan distributor tingkat selanjutnya tidak wajib dengan syarat semata-mata jual pulsa.
Penyelenggara Distribusi Tingkat Selanjutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sepanjang Pengusaha tersebut semata-mata melakukan penyerahan Pulsa dan Kartu Perdana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
Pasal 17 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 6/PMK.03/2021
Jadi, jika distributor tingkat selanjutnya jual barang lain, misalnya jual handphone, maka wajib dikukuhkan sebagai PKP jika omset distributor tersebut sudah diatas 4,8 miliar rupiah setahun.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 6/PMK.03/2021 menetapkan dokumen berupa struk (setruk) sebagai dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak. Sehingga distributor tingkat satu, tingkat dua, dan tingkat selanjutnya tidak perlu lagi membuat faktur pajak atas penjualan pulsa.
Setruk yang dapat dipersamakan dengan faktur pajak harus memenuhi syarat:
memenuhi persyaratan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
mencantumkan identitas pihak yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, yaitu nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor induk kependudukan.
PPh Pulsa Prabayar dan Kartu Perdana
Distributor tingkat dua telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau penjualan pulsa.
Jika distributor tingkat dua hanya menjual pulsa dan kartu perdana, maka dia tidak memungut PPN, tetapi memungut PPh Pasal 22.
Pemungut PPh melakukan pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,5%
Pasal 18 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 6/PMK.03/2021
Tarif 0,5% berlaku jika pembeli pulsa menyerahkan NPWP kepada distributor tingkat dua. Jika pembeli pulsa tidak memberikan NPWP kepada distributor tingkat dua maka tarif yang digunakan 1%.
PPh Pasal 22 adalah pembayaran pajak pada tahun berjalan. Sama seperti PPh Pasal 23. Perbedaannya bahwa Pasal 23 hanya dipotong terhadap jasa saja. Pasal 23 dipotong saat bayar jasa. Pemotong adalah pengguna jasa. Sedangkan Pasal 22 dipungut saat bayar barang.
Jadi, PPh Pasal 22 dapat diperhitungkan di SPT Tahunan pihak yang dipungut. Dalam hal ini, pembeli pulsa dari distributor tingkat dua.
Pemungutan PPh Pasal 22 tidak dilakukan atas pembayaran oleh Penyelenggara Distribusi Tingkat Selanjutnya atau pelanggan telekomunikasi yang:
jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk PPN dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
merupakan Wajib Pajak bank; atau
telah memiliki dan menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 dan telah terkonfirmasi kebenarannya dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.
PPN dan PPh Token Listrik
Token Listrik Prabayar yang selanjutnya disebut Token adalah hak penggunaan tenaga listrik berupa digit angka yang dimasukkan ke dalam meteran dengan sistem pembayaran di awal periode pemakaian.
Token listrik adalah barang kena pajak. Tetapi Menteri Keuangan memberikan fasilitas PPN atas token listrik berupa PPN dibebaskan.
PPN yang terutang atas penyerahan Token oleh Penyedia Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dibebaskan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 6/PMK.03/2021
Karena tokennya dibebaskan, baik sejak dijual PLN maupun dijual oleh pengecer, maka penjual token listrik tidak perlu bayar PPN.
Tetapi atas selisih harga, atau komisi atas penjualan token terutang PPN. Selisih harga dan komisi ini disebut Jasa penyelenggaraan layanan transaksi pembayaran terkait dengan distribusi Token.
Dasar Pengenaan Pajak Jasa Token berupa :
komisi atau pendapatan administrasi; atau
selisih antara nilai nominal Token dan nilai yang diminta, tidak termasuk pajak antara lain pajak daerah yang dikenakan atas penerangan jalan dan bea meterai.
Penjual token, atau distributor token listrik memungut PPN pada saat jual. Dasar pengenaannya adalah margin atau komisi. Tidak termasuk harga token.
Di saat yang bersamaan, pembeli token wajib memotong PPh Pasal 23 atas jasa token ini. Tarif PPh Pasal 23 atas jasa token adalah 2%.
PPN dan PPh Voucher
Termasuk dalam pengertian voucher di sini yaitu:
Voucer penawaran diskon (daily deals voucher)
Voucer belanja (gift voucher)
Voucer aplikasi
konten daring (online), atau
Voucer permainan daring (online game)
Perlakukan perpajakan atas voucher mirip dengan perlakukan perpajakan atas token listrik. Kalau token listrik BKP dibebaskan, maka voucher bukan BKP (dianggap pengganti uang).
Jadi yang menjadi objek PPN dan objek PPh Pasal 23 adalah selisih harga atau komisi, berupa:
komisi atau imbalan yang diterima dalam hal penyerahannya didasari pada pemberian komisi atau imbalan; atau
selisih antara nilai yang ditagih dan nilai yang dibayar atas penjualan Voucer dalam hal penyerahannya tidak didasari pada pemberian komisi atau imbalan.
Dilihat dari sisi penjual, atas penjualan voucher wajib pungut PPN sebesar 1% dari selisih harga atau komisi.
Sebaliknya, dari sisi pengguna jasa, maka atas pembayaran jasa wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2%. DPP PPN sama dengan DPP PPh Pasal 23.
Tindakan penagihan pajak adalah tindakan juru sita pajak untuk menagih pajak terutang. Tindakan penagihan pajak terdiri : Surat Teguran, Surat Pajak, Penyitaan, Lelang, Pencegahan, Penyanderaaan, dan / atau Penagihan Seketika dan Sekaligus. Tindakah penagihan dilakukan kepada penanggung pajak.
Tahapan Penagihan
Tahapan-tahapan penagihan pajak
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang KUP
Berdasarkan Undang-Undang KUP, dasar penagihan pajak yaitu: STP, SKPKB, SKPKBT, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. Walaupun demikian, Wajib Pajak harus memperhatikan STP dan SKPKB.
Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak.
Tetapi jika Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan Wajib Pajak tidak setuju, maka juru sita pajak akan menunggu proses keberatan. Permohonan keberatan harus diajukan paling lambat 3 bulan sejak STP dan SKPKB dikirim. Jika dalam 3 bulan tidak diajukan, maka proses penagihan dilanjutkan.
Walaupun demikian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020 Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus (SPPSS) dalam hal:
Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
Penanggung Pajak memindahtangankan Barang yang dimiliki atau yang dikuasai untuk menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia;
terdapat tanda-tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya;
Badan akan dibubarkan oleh negara;
terjadi Penyitaan atas Barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga; atau
terdapat tanda-tanda kepailitan.
7 hari setelah jatuh tempo, Juru Sita akan menerbitkan Surat Teguran. Biasanya surat teguran diantar langsung oleh Juru Sita.
Surat Teguran
Pejabat menerbitkan Surat Teguran setelah lewat waktu 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran Utang Pajak, dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajak
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020
Walaupun belum lunas, Surat Teguran tidak akan diterbitkan jika Wajib Pajak telah setuju untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Silakan mendatangi Juru Sita langsung di kantor pajak untuk meminta persetujuan penundaan atau berniat mengangsur.
Surat Paksa
Apabilan utang pajak belum lunas sampai dengan tanggal yang ditentukan, Juru Sita kemudian menerbitkan Surat Paksa dalam jangka wakut 21 hari sejak Surat Teguran.
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Surat Paksa berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP)
Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. Pemberitahuan Surat Paksa dilakukan kepada:
Penanggung Pajak, atau
orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak dalam hal Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai Penanggung Pajak, atau
kurator, hakim pengawas, atau balai harta peninggalan dalam hal Wajib Pajak yang dinyatakan pailit, atau
orang atau Badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator dalam hal Wajib Pajak yang dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, atau
Penerima Kuasa Khusus dalam hal Wajib Pajak yang menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan.
Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat
Pasal 10 aat (7) Undang-Undang PPSP
Pemberitahuan Surat Paksa dilaksanakan dengan cara membacakanisi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak dan dituangkan dalam berita acarapemberitahuan Surat Paksa sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.
Mengingat Surat Paksa mempunyaikekuatan eksekutorial dan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada Penanggung Pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Pajak dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara.
Karena harus dibacakan di depan penanggung pajak, biasanya kepala KPP memanggil penanggung pajak untuk menghadap Juru Sita. Saat pelaksanaan pembacaan, juru sita bisa juga didampingi pejabat lain seperti atasan Juru Sita.
Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang telah dibagi, Surat Paksa diterbitkan dan diberitahukan kepada masing-masing ahli waris. Surat Paksa dimaksud memuat antara lain jumlah utang pajak yang telah dibagi sebanding dengan besarnya warisan yang diterima oleh masing-masing ahli.
Dalam hal ahli waris belum dewasa, Surat Pajak diserahkan kepada wali atau pengampunya.
Di sinilah “kejamnya” hukum pajak. Bahwa urusan pajak belum selesai walaupun Wajib Pajak sudah meninggal dunia. Bandingkan dengan pidana umum, bahwa jika tersangka meninggal dunia, maka urusan pidana selesai!
Penyitaan
Apabila utang pajak tidak dilunasi Penanggung Pajak dalam jangka waktu dalam jangka waktu yang telah ditentukan, 48 jam setelah dibacakan Surat Paksa, Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
Undang-Undang mengatur bahwa penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.
Dalam pelaksanaan Penyitaan, Jurusita Pajak harus:
memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak;
memperlihatkan surat perintah melaksanakan Penyitaan; dan
memberitahukan tentang maksud dan tujuan Penyitaan.
Selanjutnya, Jurusita Pajak membuat berita acara pelaksanaan sita atas setiap pelaksanaan Penyitaan. Berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.
Berita acara pelaksanaan sita tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat walaupun Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani berita acara pelaksanaan sita. Dalam berita acara dicantumkan alasan penolakan dan ditanda tangani oleh Jurus Sita dan saksi.
Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan.
Pasal 13 Undang-Undang PPSP.
Undang-Undang memberikan kewenangan kepada Jurus Sita untuk melakukan penyitaan berupa:
barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atau
barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain.
Menteri Keuangan kemudian merinci aset yang dapat disita, yaitu barang bergerak dan barang tidak bergerak. Barang bergerak yang dapat disita diantaranya:
uang tunai termasuk mata uang asing dan uang elektronik atau uang dalam bentuk lainnya;
logam mulia, perhiasan emas, permata, dan sejenisnya;
harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK sektor perbankan meliputi deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
harta kekayaan Penanggung Pajak yang dikelola oleh LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain yang memiliki nilai tunai;
surat berharga meliputi obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di LJK sektor pasar modal;
surat berharga meliputi obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di LJK sektor pasar modal;
piutang; dan
penyertaan modal pada perusahaan lain.
Sedangkan barang tidak bergerak yang dapat disita oleh Juru Sita diantaranya:
tanah dan/atau bangunan; dan
kapal dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik.
Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan Barang bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap Barang tidak bergerak. Jurusita Pajak akan memperhatikan jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak serta kemudahan penjualan atau pencairannya.
Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh Jurusita Pajak untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang PPSP
Walaupun demikian, terdapat barang bergerak yang tidak boleh dilakukan penyitaan oleh Juru Sita. Hal ini diatur di Pasal 15 Undang-Undang PPSP. Pengecualian dimaksudnya supaya Penanggung Pajak masih dapat hidup layak.
Barang bergerak milik Penanggung Pajak yang dikecualikan dari penyitaan adalah:
pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;
perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah); atau
peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Pada dasarnya, barang yang disita akan tetap disita sampai dengan utang pajak lunas. Walupun demikian, ada kondisi lain Juru Sita mencabut pencabutan. Berikut kondisi pencabutan sita menurut Menteri Keuangan:
Penanggung Pajak telah melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
adanya putusan pengadilan atau berdasarkan putusan pengadilan pajak;
Barang sitaan musnah karena terbakar, huru-hara, gagal teknologi, dan bencana alam;
Penanggung Pajak yang merupakan pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif telah membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan saham atau modal terhadap Utang Pajak Wajib Pajak Badan yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan, kecuali Pejabat dapat membuktikan bahwa pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif dimaksud bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak tersebut;
Penanggung Pajak menyerahkan Barang lain meliputi dokumen bukti kepemilikan Barang bergerak, sertifikat tanah, sertifikat deposito, dan/atau Barang lainnya, yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan;
Penanggung Pajak yang merupakan pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif menyerahkan Barang lain meliputi dokumen bukti kepemilikan Barang bergerak, sertifikat tanah, sertifikat deposito, dan/atau Barang lainnya, yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan saham atau modal terhadap Utang Pajak Wajib Pajak Badan yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan, kecuali Pejabat dapat membuktikan bahwa pemegang saham, pemilik modal, atau sekutu komanditer/sekutu pasif dimaksud bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak tersebut;
Penanggung Pajak yang merupakan salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau yang mengurus harta peninggalan, bagi harta warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta peninggalan Wajib Pajak dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta peninggalan Wajib Pajak; atau harta peninggalan Wajib Pajak sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan;
Penanggung Pajak yang merupakan para ahli waris Wajib Pajak, bagi harta warisan yang telah dibagi, telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta warisan sesuai dengan porsi yang diterima oleh masing-masing ahli waris dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta warisan; atau harta warisan sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan;
Penanggung Pajak yang merupakan wali bagi anak yang belum dewasa telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta anak yang belum dewasa; atau harta anak yang belum dewasa sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan; atau seluruh harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya dan harta pribadi wali yang bersangkutan yang jumlahnya mencukupi untuk melunasi seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal Pejabat dapat membuktikan bahwa wali yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut;
Penanggung Pajak yang merupakan pengampu bagi orang yang berada dalam pengampuan telah menyerahkan Barang lain meliputi: seluruh harta orang yang berada dalam pengampuannya dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih besar daripada harta orang yang berada dalam pengampuan; atau harta orang yang berada dalam pengampuannya sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan; atau seluruh harta orang yang berada dalam pengampuannya dan harta pribadi pengampu yang bersangkutan yang jumlahnya mencukupi untuk melunasi seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal Pejabat dapat membuktikan bahwa pengampu yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut;
Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa Barang sitaan tidak dapat digunakan untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
Barang sitaan digunakan untuk kepentingan umum;
hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Utang Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan telah daluwarsa penagihan; dan/atau
Barang sitaan telah dilakukan penjualan secara lelang atau penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang .
Pemblokiran
Pemblokiran rekening keuangan termasuk salah satu bentuk penyitaan. Pemblokiran rekening keuangan sering dilakukan oleh Juru Sita karena lebih mudah dan sangat efektif. Wajib Pajak akan kesulitan likuidasi jika rekening banknya diblokir pajak.
Pemblokiran adalah tindakan pengamanan Barang milik Penanggung Pajak yang dikelola oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, yang meliputi rekening bagi bank, sub rekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain, dengan tujuan agar terhadap Barang dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan pada LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a angka 3 dan angka 4, dengan melakukan Pemblokiran terlebih dahulu.
Pasal 26 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020
Alur pemblokiran rekening keuangan
Penanggung Pajak dapat membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir dengan mengajukan permohonan penggunaan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak kepada Pejabat, yang dilampiri dengan:
cetakan bukti pembuatan tagihan penerimaan negara bukan Pajak atau yang dipersamakan untuk pembayaran Biaya Penagihan Pajak;
cetakan kode billing untuk pembayaran Utang Pajak; dan
surat permintaan pemindahbukuan kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagai pelunasan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir.
Pencegahan
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penyanderaan
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang PPSP
Juru Sita mengajukan penyanderaan kepada Menteri Keuangan. Dan melaksanakan penyanderaan setelah ada ijin dari Menteri Keuangan.
Setelah mendapat ijin dari Menteri Keuangan, Juru Sita menerbitkan surat perintah Penyanderaan seketika. Lamanya Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanggung Pajak ditempatkan atau dititipkan dalam tempat Penyanderaan.
Menurut Pasal 61 Peraturan Menteri Keuangan nomor 189/PMK.03/2020, pelaksanaan penyanderaan sebagai berikut:
Jurusita Pajak menyampaikan surat perintah Penyanderaan secara langsung kepada Penanggung Pajak dan salinannya disampaikan kepada kepala tempat Penyanderaan.
Penyampaian surat perintah Penyanderaan disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.
Dalam hal Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan, Jurusita Pajak melalui Pejabat dapat meminta bantuan Kepolisian Republik Indonesia atau Kejaksaan untuk menghadirkan Penanggung Pajak yang tidak dapat ditemukan tersebut.
Jurusita Pajak membuat berita acara penyampaian surat perintah Penyanderaan yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan saksi-saksi pada saat surat perintah Penyanderaan disampaikan kepada Penanggung Pajak.
Penyanderaan dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak yang telah atau sedang dilakukan Pencegahan.
Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.
Pasal 35 Undang-Undang PPSP
Tujuan penyanderaan supaya utang pajak lunas. Jika dalam 6 bulan belum ada pelunasan utang pajak, maka Juru Sita dapat memperpanjang penyanderaan. Hal ini diatur di Pasal 66 Peraturan Menteri Keuangan berdasarkan kuasa Pasal 36 Undang-Undang PPSP.
Perpanjangan Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan dan terhitung sejak Penyanderaan sebelumnya berakhir.
Penagihan Seketika dan Sekaligus
Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang PPSP, Jurusita Pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat apabila:
Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau beniat untuk itu;
Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Pengangsuran dan Penundaan
Pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur di Peraturan Menteri Keuangan nomor 242/PMK.03/2014 berdasarkan kewenangan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang KUP.
Dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada kantor pajak untuk mengangsur atau menunda utang pajak berupa: kekurangan pembayaran pajak, pajak yang terutang, atau pajak yang masih harus dibayar.
Permohonan tersebut harus diajukan secara tertulis menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran pajak paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan, dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri surat kuasa sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
surat permohonan mencantumkan: jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran; atau jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan;
Selain itu, Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak harus memberikan jaminan yang dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat deposito.
Pengansuran dan penundaan pembayaran utang pajak menjadi urusan Juru Sita. Wajib Pajak dapat meminta penjelasan lebih lanjut dengan petugas Juru Sita. Permohonan pengangsuran dan penundaan menunjukkan itikad baik Wajib Pajak untuk melunasi utang pajak.
Gugatan Wajib Pajak
Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP, Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. Objek gugatan berupa:
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dengan demikian, satu-satunya pinta gugatan terhadap tindakan penagihan hanya ada di Pengadilan Pajak. Pengadilan lain seperti PTUN seharusnya menolak permohonan terkait tindakan penagihan karena spesialisasi undang-undang perpajakan. Hal ini diperkuat dengan aturan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang PPSP
Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang PPSP
Daluwarsa Penagihan Pajak
Utang pajak dapat ditagih walaupun Wajib Pajak atau Penanggung Pajak sudah meninggal. Tetapi kewenangan menagih ini dibatasi waktu, yaitu 5 tahun saja. Jadi tidak berarti selamanya dapat ditagih.
Setelah 5 tahun disebut daluwarsa penagihan pajak. Artinya, negara tidak memiliki kewenangan untuk menagih pajak lagi.
Bagaimana menghitung 5 tahun ini? Pasal 22 Undang-Undang KUP mengatur daluwarsa penagihan pajak. Berikut salinannya:
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang KUP
Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
diterbitkan Surat Paksa;
ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Keempat tindakan menjadikan argo penagihan pajak nol lagi. Dan daluwarsa penagihan bergeser menjadi 5 tahun ke depan setelah salah satu ke-empat tindakan di atas dilakukan.
Menteri Keuangan telah memperpanjang insentif pajak terkait pandemi Covid-19. Insentif pajak dimaksud sebelumnya hanya berlaku sampai dengan 31 Desember 2020 diperpanjang menjadi 31 Desember 2021 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 239/PMK.03/2020
Selain insentif pajak, ada juga fasilitas Pajak Penghasilan yang diperpanjang sampai dengan 30 Juni 2020, yaitu Fasilitas Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Insentif PPN
Bentuk insentif PPN ada 2, yaitu PPN tidak dipungut dan PPN ditanggung pemerintah (DTP). PPN tidak dipungut untuk impor Barang Kena Pajak oleh Pihak Tertentu.
Sedangkan insentif PPN DTP untuk transaksi:
penyerahan BKP dan JKP oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Pihak Tertentu,
pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean oleh Pihak Tertentu,
penyerahan bahan baku untuk produksi vaksin dan/atau obat untuk penanganan COVID-19 oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat, dan
penyerahan vaksin dan/atau obat untuk penanganan COVID-19 oleh Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat.
Pihak Tertentu meliputi: a. Badan/Instansi Pemerintah; b. Rumah Sakit; atau c. Pihak lain
BKP yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 yaitu: a. obat-obatan; b. vaksin dan peralatan pendukung vaksinasi; c. peralatan laboratorium; d. peralatan pendeteksi; e. peralatan pelindung diri; f. peralatan untuk perawatan pasien; dan/atau g. peralatan pendukung lainnya yang dinyatakan oleh Pihak Tertentu untuk keperluan penanganan pandemi COVID-19.
JKP yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 meliputi: a. jasa konstruksi; b. jasa konsultasi, teknik, dan manajemen; c. jasa persewaan; dan/atau d. jasa pendukung lainnya.
PKP yang akan memanfaatkan insentif ini wajib membuat: a. Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, dan b. Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah.
Faktur Pajak harus memuat keterangan โPPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR โฆ/PMK.03/2020โ. Dan menggunakan kode faktur pajak 07. Kode faktur pajak 07 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut atau Ditanggung Pemerintah (DTP).
Insentif PPh
Insentif PPh dalam rangka penanganan Covid-19 terdiri dari:
pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor,
pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22,
pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 21, dan
pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 23.
Pembebasan ini ada yang mengharuskan adanya SKB, ada yang otomatis. Jika diharuskan, artinya jika tidak ada SKB tidak mendapat insentif. Tetap dipungut atau dipotong.
Insentif yang mengharuskan adanya SKB yaitu:
Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Pihak Tertentu yang melakukan pembelian barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19
Pihak Ketiga yang melakukan penjualan barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19
Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat yang melakukan pembelian bahan baku untuk memproduksi vaksin dan/atau obat untuk penanganan COVID-19
Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat yang melakukan penjualan vaksin dan/atau obat untuk penanganan COVID-19 kepada Instansi Pemerintah
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang menerima atau memperoleh imbalan dari Pihak Tertentu
Untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas dengan mengisi formulir melalui saluran tertentu pada laman http://www.pajak.go.id.
Fasilitas PPh
Selain insentif pajak, ada juga fasilitas Pajak Penghasilan yang diperpanjang sampai dengan 30 Juni 2020, yaitu Fasilitas Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Fasilitas Pajak Penghasilan dalam rangka penanganan COVID-19 sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020, berupa: a. tambahan pengurangan penghasilan neto bagi Wajib Pajak dalam negeri yang memproduksi Alat Kesehatan dan/atau Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga; b. sumbangan yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto; c. pengenaan tarif PPh sebesar 0% dan bersifat final atas tambahan penghasilan yang diterima Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan; dan d. pengenaan tarif PPh sebesar 0% dan bersifat final atas penghasilan berupa kompensasi atau penggantian atas penggunaan harta.
Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan file pdf dengan nama file 101TaxGlossary. Karena saya tahu penulisnya, saya meminta ijin untuk share ulang. Di sini saya ubah judulnya dengan Istilah Pajak.
101 Tax Glossary ditulis oleh Erikson Wijaya dan Noris Andika Pane.
Tax Accountant Profesi akuntan yang mengkhususkan pada analisis aspek perpajakan di setiap pencatatan akuntansi entitas/unit/individu Wajib Pajak yang ditanganinya. Profesi ini memungkinkan Wajib Pajak dapat memenuhi setiap hak dan kewajiban perpajakannya, antara lain: pelaporan SPT Tahunan/ Masa, pengurusan restitusi pajak, penyelesaian banding dan keberatan, atau pengajuan permohonan administrasi rutin lainnya
Tax Administration Segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan/ operasionalisasi pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak baik dari sisi Wajib Pajak maupun dari sisi petugas pajak. Rujukan pelaksanaan yang diambil sebagai pedoman dalam pelaksanaan tersebut adalah ketentuan perpajakan (Undang-Undang dan aturan pelaksanaan turunannya) yang disusun dan dilaksanakan oleh otoritas pajak di setiap negara masing-masing (Indonesia: Direktorat Jenderal Pajak- Kementerian Keuangan)
Tax Advantage Nilai ekonomi atau setara nilai uang yang dapat diperoleh atau berpotensi dapat diperoleh ketika Wajib Pajak menerapkan suatu ketentuan perpajakan tertentu secara sah dan tidak menyalahi aturan. Tax Advantage hanya dapat diperoleh jika Wajib Pajak memahami detil di setiap aspek transaksi. Setiap aspek tersebut mengandung ruang yang dapat dimanfaatkan untuk menghemat beban pajak. Ruang tersebut memang secara sah terbentuk akibat ketentuan perpajakan yang berlaku
Tax Advisor Suatu profesi yang memberikan layanan berupa bantuan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan mengedepankan upaya penghematan beban pajak tanpa menyalahi aturan perpajakan yang dijalankan. Tax Advisor memiliki batasan dalam menjalankan profesinya yakni hanya terbatas memberikan nasihat profesional dan menjelaskan skema strategis yang dapat dijalankan Wajib Pajak. Tax Advisor tidak diperkenankan menjalankan tugas pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai perwakilan Wajib Pajak
Tax Allowance Sejumlah nilai uang yang dapat dikurangkan oleh Wajib Pajak dari penghasilan kotor untuk menghitung jumlah yang dapat dikenai pajak. Bagi pemberi kerja/ pemotong pajak, Tax Allowance berguna untuk menentukan dasar pengenaan pajak yang hendak dipotong/ dipungut. Dengan menerapkan Tax Allowance, Wajib Pajak atau Pemotong Pajak dapat menentukan dasar pengenaan pajak yang tepat.
Tax Amnesty Program pengampunan pajak yang diirilis penguasa/ pemerintah secara resmi dan terbatas waktu tertentu untuk memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak agar mengakui ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan di masa-masa yang telah lewat dengan cara diberikan penghapusan/pengurangan beban pajak yang seharusnya terutang baik pokok dan atau sanksi yang menyertainya dengan maksud untuk memperoleh tambahan penerimaan pajak, meningkatkan kualitas basis pajak, dan sebagai bagian dari agenda reformasi sistem perpajakan
Tax Arbitrage Tax Arbitrage adalah upaya/praktik untuk memaksimalkan laba atau keuntungan dengan cara mengidentifikasi dan mengeksploitasi kompleksitas ketentuan perpajakan. Tax Arbitrage dilakukan dengan cara menata kembali pola atau model transaksi yang dilakukan Wajib Pajak menjadi suatu bentuk yang lebih memberikan penghematan atau penghilangan beban pajak yang dapat dikandung suatu transaksi bisnis. Frase arbitrage dalam konteks Tax Arbitrage dapat diartikan sebagai jalan tengah yang legal untuk menghadapi berbagai ketentuan perpajakan yang dikenakan terhadap Wajib Pajak.
Tax Arrears Tax Arrears adalah jumlah utang pajak yang dimiliki Wajib Pajak yang masih harus dibayar kepada negara/pemerintah namun oleh Wajib Pajak belum dilakukan pembayaran
Tax Aspect Tax Aspect adalah sebuah kondisi transaksi ekonomi/ keuangan yang dapat mengandung kewajiban/ konsekuensi perpajakan sehingga menjadi salah satu pertimbangan bagi pelaku untuk menerapkan pola transaksi tersebut. Semakin besar konsekuensi pajak yang harus ditanggung akibat Tax Aspect memuat kewajiban pajak dengan tarif yang lebih tinggi, maka makin besar kemungkinan transaksi trersebut dihindari.
Tax Assessment Tax Assessment merupakan sebuah praktik untuk menganalisis beragam aspek perpajakan dalam sebuah transaksi ekonomi/ non ekonomi. Tax Assessment biasa dilakukan oleh Wajib Pajak untuk mengukur seberapa besar konsekuensi beban pajak yang berpotensi ditanggung Wajib Pajak dalam melaksanakan sebuah rencana bisnis atau pribadi. Kemampuan mengurai konsekuensi perpajakan merupakan sebuah kemampuan dasar bagi siapapun yang bekerja di dunia Finance, Accountancy, dan Tax (biasa disingkat FAT).
Tax Auditing Tax Auditing merupakan salah satu cabang konsentrasi dalam administrasi atau pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan perpajakan dengan fokus berkaitan dengan pengujian kembali kualitas pemenuhan ketentuan perpajakan di dalam riwayat pelaporan dan pembayaran pajak yang telah dilakukan Wajib Pajak dalam suatu kurun waktu tertentu
Tax Authorities Tax Authorities merujuk pada sebuah entitas (kantor/unit/lembaga/badan) kelengkapan negara yang bekerja berdasarkan ketentuan undang-undang yang sah secara hukum negara tersebut dalam rangka menyelenggarakan operasional dan atau perumusan peratuan di bidang perpajakan.
Tax Autonomy Tax Autonomy adalah sebuah kebijakan administratif suatu negara untuk memberikan kebebasan secara otonom terhadap otoritas perpajakan di dalam aspek tertentu untuk menciptakan pola kerja yang lebih efisien, efektif, dan tepat sasaran. Penerapan Tax Autonomy dapat berupa pemisahan struktural otoritas pajak menjadi tidak lagi di bawah kendali Kementerian Keuangan melainkan langsung di bawah Presiden. Atau di beberapa negara, otoritas pajak tetap berada di bawah Kementerian Keuangan namun kuasa secara otonom diberikan untuk aspek tertentu seperti Sumber Daya Manusia, Keuangan, atau Penegakan Hukum
Tax Avoidance Tax Avoidance adalah istilah umum untuk menggambarkan praktik penghindaran pajak dengan menerapkan teknik-teknik yang legal dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Hal ini dimungkinkan bilamana Wajib Pajak memahami seluk beluk aturan perpajakan dan celah-celah yang dapat dimanfaatkan dengan maksud meminimalisir beban pajak yang harus dibayar.
Tax Barriers Tax Barriers adalah pajak yang dibebankan kepada produk-produk tertentu, biasanya produk impor sebelum masuk ke pasar dalam negeri sehingga harga produk tersebut menjadi lebih tinggi dengan maksud untuk melindungi kepentingan dalam negeri seperti produk industri lokal sejenis agar lebih bersaing.
Tax Base Tax Base adalah kumpulan objek pajak baik secara fisik atau melekat bersama subjek pajak dan atau wajib pajak yang memuat potensi pajak yang dapat dikenai pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dapat pula Tax Base didefinisikan sebagai jumlah keseluruhan penghasilan, kekayaan, aset, konsumsi, transaksi, atau aktifitas ekonomi yang dapat dikenai pajak oleh negara.
Tax Benefit Tax Benefit secara umum merujuk pada istilah untuk menjelaskan nilai pajak yang dapat dihemat oleh Wajib Pajak. Adanya Tax Benefit dapat mengurangi beban pajak yang harus dibayar. Hal ini dapat terjadi karena Tax Benefit kerap kali berupa insentif berupa pengurangan atau keringanan yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai bentuk apresiasi untuk telah mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku atau mendorong tumbuhnya perekonomian di sektor tertentu
Tax Bracket Tax Bracket merujuk pada rentang penghasilan yang dikenai pajak dengan besaran tertentu tergantung pada besaran nilai di dalam rentang penghasilan dimaksud. Istilah Tax Bracket biasanya mengaju pada penerapan pajak dengan sifat yang progresif sebab semakin tinggi penghasilan maka semakin besar beban pajak yang dikenakan.
Tax Breaks Tax Break merupakan sebuah kebijakan yang diberikan pemerintah untuk mengurangi beban pajak yang harus dibayar Wajib Pajak dengan cara memberikan fasilitas pembebanan biaya/ perluasan pengurangan penghasilan bruto atau pengecualian pengenaan pajak atas penghasilan yang dilaporkan. Tax Break biasanya berlaku sementara dengan maksud sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mendorong iklim usaha di sektor tertentu.
Tax Buoyancy Tax Buoyancy adalah sebuah ukuran untuk menggambar tingkat perubahan atas pertumbuhan penerimaan pajak terhadap perubahan jumlah produk domestik bruto (pertumbuhan ekonomi). Dalam penerapannya, Tax Buoyancy dapat dihitung dengan cara membagi pertumbuhan penerimaan perpajakan (secara riil) dengan pertumbuhan ekonomi
Tax Burden Tax Burden adalah jumlah semua beban pajak atau dampak pajak terhadap total penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak. Tax Burden merupakan sebuah konsep umum untuk menggambarkan adanya akumulasi beban akibat pajak yang dianggap dapat mengurangi kuantitas kekayaan Wajib Pajak.
Tax Capacity Tax Capacity adalah kemampuan yang dimiliki pemerintah suatu negara untuk mengumpulkan penerimaan pajak dari total seluruh potensi pajak yang dimiliki/ berhasil diidentifikasi. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi Tax Capacity sebuah negara yaitu: pertumbuhan ekonomi, kualitas infrastruktur, tingkat pendidikan warga negara, atau kondisi sektor penopang perekonomian negara tersebut.
Tax Capitalization Tax Capitalization adalah sebuah metode untuk menambahkan nilai suatu aset (atau penghasilan yang dapat dihasilkan sebuah aset) sejumlah selisih yang muncul akibat penurunan tarif pajak. Hal ini dapat dimungkinkan karena penurunan tarif pajak dapat meningkatkan penghasilan di masa mendatang. Akumulasi kenaikan tersebut dikapitalisasikan (ditambahkan sebagai nilai) ke dalam nilai aset
Tax Characteristics Tax Characteristics adalah sifat dasar pajak yang melekat secara umum. Konsep ini merujuk pada keberadaan aspek perpajakan dalam berbagai sudut pandang, terutama hukum dan bisnis
Tax Clearance Tax Clearance merupakan sebuah status yang menerangkan kualitas pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Lazimnya, status tersebut dilegalkan dalam bentuk dokumen sertifikat fisik yang diterbitkan oleh otoritas pajak sebuah negara. Di Indonesia, dokumen tersebut adalah Surat Keterangan Fiskal.
Tax Code Tax Code adalah kumpulan ketentuan hukum perpajakan suatu negara sebagai satu kesatuan yang wajib dipatuhi Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya. Tax Code disusun menurut topik-topik pembahasan yang dapat diacu Wajib Pajak sebagai dasar legal dalam memahami administrasi dan prosedur perpajakan yang berlaku
Tax Coefficient Tax Coefficient memiliki arti yang tidak berbeda jauh dengan tax rate. Cofficient atau koefisien dalam bahasa indonesia adalah suatu konstanta yang bernilai mutlak dan tetap dapat mempengaruhi nilai suatu variabel dalam menghitung total keseluruhan nilai dalam sebuah persamaan. Berkaitan dengan pajak, maka tax coefficient dapat bermakna konstanta tertentu yang dimasukkan sebagai unsur dalam menghitung besaran suatu variabel untuk menentukan nilai akhir pajak yang terutang, biasanya penggunaan koefisien dalam menghitung pajak terjadi pada pajak daerah.
Tax Collections Tax Collections berkaitan dengan kegiatan pengumpulan pajak melalui mekanisme penagihan utang pajak kepada Wajib Pajak oleh petugas pajak (biasanya memiliki jabatan Jurusita Pajak Negara). Tax collections adalah salah satu unsur penunjang capaian target penerimaan pajak
Tax Competitions Tax Competitions adalah suatu kondisi persaingan antara negara/ yurisdiksi untuk memperebutkan investasi atau perusahaan multinasional dengan menawarkan tarif pajak yang lebih rendah atau administrasi perpajakan yang lebih sederhana dan mudah. Lazimnya, Tax Competitions berkenaan dengan Pajak Penghasilan badan dan Pajak Penghasilan atas karyawan/ tenaga kerja
Tax Compliance Tax Compliance adalah kondisi kualitas kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan mekanisme pemenuhannya, ada dua jenis kepatuhan pajak atau Tax Compliance, yakni kepatuhan yang dipaksakan (enforced compliance) dan kepatuhan sukarela (volutarily compliance). Sementara, menurut substansinya, ada dua jenis kepatuhan yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material.
Tax Composition Tax Composition berkenaan dengan kontribusi masing-masing jenis pajak dalam menyusun jumlah penerimaan pajak suatu negara/ yurisdiksi dalam rentang waktu tertentu. Konsep Tax Composition bermanfaat untuk mendapatkan gambaran mengenai peran berbagai jenis pajak yang ada dalam menyumbang capaian penerimaan pajak.
Tax Computation Tax Computation adalah suatu mekanisme dalam menyajikan/ menunjukkan proses penyesuaian penghasilan menurut akuntansi untuk kepentingan perpajakan agar dapat memperoleh nilai penghasilan yang dapat dikenai pajak. Penyesuaian untuk kepentingan perpajakan tersebut mencakup penghitungan biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan, penghasilan yang tidak dikenai pajak, pengurangan-pengurangan lainnya, dan tunjangan yang berkaitan dengan modal.
Tax Concesssions Tax Concession berkenaan dengan pengurangan atau pengecualian beban pajak yang harus dibayar sebagai bagian dari kebijakan pemerintah yang diberikan kepada wajib pajak baik badan maupun orang pribadi. Fasilitas pengurangan dalam Tax Concession diberikan pemerintah bagi Wajib Pajak yang memenuhi syarat yang ditetapkan, misalnya batas nilai peredaran usaha/ omset tidak melebihi nilai tertentu atau kelengkapan administrasi pembebanan biaya yang dapat dikurangkan.
Tax Consequences Tax Consequences merupakan sebuah konsep yang menjabarkan bagaimana proses munculnya kewajiban perpajakan yang harus dibayar akibat penerapan suatu mekanisme atau pola transaksi bisnis yang dijalankan Wajib Pajak dalam menjalankan kegiatan bisnisnya atau pribadinya.
Tax Cooperation Tax Cooperation merupakan sebuah praktik untuk menjalin kerjasama antara dua atau lebih otoritas perpajakan antar negara atau yurisdiksi dengan maksud untuk menyediakan kondisi/ iklim perpajakan yang efektif, akuntabel, dan transparan bagi Wajib Pajak suatu negara yang sedang menjalankan atau hendak menjalankan kegiatan bisnis atau investasi di satu atau lebih negara lainnya. Tax Cooperation juga dijalin dengan maksud untuk mengamankan potensi penerimaan pajak oleh negaranegara yang terlibat oleh Wajib Pajak dimaksud.
Tax Costs Tax Costs dapat juga disebut beban pajak. Di dalam laporan keuangan, beban pajak dibebankan sebagai biaya untuk menghitung penghasilan bersih suatu entitas. Beban pajak ini dihitung dengan mengalikan penghasilan bersih yang dikenai pajak dengan tarif pajak yang berlaku atas penghasilan tersebut.
Tax Court Tax Court atau Pengadilan Pajak merupakan suatu lembaga resmi yang dibentuk oleh negara dengan maksud untuk menyelenggarakan forum yudisial dimana Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding terhadap keputusan utang pajak yang harus dibayar yang telah ditetapkan oleh otoritas perpajakan suatu negara/ yurisdiksi. Di Amerika Serikat, Tax Court dibentuk di setiap jenjang administratif pemerintahan mulai dari tingkat lokal, negara bagian, sampai dengan tingkat supreme (utama).
Tax Crime Tax Crime adalah istilah untuk menyebut suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menyebabkan kerugian pada pendapatan negara. Ada banyak bentuk tax crime dan setiap negara atau yurisdiksi memiliki definisi yang berbeda-beda. OECD sendiri bahkan memberikan cakupan tax crime juga meliputi tindakan untuk menghindari pajak dengan skema tertentu yang diatur dengan sengaja mencakup penyampaian data dan informasi yang tidak benar.
Tax Culture Tax Culture merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan kualitas kesadaran pajak masyarakat dalam skala luas di suatu wilayah negara atau yurisdiksi. Budaya perpajakan, dalam pengertian umumnya, menunjukkan perilaku perpajakan dan norma perpajakan yang berlaku di negara tertentu. Sikap dan perilaku baik wajib pajak maupun pemungut pajak menjadi dasar yang mendasari budaya perpajakan.
Tax Cut Pemotongan pajak atau Tac Cut adalah pengurangan tarif pajak yang diberikan oleh pemerintah. Dampak langsung dari pemotongan pajak adalah penurunan pendapatan riil pemerintah dari penerimaan pajak dan peningkatan pendapatan riil bagi masyarakat atau pelaku bisnis/ usaha yang tarif pajaknya telah diturunkan.
Tax Debt Tax debt atau hutang pajak adalah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak kepada otoritas perpajakan negara tempat Wajib Pajak tinggal sebagai warga negara atau berdomisili setelah batas waktu pengajuan. Tidak masalah jika Wajib Pajak mengajukan pengembalian pajak sebelum batas waktu pengajuan dan membayar sebagian tagihan pajak. Sisa saldo masih akan dianggap sebagai hutang pajak.
Tax Declaration Pernyataan pendapatan, penjualan dan rincian lainnya dibuat oleh atau atas nama wajib pajak. Formulir sering kali disediakan oleh otoritas pajak untuk tujuan ini. Tax Declaration biasanya disampaikan dengan bentuk formulir Surat Pemberitahuan atau SPT
Tax Deductible Tax Deductible merupakan salah satu kelompok jenis biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan kotor/ laba kotor/ peredaran usaha dalam menghitung penghasilan bersih yang menjadi dasar pengenaan pajak.
Tax Delinquent Istilah Tax Delinquent digunakan untuk menyebut Penunggak Pajak. Suatu utang pajak menjadi tunggakan jika telah terlampaui batas waktu pelunasan namun oleh Wajib Pajak belum dilakukan pelunasan.
Tax Default Tax Default merupakan istilah untuk menyebut pajak yang gagal dibayar oleh Wajib Pajak baik dalam skema cicilan atau pelunasan. Dengan kata lain, setelah terlampaui batas waktu, tidak ada aktifitas pembayaran yang dilakukan Wajib Pajak atas tunggakan pajak tersebut. Sehingga penggunaan istilah Tax Default tepat digunakan untuk menyebut pajak yang gagal dibayar penunggak pajak.
Tax Discrimination Tax Discrimination mengacu pada praktik penerapan pembedaan pengenaan pajak yang dianggap tidak adil oleh sebagian orang, karena tidak mempengaruhi semua orang secara setara. Ketidakadilan ini dipicu oleh munculnya platform baru dalam bisnis yang tidak mengikuti kebijakan perpajakan pada waktunya.
Tax Disincentives Tax Disincentives adalah pengaruh yang disebabkan oleh pengenaan pajak yang mengakibatkan melemahnya atau berkurangnya kapasitas bisnis, nominal laba bersih, atau skala kegiatan usaha yang dijalankan Wajib Pajak. Tax Disincentives dapat berupa pengenaan pajak dengan tarif yang tinggi, pengenaan pajak berganda, atau administrasi pemenuhan hak dan kewajiban pajak yang dianggap tidak sederhana dan memakan waktu serta biaya.
Tax Dispute Tax Dispute atau Sengketa Pajak berarti setiap perselisihan oleh otoritas Pajak dengan Wajib Pajak atau sebaliknya (termasuk melalui penerbitan penilaian atau substansi dalam surat menyurat yang resmi diterbitkan otoritas pajak) yang menyatakan bahwa kewajiban Pajak dapat timbul atau bahwa Keringanan Pajak mungkin tidak tersedia lagi untuk dibahas antara kedua belah pihak.
Tax Dodge Tax Dodge adalah suatu praktik ilegal atau bertentangan dengan hukum perpajakan yang berlaku untuk mengurangi jumlah beban pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak dalam suatu kurun waktu tertentu.
Tax Effect Tax Effect merupakan istilah untuk menggambarkan konsekuensi berupa pajak yang harus dibayar akibat penerapan skenario atau metode tertentu untuk kepentingan menghitung utang pajak atau beban pajak yang harus dibayar. Tax Effect juga kerap digunakan untuk menggambarkan beban pajak yang muncul akibat pengenaan pajak atas seluruh penghasilan yang baru terdeteksi oleh otoritas dikurangi pajak atas penghasilan yang telah dilaporkan di dalam Surat Pemberitahuan pajak.
Tax Effort Tax Effort merupakan suatu angka untuk menunjukkan perbandingan antara nilai penerimaan pajak secara riil terhadap total potensi penerimaan pajak dalam satu periode yang sama di suatu negara atau yurisdiksi. Penggunaan angka dalam Tax Effort memungkinkan pengelompokkan negara menjadi berbagai kategori berikut: low tax collection, low tax effort; high tax collection, high tax effort; low tax collection, high tax effort; and high tax collection, low tax effort.
Tax Enforcement Tax Enforcement adalah tindakan untuk menerapkan hukum perpajakan yang diamanatkan di dalam ketentuan perpajakan suatu otoritas pajak sebuah negara atau yurisdiksi. Tujuan tax enforcement adalah untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya, meningkatkan penerimaan pajak, dan menciptakan budaya patuh pajak di masyarakat. Tax Enforcement dilakukan dengan penerapan pengenaan sanksi administrasi dan pidana secara tegas dan adil kepada Wajib Pajak yang melanggar ketentuan perpajakan.
Tax Environment Tax Environment merupakan kebijakan untuk mengenakan pajak atas aktifitas bisnis dan atau aktifitas keseharian masyarakat yang berpotensi mencemari lingkungan dengan berbagai bentuk.
Tax Equity Tax Equity adalah prinsipi keadilan dalam pengenaan pajak. Dengan maksud agar pembebanan pajak kepada Wajib Pajak/ masyarakat harus mengedepankan semangat persamaan beban dan pertimbangan kemampuan.
Tax Evasion Tax Evasion adalah suatu upaya untuk dengan sengaja melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku dengan maksud untuk tidak membayar pajak atau membayar dengan jumlah yang lebih rendah daripada yang seharusnya dibayar. Tax Evasion dipandang mengandung aspek tindak pidana di bidang perpajakan.
Tax Exemption Tax Exemption atau Pembebasan pajak adalah pengurangan atau penghapusan kewajiban untuk melakukan pembayaran wajib yang semula dikenakan oleh otoritas pajak kepada Wajib Pajak atas perolehan penghasilan oleh melalui orang, properti, pendapatan, atau transaksi.
Tax Exhaustion Tax Exhaustion merujuk pada batas maksimal kemampuan Wajib Pajak atau Orang Pribadi dalam memenuhi kemampuan membayar pajak. Batas maksimal sebagaimana dimaksud mencakup jumlah nominal uang yang paling banyak dibayarkan oleh Wajib Pajak.
Tax Exile Tax Exile merujuk pada status orang pribadi atau badan hukum yang memutuskan semua ikatan yang membuatnya menjadi penduduk fiskal di negara tertentu dan pindah ke yurisdiksi lain karena alasan pajak.
Tax Expenditure Tax Expenditure atau Belanja Pajak adalah ketentuan khusus dari peraturan pajak yang mengatur beberapa ketentuan seperti pengecualian, pemotongan, penangguhan, kredit, dan tarif pajak yang menguntungkan kegiatan atau kelompok pembayar pajak tertentu. Dengan demikian, pengeluaran pajak seringkali merupakan alternatif dari program atau peraturan pengeluaran langsung untuk mencapai tujuan yang sama
Tax Expense Tax Expense atau belanja untuk membayar pajak adalah akun tertentu di dalam laporan keuangan Wajib Pajak yang menunjukkan jumlah pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak dalam suatu periode tertentu. Dengan kata lain, Tax Expense didefinisikan dari sudut pandang Wajib Pajak.
Tax Firm Tax Firm merupakan sebuah bentuk usaha profesional di bidang perpajakan yang dijalankan oleh para profesional yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang perpajakan untuk memberikan bantuan profesional kepada Wajib Pajak dan masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya. Keberadaan Tax Firm menjadi jembatan antara Wajib Pajak dengan otoritas pajak sehingga ketika berjalan dengan baik, Tax Firm dapat membantu terwujudnya komunikasi yang baik antara otoritas pajak dengan Wajib Pajak.
Tax Free Tax Free adalah sebuah kondisi dimana sebuah transaksi bisnis yang dijalankan Wajib Pajak tidak dikenai pajak sama sekali dikarenakan transaksi bisnis tersebut menggunakan skema yang memang secara legal tidak dikenai pajak atau dapat pula karena penghasilan yang diperoleh memang tidak termasuk objek pajak yang dikenai pajak.
Tax Gap Tax Gap merupakan istilah untuk menggambarkan jumlah selisih pajak yang terkumpul tepat waktu sebagai penerimaan negara dengan jumlah pajak terutang. Tax Gap muncul sebagai istilah untuk menjelaskan jumlah persentase utang pajak yang belum kadaluarsa namun belum tertagih.
Tax Home Tax Home adalah sebuah istilah untuk menjelaskan kondisi tempat kerja atau jabatan rutin wajib pajak, di mana pun wajib pajak memiliki rumah keluarga.
Tax Haven Tax Haven atau Surga pajak dalam pengertian “klasik” mengacu pada negara yang mengenakan pajak rendah atau tidak ada pajak, dan digunakan oleh perusahaan untuk menghindari pajak yang jika tidak, akan dibayarkan di negara asal dengan pajak tinggi. Menurut laporan OECD, tax havens memiliki karakteristik utama sebagai berikut; Tidak ada atau hanya pajak nominal; Kurangnya pertukaran informasi yang efektif; Kurangnya transparansi dalam pelaksanaan ketentuan legislatif, hukum atau administratif.
Tax Holiday Tax holiday adalah kebijakan hukum yang secara resmi dikeluarkan oleh otoritas pajak suatu negara/yurisdiksi yang menawarkan periode pembebasan pajak penghasilan untuk jenis usaha baru atau usaha tertentu guna mengembangkan atau mendiversifikasi industri dalam negeri.
Tax Hell Tax Hell atau Neraka Pajak merujuk pada negara/yurisdiksi dengan tarif pajak yang sangat tinggi. Dalam beberapa definisi, neraka pajak juga berarti birokrasi pajak yang menindas atau memberatkan. Di Amerika Serikat, negara bagian dengan tarif pajak yang sangat tinggi adalah Wisconsin, yang secara geografis berdekatan dengan Minnesota dan North Dakota.
Tax Incentives Tax Incentives atau Insentif Pajak adalah kebijakan yang secara resmi dirilis oleh otoritas pajak suatu negara/ yurisdiksi dalam bentuk pembebasan pajak, pengurangan tarif pajak, atau pajak ditanggung negara dengan maksud untuk membantu perkembangan bisnis, kelancaran likuiditas, atau meningkatkan kepatuhan pajak. Tax Incentives diberikan dalam jangka waktu tertentu, dengan kata lain, bukan merupakan sebuah kebijakan yang tetap
Tax Incidences Tax Incidences atau insiden pajak adalah istilah ekonomi untuk memahami pembagian beban pajak antara pemangku kepentingan, seperti pembeli dan penjual atau produsen dan konsumen. Insiden pajak juga dapat dikaitkan dengan elastisitas harga penawaran dan permintaan.
Tax Inclusives Tax Inclusives berarti pajak sudah menjadi bagian dari harga eceran produk, jadi tidak ada lagi pajak yang ditambahkan ke subtotal dari transaksi penjualan. Sedangkan Tax Exclusive artinya pajak diterapkan di atas harga satuan.
Tax Increment Tax Increment adalah istilah dalam keuangan publik. Tax Increment adalah sebuah metode untuk menjadikan pajak sebagai salah satu alat untuk mendukung proyek pengembangan kembali kegiatan perekonomian di suatu wilayah dengan menggunakan dana pajak yang diperkirakan dapat dikumpulkan dari properti atau objek pajak di wilayah tersebut sepanjang kurun waktu tertentu. Pembiayaan melalui kenaikan pajak/ Tax Increment dapat pula dimaknai sebagai metode pembiayaan publik yang dapat digunakan sebagai subsidi untuk pembangunan kembali, infrastruktur, dan proyek peningkatan masyarakat lainnya di banyak negara, termasuk Amerika Serikat.
Tax Intelligence Tax Intelligence adalah sebuah istilah untuk mengoptimalkan semua sumber daya berupa informasi, teknologi, jejaring relasi, dan sumber daya manusia dalam melakukan pendalaman untuk kepentingan penelurusan kondisi subjektif dan objektif Wajib Pajak, pengujian kepatuhan pajak, penegakan hukum perpajakan, dan penyusunan profil Wajib Pajak. Di banyak otoritas pajak di berbagai negara/yurisdiksi, Tax Intelligence telah dilembagakan menjadi unit yang secara resmi menjalankan fungsi-fungsi intelijen.
Tax Investigations Tax Investigations adalah suatu mekanisme penegakan hukum pajak yang dilakukan oleh petugas pajak dengan jabatan tertentu dengan maksud untuk membuktikan unsur pidana dari tindak pidana perpajakan yang disangkakan kepada Wajib Pajak.
Tax Invoices Tax Invoices atau Faktur Pajak adalah dokumen tertulis yang diterbitkan dan dibuat oleh Wajib Pajak penjual kepada Wajib Pajak pembeli yang menunjukkan deskripsi, jumlah, nilai barang dan jasa serta pajak yang dibebankan. Faktur Pajak diterbitkan, lazimnya, jika barang dijual dengan maksud untuk dijual kembali oleh pembeli.
Tax Laws Tax Laws atau hukum pajak adalah seperangkat aturan dan ketentuan yang mengatur dan menetapkan perihal bagaimana, kapan, dan berapa banyak pajak yang harus dibayar ke otoritas pajak di setiap jenjang dan ketentuan yang berlaku.
Tax Loopholes Tax Loopholes adalah celah-celah yang dapat dimanfaatkan dalam undang-undang, pengaruh tax avoidance (penghindaran pajak) untuk meminimalkan beban pajak.
Tax Lien Tax Lien adalah notifikasi berupa klaim resmi yang disampaikan oleh pemerintah atas aset berupa properti yang dimiliki Wajib Pajak yang belum membayar Pajak Penghasilan setelah lampau jatuh tempo yang ditetapkan. Ketika notifikasi atau Tax Lien telah disampaikan atau ditetapkan pemerintah, maka Tax Lien dapat dihapus dengan cara Wajib Pajak membayar tagihan pajak yang terutang yang mana jika tidak dilakukan pembayaran maka atas aset yang telah diberi notifikasi Tax Lien dapat dilakukan penyitaan.
Tax Liability Tax Liability adalah jumlah uang yang menjadi utang pajak yang harus dibayar ke otoritas pajak/ pemerintah, Tax Liability mencerminkan jumlah pajak secara keseluruhan yang harus dilakukan pelunasan ke pemerintah oleh Wajib Pajak
Tax Liability Tax Litigation berarti setiap klaim, tindakan hukum, persidangan, gugatan, litigasi, penuntutan, penyelidikan, arbitrase atau proses penyelesaian sengketa lainnya, atau proses administratif atau pidana, atau tindakan otoritas pajak (atau penilaian, keputusan, perintah, perintah atau keputusan yang berkaitan dengan salah satu dari hal tersebut di atas) yang berkaitan dengan pajak.
Tax Multiplier Tax Multiplier menunjukkan ukuran sebuah perubahan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang dapat terjadi ketika pemerintah melakukan penyesuaian melalui kebijakan pajak. Kompleksitas Tax Multiplier ditentukan oleh lingkup perubahan yang dilakukan, apakah hanya berkaitan dengan konsumsi atau seluruh komponen PDB.
Tax Morale Tax Morale adalah ukuran yang menunjukkan persepsi dan sikap Wajib Pajak terhadap kewajiban membayar pajak dan kecenderungan untuk menghindari pajak. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi Tax Morale antara lain usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan tingkat kepercayaan terhadap pemerintah.
Tax Neutrality Tax Neutrality merujuk pada sebuah konsep/ sistem yang membuat pajak tidak menjadi unsur yang mempengaruhi keputusan individu atau korporasi dalam mengambil keputusan berkenaan dengan bisnis, investasi, atau hal lainnya. Ide dasar dari konsep Tax Neutrality adalah sikap pemerintah untuk mendorong berjalannya kegiatan ekonomi oleh pelaku bisnis tanpa dibebani oleh sistem perpajakan yang dianggap dapat memberatkan.
Tax Nexus Istilah “nexus” dalam Tax Nexus digunakan dalam undang-undang perpajakan untuk menggambarkan situasi di mana bisnis dapat terdampak oleh pajak di negara atau yurisdiksi tertentu. Nexsus pada dasarnya adalah hubungan antara otoritas perpajakan dan entitas yang harus memungut atau membayar pajak.
Tax Ombudsman Tax Ombudsman merujuk pada lembaga khusus yang dibentuk otoritas pajak dengan maksud untuk menerima keluhan, kritik, dan saran, serta pengaduan dari Wajib Pajak terkait kualitas pelayanan dan pelaksanaan administrasi hak dan kewajiban perpajakan. Tax Ombudsman mengeluarkan rekomendasi yang bersifat tidak mengikat untuk dilaksanakan otoritas perpajakan.
Tax Penalty Tax Penalty atau denda pajak yang diberlakukan pada Wajib Pajak individu atau korporasi karena tidak membayar cukup atau tidak membayar secara keseluruhan dari perkiraan total pajak terutang atau pajak yang telah dilakukan pemotongan. Jika Wajib Pajak mengalami hal tersebut sehingga menimbulkan kurang bayar atau tidak membayar sama sekali dari total taksiran pajak, mereka mungkin diharuskan membayar denda.
Tax Potential Tax Potential atau potensi pajak adalah jumlah maksimum penerimaan pajak yang mungkin dapat diupayakan dan ditingkatkan pemerintah dalam satu rentang waktu sesuai dengan karakteristik-karakteristik yang dapat diidentifikasi.
Tax Planning Tax Planning adalah proses menganalisis rencana keuangan atau situasi dari sudut pandang pajak dengan maksud untuk memastikan dapat dicapainya efisiensi beban pajak yang harus dibayar tanpa melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku.
Tax Policy Tax Policy merupakan suatu pilihan (kebijakan) yang diambil pemerintah berkaitan dengan jenis pajak yang dikenakan, besaran tarif dan jumlah yang ditagihkan, dan subjek pajak yang dibebani kewajiban pajak dimaksud.
Tax Practice Tax Practice merupakan istilah untuk menyebutkan kegiatan yang berkenaan dengan administrasi perpajakan, lazimnya istilah ini merujuk pada kegiatan penyediaan jasa praktik pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan oleh profesional di bidang perpajakan, khususnya konsultan pajak
Tax Preparer Tax Preparer adalah profesional yang berkualifikasi untuk menghitung, menyampaikan/ melaporkan, dan menandatangani Surat Pemberitahuan (SPT) atas nama Wajib Pajak individu/ orang pribadi atau korporasi/ bisnis.
Tax Provision Tax Provision adalah proses menyusun estimasi jumlah yang pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak pada tahun pajak yang bersangkutan. Proses tersebut mencakup penghitungan nilai pajak yang harus dibayar dan yang ditangguhkan (aset dan kewajiban pajak tangguhan).
Tax Principles Tax Principles merupakan panduan yang menjadi petunjuk otoritas pajak dalam merumuskan kebijakan perpajakan. Tax Principles tersebut dirumuskan oleh pakar di bidang perpajakan yang biasanya masih dianggap relevan sampai dengan kurun waktu tertentu.
Tax Progressivity Tax Progressivity adalah sebuah mekanisme penerapan tarif pajak yang meningkat seiring dengan kenaikan penghasilan Wajib Pajak. Lawan dari mekanisme ini adalah Tax Regressivity dimana pajak dikenakan dengan tarif yang sama meskipun penghasilan Wajib Pajak bertambah.
Tax Proposal Tax Proposal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Tax Reform, dimana otoritas pajak, setelah menimbang berbagai rekomendasi dan evaluasi, mengajukan suatu proposal kebijakan perpajakan yang dianggap mampu memberikan solusi atas sejumlah permasalahan yang dialami pada periode sebelumnya.
Tax Ratio Tax Ratio atau tax-to-GDP ratio adalah sebuah ukuran yang menunjukkan dalam perbandingan antara jumlah total penerimaan pajak suatu negara yang dapat dikumpulkan dalam satu tahun pajak terhadap ukuran total kegiatan perekonomiannya yang dinyatakan dalam Produk Domestik Bruto atau PDB
Tax Rebellion Tax Rebellion merupakan tindakan untuk secara terbuka menentang kebijakan perpajakan dengan menunjukkan perlawanan dengan tidak memenuhi kewajiban untuk mematuhi ketentuan perpajakan baik formal maupun material. Di Amerika Serikat, Tax Rebellion secara simbolik ditandai dengan peristiwa Boston Tea Party, yakni sebuah peristiwa yang terjadi tanggal 16 Desember 1773, di mana kolonialis Amerika yang melakukan protes karena mereka harus membeli teh dari Britania Raya dan harus membayar pajak. Mereka lalu membuang teh-teh itu ke Pelabuhan Boston di Boston Harbor, Boston, Massachusetts, USA.
Tax Reform Tax Reform adalah proses untuk mengubah kebijakan berkenaan dengan mekanisme pengenaan dan pemungutan pajak oleh pemerintah dan lazimnya dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan kualitas administrasi perpajakan atau untuk mendorong aktifitas sosial dan ekonomi menjadi lebih baik.
Tax Regimes Tax Regimes merujuk pada sebuah corak, ciri khas, atau karakteristik kebijakan perpajakan suatu negara/ yursdiksi ketika di bawah rezim pemerintah/ penguasa dalam rentang waktu tertentu. Setiap masa pemerintahan dapat menjalankan kebijakan perpajakan yang berbeda-beda, tergentung keputusan yang ditetapkan pemerintah yang berkuasa saat itu.
Tax Research Tax Research, dalam dunia profesional para konsultan pajak, digunakan untuk menunjukkan aktivitas menemukan dasar hukum dalam membangun sikap untuk menanggapi suatu kebijakan perpajakan. Dalam dunia ilmiah, Tax Research merupakan aktifitas untuk melakukan penelitan isu tertentu dengan metode yang baku dengan maksud untuk membuktikan hipotesis yang dibangun dengan dugaan atau asumsi.
Tax Resistence Tax Resistence merujuk pada sikap yang mencirikan keengganan dalam mematuhi kewajiban perpajakan, sikap tersebut tercermin dalam bentuk perlawanan baik pasif maupun aktif. Tax Rebellion adalah salah satu bentuk Tax Resistence berupa perlawanan aktif.
Penulis:
Erikson Wijaya Telah berkarir sebagai pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu sejak tahun 2006, dan saat ini tengah berstatus sebagai Pegawai Tugas Belajar di University of Minnesota, USA untuk program Master of Business Taxation (MBT)
Noris Andika Pane Telah berkarir sebagai pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu selama 15 tahun, dan saat ini tengah berstatus sebagai Account Representative (AR) di KPP Pratama Kisaran yang merupakan KPP di lingkungan Kanwil DJP Sumatera Utara II
Istilah Pajak Dalam Bahas Inggris
Seringkali kita mencari padanan istilah pajak dalam bahasa Inggris. Ya, karena kita belajarnya di Indonesia sehingga saat mau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kita mencari istilah baku.
Menteri Keuangan telah menetapkan istilah-istilah baku dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Istilah-istilah dimaksud ada dalam lampiran Keputusan Menteri Keuangan nomor nomor 914/KMK.01/2016 tentang Standar Terminologi/Istilah dalam Bahasa Inggris di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Dalam beleid ini terdapat 1295 istilah yang biasa digunakan di lingkungan Kementerian Keuangan. Termasuk istilah-istilah baku perpajakan.
Menteri Keuangan akhirnya mengatur perlakukan PPN LPG subsidi. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 220/PMK.03/2020 bahwa atas penjualan LPG subsidi PPN-nya ditanggung pemerintah.
Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan LPG Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bagian harganya disubsidi, dibayar oleh Pemerintah
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 220/PMK.03/2020
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penjualan LPG disubsidi tetap membuat faktur pajak. Tetapi di faktur pajak menggunakan kode 07.
Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak yang menjual LPG tidak disubsidi, maka atas penyerahannya menggunakan Nilai Lain.
Cara menghitung Nilai Lain untuk LPG yang tidak disubsidi sebagai berikut:
penyerahan pada titik serah Badan Usaha, sebesar 100 / 110 (seratus per seratus sepuluh) dari Harga Jual Eceran;
penyerahan pada titik serah Agen, sebesar 10/ 101 (sepuluh per seratus satu) dari selisih lebih antara Harga Jual Agen dan Harga Jual Eceran; atau
penyerahan pada titik serah Pangkalan, sebesar 10/ 101 (sepuluh per seratus satu) dari selisih lebih antara Harga Jual Pangkalan dan Harga Jual Agen
Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan perundangundangan serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah NKRI yang mendapat penugasan dari Pemerintah untuk melaksanakan kegiatan penyediaan dan pendistribusian LPG Tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Agen adalah koperasi, usaha kecil, dan/ atau badan usaha swasta nasional yang ditunjuk oleh Badan Usaha untuk melakukan kegiatan penyaluran LPG Tertentu.
Pangkalan adalah kepanjangan tangan Agen yang ditunjuk oleh Agen untuk melakukan kegiatan penyaluran dalam rangka menjamin kelancaran pendistribusian LPG Tertentu ke konsumen akhir.
PPN yang terutang pada titik serah Agen, sudah termasuk dalam selisih lebih antara Harga Jual Agen dan Harga Jual Eceran. Begitu juga PPN terutang pada titik serah pangkalan, sudah termasuk dalam selisih lebih antara Harga Jual Pangkalan dan Harga Jual Agen.
Pada umumnya, PKP yang menggunakan Nilai Lain tidak dapat menggunakan Faktur Pajak Masukan. Tetapi di Peraturan Menteri Keuangan ini, atas PKP yang berstatus Badan Usaha yang mendapat tugas pendistribusian LPG Tertentu, pajak masukan boleh dikreditkan. Agen, dan pangkalan tetap tidak boleh mengkreditkan pajak masukan.
DPR mensahkan RUU Cipta Kerja pada tanggal 5 Oktober 2020. RUU Cipta Kerja awalnya lebih terkenal dengan nama Omnibus Law. Salah satu bagian dari Omnibus Law adalah klaster pajak. Lebih lengkapnya, klaster kemudahan berusaha, bagian pajak.
Presiden Joko Widodo kemudian menandatangani RUU Cipta Kerja pada tanggal 2 Nopember 2020. Dan menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sejak 2 Nopember 2020, Undang-Undang Cipta Kerja langsung berlaku. Termasuk 3 pasal yang mengubah Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dan Undang-Undang KUP.
Struktur Undang-Undang Cipta Kerja
Walaupun jumlah halaman lebih dari 1000 halaman, Undang-Undang Cipta Kerja dibagi ke dalam 15 Bab. Berikut rinciannya:
Bab I : Ketentuan Umum Bab II : Asas, Tujuan, Ruang Lingkup Bab III : Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha Bab IV : Ketenagakerjaan Bab V : Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Bab VI : Kemudahan Berusaha Bab VII : Dukungan Riset dan Inovasi Bab VIII : Pengadaan Tanah Bab IX : Kawasan Ekonomi Bab X : Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional Bab XI : Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja Bab XII : Pengawasan dan Pembinaan Bab XIII : Ketentuan Lain-lain Bab XIV : Ketentuan Peralihan Bab XV : Ketentuan Penutup
Kemudian, bab-bab diatas dibagi lagi menjadi bagian-bagian. Perpajakan masuk ke Bab VI Kemudahan Berusaha. Bab VI Kemudahan Berusaha ini kemudian dibagi menjadi 11 bagian, yaitu:
Bagian 1 : Umum Bagian 2 : Keimigrasian Bagian 3 : Paten Bagian 4 : Merek Bagian 5 : Perseroan Terbatas Bagian 6 : Undang-Undang Gangguan Bagian 7 : Perpajakan Bagian 8 : Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Bagian 9 : Wajib Daftar Perusahaan Bagian 10 : Badan Usaha Milik Desa Bagian 11 : Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Bagian 7 Perpajakan kemudian kita zoom lagi. Ada 4 pasal Undang-Undang Cipta Kerja di bagian perpajakaan, yaitu:
Pasal 111 : Pajak Penghasilan Pasal 112 : Pajak Pertambahan Nilai Pasal 113 : Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 114 : Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pasal 111 Undang-Undang Cipta Kerja mengubah Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasal 112 Undang-Undang Cipta Kerja mengubah Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 113 Undang-Undang Cipta Kerja mengubah Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dan Pasal 114 Undang-Undang Cipta Kerja mengubah Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Khusus di tulisan ini, saya tidak membahas Pasal 114 Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Tetapi hanya membahas Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 113 Undang-Undang Cipta Kerja.
Tujuan Omnibus Law Pajak
Pajak di Omnibus Law sebenarnya bagian dari klaster kemudahan berusaha. Mungkin lengkapnya disebut Undang-Undang Cipta Kerja klaster Kemudahan Berusaha bidang Perpajakan. Tetapi biar lebih ringkas, saya langsung menyebut klaster pajak.
Dengan mengetahui klasternya, kita bisa langsung memahami bahwa masuknya pajak ke Undang-Undang Cipta Kerja dalam rangka memudahkan usaha.
Garis besar tujuan omnibus law yaitu salah satu upaya memperkuat perekonomian Indonesia, dan mendorong investasi di tengah kondisi perlambatan ekonomi dunia, agar dapat menyerap tenaga kerja seluas-luasnya.
Tujuan tersebut kemudian dirinci dengan cara:
Penurunan tarif PPh Badan (sudah dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020).
Penghapusan PPh atas Dividen dari dalam negeri.
Penghasilan tertentu (termasuk Dividen) dari Luar Negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia.
SHU Koperasi dan dana haji yang dikelola BPKH dikecualikan sebagai objek PPh.
Ruang untuk Penyesuaian Tarif PPh Pasal 26 atas Bunga.
Penyertaan modal dalam bentuk aset (imbreng) tidak terutang PPN.
Relaksasi Hak Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak.
Pengaturan Ulang Sanksi Administrasi dan Imbalan Bunga.
Penentuan Subjek Pajak Orang Pribadi.
Penyerahan batu bara termasuk penyerahan BKP.
Konsinyasi bukan termasuk penyerahan BKP
Pengecualian objek PPh atas sisa lebih dana Badan Sosial & Badan Keagamaan (sebagaimana Lembaga Pendidikan).
Pidana Pajak yang telah diputus tidak lagi diterbitkan ketetapan pajak.
Penerbitan STP daluwarsa 5 tahun.
STP dapat diterbitkan untuk menagih imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan.
Pencantuman NIK pembeli yang tidak memiliki NPWP dalam Faktur Pajak.
Pemajakan Transaksi Elektronik (dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020).
Perubahan UU Pajak Penghasilan
Pasal 111 Undang-Undang Cipta mengubah 3 pasal Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu Pasal 2 tentang Subjek Pajak, Pasal 4 tentang objek pajak, dan Pasal 26 tentang pemotongan pajak bagi subjek pajak luar negeri.
Ringkasa perubahannya begini:
WNI maupun WNA tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri.
WNI berada di Indonesia kurang dari 183 hari dapat menjadi Subjek Pajak Luar Negeri dengan syarat tertentu.
Pengenaan PPh bagi WNA yang merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri dengan keahlian tertentu hanya atas penghasilan dari Indonesia.
Penghapusan dividen dari dalam negeri.
Dividen dan penghasilan setelah pajak dari Luar Negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk kegiatan usaha lainnya di Indonesia.
Penghasilan dari Luar Negeri selain BUT sepanjang diinvestasikan di Indonesia
Pengecualian objek PPh atas : bagian laba/SHU koperasi, dan dana haji yang dikelola BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji)
Ruang untuk Penyesuaian Tarif PPh Pasal 26 atas Bunga.
Subjek Pajak
Undang-Undang Cipta Kerja memasukkan kewarganegaraan dalam pasal subjek pajak. Sebelumnya, Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak memperdulikan warga negara. Tetapi fokus pada lamanya tinggal di Indonesia atau di luar negeri.
Perubahannya ada di Pasal 3 ayat ayat (3) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sekarang menjadi berbunyi:
Dengan rician seperti diatas, kita memahami bahwa kunci penetapan Subjek Pajak orang pribadi dalam negeri ada tiga, yaitu: tempat tinggal, keberadaan di Indonesia, dan niat tinggal di Indonesia. Sedangkan, aturan Wajib Pajak badan dalam negeri tidak berubah.
Perubahan selanjutnya di aturan subjek pajak luar di Pasal 2 ayat (4) huruf a, b, dan c Undang-Undang Pajak Penghasilan. Aturan subjek pajak badan dalam negeri tidak berubah. Tetapi ada perubahan di aturan subjek pajak badan luar negeri. Walaupun, menurut saya, perubahan hanya pada rincian. Tidak signifikan.
Aturan baru mengatur bahwa termasuk subjek pajak luar negeri yaitu:
Pasal 2 ayat (4) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan biasa disebut tie breaker rules. Fungsi aturan ini untuk menyelesaikan dual resident.
Penyelesaian masalah dual resident dilakukan berdasarka a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency). Artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual resident maka digunakan kriteria kedua, dan seterusnya.
Persyaratan Subjek Pajak Orang Pribadi
Ada tiga syarat orang pribadi menjadi subjek pajak dalam negeri, yaitu:
bertempat tinggal di Indonesia;
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Orang pribadi yang menjadi subjek pajak luar negeri merupakan:
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
WNA yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan
Penghasilan Yang Dikecualikan
Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur penghasilan. Baik yang dikenai PPh umum, PPh final, maupun yang dikecualikan sebagai objek (bukan objek PPh).
Perubahan pertama di Pasal 4 adalah dengan memisahkan SHU (sisa hasil usaha) koperasi dari dividen. Sebelumnya SHU merupakan dividen. Sekarang, SHU bukan dividen. Dan SHU termasuk salah satu penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh.
Selanjutnya, Pasal 111 Undang-Undang Cipta Kerja juga menyisipkan satu ayat di Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sekarang ada Pasal 4 ayat (1a), (1b), (1c), dan (1d) Undang-Undang PPh.
Aturan baru ini memberikan fasilitas kepada Warga Negara Asing yang bekerja di Indonesia atau menjadi subjek pajak di Indonesia selama 4 tahun dengan syarat memiliki keahlian tertentu. Keahlian dimaksud diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Fasilitas Pasal 4 ayat (1a), (1b), (1c), dan (1d) berupa hanya dikenai Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Indonesia. Termasuk pembayaran di luar negeri karena pekerjaan di Indonesia.
Pasal 4 ayat (3) huruf e Undang-Undang Pajak Penghasilan mengalami perubahan redaksi. Sebelumnya pengecualian berdasarkan jenis asuransi, yaitu asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
Diubah menjadi, “pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi karena kecelakaan, sakit atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa.” Penekanannya sekarang sebab. Semua klaim asuransi karena kecelakaan, sakit, meninggal, dan beasiswa. Saya kira ini penegasan saja.
Perubahan yang paling populer adalah perubahan Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari BUT di luar negeri tidak dikenakan PPh di Indonesia, dalam hal diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah NKRI dalam jangka waktu tertentu dan berasal dari:
Perusahaan go public di Luar Negeri,
Perusahaan privat di Luar Negeri dengan syarat.
Syarat pengecualian dividen dari perusahaan privat di luar negeri yaitu:
Dividen yang diinvestasikan di Indonesia, tidak dikenai Pajak Penghasilan.
Bila yang diinvestasikan kurang dari 30% laba setelah pajak Badan Usaha Luar Negeri, selisih dari 30% dikurangi realisasi investasi di Indonesia (yang kurang dari 30%), dikenai Pajak Penghasilan.
Sisa laba setelah pajak Badan Usaha Luar Negeri setelah dikurangi 1 & 2 diatas, tidak dikenai Pajak Penghasilan.
Biar lebih mudah, kita langsung saja ke contoh kasus.
Contoh perhitungan pengenaan dividen Luar Negeri dalam bentuk tabel (contoh kasus sama dengan diatas):
Penghasilan dari luar negeri tidak melalui Bentuk Usaha Tetap tidak dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia, dalam hal diinvestasikan di wilayah NKRI dalam jangka waktu tertentu dan memenuhi persyaratan:
Penghasilan berasal dari usaha aktif di luar negeri; dan
Bukan penghasilan dari perusahaan yang dimiliki di luar negeri.
Tidak melalui BUT maksudnya seperti pengenaan Pasal 26 di Indonesia. Hanya saja ini kebalikannya dari sisi penerima penghasilan. Penerima penghasilan adalah wajib pajak dalam negeri (WPDN). WPDN menerima penghasilan dari luar negeri dari usaha aktif (bukan passive income), dan bukan dari perusahaan di Luar Negeri (bukan dividen), kemudian penghasilan ini diinvestasikan di Indonesia.
Intinya, bahwa penghasilan dari Luar Negeri yang diinvestasikan di Indonesia tidak dikenai Pajak Penghasilan. Jika penghasilan tersebut berasal dari dividen yang berasal dari perusahaat privat dan laba bersih BUT di Luar Negeri (pusat di Indonesia) maka syarat tidak dikenai adalah 30% laba bersih harus diinvestasikan di Indonesia. Jika penghasilan dari Luar Negeri tetapi bukan dividen, dan bukan melalui BUT, maka syarat tidak dikenai jika diinvestasikan di Indonesia.
Kriteria bentuk investasi yang diperbolehkan sebagai syarat agar dikecualikan sebagai objek yaitu:
surat berharga Negara Republik Indonesia dan surat berharga syariah Negara Republik Indonesia
obligasi atau sukuk Badan Usaha Milik Negara yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan
obligasi atau sukuk lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh pemerintah yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan
investasi keuangan pada bank persepsi termasuk bank syariah
obligasi atau sukuk perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan
investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha
investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah
penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham
penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham
kerja sama dengan lembaga pengelola investasi
penggunaan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya dalam bentuk penyaluran pinjaman bagi usaha mikro dan kecil di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/atau
bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bentuk investasi yang ditempatkan pada instrumen investasi di pasar keuangan, yaitu:
efek bersifat utang, termasuk medium term notes;
sukuk;
saham;
unit penyertaan reksa dana;
efek beragun aset;
unit penyertaan dana investasi real estat;
deposito;
tabungan;
giro;
kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka di Indonesia; dan/atau
instrumen investasi pasar keuangan lainnya termasuk produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, atau modal ventura, yang mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Bentuk investasi yang ditempatkan pada instrumen investasi di luar pasar keuangan, yaitu:
investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha;
investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah;
investasi pada properti dalam bentuk tanah dan/atau bangunan yang didirikan di atasnya;
investasi langsung pada perusahaan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
investasi pada logam mulia berbentuk emas batangan atau lantakan dengan kadar kemurnian 99,99%ย ;
kerja sama dengan lembaga pengelola investasi;
penggunaan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya dalam bentuk penyaluran pinjaman bagi usaha mikro dan kecil di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/atau
bentuk investasi lainnya di luar pasar keuangan yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perubahan terakhir di Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Pasal 4 ayat (3) huruf i, huruf o, dan p. Perubahan ini adalah pengecualian penghasilan sebagai objek Pajak Penghasilan. Ketiga penghasilan yang dikecualikan sebagai objek tersebut yaitu:
Bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh anggota dari koperasi, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
Dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH khusus, dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu, diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Atas sisa lebih yang diterima/ diperoleh badan atau lembaga sosial dan keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana sosial dan keagamaan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan sebagai dana abadi, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Penurunan Tarif PPh Pasal 26
Tarif Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan sekarang dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah. Ini kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Cipta Kerja.
Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang dapat diturunkan dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan ini disisipkan di ayat (1b). Secara lengkap aturannya berbunyi :
Tarif sebesar 2O% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diturunkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 26 ayat (1b) Undang-Undang PPh
Walaupun di atas sudah ada ringkasan perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan, di bawah ini saya ulangi lagi ringkasan. Ringkasan di atas berasal dari salindia. Sedangkan ringkasan di bawah ini berasal dari sumber lain:
Dalam rangka memberikan kepastian hukum, definisi mengenai subjek pajak dalam negeri dipertegas dengan menambahkan status kewarganegaraan, baik WNI maupun WNA, dan pada subjek pajak luar negeri dipertegas dengan memperjelas ketentuan status subjek pajak bagi WNI yang berada di luar Indonesia lebih 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Selain itu, bagi WNA yang sudah menjadi subjek pajak dalam negeri yang memiliki keahlian tertentu dikenakan PPh hanya atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia
Dalam rangka meningkatkan pendanaan investasi, beberapa hal yang diubah antara lain:
Penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri;
Dividen dan penghasilan setelah pajak dari luar negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan (minimal 30%) atau digunakan untuk kegiatan usaha lainnya di Indonesia;
Penghasilan dari luar negeri selain BUT tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia;
Non-objek PPh atas: Bagian laba/SHU koperasi; dan Dana haji yang dikelola BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji).
Ruang untuk penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga dengan Peraturan Pemerintah
Territorial VS Worldwide
Jika dilihat dari sisi pemajakan atas penghasilan, maka ada dua rezim pemajakan, yaitu territorial dan worldwide. Prof Gunadi dulu di kelas menyebut worldwide dengan full tax liability.
Negara dengan sistem pajak full territorial hanya mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber atau dianggap bersumber dari negara / yurisdiksinya. Sementara itu, penghasilan yang bersumber dari luar negeri (foreign income), tidak dikenakan pajak.
Ciri sistem territorial ada dua, yaitu:
setiap penghasilan yang bersumber dari negara tersebut, akan dikenakan pajak tanpa memperhatikan apakah pihak yang menerima penghasilan merupakan wajib pajak dalam negeri atau wajib pajak luar negeri, dan
semua penghasilan yang bersumber dari luar ngeri dikecualikan dari pengenaan pajak di negara tersebut.
Dalam penerapannya, terdapat tiga varian sistem territorial, yaitu:
predominantly territorial tax system,
territorial tax system for active income,
territorial plus remittance based tax system.
Negara yang menganut predominantly territorial tax system hanya mengenaal pajak atas penghasilan yang bersumber dari dalam negeri tanpa melihat status subjek pajak.
Negara yang menganut territorial tax system for active income mengenakan pajak atas penghasilan aktif dari dalam negeri untuk semua wajib pajak, dan mengenakan penghasilan pasif yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri.
Territorial plus remittance based tax system hampir sama dengan predominantly territorial tax system. Semua penghasilan luar negeri dikecualikan. Tetapi, pengecualikan ini tidak berlaku jika penghasilan diterima (remitted) di dalam negeri. Sehingga bisa jadi penghasilan luar negeri dikenai juga di dalam negeri.
Sistem Pajak Worldwide
Negara dengan sistem pajak worldwide income akan mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri tersebut, tanpa memperhatikan apakah penghasilan tersebut bersumber dari dalam negeri atau dari luar ngeri.
Ciri pengenaan sistem pajak worldwide income, yaitu:
asas domisili yang memajaki penghasilan wajib pajak dalam negeri tanpa memperhatikan asal penghasilan (sumber penghasilan dari dalam dan luar negeri),
asas sumber yang memajaki penghasilan wajib pajak luar negeri yang berasal dari dalam negeri.
Dalam penerapannya, model worldwide income ada tiga, yaitu:
predominantly worldwide income tax system,
worldwide tax system with an exclusion regime for foreign dividens,
worldwide tax system with an exclusion regime for foreign dividens and foreign PE profit.
Model pertama, predominantly worldwide tax system, adalah model yang dipakai Indonesia sebelum ada omnibuslaw. Semua penghasilan, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dikenai pajak di negara domisili. Penghasilan dari luar negeri baik melalui BUT maupun dividen dari luar negeri dikenai di Indonesia. Karena itu, ada ketentuanCFC rules untuk mengenakan dividen yang bersumber dari luar negeri.
Negara yang menganut worldwide tax system with an exclusion regime for foreign dividens mengenakan pajak atas semua penghasilan yang diterima oleh wajib pajak badan dalam negeri, kecuali penghasilan berupa dividen yang bersumber dari luar negeri. Model ini disebut juga residance based territorial.
Model ketiga, worldwide tax system with an exclusion regime for foreign dividens an foreign PE profits mengenakan pajak untuk seluruh jenis penghasilan, kecuali penghasilan berupa dividen luar negeri dan laba dari BUT yang berada di luar negeri.
Berdasarkan uraian diatas, menurut saya setelah omnibus law, Indonesia sekarang menganut worldwide tax system with an exclusion regime for foreign dividens an foreign PE profits, dengan syarat tertentu. Ciri ini bisa dilihat di Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan setelah omnibus law.
dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik..
Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan setelah omnibus law.
Classical VS Integration
Perpajakan Indonesia menganut classical system. Sistem klasikal ini didasarkan pada asas pemisahan yang tegas antara badan di satu sisi dan pemiliknya di sisi lain. Dalam sistem ini pengenaan pajak atas badan dan pemiliknya yaitu orang pribadi dikenakan pajak sendiri-sendiri sehingga kalau pajak keduanya digabungkan akan menghasilkan tarif efektif yang lebih besar.
Sistem klasikal menyebabkan pengenaan pajak berganda. Sehingga untuk mengurangi pajak berganda ini sering digunakan integration system yang terdiri dari:
full integration system
dividend deduction system,
split rate system,
dividend exemption system, atau
imputation system.
Pengenaan dividend exemption system dan imputation system dikenakan pada tingkat pemegang saham. Sedangkan dividend deduction system dan split rate system dilakukan pada tingkat perusahaan.
Dividend exemption system adalah penghasilan dividen yang diterima oleh pemegang saham dikecualikan dari objek pajak penghasilan, baik sebagian atau seluruhnya.
Classical system dan integration system sudah saya bahas di Pajak Internasiolan.
Berdasarkan uraian diatas, setelah omnibus law, Indonesia sudah meninggalkan classical system menjadi integration system dengan model dividend exemption system.
Istilah yang berbeda, model ini disebut juga one tier system. Sistem ini memajaki laba yang dihasilkan hanya pada tingkat perusahaan. Berdasarkan sistem ini, penghasilan perseroan hanya dikenakan pajak satu kali di tingkat perseroan saja.
Pasal 112 Undang-Undang Cipta Kerja mengubah Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Perubahan meliputi:
Konsinyasi bukan termasuk penyerahan BKP.
Penyertaan modal dalam bentuk aset (imbreng) tidak terutang PPN.
Penyerahan batu bara termasuk penyerahan BKP.
Relaksasi Hak Pengkreditan Pajak Masukan (PM) bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pencantuman NIK pembeli yang tidak memiliki NPWP dalam Faktur Pajak.
Pengaturan Faktur Pajak untuk PKP Pedagang Eceran.
Sedangkan Pasal yang diubah adalah Pasal 1A, Pasal 4A, Pasal 9, dan Pasal 13 Undang-Undang Pajak Pertambanan Nilai.
Sekedar mengingatkan bahwa struktur Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yaitu:
Pasal 1 Pengertian Pasal 1A Pengertian Penyerahan dan Bukan Penyerahan Pasal 2 Hubungan Istimewa Pasal 3 Pengukuhan PKP (dihapus, dipindah ke UU KUP) Pasal 3A Kewajiban Lapor SPT Pasal 4 Objek PPN Pasal 4A Bukan Objek PPN Pasal 5 Objek PPn BM Pasal 5A Retur Pasal 6 Pembukuan (dihapus, dipindah ke UU KUP) Pasal 7 Tarif PPN Pasal 8 Tarif PPn BM Pasal 8A Cara Menghitung PPN Pasal 9 Pajak Masukan Pasal 10 Cara Menghitung PPn BM Pasal 11 Saat Terutang Pasal 12 Tempat Terutang Pasal 13 Faktur Pajak Pasal 14 Larangan Non PKP Membuat Faktur Pajak Pasal 15 dihapus Pasal 15A Pembayaran PPN Pasal 16 dihapus Pasal 16A sampai dengan Pasal 16F Ketentuan Khusus Pasal 17 Lain-Lain Pasal 18 Peralihan Pasal 19 Penutup
Bukan Penyerahan BKP
Sebelumnya, Pasal 1A ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai mengatur bahwa konsinyasi merupakan penyerahan BKP. Tetapi dengan Undang-Undang Cipta Kerja, Pasal 1A ayat (1) huruf g ini dihapus. Dengan demikian, penyerahan konsinyasi bukan penyerahan BKP.
Karena bukan penyerahan BKP, maka setelah Undang-Undang Cipta Kerja penyerahan konsinyasi tidak terutang PPN dan tidak wajib buka faktur pajak. PKP baru buka faktur pajak jika barang konsinyasi sudah terjual ke konsumen.
Perdasarkan aturan ini, barang konsinyasi dianggap penyerahan (penjualan) pada saat diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur panjualan oleh consignor.
Sebaliknya, BKP konsinyasi harus dibuatkan faktur pajak oleh pihak yang dititipi barang (consignee) pada saat:
BKP Berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli;
BKP Berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada penerima barang untuk pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan antarcabang;
Barang Kena Pajak Berwujud tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan; atau
harga atas penyerahan BKP Berwujud diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak consignee, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.
Saat penyerahan BKP berwujud dalam rangka inbreng ditentukan:
disepakati atau ditetapkannya pengalihan BKP untuk tujuan setoran modal pengganti saham yang tertuang dalam perjanjian pengalihan BKP untuk tujuan setoran modal; atau
ditandatanganinya akta mengenai pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham oleh notaris.
Pasal 1A ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai mengatur bukan penyerahan. Undang-Undang Cipta Kerja mengubah Pasal 1A ayat (2) huruf d menjadi, “pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak;“
Perubahan diatas dengan menambahkan pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti sahamsebagai bukan penyerahan. Dengan demikian, sejak 2 Nopember 2020 inbreng bukan penyerahan BKP.
Batubara jadi BKP
Undang-Undang Cipta Kerja mengubah Pasal 4A ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 4A mengatur bukan objek Pajak Pertambahan Nilai.
barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batu bara;
Pasal 4A ayat (2) huruf a Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Pengecualian sebagai bukan objek berarti dia objek. Dengan demikian, batu bara sejak 2 Nopember 2020 menjadi objek PPN.
Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan
Undang-Undang Cipta Kerja mengubah aturan Pajak Masukan yang boleh dikreditkan. Sebelumnya, Pajak Masukan yang tidak dilaporkan di SPT Masa PPN dan ditemukan saat pemeriksaan tidak boleh dikreditkan. Begitu juga Pajak Masukan yang dibayar sebelum dikukuhkan PKP. Diubah menjadi boleh dikreditkan.
Pajak Masukan adalah PPN yang dibayar oleh pembeli. PPN ini dibayar ke penjual. Kemudian penjual melaporkan di SPT Masa PPN. Jika SPT Masa PPN dalam satu masa pajak ternyata kurang bayar, maka kekurangan tersebut dilunasi ke kas negara.
Aturan Pajak Masukan ada di Pasal 9 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Berikut perbandingannya:
Ringkasan perubahan aturan Pajak Masukan ada empat, yaitu
Pajak Masukan sebelum ada penyerahan.
Pajak Masukan sebelum dikukuhkan PKP.
Pajak Masukan yang ditemukan saat pemeriksaan.
Pajak Masukan yang ditagih dengan ketetapan pajak.
Undang-Undang Cipta Kerja mempertegas istilah belum produksi. Istilah ini praktiknya sering menimbulkan perbedaan pendapat antara hanya sebatas penyerahan BKP atau penyerahan JKP. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja kemudian ditegaskan bahwa belum penyerahan adalan untuk semua.
Pajak Masukan dapat dikreditkan bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum melakukan penyerahan:
Barang Kena Pajak, dan/atau
Jasa Kena Pajak, dan /atau
ekspor Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
Karena ada Pajak Masukan tetapi tidak ada Pajak Keluaran, maka SPT Masa PPN pasti akan menjadi lebih bayar. Kelebihan bayar ini dikompensasi ke masa pajak berikutnya. Dan di akhir tahun buku (umumnya Desember), boleh direstitusi, boleh juga dikompensasi lagi.
Seperti di aturan sebelumnya, ada batas belum produksi. Di aturan sebelumnya disebut dalam 3 tahun gagal produksi. Di Undang-Undang Cipta Kerja, istilah yang digunakan lebih tegas, yaitu belum ada penyerahan. Karena istilah gagal produksi juga terkesan produksi BKP.
Apabila sampai dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) Pengusaha Kena Pajak belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak terkait dengan Pajak Masukan tersebut, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan
Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Ada akumulasi Pajak Masukan selama 3 tahun, ternyata setalah 3 x 12 bulan belum ada penyerahan, maka akumulasi Pajak Masukan ini tidak dapat dikreditkan.
Ada 2 cara “mengembalikan” akumulasi Pajak Masukan diatas, yaitu:
Bayar ke Kas Negara; atau
Dinihilkan di masa pajak berikutnya.
Akumulasi Pajak Masukan wajib dibayar ke Kas Negara jika dalam kurun waktu 3 tahun:
pernah menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas Pajak Masukan dimaksud; dan/atau
telah mengkreditkan Pajak Masukan dimaksud dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam suatu Masa Pajak.
Perubahan selanjutnya adalah Pajak Masukan sebelum dikukuhkan PKP. Sebelumnya diatur tidak boleh dikreditkan. Undang-Undang Cipta Kerja menghapus aturan ini. Pasal 9 ayat (8) huruf a dan d.
Kemudian ada aturan baru, yaitu Pasal 9 ayat (9a) bahwa Pajak Masukan yang boleh dikreditkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran. Artinya, bayar 2% saja dari total penjualan.
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut
Pasal 9 ayat (9a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Bayar 2% dari total penjualan yang saya maksud berlaku untuk masa pajak sebelum dikukuhkan PKP. Misal Tuan Budi dikukuhkan bulan Desember 2020. Sejak bulan Desember 2020 dia menggunakan mekanisme PKPM seperti biasa.
Tetapi, omset Tuan Budi sebenarnya sudah diatas Rp4,8 miliar sejak Agustus 2020. Artinya, sejak September sudah wajib PKP. Nah, bulan September, Oktober, dan Nopember cukup bayar 2% saja.
Tambahan aturan sejak Undang-Undang Cipta Kerja adalah Pasal 9 ayat (9b) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Lengkapnya begini:
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.
Pasal 9 ayat (9b) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Aturan ini sebenarnya “koreksi” aturan sebelumnya. Sebelumnya, Pajak Masukan yang belum dilaporkan di SPT dan ditemukan saat pemeriksaan maka Pajak Masukan tersebut tidak boleh dikreditkan. Sekarang, sejak 2 Nopember 2020, Pajak Masukan tersebut boleh dikreditkan.
Biasanya Wajib Pajak sengaja tidak melaporkan Pajak Masukan karena atas penjualannya juga tidak dilaporkan. Ketika diperiksa, penjualan yang tidak dilaporkan diketahui oleh pemeriksa. Ada koreksi Pajak Keluaran. Misal koreksi Pajak Keluaran sebesar Rp100 juta maka itulah pokok pajak yang harus dibayar.
Sejak 2 Nopember 2020, Wajib Pajak dapat meminta untuk diperhitungkan Pajak Masukan. Misal Pajak Masukan yang tidak dilaporkan Rp80 juta maka pokok pajak di ketetapan pajak yang harus dibayar hanya Rp20 juta.
Perubahan ketiga juga merupakan koreksi, yaitu Pajak Masukan yang ditagih dengan surat ketetapan pajak. Dulu tidak boleh dikreditkan, sekarang boleh.
Pasal 9 ayat (9c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Identitas Pembeli di Faktur Pajak
Direktur Jenderal Pajak tahun 2017 pernah mengeluarkan peraturan yang membolehkan identitas pembeli diganti dengan NIK, yaitut PER- 26/PJ/2017. Tetapi kemudian diprotes oleh pengusaha.
Sebelum berlaku, peraturan tersebut ternyata ditunda. Ditunda sampai berlaku Undang-Undang Cipta Kerja. Jadi, sejak masa pajak Nopember 2020, PKP wajib membuat faktur pajak dengan mencantumkan identitas pembeli dengan NPWP atau NIK.
Perbandingan Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Sebelum dan sesudah Undang-Undang Cipta Kerja
Dengan demikian, identitas pembeli di Faktur Pajak bisa menggunakan NPWP, NIK. Kedudukan NIK sama dengan NPWP.
Sejalan dengan pencantuman NIK di faktur pajak, Undang-Undang Cipta Kerja juga mengatur pedagang eceran.
Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam halmelakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 13 ayat (5a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Faktur Pajak
Peraturan Pemerintah No 9 tahun 2021 memberikan penegasan tentang identitas pembeli yang wajib dicantumkan di faktur pajak. Identitas pembeli yang harus ada yaitu:
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak dalam negeri badan dan instansi pemerintah;
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor induk kependudukan, bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
nama, alamat, dan nomor paspor, bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau
nama dan alamat, bagi subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Nomor induk kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 mempunyai kedudukan yang sama dengan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam rangka pembuatan Faktur Pajak dan pengkreditan Pajak Masukan
Pasal 19A ayat (3), pasal sisipan untuk Peraturan Pemerintah No 1 tahun 2012
Online Shop
Peraturan Pemerintah No 9 tahun 2021 menegaskan bahwa pengusaha yang menjual barang melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) ke konsumen akhir merupakan pedagang eceran. Kata kuncinya adalah barang diterima oleh end user. Atau pembelinya end user.
Sebelumnya, pedagang eceran diatur harus melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan cara sebagai berikut:
melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
pada umumnya penyerahan Barang Kena Pajak atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.
Ketentuan diatas terdapat di peraturan pemerintah. Kemudian, Peraturan Pemerintah No 9 tahun 2021 menghapus ketentuan diatas. Selanjutnya, ketentuan tentang pedagang eceran akan diatur dengan peraturan menteri keuangan.
Perubahan KUP
Pasal 113 Undang-Undang Cipta Kerja mengubah Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Terdapat tiga pokok perubahan terkait Undang-Undang KUP dalam Undang-Undang Cipta Kerja, yakni :
pengurangan sanksi bunga,
pengurangan imbalan bunga, dan
penghapusan beberapa ketentuan dalam UU KUP yang selama ini menimbulkan multitafsir.
Perubahan ketentuan mengenai pengurangan sanksi bunga yaitu pada Pasal 8, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 19 Undang-Undang KUP. Formula penetapan besaran sanksi administrasi diubah sehingga menjadi sebesar pajak kurang bayar dikali tarif bunga per bulan dikali dengan jumlah bulan.
Tarif bunga per bulan mengacu kepada suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi dibagi 12 ditambah uplift factor sesuai tingkat kesalahan Wajib Pajak.
Ada 4 uplift factor dengan rincian besaran uplift factor sebagai berikut:
Pada pengenaan sanksi administratif atas bunga penagihan (Pasal 19 ayat (1)), angsuran/penundaan pembayaran pajak (Pasal 19 ayat (2)), dan kurang bayar penundaan penyampaian SPT Tahunan (Pasal 19 ayat (3)) uplift factor sebesar 0%.
Pada pengenaan sanksi administratif atas kurang bayar Pembetulan SPT (Pasal 8 ayat (2) dan ayat (2a)), pembayaran/penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo (Pasal 9 ayat (2a) dan ayat (2b), dan pajak tidak/kurang dibayar akibat salah tulis/hitung atau PPh tahun berjalan (Pasal 14 ayat (3)) uplift factorsebesar 5%.
Pada pengenaan sanksi administratif atas pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT (Pasal 8 ayat (5)) uplift factorsebesar 10%.
Pada pengenaan sanksi administratif atas sanksi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) (Pasal 13 ayat (2)) dan pengembalian Pajak Masukan (PM) dari PKP yang tidak berproduksi (Pasal 13 ayat (2a)) uplift factorsebesar 15%.
Bunga Penagihan Pajak + 0%
Setelah diperiksa pajak, Wajib Pajak akan menerima Surat Ketetapan Pajak. Jika ketetapan pajak berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Pajak, maka dalam 30 hari kemudian harus dibayar lunas. Jika belum lunas, maka argo bunga penagihan berlaku.
Pengaturan bunga penagihan pajak diatur di Pasal 19 Undang-Undang KUP. Sebelumnya, bunga penagihan pajak dipatok 2% per bulan, dan maksimal 24 bulan. Besaran tarif bunga di Undang-Undang KUP sebelumnya berlaku umum, yaitu 2% per bulan.
Tetapi, sejak berlaku Undang-Undang Cipta Kerja tarif bunga 2% diganti dengan bunga yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sehingga setiap bulan, Menteri Keuangan mengeluarkan tarif bunga.
Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP
Bunga Kurang Bayar SPT + 5%
SPT Pembetulan dapat menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga keterlambatan bayar. Bunga dihitung dari saat terutang sampai dengan dibayar lunas. Hal ini diatur di Pasal 8 Undang-Undang KUP.
Begitu juga SPT Tahunan (normal) dan SPT Masa (normal) yang dilaporkan tidak tetap waktu dapat menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga. Hal ini diatur di Pasal 9 Undang-Undang KUP.
Ada lagi sanksi bunga yang terkait dengan keterlambatan bayar. Tetapi bukan karena ada SPT, tetapi karena STP Pasal 14.
Besaran sanksi administrasi berupa bunga per bulan mengacu kepada suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi dibagi 12, ditambah uplift factor5%.
Jadi, tambahan bunga 5% berlaku untuk:
Bunga Pasal 8 Undang-Undang KUP,
Bunga Pasal 9 Undang-Undang KUP, dan
Bunga STP Pasal 14 Undang-Undang KUP.
Pengungkapan Ketidakbenaran + 10%
Sejak Wajib Pajak menerima SP2 (Surat Perintah Pemeriksaan), maka Wajib Pajak tidak dapat menyampaikan SPT. Walaupun memaksa menyampaikan SPT, maka SPT tersebut dianggap bukan SPT. Statusnya seperti surat lainnya.
Tetapi, sebelum pemeriksa pajak mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak, Wajib Pajak dapat “memberikan pengakuan” kepada pemeriksa pajak. Pengakuan tersebut disebut pengungkapan ketidakbenaran.
Pengungkapan ketidakbenaran diatur di Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP. Dan sanksi administrasinya diatur di Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP. Dengan Undang-Undang Cipta Kerja, besaran sanksi menjadi:
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% (sepuluh persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
Pasal 8 ayat (5a) Undang-Undang KUP
Bunga SKPKB + 15%
Jika Wajib Pajak diperiksa dan hasilnya kurang bayar, maka pemeriksa pajak akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Atas kekurangan bayar ini ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga maksimal 24 bulan.
Besaran bunga sebelumnya 2% sebelum sehingga maksimal 48%. Tetapi sejak 2 November 2020, besaran bunga per bulan dihitung dari bunga yang ditetapkan Menteri Keuangan ditambah 15% dibagi 12.
Ringkasan sanksi administrasi berupa bunga sebagai berikut:
Kewajiban Menyelenggarakan Pembukuan
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. Berdasarkan Undang-Undang KUP, semua Wajib Pajak badan wajib menyelenggarakan pembukuan, walaupun omsetnya masih kecil.
Pengecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan diberikan kepada:
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto;
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; dan
Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu.
Wajib Pajak orang pribadi kriteria tertentu diatur lebih lanjut di Peraturan Menteri Keuangan nomor 18….
Pemeriksaan Yang Ditangguhkan
Jika pemeriksaan pajak dilanjutkan dengan pemeriksaan Bukti Permulaan, maka status pemeriksaan pajak ditangguhkan. Ditangguhkan artinya, timer jangka waktu pemeriksaan berhenti dan pemeriksaan pajak menunggu hasil pemeriksaan Bukti Permulaan.
Pemeriksaan pajak yang ditanguhkan akan dihentikan apabila:
Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP;
Penyidikan dihentikan karena Pasal 44B Undang-Undang KUP;
Penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
Putusan Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
Sanksi Pidana Setelah UU Cipta Kerja
Ada empat sanksi pidana yang diubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Pertama, penurunan sanksi pengungkapan sendiri ketidakbenaran perbuatan sebagai mana diatur Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP. Kedua, penghapusan SKPKB Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang KUP. Ketiga, penghapusan sanksi pidana karena kealpaan pertama kali sesuai Pasal 13A Undang-Undang KUP. Keempat, penurusan sanksi Pasal 44B Undang-Undang KUP dari 4 kali menjadi 3 kali.
Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP mengatur tentang pengungkapan sendiri ketidak benaran perbuatan. Wajib Pajak pajak yang sedang diperiksa Bukti Permulaan membayar pajak terutang yang masih belum dibayar. Selain bayar pokok pajak, juga ada sanksi administrasi.
Walaupun sanksi administrasi, tetapi pembayaran sanksi ini tujuannya agar Bukti Permulaan tidak diteruskan ke proses penyidikan pajak.
Sebelumnya, sanksi administrasi ini besarnya 150%. Misal, setelah diperiksa Bukti Permulaan, menurut penyidik PNS pajak masih kurang bayar Rp100 miliar, maka Wajib Pajak wajib bayar pokok pajak Rp100 miliar dengan KJS 500. Ditambah sanksi administrasi beruba denda sebesar 150% dengan KJS 510 sebesar Rp150 miliar. Sehingga Wajib Pajak total bayar Rp250 miliar.
Setelah berlaku Undang-Undang Cipta Kerja, sanksi administrasi diatas menjadi hanya 100%. Dengan kasus yang sama, Wajib Pajak bayar Rp200 miliar.
Pasal 8 ayat (3) dan ayat (3a) Undang-Undang KUP
Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP mengatur bahwa apabila Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka kantor pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sebesar putusan pengadilan ditambah sanksi bunga maksimal 48%.
Dulu dikatakan bahwa SKPKB Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP bermaksud mengambil hak pajak. Kerena putusan pengadilan negeri, walaupun diwajibkan bayar ratusan miliar rupiah tetapi pembayaran tersebut bukan penerimaan pajak. Jadi masalah pajaknya belum lunas.
Jadi, orang yang dihukum penjara karena perbuatan pidana pajak akan dihukum dua kali, yaitu bayar dan kurungan (ini vonis hakim pengadilan negeri), dan bayar SKPKB. Seringkali, terpidana tidak bayar karena vonis hakim bisa diganti dengan penjara kurungan.
Setelah Undang-Undang Cipta Kerja berlaku, aturan Pasal 8 ayat (5) dihapus.
Satu lagi pasal yang dihapus terkait pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pasal 13A Undang-Undang KUP. Sebelumnya, pasal ini mengatur sanksi pidana yang diadministrasikan. Yaitu, perbuatan pidana pertama kali tidak perlu dipenjara. Tetapi cukup ditagih dengan SKPKB.
Hanya saja dalam penerapannya timbul kerancuan. Misalnya, apakah SKPKB Pasal 13A boleh diajukan proses keberatan, dan banding ke Pengadilan Pajak? Jika tidak boleh, apa dasar hukum pelarangan?
Dari sisi penyidik PNS pajak timbul ketidaksetujuan jika SKPKB tersebut diajukan ke proses keberatan. Sehingga dalam praktiknya, jarang sekali diterbitkan SKPKB Pasal 13A. Sejak 2 November 2020 malah Pasal 13A dihapus.
Jika dalam proses pemeriksaan Bukti Permulaan belum ada kesepakatan, atau lebih tepatnya Wajib Pajak belum bayar pokok pajak dan sanksi Pasal 8 ayat (3) diatas, maka pemeriksaan akan dilanjutkan ke proses penyidikan.
Sanksi administrasi Pasal 8 ayat (3) sekarang sebesar 100%. Tetapi jika sudah masuk ke proses penyidikan maka sanksi administrasi naik menjadi 300%. Hal ini diatur di Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP
Daluwarsa Penerbitan STP
Sebelum Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang KUP hanya memiliki 2 daluwarsa, yaitu daluwarsa penetapan dan daluwarsa penagihan. Sekarang tambah lagi satu yaitu daluwar penerbitan STP. Semuanya 5 tahun.
Sebelumnya, karena tidak diatur di batang tubuh Undang-Undang KUP maka petugas berbeda pendapat tentang daluwarsa penerbitan STP. Sebagian besar mengatakan tidak ada daluwarsa penerbitan STP. Karena memang tidak ada aturannya.
Sebagian kecil bilang bahwa penerbitan STP mengikuti daluwarsa pokok yaitu ketetapan pajak. Pendapat ini sudah saya bahas di tulisan Adakah Daluwarsa Penerbitan STP?
Sejak berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, sudah diatur dengan tegas bahwa penerbitan STP pun dibatasi 5 tahun.
Tanya Jawab
Bagaimana penulisan Undang-Undang KUP sekarang?
Penulisan Undang-Undang KUP menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Jika ketetapan pajak diterbitkan setelah 2 November 2020, bunga yang dikenakan menggunakan Undang-Undang KUP lama atau baru?
Suku bunga acuan yang digunakan terhadap SKP dan STP yang diterbitkan setelah Undang-Undang Cipta Kerja yang pengenaan sanksi besaran tarif bunga per bulan menggunakan dasar bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi, bukan tahun terbitnya SKP, STP, atau SKPIB. Untuk imbalan bunga didasarkan atas ketetapan atau keputusan yang menjadi dasar pemberian imbalan bunga.
Contoh 1menghitung bunga SKPKB : Atas Tahun Pajak 2020 dilakukan pemeriksaan pada Tahun 2022. Dalam hal diketahui bahwa terdapat kekurangan pembayaran pajak, berdasarkan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja, Wajib Pajak dikenakan sanksi bunga dengan tarif bunga per bulan. Tarif bunga per bulan yang digunakan adalah tanggal awal penghitungan sanksi yaitu tgl 1 Januari 2021. Dengan demikian petugas pajak harus melihat KMK penetapan tarif bunga untuk tanggal 1 Januari 2021.
Contoh 2menghitung bunga SKPKBuntuk tahun pajak 2019 dan sebelumnya : Atas Tahun Pajak 2018 dilakukan pemeriksaan pada Tahun 2021. Dalam hal diketahui bahwa terdapat kekurangan pembayaran pajak, berdasarkan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja, Wajib Pajak dikenakan sanksi bunga dengan tarif bunga per bulan. Tarif bunga per bulan yang digunakan adalah tanggal awal penghitungan saksi yaitu tgl 1 Januari 2019. Namun dikarenakan KMK tarif bunga per bulan belum diterbitkan maka perhitungan sanksi menggunakan tarif bunga KMK yang pertama kali terbit sejak diundangankannya UU Cipta Kerja.
Apakah masa pajak yg terlambat dibayar sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja dan sampai dengan 2 Nopember 2020 belum diterbitkan STP, harus menggunakan tarif baru?
Terhadap SKP dan STP yang diterbitkansetelah Undang-Undang Cipta Kerja diundangkan (2 November 2020) maka pengenaan sanksi menggunakan suku bunga acuan dalam KMK yang diterbitkan pertama kali.
Pasal 27B ayat (2) imbalan bunga diberikan atas dasar SPT LB? Dalam ayat (3) apakah imbalan bunga atas dasar SPT LB juga?
Imbalan bunga dalam Pasal 27B ayat (2) diberikan dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
Imbalan bunga dalam Pasal 27B ayat (3) diberikan dalam hal permohonan pembetulan, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
Pajak Masukan sebelum dikukuhkan PKP dapat dikreditkan, lalu bagaimana dengan Faktur Pajak 00.000.000.0-000.000?
Sejak Undang-Undang Cipta Kerja diundangkan pada tanggal 2 November 2020, pengkreditan Pajak Masukan sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP tidak didasarkan pada dokumen Faktur Pajak yang mungkin telah diterima Pengusaha sebelum dikukuhkan sebagai PKP. Pengkreditan Pajak Masukan untuk perolehan sebelum dikukuhkan sebagai PKP dilakukan oleh PKP menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut.
Apakah Faktur Pajak dengan NIK bodong bisa dianggap FP cacat?
Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang PPN stdtd Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (9) antara lain dijelaskan bahwa Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6).
Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 9 PER-24/PJ/2012, diatur bahwa Faktur Pajak tidak lengkap adalah Faktur Pajak yang tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN dan/atau mencantumkan keterangan tidak sebenarnyaatau sesungguhnya dan/atau mengisi keterangan yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini.
Dengan demikian, Faktur Pajak dengan NIK โbodongโ sebagaimana dimaksud dalam pertannyaan tersebut dapat dikategorikan sebagai Faktur Pajak tidak lengkap dan berlaku sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Desember 2020 dilakukan pemeriksaan tahun pajak 2017. Tahun pajak 2017, Wajib Pajak belum dikukuhkan sebagai PKP tetapi tahun 2020 sudah PKP. Apakah ketentuan deemed Pajak Masukan sebesar 80% dapat diterapkan?
Pengusaha yang sudah berstatus PKP sejak Undang-Undang Cipta Kerja diundangkan dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP termasuk untuk tahun pajak 2017 (sepanjang belum daluarsa penetapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP) menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut.
Apakah Faktur Pajak yang dibuat oleh Wajib Pajak pada hari libur dapat diakui sebagai Pajak Masukan? Dan pengenaan sanksi apakah diperhitungkan jika dibuat dari hari libur?
Pajak Masukan dapat dikreditkan sepanjang: Faktur Pajaknya memenuhi persyaratan formal dan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9); dan memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang PPN stdtd Undang-Undang Cipta Kerja.
Jadi, sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan di atas, Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak tetap dapat dikreditkan walaupun dibuat pada hari libur.
Perubahan pasal 14 ayat (1) huruf d.dan f Undang-Undang PPN, yaitu: (d) mengubah tidak tepat waktu menjadi terlambat membuat Faktur Pajak, dan (f) hapus. Apakah makna penting perubahan kedua point tersebut?
Terkait dengan Pasal 14 ayat (1) huruf d Undang-Undang PPN: Pengubahan frasa โtidak tepat waktuโ menjadi โterlambatโ dimaknai bahwa sanksi Pasal 14 ayat (4) jo Pasal 14 (1) huruf d Undang-Undang PPN pada dasarnya hanya dikenakan jika PKP terlambat membuat Faktur Pajak, yaitu membuat Faktur Pajak setelah saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1a) Undang-Undang PPN stdtd Undang-Undang Cipta Kerja. Sanksi ini tidak dikenakan jika PKP membuat Faktur Pajak mendahului saat Faktur Pajak seharusnya dibuat.
Terkait dengan Pasal 14 ayat (1) huruf f Undang-Undang PPN: Ketentuan ini dihapus karena sejak diterapkannya aplikasi e-Faktur maka pada dasarnya ketika PKP akan melaporkan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran dalam SPT Masa PPN, secara aplikasi sudah mengunci bahwa Faktur Pajak hanya dapat dilaporkan pada Masa Pajak dibuatnya Faktur Pajak tersebut. Dengan demikian, pengaturan mengenai sanksi akibat melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa pembuatan Faktur Pajak sudah tidak relevan lagi.
Apakah Undang-Undang Cipta Kerja ini berlaku mundur tahun pajak 2018 s.d. 2019 atau hanya sejak Masa November 2020? Khususnya Undang-Undang PPN.
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang stdtd Undang-Undang Cipta Kerja pada dasarkan bersifat prospektif, artinya hal-hal yang baru diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja mulai berlaku sejak Undang-Undang Cipta Kerja diterbitkan, sehingga implementasi pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban PPN bagi PKP sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja tidak melihat untuk masa pajak atau tahun pajak tertentu sepanjang dilaksanakan oleh PKP sejak Undang-Undang Cipta Kerja berlaku.
Apakah Pajak Masukan dari pembelian tanah kavling untuk pembangunan pabrik merupakan barang modal dan bisa direstitusi sebelum perusahaan berproduksi (belum ada Pajak Keluaran)?
Setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau pemanfaatan JKP dapat dikreditkan, tidak terbatas hanya pada barang modal. Oleh karena itu, Pajak Masukan dari pembelian tanah kavling yang digunakan untuk pembangunan pabrik dapat dikreditkan, dikompensasikan dan dimintakan pengembalian pada akhir tahun buku.
WNI yang sudah tinggal di Luar Neger lebih dari 183 hari (sudah bertahun-tahun), bekerja dan bertempat tinggal di Luar Neger, apakah termasuk sebagai WPLN?
Sepanjang memenuhi kriteria yang diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaanya dapat diperlakukan sebagai subjek pajak luar negeri, WNI yang bekerja di Luar Negeri selama lebih dari 183 hari tidak serta merta dapat menjadi SPLN melainkan harus diuji terlebih dahulu secara berjenjang mengenai kriteria bertempat tinggal, pusat kegiatan utama, dan tempat menjalankan kebiasaan.
Kode Akun Pajak adalah kode jenis pajak. Saat membuat kode billing atau ebilling karena mau bayar Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), atau sanksi administrasi pajak maka harus tercantum kode akun pajak. Fungsi kode akun pajak sebenarnya untuk identifikasi pembayaran ke kas negara.
Dulu Wajib Pajak membuat Surat Setoran Pajak (SSP) sebelum bayar pajak. SSP ini dibuat dan ditanda tangani oleh Wajib Pajak. Kemudian, SSP diserahkan ke teller bank. Lanjut, data SSP diketik ulang oleh teller bank. Nah, saat ketik ulang ini sering terjadi kesalahan.
Contoh SSP lama sebelum ada ebilling.
Sejak ada e-Billing atau kode billing, maka teller bank tidak perlu lagi input data SSP. Saat buat kode billing, Wajib Pajak sudah menginput data-data yang diperlukan ke server pajak. Setelah semua diinput, kumpulan data SSP tersebut diberi kode oleh server pajak, namanya kode billing.
Teller hanya perlu menginput kode billing tersebut. Setelah diinput, maka data-data yang sudah diinput oleh Wajib Pajak akan muncul di komputer teller bank. Teller tinggal memastikan dan menerima uang pembayaran.
Selain di teller bank, bayar pajak juga bisa melalui internet banking, ATM, dan kantor Pos. Bahkan sekarang bisa di marketplace seperti Tokopedia dan Bukalapak. Sebentar lagi bisa di Laku Pandai (Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif).
Salah satu data yang diinput saat buat kode billing adalah kode akun pajak. Di gambar SSP lama diatas, saya kasih tanda kotak merah. Di situ ada kode akun pajak dan kode jenis setoran (KJS).
Gabungan kode akun pajak dan kode jenis setoran sangat banyak. Tidak perlu dihapal. Kecuali yang sering kita gunakan. Tetapi kadang kita harus membuat kode billing dengan jenis pajak lain yang jarang digunakan.
Nah, saat itulah perlu daftar kode akun pajak dan daftar kode jenis setoran. Berikut ini adalah daftar lengkapnya:
Silakan search nama jenis pajak atau jenis pembayaran di file PDF diatas. Bisa juga diunduh dulu, dan disimpan di komputer supaya bisa digunakan saat offline.
Daftar kode akun pajak diatas sudah mencakup kode Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yaitu PPN PMSE, PPh final PMSE, dan pajak transaksi elektronik (PTE).
Jenis pajak PTE secara aturan sudah ada, namun penerapannya sampai dengan Desember 2020 belum ada. Karena menunggu kesepakatan Forum Global. Sebelumnya kesepakatan direncanakan akhir 2020, namun kemudian ditunda ke pertengahan 2021.
Lengkapnya, kode akun pajak (tanpa KJS) sebagai berikut:
Kode Akun Pajak 411111 Untuk Jenis Pajak PPh Minyak Bumi
Kode Akun Pajak 411112 Untuk Jenis Pajak PPh Gas Alam
Kode Akun Pajak 411119 Untuk Jenis Pajak PPh Migas Lainny
Kode Akun Pajak 411121 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 21
Kode Akun Pajak 411122 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22
Kode Akun Pajak 411123 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22 Impor
Kode Akun Pajak 411124 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 23
Kode Akun Pajak 411125 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi
Kode Akun Pajak 411126 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Badan
Kode Akun Pajak 411127 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 26
Kode Akun Pajak 411128 Untuk Jenis Pajak PPh Final
Kode Akun Pajak 411129 Untuk Jenis Pajak PPh Non Migas Lainnya
Kode Akun Pajak 411211 Untuk Jenis Pajak PPN Dalam Negeri
Kode Akun Pajak 411212 Untuk Jenis Pajak PPN Impor
Kode Akun Pajak 411219 Untuk Jenis Pajak PPN Lainnya
Kode Akun Pajak 411221 Untuk Jenis Pajak PPnBM Dalam Negeri
Kode Akun Pajak 411222 Untuk Jenis Pajak PPnBM Impor
Kode Akun Pajak 4112296 Untuk Jenis Pajak PPnBM Lainnya
Kode Akun Pajak 411313 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan
Kode Akun Pajak 411314 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perhutanan
Kode Akun Pajak 411315 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara
Kode Akun Pajak 411316 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Kode Akun Pajak 411317 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Panas Bumi
Kode Akun Pajak 411319 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Lainnya
Kode Akun Pajak 411611 Untuk Bea Meterai
Kode Akun Pajak 411612 untuk Penjualan Benda Meterai
Kode Akun Pajak 411613 untuk Pajak Penjualan Batubara
Kode Akun Pajak 411619 Untuk Pajak Tidak Langsung Lainnya
Kode Akun Pajak 411621 Untuk Bunga/Denda Penagihan PPh
Kode Akun Pajak 411622 Untuk Bunga/Denda Penagihan PPN
Kode Akun Pajak 411623 Untuk Bunga/Denda Penagihan PPnBM
Kode Akun Pajak 411624 Untuk Bunga/Denda Penagihan PTLL
Oh ya, daftar tersebut diatas saya copy dari aplikasi TKB yang biasa saya gunakan di kantor. Saya salin ke MS Word, diedit, lanjut disimpan dalam bentuk file PDF.
Pemerintah dan DPR sudah sepakat mengganti Undang-Undang Bea Meterai nomor 13 tahun 1985 menjadi Undang-Undang nomor 10 tahun 2020 tentang Bea Meterai. Undang-Undang Bea Meterai baru ini berlaku mulai 1 Januari 2021. Hanya ada satu tarif Bea Meterai yaitu Rp.10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
Undang-Undang No 10 tahun 2020 merupakan Undang-Undang ketiga tentang Bea Meterai. Undang-Undang pertama dibuat pada zaman kolonial Belanda yaitu Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921). Kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985. Terakhir Undang-Undang No 10 tahun 2020.
Tujuan Undang-Undang Bea Meterai yang baru yaitu:
Memberikan kesetaraan antara dokumen kertas dan elektronik;
Keberpihakan kepada masyarakat luas dan pelaku UMKM dengan tarif yang relatif rendah dan terjangkau, serta kenaikan batas nominal nilai uang dalam dokumen dari lebih dari Rp1 juta menjadi lebih dari Rp5 juta;
Meningkatkan kesederhanaan dan efektivitas melalui tarif tunggal dan penerapan meterai elektronik.
Bea Meterai adalah pajak atas dokumen. Selama ini, dokumen yang dimaksud adalah dokumen kertas. Sejak Undang-Undang nomor 10 tahun 2020 maka ada perluasan definisi dokumen, yaitu kertas dan elektronik.
Dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.
Mulai 2021, dokumen transaksi e-commerce atau toko online akan dikenai Bea Meterai. Pengenaan terhadap transaksi online atau digital merupakan bentuk kesetaraan, atas dokumen kertas dan elektronik.
Objek Bea Meterai
Secara umum, objek Bea Meterai ada dua: Pertama, dokumen bersifat perdata yang dipergunakan untuk menerangkan mengenai suatu kejadian. Kedua, dokumen yang digunakan sebagai alat buktidi pengadilan.
Dokumen yang bersifat perdata yang menjadi objek Bea Meterai terdiri dari:
surat Perjanjian, surat keterangan/pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
akta notaris beserta grosse, Salinan, dan kutipanya;
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
surat berharga dengan nama dan bentuk apapun;
Dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan bentuk apa pun;
Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nominal lebih dari Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang: menyebutkan penerimaan uang; dan berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.
Tarif dan Cara Pelunasan
Bea Meterai sejak 2021 berlaku 1 tarif yaitu Rp10.000,00 untuk setiap dokumen. Artinya, jika sebuah dokumen hanya menyatakan jumlah uang nominal sebesar Rp5.000.000,00 maka atas dokumen tersebut tidak bayar Bea Meterai. Tetapi jika menyatakan uang sebesar Rp5.000.001,00 maka terutang Bea Meterai.
Cara bayar Bea Meterai ada tiga, yaitu:
Meterai Tempel,
Meterai Elektronik, dan
Meterai Dalam Bentuk Lain.
Meterai Tempel adalah Meterai yang ditempelkan atau direkatkan di dokumen kertas. Kalau dokumen elektronik tidak bisa pakai Meterai Tempel.
Meterai Elektronik adalah meterai yang memiliki kode unik dan keterangan tertentu yang diatur dengan Peraturan Menteri.
Meterai Dalam Bentuk Lain adalah meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai Digital, sistem komputerisasi, teknologi percetakan, dan sistem atau teknologi lainnya.
Saat Terutang
Bea Meterai adalah pajak atas dokumen. Seperti jenis pajak lainnya, ada saat terutang kapan pajak ini wajib dilunasi.
Saat terutang Bea Meterai pada dasarnya ada lima:
Dokumen dibubuhi Tanda Tangan,
Dokumen selesai dibuat,
Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen tersebut dibuat,
Dokumen diajukan ke pengadilan, untuk Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, dan
Dokumen digunakan di Indonesia, untuk Dokumen yang dibuat di luar negeri.
Dokumen yang terutang Bea Meterai saat dibubuhi Tanda Tangan, yaitu:
surat perjanjian beserta rangkapnya
akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya
Dokumen yang terutang Bea Meterai saat selesai dibuat, yaitu:
surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun
Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Dokumen yang terutang Bea Meterai saat Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen tersebut dibua, yaitu:
surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya
Dokumen lelang
Dokumen yang menyatakan jumlah uang lebih dari Rp5.000.000,-
Bukan Objek Bea Meterai
Tidak semua dokumen perdata terutang Bea Meterai. Seperti sebelumnya, ada beberapa jenis dokumen yang dikecualikan sebagai objek. Atau tidak terutang Bea Meterai.
Sebenarnya pengecualian ini masih mirip-mirip dengan Undang-Undang sebelumnya, kecuali terkait dokumen kebijakan moneter oleh Bank Indonesia, dan surat gadai. Di Undang-Undang sebelumnya, surat gadai yang dikecualikan adalah surat gadai yang diberikan oleh Perjan Pegadaian. Sekarang berlaku untuk semua surat gadai.
Berikut dokumen yang dikecualikan sebagai objek Bea Meterai:
surat penyimpanan barang
konosemen
surat angkutan penumpang dan barang
bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang
surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5
segala bentuk ijazah;
tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud;
tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan Lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan Lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
surat gadai;
Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah;
tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan
Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.
Fasilitas Pembebasan Bea Meterai
Selain pengecualian objek Bea Meterai, Undang-Undang baru juga memberikan fasilitas Bea Meterai berupa pembebasan.
Istilah pembebasan di pajak sering diartikan bahkan objek tersebut menurut ketentuan terutang pajak atau objek pajak, tetapi dibebaskan. Tidak dibayar. Semacam digratiskan.
Berikut dokumen yang mendapatkan fasilitas pembebasan Bea Meterai:
Dokumen yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam rangka percepatan proses penanganan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi suatu daerah akibat bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam
Dokumen yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang semata-mata bersifat keagamaan dan/atau sosial tidak bersifat komersial
Dokumen dalam rangka mendorong atau melaksanakan program pemerintah dan/atau kebijakan lembaga yang berwenang di bidang moneter atau jasa keuangan; dan/atau
Dokumen yang terkait pelaksanaan perjanjian internasional yang telah mengikat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perjanjian internasional atau berdasarkan asas timbal balik.
Undang-Undang No 10 Tahun 2020
Salindia Sosialisasi Bea Meterai 2021
Pembayaran dan Pematerian Kemudian
Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 4/PMK.03/2021 tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum, dan Ciri Khusus Meterai Tempel, Meterai Dalam Bentuk Lain, dan Penentuan Keabsahan Meterai, Serta Pemateraian Kemudian
Pembayaran Bea Meterai
Pembayaran Bea Meterai pada dasarnya ada 2 cara, yaitu beli meterai dan bayar dengan SSP (surat setoran pajak). Meterai tempel secara resmi didistribusikan oleh Kantor Pos. Bukan oleh kantor pajak. Kantor pemerintah tidak jual meterai.
Meterai terdiri dari: meterai tempel, meterai teraan, meterai komputerisasi, dan meterai percetakan. Meterai teraan dan Meterai komputerisasi hanya digunakan untuk pembayaran Bea Meterai oleh Pihak Yang Terutang yang telah memperoleh izin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak untuk membuat Meterai teraan.
Pelunasan Bea Meterai dengan meterai teraan dilakukan dengan membubuhkan Meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan meterai digital pada Dokumen yang terutang Bea Meterai.
Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai komputerisasi dilakukan dengan membubuhkan Meterai yang dibuat dengan menggunakan sistem komputerisasi pada Dokumen yang terutang Bea Meterai.
Dalam hal satu dokumen lebih dari satu lembar, maka teraan dilakukan pada lembar pertama.
Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai percetakan dilakukan dengan membubuhkan Meterai yang dibuat dengan menggunakan teknologi percetakan pada Dokumen yang terutang Bea Meterai. Pembubuhan Meterai yang dibuat dengan menggunakan teknologi percetakan hanya dilakukan dalam rangka pemungutan Bea Meterai atas Dokumen berupa efek dan bilyet giro.
Pembayaran Bea Meterai dengan Menggunakan SSP anya digunakan untuk pembayaran Bea Meterai oleh Pihak Yang Terutang dalam hal:
pembayaran Bea Meterai atas Dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan dengan jumlah lebih dari 50 (lima puluh) Dokumen; atau
pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai tempel yang tidak memungkinkan untuk dilakukan karena Meterai tempel tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
Pemateraian Kemudian
Pemeteraian Kemudian dilakukan untuk:
Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sebagaimana mestinya; dan/atau
Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Bea Meterai yang wajib dibayar melalui Pemeteraian Kemudian sebesar:
Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat terutangnya Bea Meterai ditambah dengan sanksi administratif sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang terutang, dalam hal Dokumen Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sebagaimana mestinya dan terutang Bea Meterai sejak tanggal 1 Januari 2021;
Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat terutangnya Bea Meterai ditambah dengan sanksi administratif sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang terutang, dalam hal Dokumen Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sebagaimana mestinya dan terutang Bea Meterai sebelum tanggal 1 Januari 2021; dan
Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat Pemeteraian Kemudian.
Insentef pajak berupa tambahan pengurangan penghasilan bruto
Super deduction tax adalah insentif pajak penghasilan dengan cara menambah pengurang penghasilan bruto (biaya fiskal). Tujuan super deduction tentu saja untuk memperkecil pajak penghasilan, bahkan bisa jadi pajak penghasilan menjadi nihil.
Sampai dengan tulisan ini dibuat, pemerintah telah menerbitkan dua peraturan dalam rangka super deduction, yaitu:
Peraturan Menteri Keuangan nomor 128/PMK.010/2019, dan
Peraturan Menteri Keuangan nomor 153/PMK.010/2020.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 128/PMK.010/2019 mengatur bahwa Wajib Pajak badan yang mengeluarkan biaya untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran untuk pengembangan kompetensi tertentu dapat menerima pengurangan penghasilan bruto hingga 200 persen dari biaya yang dikeluarkan tersebut.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 153/PMK.010/2020 mengatur bahwa Wajib Pajak badan yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia, dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300% (tiga ratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan tertentu di Indonesia yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu.
Super Deduction Vokasi
Wajib pajak badan yang mengeluarkan biaya untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran untuk pengembangan kompetensi tertentu dapat menerima pengurangan penghasilan bruto hingga 200 persen dari biaya yang dikeluarkan tersebut.
Untuk menerima fasilitas ini, wajib pajak harus telah melakukan kegiatan praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran yang dilakukan berdasarkan perjanjian kerja sama dengan sekolah vokasi. Selain itu perusahaan juga harus telah memenuhi kewajiban perpajakannya dan tidak dalam keadaan rugi.
Pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200% (dua ratus persen) meliputi:
Pengurangan penghasilan bruto sebesar 100% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran; dan
Tambahan pengurangan penghasilan bruto sebesar paling tinggi 100% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran.
Contoh perhitungan super deduction tax vokasi:
Syarat untuk memanfaatkan tambahan pengurangan penghasilan bruto yaitu:
telah melakukan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang berbasis kompetensi tertentu;
memiliki Perjanjian Kerja Sama;
tidak dalam keadaan rugi fiskal pada Tahun Pajak pemanfaatan tambahan pengurangan penghasilan bruto; dan
telah menyampaikan Surat Keterangan Fiskal.
Kompetensi tertentu (daftar kompetensi ada di lampiran PMK) merupakan kompetensi yang diajarkan pada:
sekolah menengah kejuruan dan/atau madrasah aliyah kejuruan untuk siswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan;
perguruan tinggi program diploma pada program vokasi untuk mahasiswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan; dan/atau
balai latihan kerja untuk perorangan serta peserta latih, instrukturi dan/atau tenaga kepelatihan.
Untuk mendapatkan tambahan pengurangan penghasilan bruto, Wajib Pajak harus melakukan penyampaian pemberitahuan melalui sistem OSS dengan melampirkan:
Perjanjian Kerja Sama; dan
Surat Keterangan Fiskal yang masih berlaku.
Perjanjian Kerja Sama adalah perjanjian antara Wajib Pajak dengan sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi, balai latihan kerja, atau instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan Pusat, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota bagi perorangan yang tidak terikat hubungan kerja dengan pihak manapun, dalam rangka penyelenggaraan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu.
Super Deduction Penelitian dan Pengembangan
Wajib Pajak badan yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia, dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300% (tiga ratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan tertentu di Indonesia yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu.
Pengurangan penghasilan bruto meliputi:
pengurangan penghasilan bruto sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan; dan
tambahan pengurangan penghasilan bruto sebesar paling tinggi 200% (dua ratus persen) dari akumulasi biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan dalam jangka waktu tertentu.
Tambahan pengurangan penghasilan bruto sebesar paling tinggi 200% (dua ratus persen) dihitung sebagai berikut:
50% (lima puluh persen) jika Penelitian dan Pengembangan menghasilkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak PVT yang didaftarkan di kantor Paten atau kantor PVT dalam negeri;
25% (dua puluh lima persen) tambahan selain yang didaftarkan di dalam negeri, juga didaftarkan di kantor Paten atau kantor PVT luarย negeri;
100% (seratus persen)ย jika Penelitian danย Pengembangan mencapaiย tahap Komersialisasi;ย dan/atau
25% (dua puluh lima persen) jika Penelitian dan Pengembangan yang menghasilkan hak Kekayaanย Intelektual berupa Paten atau Hak PVT angka 1, angka 2, dan/atau mencapai tahap Komersialisasi angka 3, dilakukan melalui kerjasama dengan lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah dan/atau lembaga pendidikan tinggi, di Indonesia.
Super deduction penelitian dan pengembangan dilakukan setelah ada paten.
Besarnya tambahan pengurangan penghasilan bruto yang dapat dibebankan di setiap Tahun Pajak paling tinggi sebesar 40% (empat puluh persen) dari penghasilan kena pajak sebelum dikurangi dengan tambahan pengurangan penghasilan bruto.
Dalam hal tambahan pengurangan penghasilan bruto lebih tinggi dari 40% (empat puluh persen) dari penghasilan kena pajak sebelum dikurangi dengan tambahan pengurangan penghasilan bruto, maka selisih lebih tambahan pengurangan penghasilan bruto yang belum termanfaatkan dapat diperhitungkan untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya.
Contoh perhitungan super deduction tax penelitian dan pengembangan:
Untuk mendapatkan tambahan pengurangan penghasilan bruto, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan melalui OSS dengan melampirkan:
proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan; dan
Surat Keterangan Fiskal.
Online Single Submissionย (OSS) adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota kepada pelaku usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
Dalam hal OSS tidak berjalan sebagaimana mestinya, penyampaian permohonan kegiatan Penelitian dan Pengembangang dapat dilakukan secara luar jaringan (offline) oleh Wajib Pajak kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menggunakan surat sesuai contoh Format Surat Pemberitahuan Rencana Kegiatan Penelitian dan Pengembangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan nomor 153/PMK.010/2020 .
Bendahara adalah orang yang diberi amanah untuk memegang uang. Menteri Keuangan disebut Bendahara Umum Negara (BUN) berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 2004. Tapi maksud bendahara di tulisan ini adalah bendahara pengeluaran. Dan pajak-pajak apa saya yang harus dipungut oleh Bendahara pengeluaran.
Bendahara pengeluaran yaitu pejabat yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga/ pemerintah daerah.
Kewajiban Bendahara
Terdapat 4 kewajiban pajak bagi bendara, yaitu:
Mendaftar atau update data,
Memotong dan/atau memungut pajak,
Membayar pajak yang dipotong dan/atau dipungut ke kas negara, dan
Melaporkan SPT Masa.
Kewajiban Mendaftar
Peraturan Menteri Keuangan nomor 231/PMK.03/2019 mengatur bahwa setiap lnstansi Pemerintah wajib mendaftarkan diri pada KPP (kantor pelayanan pajak) yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Instansi Pemerintah menurut keadaan yang sebenarnya.
Pendaftaran instansi pemerintah dilakukan oleh:
kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
kepala Instansi Pemerintah Daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa, untuk Instansi Pemerintah Desa.
Kewajiban Pemotongan atau Pemungutan
Bendahara pemerintah wajib memotong atau memungut, menyetor, dan melaporkan PPh yang terutang atas setiap pembayaran yang merupakan objek pemotongan atau pemungutan PPh.
PPh yang wajib dipotong dan/atau dipungut oleh bendahara Pemerintah terdiri dari:
Menteri Keuangan juga sudah menegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 231/PMK.03/2019 tentang kewajiban-kewajiban ini. Berikut saya kutip lagi:
Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lain atas:
persewaan tanah dan/atau bangunan;
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
usaha jasa konstruksi;
hadiah undian; serta
pembelian barang atau penggunaan jasa dari Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (PP 23).
Pemotongan PPh Pasal 15 aitu pemotongan PPh kepada Wajib Pajak tertentu atas:
imbalan jasa pelayaran dalam negeri;
imbalan jasa penerbangan dalam negeri; atau
imbalan jasa pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri;
Pemotongan PPh Pasal 21 yaitu pemotongan PPh atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Tata cara perhitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 bisa dibaca di Menghitung PPh Pasal 21
Pemungutan PPh Pasal 22 yaitu pemungutan PPh sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang. Pemungutan PPh Pasal 22 tidak dilakukan untuk transaksi berikut:
pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk PPN dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
pembayaran dengan kartu kredit pemerintah atas belanja lnstansi Pemerintah Pusat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pembayaran dan penggunaan kartu kredit pemerintah;
pembayaran untuk: pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos; atau pemakaian air dan listrik;
pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS);
pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras;
pembayaran kepada Wajib Pajak yang memiliki dan menyerahkan fotokopi surat keterangan berdasarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (PP23); atau
pembayaran untuk pembelian barang kepada Wajib Pajak yang dapat menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain, yang telah dilegalisasi oleh KPP yang menerbitkan SKB dimaksud.
Pemotongan PPh Pasal 23 yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap berupa:
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
royalti;
hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21;
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2);
imbalan sehubungan dengan jasa yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
PPh Pasal 23 adalah pemotongan PPh atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri. Tetapi jika penghasilan tersebut diterima oleh Wajib Pajak luar negeri maka dipotong PPh Pasal 26.
Bendahara Pemerintah ditunjuk sebagai pemungut PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh PKP Rekanan Pemerintah kepada Instansi Pemerintah.
Bendahara Instansi Pemerintah tersebut wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang.
PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut oleh Instansi Pemerintah, dalam hal:
pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk jumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang, dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
pembayaran dengan kartu kredit pemerintah atas belanja Instansi Pemerintah Pusat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pembayaran dan penggunaan kartu kredit pemerintah;
pembayaran untuk pengadaan tanah;
pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT. Pertamina (Persero);
pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN.
Pelaporan SPT Masa
Bendahara Instansi Pemerintah wajib melaporkan pemotongan dan/atau pemungutan serta penyetoran pajak yang dilakukan dalam satu Masa Pajak ke KPP tempat Instansi Pemerintah terdaftar.
Pelaporan atas pemotongan dan/atau pemungutan serta penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan:
Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, untuk kewajiban pemotongan PPh yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi;
Surat Pemberitahuan Masa unifikasi bagi Instansi Pemerintah, yaitu Surat Pemberitahuan Masa pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas belanja pemerintah, untuk kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan PPh dan pemungutan PPN; dan
Surat Pemberitahuan Masa PPN, bagi PKP Instansi Pemerintah, untuk kewajiban pemungutan PPN atas pendapatan pemerintah.
Pelaporan SPT Masa PPh dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Sedangkan pelaporan SPT Masa PPN dilakukan paling lambat akhir bulan bulan berikutnya.
Tetapi sebelum lapor, atas pajak-pajak yang dipotong dan/atau disetor tersebut wajib dibayarkan ke kas negara.
Instansi Pemerintah Pusat dan Instansi Pemerintah Daerah wajib menyetorkan PPh dan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipotong dan/atau dipungut:
paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran dengan mekanisme Langsung sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Sedangkan bendahara Pemerintah Desa wajib menyetorkan PPh dan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipotong dan/atau dipungut paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah pelaksanaan pembayaran.
Apa kode setoran pajak diatas? Cek di slide berikut:
Pajak sejak awal memberikan fasilitas bagi Wajib Pajak yang membantuk pemerintah menangani Pandemi Covid-19. Awal Oktober ini, Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 143/PMK.03/2020 untuk merevisi ketentuan insentif yang dapat dimanfaatkan.
Dasar hukum fasilitas insentif Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yaitu:
Peraturan Menteri Keuangan nomor 28/PMK.03/2020.
Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 2020.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 143/PMK.03/2020.
Secara umum, insentif ini diperpanjang sampai dengan 31 Desember 2021. Info lebih lanjut, silakan cek di Insentif Covid 2021
Siapa Yang Dapat Memanfaatkan?
Peraturan Menteri Keuangan nomor 143/PMK.03/2020 ditujukan dalam rangka membantu Pandemi Covid-19. Bukan untuk Wajib Pajak yang terdampak Covid-19. Untuk Wajib Pajak yang terdampak menggunakan Peraturan Menteri Keuangan No. 86/PMK.03/2020 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 110/PMK.03/2020
Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan insentif PPN PPN yaitu:
Pihak tertentu,
Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau obat
Wajib Pajak yang memperoleh vaksin dan/atau obat untuk penangananan Covid-19 dari Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau obat.
Pihak tertentu dapat insentif PPN sejak April 2020 sampai dengan Desember 2020. Pihak tertentu yaitu:
Badan/InstansiPemerintah, baik pusat maupun daerah, yang ditunjuk untuk melakukan penanganan pandemi COVID-19
Rumah Sakit yang ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan untuk penanganan pasien pandemi COVID-19
Pihak Lain yang ditunjuk oleh Badan/Instansi Pemerintah atau RS untuk membantu penanganan pandemi COVID-19
Insentif PPN diberikan kepada industri farmasi setelah Industri Farmasi Produksi Vaksin/Obat memperoleh surat Rekomendasi dari BNPB yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2020
Barang dan Jasa Yang Mendapatkan Insentif
Barang Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), meliputi:
obat-obatan;
vaksin;
peralatan laboratorium;
peralatan pendeteksi;
peralatan pelindung diri;
peralatan untuk perawatan pasien; dan/ata
peralatan pendukung lainnya yang dinyatakan oleh Pihak Tertentu untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), meliputi:
jasa konstruksi;
jasa konsultasi, teknik, dan manajemen;
jasa persewaan; dan/atau
jasa pendukung lainnya yang dinyatakan oleh Pihak Tertentu untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Jenis Insentif PPN
Jenis insentif PPN ada dua, yaitu tidak dipungut, dan PPN Ditanggung Pemerintah.
Atas impor Barang Kena Pajak oleh Pihak Tertentu tidak dipungut PPN.
Transaksi yang mendapatkan insentif PPN Ditanggung Pemerintah terdiri dari:
Atas penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (Objek PMK) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) kepada Pihak Tertentu.
Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean oleh Pihak Tertentu.
Atas impor bahan baku untuk produksi vaksin/obat untuk penanganan COVID-19 oleh Industri Farmasi Produksi Vaksin/Obat.
Atas penyerahan bahan baku untuk produksi vaksin/obat untuk penanganan COVID-19 oleh PKPkepada Industri Farmasi Produksi Vaksin/Obat.
Atas penyerahan vaksin/obat untuk penanganan COVID-19 oleh Industri Farmasi Produksi Vaksin/Obat.
Salah satu syarat PPN Ditanggung Pemerintah, PKP wajib membuat Faktur Pajak dengan mencantumkan โPPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 143 /PMK.03/2020โ di faktur pajak.
Kode faktur pajak untuk PPN Ditanggung Pemerintah adalah 07. Kode faktur pajak 07 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut atau Ditanggung Pemerintah (DTP).
PPh Pasal 22 Dibebaskan
Insentif PPh Pasal 22 yang dibebaskan ada dua jenis, yaitu dibebaskan tanpa SKB, atau dibebaskan dengan SKP.
Insentif PPh Pasal 22 yang dibebaskan tanpa SKB yaitu untuk transaksi Industri Farmasi Produksi Vaksin/Obat yang melakukan impor bahan baku untuk memproduksi vaksin/obat untuk penanganan COVID-19 diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor dalam Masa Pajak Oktober-Desember 2020.
Sedangkan insentif PPh Pasal 22 dibebaskan dengan SKP yaitu untuk transaksi:
Pihak Tertentu yang melakukan pembelian barang diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 dalam Masa Pajak April-Desember 2020.
Pihak Ketiga (lawan transaksi) yang melakukan penjualan barang kepada Pihak Tertentu diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 dalam Masa Pajak April-Desember 2020.
Industri Farmasi Produksi Vaksin/Obat yang melakukan pembelian bahan baku untuk memproduksi vaksin/obat untuk penanganan COVID-19 diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 dalam Masa Pajak Oktober-Desember 2020.
PPh Pasal 21 Yang Dibebaskan
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima/memperoleh imbalan (berupa imbalan dengan nama dan bentuk apapun) dari Pihak Tertentu atas jasa, diberikan pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 21 dalam Masa Pajak April-Desember 2020
Pihak Tertentu adalah pihak yang menerima insentif perpajakan.
Pihak tertentu terdiri dari:
Badan/Instansi Pemerintah;
Rumah Sakit; atau
Pihak Lain.
Pihak Lain adalah pihak selain Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit untuk membantu penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Pembebasan ini dilakukan tanpaSKB PPh Pasal 21.
PPh Pasal 23 Yang Dibebaskan
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang menerima/memperoleh imbalan dari Pihak Tertentu atas jasa, diberikan pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 23 dalam Masa Pajak April-Desember 2020.
Imbalan yang dimaksud berupa:
Jasa teknik,
Jasa manajemen,
Jasa konsultan, dan
Jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Pembebasan PPh Pasal 23 diberikan dengan SKB PPh Pasal 23.
Fasilitas PPh Dalam Rangka Penanganan Covid 19
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 memberikan perpanjangan dan tambahan fasilitas Pajak Penghasilan yang dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang menangani Covid 19.
Fasilitas pajak penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 berlaku untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh sampai dengan 30 September 2020.
Fasilitan pajak penghasilan yang dimaksud yaitu:
tambahan pengurangan penghasilan neto;
sumbangan yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto;
tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan;
penghasilan berupa kompensasi dan penggantian atas penggunaan harta; dan
pembelian kembali saham yang diperjualbelikan di bursa.
Tambahan Pengurangan Penghasilan Bruto
Wajib Pajak dalam negeri yang memproduksi Alat Kesehatan dan/atau PKRT untuk keperluan penanganan COVID-19 di Indonesia dapat diberikan tambahan pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari biaya yang dikeluarkan.
Insentif yang diberikan berupa tambahan biaya. Misal biaya sebenarnya Rp100 juta, maka dapat dibiayakan secara fiskal sebesar Rp130 juta. Angka yang Rp30 juta dilakukan melakukan koreksi fiskal negatif di SPT Tahunan.
PKRT (Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga) adalah alat, bahan, atau campuran bahan untuk pemeliharaan dan perawatan untuk kesehatan manusia, yang ditujukan untuk penggunaan di rumah tangga dan fasilitas umum.
Alat Kesehatan sebagaimana meliputi:
masker bedah dan respirator N95;
pakaian pelindung diri berupa coverall medis, gaun sekali pakai, heavy duty apron, cap, shoe cover, goggles, faceshield, dan waterproof boot;
sarung tangan bedah;
sarung tangan pemeriksaan;
ventilator; dan
reagen diagnostic test untuk COVID 19.
Sumbangan Untuk Penanganan Covid-19
Sumbangan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat:
didukung oleh bukti penerimaan sumbangan; dan
diterima oleh penyelenggara pengumpulan sumbangan yang memiliki NPWP
Penyelenggara Pengumpul sumbangan ditentukan hanya untuk:
BNPB
BPBD
Kementerian Kesehatan
Kementerian Sosial, atau
Lembaga Penyelenggara Pengumpulan Sumbangan.
Sumbangan dapat diberikan dalam bentuk:
Uang,
Barang,
Jasa, dan/atau
pemanfaatan harta tanpa kompensasi.
Tambahan Penghasilan Yang Diterima atau Diperoleh Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan
Tambahan penghasilan dari Pemerintah berupa honorarium atau imbalan lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang diterima tenaga kesehatan, dan tenaga pendukung kesehatan, dan yang memberikan pelayanan kesehatan untuk menangani COVID-19 pada fasilitas pelayanan kesehatan dan institusi kesehatan, termasuk santunan dari Pemerintah yang diterima ahli waris merupakan objek Pajak Penghasilan.
Tambahan penghasilan diatas dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final dengan tarif sebesar 0% (nol persen) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh.
Tenaga kesehatan adalah adalah jenis tenaga di bidang kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan. Menurut Pasal 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, tenaga kesehatan dikelompokkan ke dalam:
tenaga medis (dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dokter gigi spesialis),
tenaga psikologi klinis,
tenaga keperawatan,
tenaga kebidanan,
tenaga kefarmasian,
tenaga kesehatan masyarakat,
tenaga kesehatan lingkungan,
tenaga gizi,
tenaga keterapian fisik,
tenaga keteknisian medis,
tenaga teknik biomedika,
tenaga kesehatan tradisional, dan
tenaga kesehatan lainnya.
Kompensasi Atau Penggantian Penggunaan Harta
Penghasilan dalam rangka penanganan COVID-19 yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari Pemerintah berupa kompensasi atau penggantian dengan nama dan dalam bentuk apapun dari:
persewaan harta berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Pajak Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan; dan/atau
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta selain tanah dan/atau bangunan,
dikenai pajak yang bersifat final dengan tarif sebesar 0% (nol persen).
Pembelian Kembali Saham Yang Diperjualbelikan di Bursa
Berdasarkan Undang-Undang nomor 2 tahun 2020 bahwa perusahaan terbukan dapat diskon PPh Badan 3% lebih rendah dibanding dengan tarif PPh Badan umum.
Tidak semua perusahaan terbukan mendapatkan diskon 3% tersebut. Salah satu syaratnya adalah 40% sahamnya diperjualbelikan di bursa efek.
Jika dilakukan pembelian kembali, maka porsi yang diperjualbelikan di bursa efek bisa berkurang. Mungkin menjadi dibawah 40% dari total saham perusahaa. Kadang-kadang, pembelian kembali ini diminta oleh otoritas bursa efek dalam rangka mengatasi fluktuasi harga saham.
Dalam hal terdapat kebijakan pemerintah pusat atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengatasi kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan, Wajib Pajak Perseroan Terbuka yang membeli kembali sahamnya berdasarkan kebijakan pemerintah pusat atau lembaga dimaksud, dianggap tetap memenuhi persyaratan mendapat diskon PPh Badan 3%.
Pembelian kembali saham wajib dilakukan paling lambat tanggal 30 September 2020. Dan boleh dikuasai Wajib Pajak sampai dengan tanggal 30 September 2022.
Laporan Realisasi Insentif
Semua insentif berupa Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) wajib dilaporkan di ereportingcovid19.pajak.go.id Jika tidak dilaporkan, maka tidak ada insentif.
Kenapa begitu? Ditanggung pemerintah artinya pemerintah membayar pajak terutang. Secara teknis, dicatat sebagai penerimaan dan pengeluaran di waktu yang sama.
Jadi, perlunya laporan realisasi insentif supaya pemerintah tahu berapa pajak yang harus dibayar. Dan dilaporkan sebagai penerimaan dan pengeluaran.
Jika tidak dilaporkan, artinya tidak dibayar. Pemerintah tidak bayar, konsekuensinya Wajib Pajak harus bayar.
Berikut ini tata cara laporan insentif pajak di laman e-reporting Covid-19
Secara sederhana, aplikasi eBupot adalah aplikasi untuk membuat bukti potong. Sentralisasi pembuatan bukti potong dari Wajib Pajak ke server Ditjen Pajak.
Aplikasi e-Bupot 23/26 adalah perangkat lunak yang disediakan di laman milik Direktorat Jenderal Pajak atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang dapat digunakan untuk membuat Bukti Pemotongan, membuat dan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik. Ini definisi resminya menurut PER-04/PJ/2017.
eBupot merupakan aplikasi yang terlambat muncul. Aplikasi ini sudah direncanakan sejak dulu.
Setara Uang
Setara uang artinya berfungsi seperti uang.
Dulu tidak ada NTPN. Kode yang diterbitkan server Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara.
SSP itu setara uang. Harus ada nomor serinya sebagaimana tiap lembar uang. Nah, anggap saja NTPN seperti nomor seri uang.
Sebelum ada NTPN, satu-satunya cara mengecek kebenaran SSP adalah dengan konfirmasi ke bank. Dulu ada juga SSP lembar 2 yang katanya paling valid. Tapi kenyataannya SSP lembar 2 pun dipalsukan. Ada beberapa kasus pemalsuan SSP lembar 2 yang saya dengar.
Lanjut. Apalagi yang setara uang? Ada faktur pajak, dan bukti potong.
Wajib Pajak membuat faktur pajak manual. Tidak ada standarisasi nomor, dan cara penulisan. Hanya format yang distandarkan. Akibatnya, banyak kasus restitusi dari faktur pajak palsu. Ya, faktur pajak dipalsukan dan kantor pajak sulit melacak transaksi sebenarnya.
Mulai 1 Juli 2016, seluruh PKP di Indonesia wajib menggunakan efaktur. Ini adalah awal sentralisasi pembuatan faktur pajak secara elektronik. Intinya, setiap Wajib Pajak yang membuat faktur harus disetujui server Ditjen Pajak. Ini pajak keluaran. Begitu juga jika mengkreditkan pajak masukan, harus disetujui server.
Sentralisasi pembuatan faktur pajak di server Ditjen Pajak dimaksudkan untuk otentifikasi faktur pajak. Jika pajak masukan sudah disetujui, artinya faktur pajak tersebut benar adanya.
Faktur pajak adalah dokumen pajak setara uang di Pajak Pertambahan Nilai. Faktur Pajak adalah bukti pemungutuan PPN. Penjual memungut uang PPN kepada pembeli. Uang ini adalah titipan yang harus disetorkan ke Kas Negara.
Hal yang sama, setara uang, di Pajak Penghasilan adalah Bukti Potong. Bukti Potong adalau bukti bahwa Wajib Pajak memotong PPh. Pemberi penghasilan memotong uang PPh penerima penghasilan. Uang ini harus disetorkan ke Kas Negara.
Jika dibuatkan manual, Wajib Pajak bisa memotong PPh tetapi tidak disetorkan ke Kas Negara. Atau sebaliknya, Wajib Pajak mengaku telah dipotong PPh oleh pengusaha lain padahal tidak ada.
Karena itu, perlu ada sentralisasi pembuatan Bukti Potong supaya terkontrol siapa yang memotong siapa.
Alasan Lain
Secara formal, terdapat 3 alasan dibuatkannya aplikasi eBupot:
Memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak untuk membuat dan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26;
Memberikan kepastian hukum terkait status dan keandalan Bukti Pemotongan;
Meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak Pemotong PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26.
Dengan eBupot, bukti potong menjadi terintegrasi dengan SPT Masa. Wajib Pajak cukup membuat bukti potong. Urusan lapor, tinggal klik saja di laman DJP Online.
Bukti potong yang tersaji di sistem benar-benar bukti potong. Bayangkan jika dibuat manual, akan kejadian seperti ini:
Saya mengaku telah dipotong oleh PT XYZ sebesar Rp125 juta. Bukti Potong ini saya perhitungkan di SPT Tahunan sebagai kredit pajak. Jika PPh terutang saya Rp150 juta maka saya tinggal bayar kurangnya yaitu Rp25 juta saja. Padahal tidak ada bukti potong.
Bagaimana kantor pajak mengujinya? Konfirmasi ke KPP di mana PT XYZ terdaftar. Apakah benar PT XYZ memotong dan setor ke Kas Negara? Karena database tidak terintegrasi, maka jawaban KPP secara manual. Petugas mengecek langsung ke SPT Masa yang dilaporkan PT XYZ. Hasilnya dijawab melalui surat.
Apakah semua Bukti Potong dilakukan konfirmasi? Tidak. Hanya jika dilakukan pemeriksaan. Itu pun jika pemeriksanya curiga. Jika tidak, lolos saja.
Nah, dengan eBupot proses konfirmasi dilakukan by system. Otomatis. Sehingga meminimalkan pemalsuan Bukti Potong.
Selain alasan diatas, sebenarnya ada keuntungan lain dengan eBupot bagi otoritas pajak. Karena faktur pajak dibuat secara terpusat (sentralisasi) dan bukti potong juga dibuat secara terpusat, maka secara real time kantor pajak bisa mengetahui dinamika real ekonomi.
Karena itu, ke depannya eBupot direncanakan untuk semua bukti potong. Termasuk bukti potong PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 4 ayat (2). Tunggu saja.
Sertifikat Elektronik
Sertifikat elektronik menunjukkan pelaku. Siapa yang memotong atau memungut pajak.
Pada awalnya, sertifikat elektronik digunakan sebagai syarat PKP dapat menerbitkan faktur pajak elektronik (eFaktur). Sekarang digunakan sebagai syarat Wajib Pajak membuat bukti potong elektronik (eBupot).
Sertifikat Elektronik (Digital Certificate) adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukan status subyek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau penyelenggara sertifikasi elektronik.
Untuk dapat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dengan menggunakan Aplikasi e-Bupot 23/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), Pemotong Pajak terlebih dahulu harus memiliki Sertifikat Elektronik.
Pasal 7 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-04/PJ/2017.
Karena itu, nasionalisasi eBupot berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-269/PJ/2020 mensyaratkan sertifikat elektronik. Saat ini, pemilik sertifikat elektronik pasti PKP.
Mulai masa pajak Agustus 2020, semua Wajib Pajak yang berstatus PKP wajib menggunakan eBupot.
Layanan perpajakan akan berbasis sertifikat elektronik
Permohonan, permintaan, pengajuan, dan Dokumen Elektronik yang disampaikan melalui Layanan Perpajakan Secara Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap telah ditandatangani oleh Wajib Pajak dalam hal Tanda Tangan Elektronik yang dipergunakan oleh Wajib Pajak dapat diverifikasi dan diautentikasi oleh sistem Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 40 ayat (3) Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-04/PJ/2020
Jadi, sertifikat elektronik adalah tanda tangan elektronik. Fungsi dan kedudukan sama seperti tanda tangan basah di dokumen fisik.
Untuk mendapatkan sertifikat elektronik, nantinya akan dibuatkan saluran elektronik. Jika sudah tersedia, permintaan Sertifikat Elektronik secara elektronik dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
Wajib Pajak mengisi Formulir Permintaan Sertifikat Elektronik dan mempersiapkan passphrase; dan
Wajib Pajak melakukan kegiatan untuk verifikasi dan autentikasi identitas.
Pembuatan eBupot
Aplikasi eBupot hanya tersedia bagi Wajib Pajak di KPP Pratama mulai Agustus 2020. Alamatnya di ebupot.pajak.go.id
Sebelum ke eBupot, silakan login di pajak.go.id dan langsung ke menu Profil. Pastikan semua diceklis.
Pastikan semua fitur layanan diceklis
Selanjutnya baru bisa membuat bukti potong elektronik. Untuk membuat bukti potong elektronik, berikut ringkasannya:
login sebelum masuk ke ebupot.pajak.go.id
klik tab Lapor
Klik menu Pra-Pelaporan
klik logo eBupot
Slide Sosialisasi eBupot
Berikut ini adalah salindia sosialisasi eBupot PER-04/PJ/2017
Berikut ini salindia sosialisasi tentang aplikasi eBupot
Kedua salindia diatas merupakan salindia yang dibuat oleh kantor pusat Ditjen Pajak, dan menjadi materi sosialisasi eBupot nasional.
Sebelum saya buat tulisan ini, kedua berkas telah beredar melalui grup-grup WhatApps baik internal DJP maupun eksternal.
Selain itu, ada ebook eBupot yang dibuat oleh Angga Sukma Dhaniswara selaku Account Representative Waskon I KPP Madya Jakarta Selatan I. Ebook ini revisi ke 4 dengan tampilannya sangat menarik dan kekinian.
Saya sudah mendapat ijin untuk menyebarluaskan ebook ini:
Karena banyak yang meminta menghitung PPh Pasal 21, maka saya buat artikel Withholding taxes per pasal. Pasal 21 adalah pemotongan pajak pegawai. Majikan memberikan gaji, sebelum gaji diberikan, majika memotong PPh.
Namun, Pasal 21 Undang-Undang PPh sekarang tidak hanya untuk pegawai. Secara umum, pihak yang dipotong oleh pemberi penghasilan ada 4:
pegawai
mantan pegawai (pensiunan)
bukan pegawai, dan
peserta kegiatan.
Pegawai dibagi 2, yaitu pegawai tetap dan pegawai tidak tetap.
Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur.
Pegawai tidak tetap disebut juga tenaga kerja lepas, adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
Pensiunan adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
Bukan pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
Pemberian penghasilan kepada bukan pegawai dibagi dua:
imbalan bersifat kesinambungan, atau
imbalan tidak berkesinambungan.
Imbalan bersifat berkesinambungan adalah imbalan kepada bukan pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Ruang Lingkup PPh Pasal 21
Pemotongan PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
PPh Pasal 21 dibagi dua:
Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang umum dan tidak bersifat final.
Pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final.
Pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final yaitu:
PPh Pasal 21 yang bersifat final atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus (PP 68 Tahun 2009).
PPh Pasal 21 yang bersifat final atas penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS, anggota TNI, anggota Polri dan pensiunannya berupa honorarium dengan nama dan dalam bentuk apapun yang menjadi beban APBN atau APBD (PP 80 Tahun 2010).
Ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 21 meliputi:
Pemotong PPh Pasal 21 yang memberikan penghasilan adalah pemberi kerja yang membayarkan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, bendahara pemerintah yang membayarkan penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, dana pensiun, badan yang membayarkan imbalan sehubungan dengan jasa, dan penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pekerjaan;
Jenis penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 21 adalah penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan; dan
Wajib Pajak yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 21 adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Pemotong PPh Pasal 21
Peraturan Menteri Keuangan nomor 252/PMK.03/2008 mengatur bahwa pemotong PPh Pasal 21 terdiri dari:
pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan;
bendahara atau pemegang kas pemerintah (sampai bendahara Desa);
dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
penyelenggara kegiatan.
Kelima pemotong tersebut jika memberikan penghasilan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri maka wajib potong PPh Pasal 21. Sesuai ruang lingkup, jenis penghasilan yaitu penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Apapun namanya.
Subjek pajak penerima penghasilan yang membedakan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 26.
Pada umumnya, jika penerima penghasilan:
Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOP DN) maka Pasal 21;
Badan Dalan Negeri (WP Badan DN) maka Pasal 23
Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) maka Pasal 26.
Pemotong wajib membuat bukti potong. Jika pegawai tetap maka dibuatkan Bukti Potong 1721 A1 yang dibuat setahun sekali. Selain pegawai tetap dibuatkan Bukti Potong per pembayaran atau per bulan. Jika Pasal 21 tidak final maka menggunakan 1721 VI. Tetapi jika final maka menggunakan 1721 VII.
Berikut contoh Bukti Potong PPh Pasal 21:
Penerima penghasilan wajib menyimpan Bukti Potong tersebut diatas. Pada awal tahun, Bukti Potong tersebut menjadi dasar penghitungan PPh orang pribadi. Biasanya dilaporkan di SPT Tahunan form 1770S.
Pengecualian pemberi penghasilan yang tidak wajib memotong PPh Pasal 21 ada tiga:
kantor perwakilan negara asing;
organisasi-organisasi internasional sebagaiman dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Siapa Yang Dipotong PPh Pasal 21
Di ruang lingkup disebutkan bahwa penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah Wajib Pajak orang pribadi Dalam Negeri.
Tetapi orang pribadi dimaksud dibagi 4, yaitu:
pegawai
mantan pegawai (pensiunan)
bukan pegawai, dan
peserta kegiatan.
Penerima penghasilan bukan pegawai meliputi:
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
olahragawan
penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
pengarang, peneliti, dan penerjemah;
pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
agen iklan;
pengawas atau pengelola proyek;
pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
petugas penjaja barang dagangan;
petugas dinas luar asuransi;
distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi :
peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
peserta kegiatan lainnya.
Jenis Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 21
Jenis penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 21 adalah penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan.
Namun Peraturan Menteri Keuangan nomor 252/PMK.03/2008 mengatur lebih detail jenis-jenis penghasilan dimaksud. Berikut rinciannya:
penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;
penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
Jenis-jenis penghasilan diatas dibayarkan dalam bentuk uang. Tetapi jika dibayar dalam bentuk naturan, maka tetap harus dihitung sebagai penghasilan penerima natura dengan syarat pemberi naturan:
bukan Wajib pajak;
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
Dalam rangka menghitung PPh Pasal 21, natura diatas harus dihitung dengan harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian kenikmatan yang diberikan.
Pemberian penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 21 yaitu:
pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap
Contoh-contoh perhitungan PPh Pasal 21 di bawah ini merupakan salinan dari Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-16/PJ./2016. Berikut lampiran lengkapnya:
Menghitung PPh Pasal 21 Untuk Pegawai Tetap Atas Penghasilan Teratur
Pada dasarnya, menghitung PPh Pasal 21 adalah menghitung PPh orang pribadi. Jika pegawai hanya bekerja di satu pemberi kerja, satu sumber penghasilan, maka PPh terutang atas pegawai tersebut sudah lunas dibayarkan oleh pemberi kerja. Dan Bukti Potong 1721 A1 bukti pelunasan pajaknya.
Jadi, harus diingat bahwa pemotong sedang menghitung PPh terutang pegawai yang akan dilaporkan di SPT Tahunan 1770S.
Menghitung PPh terutang WPOP artinya kita harus memperhitungkan PTKP dan menggunakan Tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh. Tarif Pasal 17 dikenakan kepada penghasilan neto. Artinya kita harus mencari penghasilan neto dulu sebelum menerapkan tarif.
Mencari penghasilan neto caranya dengan mengurangkan penghasilan bruto dikurangi:
biaya jabatan, dan
iuran pensiun yang dibayar pegawai
Biaya jabatan diibaratkan sebagai ongkos-ongkos untuk mendapatkan gaji. Seperti transportasi. Biaya jabatan merupakan bagian dari pengurangan penghasilan bruto yang diperbolehkan secara fiskal.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-16/PJ/2016, besarnya biaya jabatan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun.
Iuran pensiun kenapa jadi pengurang? Bayangkan kita menyisihkan sebagian penghasilan (gaji) kita untuk dinikmati di kemudian hari. Artinya, atas gaji ini belum dikenakan pajak. Gaji ini akan dikenakan pajak saat menerima pensiunan.
Tidak ada batasan jumlah untuk iuran pensiun. Anggap saja tabungan. Jika bayar iuran besar, maka hasilnya akan besar juga. Tetapi jika tidak pernah menyisihkan gaji dengan iuran pensiun maka tidak ada pensiunan.
Iuran pensiun termasuk iuran yang dibayarkan ke BPJS. Tetapi yang menjadi pengurang penghasilan adalah iuran yang dibayarkan oleh pegawai.
Kenapa harus ada PTKP? Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) itu seperti penghasilan minimum untuk hidup. Karena merupakan penghasilan minimum, maka besaran PTKP seharusnya tidak boleh lebih kecil daripada UMR. Minimal sama, atau lebih besar.
Biasanya PTKP ditentukan oleh Menteri Keuangan. Saat ini, 2020, Peraturan Menteri Keuangan No 101/PMK.010/2016 merupakan dasar menentukan besaran PTKP. Menurut peraturan ini, besaran PTKP:
Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Petunjuk umum PER-16/PJ/2016 dan contoh perhitungan PPh Pasal 21atas Pegawai Tetapatas gaji
Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan Pegawai Tetap, terlebih dahulu dihitung seluruh penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya.
Untuk perusahaan yang masuk program BPJS Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JK), dan premi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi pegawai.
Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal 21, premi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai.
Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan biaya jabatan, serta iuran pensiun, iuran Jaminan Hari Tua, dan/atau iuran Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun, yaitu jumlah penghasilan neto sebulan dikalikan 12.
Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak subjektifnya sebagai Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari, maka penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan penghasilan neto sebulan dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan Desember.
Jadi penghasilan setahun berdasarkan jumlah penghasilan yang sebenarnya. Tidak disetahunkan 12 bulan.
Kenapa harus disetahunkan atau dicari gaji setahun? Karena kita akan menghitung PPh orang pribadi. Pajak Penghasilan baik WPOP maupun WP badan terutang untuk tahun per tahun. Tarif Pasal 17 dikenakan untuk penghasilan neto setahun.
Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, yaitu sebesar Penghasilan neto setahun, dikurangi dengan PTKP.
Setelah peroleh PPh terutang dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh terhadap Penghasilan Kena Pajak , selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 sebulan.
Di contoh 5, dokter Aulia Rais menerima penghasilan jasa medis. Penghasilan ini merupakan jasa medis. Besarnya penghasilan berdasarkan pasien yang ditangani oleh dokter.
Kenapa pemotongan PPh Pasal 21-nya tidak digabungkan dengan gaji? Karena:
jasa medis jenis penghasilan berbeda,
perlakuan perpajakannya beda,
penerimanya sebagai profesional sebagai profesi dokter.
Petunjuk umum PER-16/PJ/2016 dan contohPPh Pasal 21 atas gaji mingguan atau harian
Apabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas masa gaji sebulan, maka untuk penghitungan PPh Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut terlebih dahulu dijadikan penghasilan bulanan dengan mempergunakan faktor perkalian sebagai berikut:
Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4;
Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26
Selanjutnya dilakukan penghitungan PPh Pasal 21 sebulan. PPh Pasal 21 ataspenghasilan seminggu dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan kemudian dibagi 4.
Sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung dengan membagi PPh terutang sebulan dibagi 26.
Petunjuk umum PER-16/PJ/2016 dan contohPPh Pasal 21 atas penghasilan yang dirapel
Jika kepada pegawai di samping dibayar gaji bulanan juga dibayar kenaikan gaji yang berlaku surut (rapel), misalnya untuk 5 (lima) bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas rapel tersebut adalah sebagai berikut:
rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel tersebut (dalam hal ini 5 bulan, untuk mencari penghasilan sebulan);
hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum adanya kenaikan gaji, yang sudah dikenakan pemotongan PPh Pasal 21;
PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung kembali atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan;
PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud adalah selisih antara jumlah pajak yang dihitung dengan cara sebagaimana dimaksud pada angka 3 dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud pada angka 2.
Apabila kepada pegawai di samping dibayar gaji yang didasarkan masa gaji kurang dari satu bulan juga dibayar gaji lain mengenai masa yang lebih lama dari satu bulan (rapel) seperti contoh 8, maka cara penghitungan PPh Pasal 21-nya sama dengan contoh 8.
Penghitungan Pph Pasal 21 Atas Uang Pensiun Yang Dibayarkan Secara Berkala
Petunjuk umum PER-16/PJ/2016 PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Teratur bagi Penerima Pensiun Berkala
Perhitungan PPh Pasal 21 untuk pensiunan dibagi 2 cara:
PPh Pasal 21 pada tahun pertama,
PPh Pasal 21 pada tahun kedua, dan seterusnya.
Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun pada tahun pertama pensiun adalah sebagai berikut:
terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun, kemudian dikalikan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan Desember;
penghasilan neto pensiun sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun yang bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 2 tersebut dikurangi dengan PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas Penghasilan Kena Pajak tersebut;
PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara mengurangi PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada angka 3 dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada angka 4 dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud pada angka 1.
Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan untuk tahun kedua dan selanjutnya adalah sebagai berikut:
terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun;
selanjutnya PPh Pasal 21 dihitung dengan cara penghitungan untuk pegawai tetap (pegawai tetap dengan mencapatkan gaji, contoh diatas).
Penghitungan PPh Pasal 21 di Tempat Pemberi Kerja Sebelum Pensiun
Apabila waktu pensiun sudah dapat diketahui dengan pasti pada awal tahun, misalnya berdasarkan ketentuan yang berlaku di tempat pemberi kerja yang dikaitkan dengan usia pegawai yang bersangkutan, maka penghitungan PPh Pasal 21 terutang sebulan dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang akan diperoleh dalam periode di mana pegawai yang bersangkutan akan bekerja dalam tahun berjalan sebelum memasuki masa pensiun.
Namun, apabila waktu pensiun belum dapat diketahui dengan pasti pada waktu menghitung PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada perkiraan penghasilan neto setahun seperti contoh Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai yang Masih Memiliki Kewajiban Pajak Subjektif Berhenti Bekerja pada Tahun Berjalan.
Apabila pemotongan PPh Pasal 21 setiap bulan didasarkan pada penghasilan yang disetahunkan, karena pada saat perhitungan belum diketahui secara pasti saat pensiun atau berhenti bekerja, maka pada saat penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk masa terakhir (saat pensiun atau berhenti bekerja), akan terjadi kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai yang bersangkutan, yang harus dikembalikan oleh pemotong pajak kepada pegawai yang bersangkutan.
Penghitungan PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun yang Membayarkan Uang Pensiun Bulanan Pada Tahun Pertama
Untuk kemudahan dan kesederhanaan bagi pegawai yang pensiun dalam hal yang bersangkutan tidak mempunyai penghasilan selain dari pekerjaan dari satu pemberi kerja dan uang pensiun, Dana Pensiun menghitung pemotongan PPh Pasal 21 atas uang pensiun pada tahun pertama pegawai menerima uang pensiun dengan berdasarkan pada gunggungan penghasilan neto dari pemberi kerja sampai dengan pensiun dan perkiraan uang pensiun yang akan diterima dalam tahun kalender yang bersangkutan.
Agar Dana Pensiun dapat melakukan pemotongan PPh Pasal 21 seperti itu, maka penerima pensiun harus segera menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721 A- 1/1721 A-2) dari pemberi kerja sebelumnya.
Penghitungan PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun yang Membayarkan Uang Pensiun Bulanan Pada Tahun Kedua
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Teratur bagi Pegawai Tetap
Pada contoh sebelumnya, perhitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan pensiunan yang memiliki penghasilan teratur. Nah, berikut ini untuk pegawai tetap tetapi tidak memiliki penghasilan tidak teratur.
Apabila kepada pegawai tetap diberikan: jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, premi, tunjangan hari raya, dan penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali setahun, maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara sebagai berikut:
dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan angka 1 dan angka 2 adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
Contoh PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Teratur Berupa Bonus
Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai yang Dipindahtugaskan Dalam Tahun Berjalan
Pada saat pegawai dipindahtugaskan, pegawai yang bersangkutan tidak berhenti bekerja dari perusahaan tempat dia bekerja. Pegawai yang bersangkutan masih tetap bekerja pada perusahaan yang sama dan hanya berubah lokasinya saja. Dengan demikian dalam penghitungan PPh Pasal 21 tetap menggunakan dasar penghitungan selama setahun.
Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada Bulan Desember atau Masa Pajak Tertentu untuk Pegawai Tetap yang Berhenti Bekerja Sebelum Bulan Desember
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada bulan Desember atau bulan tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebagai berikut:
Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, baik penghasilan yang teratur maupun yang tidak teratur.
PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan Desember atau bulan tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebesar selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai dengan bulan sebelumnya.
Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan sebelumnya tersebut lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, misalnya dalam hal pegawai berhenti bekerja pada pertengahan tahun, atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang berhenti bekerja bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21.
Atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap yang bersangkutan, pemotong pajak dapat memperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan pegawai tetap lainnya dalam Masa Pajak yang sama, sehingga jumlah PPh Pasal 21 yang harus disetor oleh pemotong pajak untuk Masa Pajak tersebut telah mempertimbangkan jumlah kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 yang telah diberikan oleh pemotong pajak kepada pegawai tetap yang berhenti bekerja.
Perhitungan PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan adalah sebagai berikut:
Untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun, namun mulai bekerja setelah bulan Januari atau berhenti bekerja sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, selama pegawai tetap yang bersangkutan bekerja pada pemotong pajak. Tidak disetahunkan
Sedangkan untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya baru dimulai setelah bulan Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, yang disetahunkan.
Contoh PPh Pasal 21 Pegawai Baru Mulai Bekerja Pada Tahun Berjalan
Contoh PPh Pasal 21 Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan
Cara penghitungan seperti contoh 15, berlaku juga bagi pegawai yang kehilangan kewajiban subjektifnya pada tahun berjalan karena meninggal dunia.
Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Sebagian atau Seluruhnya Diperoleh Dalam Mata Uang Asing
PPh Pasal 21 Seluruh atau Sebagian Ditanggung oleh Pemberi Kerja
Dalam hal PPh Pasal 21 atas gaji pegawai ditanggung oleh pemberi kerja, pajak yang ditanggung pemberi kerja tersebut termasuk dalam pengertian kenikmatan.
Ditanggung pemberi kerja artinya bahwa PPh Pasal 21 berupakan beban pemberi kerja. Beban perusahaan. Sebeliknya bagi pegawai merupakan kenikmatan.
Dan karena menjadi tanggungan, maka bukan biaya fiskal bagi perusahaan. Walaupun secara komersial boleh dibiayakan.
Berbeda jika PPh Pasal 21 merupakan tunjangan. Atau PPh Pasal 21 ditunjang oleh perusahaan. Maka PPh Pasal 21 akan menjadi penghasilan bagi pegawai dan biaya secara fiskal bagi perusahaan (pemberi kerja).
PPh Pasal 21 ditunjang perusahaan artinya ada gross-up atas gaji. Karena gaji plus PPh Pasal 21. Cara menghitungnya bisa dipelajari di gadjian.com
PPh Pasal 21 sebesar Rp 1.250,00 ini ditanggung dan dibayar oleh pemberi kerja. Jumlah sebesar Rp1.250,00 tidak dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak kepada Adi Putro.
Namun apabila pemberi kerja adalah Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profil), maka kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemberi kerja ditambahkan ke dalam penghasilan dari pegawai yang bersangkutan, dan penghitungan pajaknya dilakukan sesuai contoh berikut ini.
Pemberikan Natura oleh Perusahaan
Pada umumnya, pemberian natura (bukan uang) oleh perusahaan bukan merupakan biaya. Hal ini diatur di Pasal 9 Undang-Undang PPh. Namun, ada 2 jenis perusahaan yang dibolehkan memberikan natura dan atas pemberian naturan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai, yaitu:
perusahaan yang PPh Badannya dikenakan secara final,
perusahaan yang PPh badannya menggunakan norma penghitungan khusus, seperti diatur di Pasal 15 Undang-Undang PPh.
Kenapa dibolehkan? Sebenarnya dua perusahaan diatas PPh terutangnya ditentukan oleh omset. Dan besar atau kecilnya biaya, tidak berpengaruh kepada PPh badan.
Penghitungan PPh Pasal 21 atas penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya yang diberikan oleh Wajib Pajak yang pengenaan pajak penghasilannya bersifat final atau berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit)
Perhitungan PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap yang baru memiliki NPWP pada tahun berjalan
Pegawai yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan tarif 20% lebih tinggi daripada pegawai yang memiliki NPWP. Pada saat pegawai tidak memiliki NPWP, PPh terutang dikalikan 120%.
Jika pegawai memiliki NPWP pada tahun berjalan, maka ada bulan-bulan yang dikenai tarif 120% tetapi sebagian lagi dikenakan norma. Ketentuan PER-16/PJ./2016 mengharuskan pemberi kerja menganggap (mengasumsikan) bahwa NPWP diterima sejak Januari.
Akibatnya harus menghitung 2 kali. Dan PPh Pasal 21 yang 20% lebih tinggi diakui sebagai PPh Pasal 21 yang sudah disetor. Sehingga bisa jadi malah pada akhir tahun menjadi lebih bayar seperti contoh di bawah ini.
Pada contoh 19 diatas, PT Sumber Melati Diski harus membuat Bukti Potong 1721 – A1 dengan PPh terutang Rp885.000,00. Yaitu dengan mengasumsikan pegawai memiliki NPWP sejak Januari 2016.
Adi Putra Tarigan melaporkan SPT Tahunan 1770S tahun pajak 2016 dengan penghasilan neto Rp71.700.000,00 dan PPh yang sudah dipotong Rp885.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 Dalam Hal Pegawai Memperoleh Kenaikan Gaji
Perhitungan PPh Pasal 21 Selain Pegawai Tetap
Menurut ketentuan PPh Pasal 21, pegawai tetap atau selain pegawai tetap ditentukan oleh penghasilan yang diterima. Jika pegawai tersebut memperoleh penghasilan yang rutin, maka pegawai tersebut disebut pegawai tetap.
Saya kutip lagi definisi munurut PER-16/PJ./2016:
Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur.
Tenaga Kerja Lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
Penerima penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.
Perbedaan terpenting penghitungan PPh Pasal 21 antara pegawai tetap dengan selain pegawai tetap adalah Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun. Selain pegawai tetap tidak ada biaya jabatan.
Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah Satuan, Upah Borongan, Uang Saku Harian atau Mingguan:
Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 Upah Harian
Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 Upah Satuan
Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 Borongan
Mantan Pegawai (Pensiunan)
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan kepada mantan pegawai
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai
Honorarium Komisaris
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium komisaris yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap
Berdasarkan penjelasan diatas, perbedaan pegawai tetap atau pegawai bukan tetap bagi komisiaris adalah pembayaran honorarium sebagai komisaris.
Jika honorarium dibayar satu kali, maka honorarium langsung dikalikan dengan tarif. Tetapi jika dibayar lebih dari 2x, maka PPh Pasal 21 seperti pegawai tetap.
Penghitungan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Yang Diterima Oleh Bukan Pegawai
Penghitungan PPh Pasal 21 yang diterima oleh bukan pegawai dibagi tiga, yaitu:
bukan pegawai yang menerima penghasilan berkesinambungan;
bukan pegawai yang menerima penghasilan berkesinambungan dan memiliki penghasilan lain; atau
bukan pegawai yang menerima penghasilan tidak berkesinambungan.
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter yang praktik di rumah sakit dan/atau klinik. Contoh berkesinambungan.
Contoh perhitungan PPh Pasal 21 atas komisi yang dibayarkan kepada petugas dinas luar asuransi (bukan sebagai pegawai perusahaan asuransi). Contoh berkesinambungan.
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh bukan pegawai yang menerima penghasilan yang tidak bersifat berkesinambungan
Nashrun Berlianto melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT Cahaya Kurnia dengan fee sebesar Rp5.000,000,00. Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar: 5% x 50% Rp5.000.000,00 = Rp125.000,00
Dalam hal Nashrun Berlianto tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi sebesar 120% x 5% x 50% Rp5.000.000,00 = Rp150.000,00
Contoh lain:
Contoh Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Yang Diterima Oleh Bukan Pegawai, Sehubungan Dengan Pemberian Jasa Yang Dalam Pemberian Jasanya Mempekerjakan Orang Lain Sebagai Pegawainya Dan/Atau Melakukan Penyerahan Material/Bahan
Dedy Efriliansyah melakukan jasa perawatan AC kepada PT Wahana Jaya dengan imbalan Rp 10.000.000,00. Dedy Efriliansyah mempergunakan tenaga 5 orang pekerja dengan membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp 180.000,00. Upah harian yang dibayarkan untuk 5 orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp4.500.000,00. Selain itu, Dedy Efriliansyah membeli spare part AC yang dipakai untuk perawatan AC sebesar Rp 1.000.000,00.
Jadi, objek PPh Pasal 21 hanya untuk upah saja. Biaya bahan baku atau upah untuk pekerja lain yang dipekerjakan menjadi pengurang penghasilan bruto.
Peserta Kegiatan
Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Sony Gemilang adalah seorang atlet bulutangkis profesional Indonesia yang bertempat tinggal di Jakarta. Ia menjuarai turnamen Indonesia Grand Prix Gold dan memperoleh hadiah sebesar Rp200.000.000,00.
PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen Indonesia Grand Prix Gold tersebut adalah:
5% X Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15% X Rp 150.000.000,00 = Rp 22.500.000,00 Total PPh Pasal 21 Rp 25.000.000,00
Kriteria, bukti pungut, cara bayar, dan cara lapor PPN PMSE
Direktur Jenderal Pajak telah mengatur kriteria tertentu yang diwajibkan untuk memungut PPN PMSE. Kriteria Pemungut PPN PMSE yaitu penjualan sebulan Rp50.000.000,00 atau pengakses dari Indonesia sekurang-kurangnya 1000 pengunjung se bulan.
Pemungut PPN PMSE
Pemungut PPN PMSE adalah Pelaku Usaha PMSE yang ditunjuk oleh Menteri untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui PMSE.
PMSE adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui Sistem elektronik.
PPN PMSE merupakan penerapan equal treatment antara pedagang dalam negeri versus pedagang luar negeri.
Pemungut PPN PMSE berada di luar negeri. Sebelum ada Undang-Undang nomor 2 tahun 2020, pedagang luar negeri tidak diwajibkan memungut PPN di Indonesia. Padahal mereka berjualan dan mendapatkan konsumen dari Indonesia.
PPN menganut prinsip destinasi. Artinya, dikenakan dimana barang dan/jasa dikonsumsi. Karena prinsip destinasi, maka tarif ekspor 0% sebaliknya impor 10%.
Pedagang barang tidak berwujud yang berada di luar negeri, saat menjual barangnya di Indonesia harusnya dikenakan PPN 10%. Ini mirip impor barang.
Hanya saja, karena barangnya tidak berwujud tidak ada petugas yang memaksa untuk bayar PPN. Berbeda dengan impor barang berwujud yang saat impor akan dipaksa bayar PPN oleh petugas Bea dan Cukai (customs).
Undang-Undang nomor 2 tahun 2020 kemudian memberikan beban kepada pedagang barang tidak berwujud di Luar Negeri untuk bayar PPN di Indonesia. Agar ketentuan ini memiliki kekuatan, kemudian undang-undang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan teguran kepada pedagang, dan meminta pemutusan hak akses (blokir).
Kriteria Wajib Pungut
Direktur Jenderal Pajak menunjuk Pelaku Usaha PMSE sebagai Pemungut PPN PMSE. Pelaku Usaha PMSE sebagai Pemungut PPN jika telah memenuhi batasan kriteria tertentu, yaitu:
nilai transaksi dengan Pembeli di Indonesia melebihi Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun atau Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) bulan; dan/ atau
jumlah trafficatau pengakses di Indonesia melebihi 12.000 (dua belas ribu) dalam 1 (satu) tahun atau 1.000 (seribu) dalam 1 (satu) bulan.
Berbeda dengan sistem pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) yang mewajibkan kepada pengusaha untuk daftar dikukuhkan, sistem penunjukkan Pemungut PPN PMSE ditunjuk langsung. Tetapi dibuka opsi yang daftar secara sukarela.
Baik penunjukkan maupun pencabutan dilakukan oleh kantor pajak. Menurut PER-07/PJ/2020 kantor pajak yang melakukan penunjukkan Pemungut PPN PMSE adalah KPP Badora.
Pemungut PPN PMSE diberikan nomor identitas perpajakan sebagai sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Pemungut PPN PMSE dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
Pasal 7 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-12/PJ/2020
Setelah ditunjuk oleh kantor pajak, Pemungut PPN PMSE wajib melakukan aktivasi akun dan pemutakhiran data secara online melalui aplikasi atau sistem yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak paling lama sebelum penunjukan sebagai Pemungut PPN PMSE mulai berlaku.
Objek PPN
PPN dikenakan atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui PMSE
Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan nomor 48/PMK.03/2020
Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud meliputi:
penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
penggunaan pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
penggunaan bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3,
penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
perolehan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Pemungutan PPN
Pemungutan PPN PMSE dilakukan pada saat konsumen di Indonesia bayar BKP tidak berwujud atau JKP. Yang menarik adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak menentukan dasar pengenaan (DPP) PPN. Pasal 10 ayat (2) mengatur:
Dasar Pengenaan Pajak adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar oleh Pembeli, tidak termasuk PPN yang dipungut.
Saya memahami bahwa saat konsumen bayar Rp10 juta ke luar negeri, menurut peraturan ini jumlah Rp10 juta tidak termasuk PPN. Sehingga pedagang PMSE di luar negeri wajib bayar Rp1 juta untuk PPN.
Jadi harga yang tertera di laman atau web dan dibayar oleh konsumen di Indonesia harus dibaca belum termasuk PPN. Ini berbeda dengan harga di toko fisik yang ada di Indonesia.
Mungkin alasan (harus dibaca belum termasuk PPN) karena biasanya pedagang memajang harga berlaku untuk semua negara. Tidak spesifik di Indonesia. Jika memang begini, masuk akal harus dibaca belum termasuk PPN. Karena tidak semua negara menerapkan PPN. Atau walaupun menerapkan PPN, tetapi tarifnya beda-beda.
Bukti Pungut PPN PMSE
Bukti pungut PPN dapat berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis, yang menyebutkan pemungutan PPN dan telah dilakukan pembayaran.
Commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis, merupakan dokumen yang dibuat sesuai dengan kelaziman usaha Pemungut PPN PMSE.
Bukti pungut PPN PMSE merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sepanjang mencantumkan:
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli di Indonesia; atau
alamat posel (email) Pembeli yang terdaftar pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
Pembeli BKP tidak berwujud yang berstatus sebagai PKP dan akan mengkreditkan pajak masukkannya harus meminta mencantumkan nama dan NPWP di dokumen Pemungut PPN PMSE.
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak sebagai Pembeli bermaksud untuk mengkreditkan PPN yang dibayar sebagaimana tercantum dalam bukti pungut PPN, Pengusaha Kena Pajak harus memberitahukan keterangan berupa nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak kepada Pemungut PPN PMSE untuk dicantumkan dalam bukti pungut PPN.
Pasal 12 ayat (5) Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-12/PJ/2020
Penyebutan pemungutan PPN dalam bukti pungut PPN dapat dicantumkan:
secara terpisah dari Dasar Pengenaan Pajak; atau
sebagai bagian dari nilai pembayaran.
Penyetoran PPN PMSE
Pemungut PPN PMSE wajib menyetorkan PPN yang dipungut untuk setiap Masa Pajak paling lama diterima oleh bank/ pos persepsi atau lembaga persepsi lainnya pada akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Prosedur pembayaran PPN PMSE sama seperti pembayaran pajak lainnya. Dimulai dengan membuat kode billing yang diterbitkan oleh DJP. Jadi Pemungut PPN PMSE harus mengakses aplikasi kode billing yang disediakan Direktorat Jenderal Pajak.
Ketentuan yang spesifik pembayaran PPN PMSE adalah mata uang. Pemungut dapat membayar PPN PMSE dengan rupiah, atau mata uang asing seperti US Dollar, atau mata uang lainnya yang ditetapkan Dirjen Pajak.
Pelaporan PPN PMSE
Pemungut PPN PMSE wajib melaporkan PPN yang telah dipungut dan yang telah disetor, secara triwulanan untuk periode 3 (tiga) Masa Pajak, paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir.
Triwulan I untuk masa pajak Januari, Februari, dan Maret. Triwulan II untuk masa pajak April, Mei, dan Juni. Triwulan III untuk masa pajak Juli, Agustus, dan September. Dan triwulan IV untuk masa pajak Oktober, Nopember, dan Desember.
Laporan PPN PMSE sekurang-kurangnya harus memuat (melaporkan):
jumlah Pembeli;
jumlah pembayaran, tidak termasuk PPN yangdipungut;
jumlah PPN yang dipungut; dan
jumlah PPN yang telah disetor.
Laporan ini diperlakukan sebagai SPT Masa PPN PMSE. Karena diperlakukan sebagai SPT, maka SPT Masa PPN PMSE juga dapat nihil, kurang bayar, atau lebih bayar. Jika lebih bayar, dapat dikompensasi ke masa pajak berikutnya. Mungkin kelebihan ini karena salah tarif. Karena SPT Masa PPN PMSE tidak ada pajak masukan.
Selain SPT Masa PPN PMSE, kantor pelayanan pajak (mungkin Badora) dapat meminta Laporan Tahunan PPN PMSE. Laporan tahunan harus memuat:
nomor dan tanggal bukti pungut PPN;
jumlah pembayaran, tidak termasuk PPN yang dipungut, pada setiap bukti pungut PPN;
jumlah PPN yang dipungut pada setiap bukti pungut PPN;
nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli, dalam hal bukti pungut PPN mencantumkan nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli; dan
nomor telepon, alamat posel (emaiij, atau identitas lain Pembeli.
Tata cara pendaftaran NPWP Online yang baru berdasarkan PER-04/PJ/2020.
Data otoritas pajak semakin tersambung dengan data otoritas catatan sipil. Hal ini memudahkan Wajib Pajak untuk membuat NPWP.
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
Jadi, NPWP sekedar nomor untuk identitas Wajib Pajak
Karena sekedar nomor, sebenarnya tidak perlu ada fisik kartu NPWP. Hanya saja di tempat lain, selain kantor pajak, seringkali diperlukan copy kartu NPWP. Tetapi dengan teknologi digital yang semakin merambah semua lini, nantinya yang diperlukan cukup nomor saja.
Tempat Pendaftaran NPWP
Walaupn daftar NPWP secara online, tetapi setiap NPWP akan terdaftar di KPP tertentu. KPP adalah kantor pajak yang secara administrasi mengawasi kepatuhan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak yang terdaftar.
Wajib Pajak berikut ini wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi, yaitu:
Wajib Pajak orang pribadi;
Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi;
Wajib Pajak Badan; dan
Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Tempat tinggal orang pribadi ditentukan sebagai berikut:
tempat tinggal tetap orang pribadi beserta keluarganya;
tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan;
tempat orang pribadi lebih lama tinggal dalam kurun waktu 1 (satu) tahun kalender terakhir, dalam hal tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan sebagaimana dimaksud pada angka 2tidak dapat ditentukan.
Warisan yang belum terbagi wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan.
Dalam prakteknya, jika Wajib Pajak orang pribadi meninggal dan meninggalkan warisan yang belum dibagi maka NPWP orang pribadi tersebut diteruskan dan kewajibannya ditunaikan oleh salah satu ahli waris.
Kedudukan Wajib Pajak badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya, yakni:
tempat kantor pimpman serta pusat administrasi dan keuangan berada;
tempat kantor pimpinan serta pusat administrasi dan keuangan berada menurut keadaan yang sebenarnya;
tempat kantor pimpinan berada, dalam hal tempat kantor pimpinan terpisah dari tempat pusat administrasi dan keuangan serta tempat menjalankan kegiatan usaha; atau
tempat menjalankan kegiatan usaha, bagi Wajib Pajak Badan yang bergerak di sektor usaha tertentu yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak
Syarat-syarat diatas adalah syarat alternatif. Artinya bisa dipilih salah satu saja dimana akan didaftarkan.
Dokumen yang akan jadi acuan pusat administrasi dan keuangan, atau tempat usahanya, yaitu:
akta atau dokumen pendirian dan perubahannya;
surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
dokumen izin usaha dan/atau kegiatan;
surat keterangan tempat kegiatan usaha; atau
perjanjian kerja sama bagi bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
Tempat kedudukan instansi pemerintah ditentukan sebagai berikut:
tempat kantor kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat berada, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
tempat kantor kepala Instansi Pemerintah Daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah berada, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
tempat kantor kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa berada, untuk Instansi Pemerintah Desa.
Tempat kedudukan di atas disebut juga dengan pusat, atau NPWP pusat. Selain NPWP pusat, wajib pajak juga wajib mendaftarkan NPWP cabang.
Wajib Pajak wajib mendaftarkan NPWP cabang di setiap tempat kegiatan usaha dapat berupa:
lokasi usaha,
kantor cabang perusahaan,
kantor perwakilan,
gudang,
unit pemasaran, atau
tempat kegiatan usaha sejenis,
yang digunakan untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, atau manajemen.
NPWP Bagi Istri Kawin dan Anak Yang Belum Dewasa
Undang-Undang PPh menghendaki bahwa satu keluarga sebagai satu entitas. Karena itu, 1 keluarga cukup 1 NPWP. Namun demikian, masih diperbolehkan jika istri mau pisah harta dan memiliki NPWP sendiri. Sehingga 1 keluarga ada 2 NPWP.
Terhadap wanita kawin yang telah memiliki NPWP, namun menghendaki pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabung dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suami, atas NPWP wanita kawin tersebut dilakukan penghapusan NPWP.
Pasal 7 ayat (1) PER-04/PJ/2020
Walaupun pada umumnya 1 keluarga 1 NPWP, tetapi kondisi di bawah ini mengharuskan istri kawin memiliki NPWP terpisah, yaitu:
hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim;
melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis;
memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta; atau
bercerai
Dalam hal suami meninggal dunia, dan terdapat harta yang belum dibagi, maka NPWP suami tersebut dilanjutkan oleh istri. NPWP suami tersebut berlaku juga untuk anak yang belum dewasa. Hal ini diatur di Pasal 7 ayat (2) PER-04/PJ/2020.
Menurut peraturan ini, anak yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan, tidak dapat mendaftarkan dirinya untuk memperoleh NPWP atas nama dirinya sendiri.
Wanita kawin dan anak yang belum dewasa dapat mengajukan permintaan pencetakan Kartu NPWP dengan menggunakan NPWP suami (ayah) dan mencantumkan nama dirinya sendiri.
Pencetakan kartu NPWP biasanya diperlukan jika istri bekerja. Tempat dia bekerja meminta kartu NPWP yang nama pegawai tercantum di kartu NPWP tersebut.
Persyaratan Daftar NWP
Pendaftaran NPWP dilakukan secara online. Laman pendaftara NPWP yaitu ereg.pajak.go.id
tampilan laman ereg.pajak.go.id
Sebelum daftar NPWP, berikut ini persyaratan yang harus dipersiapkan. Persyaratan ini berdasarkan PER-04/PJ./2020.
Persyaratan NPWP Wajib Pajak Orang Pribadi
Wajib Pajak orang pribadi baik yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas maupun yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, persyaratan yang harus disiapkan yaitu:
bagi Warga Negara Indonesia, yaitu fotokopi KTP; atau
bagi Warga Negara Asing, yaitu: fotokopi paspor; dan fotokopi Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP).
Ya, cukup nomor KTP sebenarnya. Sistem registrasi akan melakukan validasi data ke database kependudukan. Untuk keseragaman, NIK (nomor KTP) yang sama akan muncul nama sesuai dengan KTP. Atau nama di NPWP akan sama dengan nama di KTP.
Wajib Pajak wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta atau memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya, persyaratan yang diperlukan berupa:
fotokopi KTP;
fotokopi Kartu NPWP suami, dalam hal suami merupakan Warga Negara Indonesia, atau fotokopi paspor, dalam hal suami merupakan subjek pajak luar negeri;
fotokopi kartu keluarga, akta perkawinan, atau dokumen sejenisnya; dan
fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau surat pernyataan menghendaki melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami.
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia, dan memiliki warisan yang belum dibagi makah kewajiban pajaknya dilakukan oleh ahli waris. Menggunakan NPWP yang meninggal.
Namun, dalam hal ahli waris mau membuat NPWP khusus untuk warisan yang belum dibagi maka dimungkinkan. Berikut persyaratannya:
fotokopi akta kematian, surat keterangan kematian, atau dokumen lain yang dipersamakan dari Wajib Pajak orang pribadi yang meninggal dunia;
dokumen yang menunjukkan kedudukan sebagai wakil Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.
Dokumen kedudukan sebagai wakil dapat berupa:
fotokopi Kartu NPWP salah satu ahli waris, dalam hal warisan yang belum terbagi diwakili oleh salah satu ahli waris;
fotokopi akta wasiat, surat wasiat, atau dokumen lain yang dipersamakan, dan fotokopi Kartu NPWP pelaksana wasiat, dalam hal warisan yang belum terbagi diwakili oleh pelaksana wasiat; atau
fotokopi dokumen penunjukan pihak yang mengurus harta peninggalan dan fotokopi Kartu NPWP pihak yang mengurus harta peninggalan, dalam hal warisan yang belum terbagi diwakili oleh pihak yang mengurus harta peninggalan.
Dalam hal NIK yang tercantum pada KTP telah tervalidasi dengan basis data kependudukan, permohonan pendaftaran Wajib Pajak tidak perlu dilampiri fotokopi KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 9 ayat (6) PER-04/PJ./2020
Persyaratan NPWP Badan
Wajib Pajak badan dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
Wajib Pajak yang profit oriented,
Wajib Pajak yang non profit oriented, dan
Wajib Pajak kerja sama operasi (KSO).
Persyaratan NPWP bagi Wajib Pajak Badan baik yang berorientasi ada profit (profit oriented) maupun yang tidak berorientasi pada profit (non profit oriented), yaitu:
fotokopi dokumen pendirian badan usaha, berupa: akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahannya, bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri; atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat, bagi bentuk usaha tetap atau kantor perwakilan perusahaan asing;
dokumen yang menunjukkan identitas diri seluruh pengurus Badan, meliputi: bagi Warga Negara Indonesia, yaitu fotokopi Kartu NPWP; dan bagi Warga Negara Asing, yaitu: bagi Warga Negara Asing, yaitu fotokopi paspor dan fotokopi NPWP jika punya.
Sejak 2018, pemberian NPWP Wajib Pajak badan dapat dilakukan bersamaan dengan pengajuan akta pendirian ke Direktorat Administrasi Hukum Umum (AHU) oleh notaris. Sebelumnya saya sudah memposting Buat NPWP Badan Sekarang Bisa Oleh Notaris.
Persyaratan NPWP badan bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), berupa:
fotokopi perjanjian kerjasama atau akta pendirian sebagai bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
fotokopi Kartu NPWP masing-masing anggota bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) yang diwajibkan untuk memiliki NPWP;
dokumen yang menunjukkan identitas diri pengurus bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) dan salah satu pengurus dari masing-masing perusahaan anggota bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) berupa fotokopi NPWP dan/atau paspor.
dokumen yang menunjukkan identitas diri pimpman cabang atau penanggung jawab cabang, meliputi: fotokopi Kartu NPWP; atau paspor
Setelah Wajib Pajak mengisi aplikasi registrasi dan mengunggah dokumen yang dipersyaratkan, maka kantor pajak akan melakukan penelitian atas kelengkapan tersebut. Kantor pajak akan melakukan penelitian dalam 1 hari kerja saja.
Setelah melakukan penelitian, Wajib Pajak dapat ditetapkan sebagai NPWP aktif atau NPWP Non-Efektif (NE).
Kantor pajak akan menetapkan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Non-Efektif serta menerbitkan Kartu NPWP, SKT, dan Surat Pemberitahuan Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif, dalam hal terjadi:
dokumen persyaratan yang diunggah (upload) tidak memenuhi ketentuan; atau
dokumen persyaratan yang diunggah (upload) memenuhi ketentuan dan Wajib Pajak memilih belum akan melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan pada Formulir Pendaftaran Wajib Pajak (memilih ditetapkan sebagai Wajib Pajak Non-Efektif), untuk Wajib Pajak orang pribadi.
Kantor pajak dapat juga melakukan penghapusan NPWP atas NPWP yang telah diterbitkan secara otomatis dan menerbitkan Surat Keputusan Penghapusan NPWP, dalam hal Wajib Pajak telah terdaftar (telah memiliki NPWP atau NPWP ganda).
Walaupun pendaftaran NPWP melalui online, tetapi pendaftaran NPWP dapat juga dilakukan langsung ke kantor pajak. Kartu NPWP akan diberikan langsung pada hari yang sama.
Bahkan selain langsung menerima kartu NPWP, pendaftaran yang langsung ke kantor pajak juga akan diberikan EFIN yang sudah diaktivasi. Sehingga wajib pajak dapat langsung daftar di DJP Online dan login di pajak.go.id
Update Data NPWP
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan perubahan (update) data Wajib Pajak dalam hal:
data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya; dan
perubahan data dimaksud tidak mengakibatkan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar.
Perubahan data NPWP dapat dilakukan baik dengan permohonan Wajib Pajak maupun dengan penelitian oleh petugas pajak.
Perubahan data untuk Wajib Pajak orang pribadi meliputi:
perubahan identitas Wajib Pajak;
perubahan alamat tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, dalam wilayah kerja KPP yang sama;
perubahan sumber penghasilan Wajib Pajak;
perubahan Wajib Pajak menjadi Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi; atau
terdapat kesalahan tulis data Wajib Pajak pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
Termasuk update data untuk Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi:
perubahan wakil Wajib Pajak;
perubahan alamat tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dalam wilayah kerja KPP yang sama;
perubahan sumber penghasilan Wajib Pajak; atau
terdapat kesalahan tulis data Wajib Pajak pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
Sedangkan bagi Wajib Pajak badan, termasuk update data NPWP yaitu:
perubahan identitas Wajib Pajak yang tidak mengubah bentuk badan hukum;
perubahan alamat tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dalam wilayah kerja KPP yang sama;
perubahan jenis kegiatan usaha Wajib Pajak;
perubahan struktur permodalan atau kepemilikan Wajib Pajak Badan yang tidak mengubah bentuk badan hukum;
terdapat kesalahan tulis data Wajib Pajak pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak; atau
terdapat perbedaan antara data terkait kategori dan/atau bentuk badan pada basis data perpajakan, dengan kategori dan/atau bentuk badan usaha Wajib Pajak yang sebenarnya dan yang seharusnya tercatat dalam basis data perpajakan dari sejak terdaftar sesuai dengan dokumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
Permohonan perubahan data dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen pendukung yang menunjukkan adanya perubahan tersebut.
Perubahan dilakukan melalui saluran elektronis, yaitu:
Aplikasi Registrasi ereg.pajak.go.id
contact center seperti Kring Pajak 1500200; dan/ atau
saluran tertentu lainnya.
Pemindahan Tempat Wajib Pajak Terdaftar
Pemindahan tempat wajib pajak terdaftar dapat dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan jabatan. Pemindahan tempat yang dimaksud adalah pemindahan KPP terdaftar untuk NPWP pusat.
Sedangkan NPWP cabang bukan pemindahan. Jika memang pindah maka NPWP lama dihapus, kemudian daftar di tempat baru.
Pendaftaran Wajib Pajak cabang di KPP baru dilakukan tanpa menunggu penghapusan NPWP Cabang di KPP lama.
Permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar secara elektronik (aplikasi registrasi ereg.pajak.go.id) dilakukan dengan cara:
mengisi dan menyampaikan Formulir Pemindahan Wajib Pajak; dan
mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen pendukung
Kepala KPP lama dapat melakukan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar secara jabatan dengan menerbitkan Surat Pindah berdasarkan penelitian KPP lama atau KPP baru bahwa tempat tinggal atau tempat kedudukan menurut keadaan yang sebenamya tidak berada lagi di wilayah kerja KPP lama.
Dalam hal Wajib Pajak yang berstatus sebagai pusat dan telah dikukuhkan sebagai PKP melakukan pemindahan tempat terdaftar ke KPP lain, KPP Lama tidak melakukan pencabutan pengukuhan PKP dan tanggal pengukuhan PKP tidak berubah.
SE-27/PJ/2020
Berdasarkan informasi pemindahan Wajib Pajak atau tembusan Surat Pindah dari KPP lama, KPP baru melakukan penelitian lapangan terhadap Wajib Pajak yang berstatus PKP dan memiliki Akun PKP aktif dalam rangka menguji kebenaran tempat kegiatan usaha, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah penerbitan Surat Pindah dari KPP Lama.
Wajib Pajak yang memiliki utang pajak pada tanggal mulai terdaftar di KPP Baru, KPP Baru melakukan tindakan penagihan.
Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif
Kantor pajak dapat menetapkan Wajib Pajak Non-Efektif, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan.
Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif dilakukan atas Wajib Pajak yang memenuhi kriteria:
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang secara nyata tidak lagi melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan penghasilannya di bawah PTKP;
Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada huruf b yang memiliki NPWP untuk digunakan sebagai syarat administratif antara lain guna memperoleh pekerjaan atau membuka rekening keuangan;
Wajib Pajak orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan yang telah dibuktikan menjadi subjek pajak luar negeri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan tidak bermaksud meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan penghapusan NPWP dan belum diterbitkan keputusan;
Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT dan/atau tidak ada transaksi pembayaran pajak baik melalui pembayaran sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain, selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan mengenai kelengkapan dokumen pendaftaran NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7);
Wajib Pajak yang tidak diketahui alamatnya berdasarkan penelitian lapangan;
Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP Cabang secara jabatan dalam rangka penerbitan SKPKB Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri;
Instansi Pemerintah yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak namun belum dilakukan penghapusan NPWP; atau
Wajib Pajak selain sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 10 yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif tetapi belum dilakukan penghapusan NPWP.
Permohonan NPWP NE dapat dilakukan melalui saluran elektronis, yaitu:
Aplikasi Registrasi ereg.pajak.go.id
contact center seperti Kring Pajak 1500200; dan/ atau
saluran tertentu lainnya.
Wajib Pajak dengan NPWP Pusat tidak dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Non-Efektif, dalam hal masih memiliki NPWP Cabang yang berstatus aktif.
Wajib Pajak berstatus PKP dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Non-Efektif setelah dilakukan pencabutan pengukuhan PKP terlebih dahulu.
Namun demikian, apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan penghapusan NPWP, terhadap Wajib Pajak dilakukan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif secara jabatan tanpa terlebih dahulu dilakukan pencabutan pengukuhan PKP.
Kantor pajak dapat melakukan pengaktifan kembali Wajib Pajak Non-Efektif secara jabatan dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Non-Efektif jika terdapat hal-hal sebagai berikut:
Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa atau SPT Tahunan;
Wajib Pajak melakukan pembayaran pajak;
Wajib Pajak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
Wajib Pajak diketahui atau ditemukan alamatnya; atau
Wajib Pajak melakukan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya.
Permohonan pengaktifan kembali oleh Wajib Pajak dapat dilakukan melalui saluran elektronik, yaitu melalui aplikasi registrasi ereg.pajak.go.id atau melalui Kring Pajak 1500200.
Persyaratan Penghapusan NPWP
Pada dasarnya, NPWP berlaku seumur hidup. Untuk Wajib Pajak orang pribadi maka NPWP hanya dapat dihapus jika terdapat akta kematian. Sedangkan untuk Wajib Pajak badan, NPWP hanya dapat dihapus jika terdapat akta notaris likuidasi.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-04/PJ./2020 mengatur kriteria penghapusan NPWP, yaitu:
Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham atau pemilik, dan pegawai yang telah diberikan NPWP dan penghasilan netonya tidak melebihi PTKP;
wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan serta tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya;
wanita kawin yang memiliki NPWP berbeda dengan NPWP suami dan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suaminya;
anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, yang telah memiliki NPWP;
Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dalam hal warisan telah selesai dibagi;
Wajib Pajak cabang yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi atau ditutup, atau tempat kegiatan usahanya pindah ke wilayah kerja KPP lain;
Wajib Pajak Badan dilikuidasi atau dibubarkan karena penghentian atau penggabungan usaha;
Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia;
Instansi Pemerintah yang sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP, tidak termasuk NPWP Cabang.
Permohonan penghapusan NPWP diajukan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, wakil, atau kuasa Wajib Pajak.
Termasuk pihak yang dapat mengajukan permohonan penghapusan NPWP, yaitu:
bagi Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, yaitu keluarga sedarah atau semenda;
bagi Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya , yaitu seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP;
bagi Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dalam hal warisan telah selesai dibagi, yaitu salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, pihak yang mengurus harta peninggalan, atau kuasa dari wakil Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi; atau
bagi Instansi Pemerintah, yaitu penanggung jawab proses likuidasi Instansi Pemerintah.
Dalam hal Wajib Pajak memiliki NPWP Cabang, permohonan penghapusan NPWP Pusat juga merupakan permohonan penghapusan bagi seluruh NPWP Cabang.
Dokumen yang diperlukan untuk permohonan penghapusan NPWP
Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, dokumen yang diperlukan berupa:
surat keterangan kematian atau dokumen sejenis dari instansi yang berwenang; dan
surat pernyataan dari wakil Wajib Pajak yang menyatakan bahwa Wajib Pajak tidak meninggalkan warisan.
Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya,dokumen yang diperlukan berupa dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak telah meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya.
Wanita kawin yang memiliki NPWP terpisah dari suaminya, dokumen yang diperlukan berupa:
fotokopi buku nikah atau dokumen sejenis; dan
surat pernyataan dari wanita kawin tersebut bahwa: tidak membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suami.
Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dalam hal warisan telah selesai dibagi, dokumen yang diperlukan untuk penghapusan NPWP berupa surat pernyataan dari wakil Wajib Pajak yang menyatakan bahwa warisan sudah terbagi dengan menyebutkan ahli waris.
Wajib Pajak cabang yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi atau ditutup, atau tempat kegiatan usahanya pindah ke wilayah kerja KPP lain, dokumen yang diperlukan untuk penghapusan NPWP cabang berupa surat pernyataan di atas meterai dari salah satu pengurus Wajib Pajak pusat yang menyatakan bahwa Wajib Pajak cabang tidak melakukan kegiatan usaha lagi atau ditutup, atau tempat kegiatan usahanya pindah ke wilayah kerja KPP lain.
Wajib Pajak Badan yang dilikuidasi atau dibubarkan, dokumen yang diperlukan untuk penghapusan NPWP badan berupa fotokopi akta pembubaran Badan atau dokumen sejenis yang telah disahkan oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Artinya, NPWP badan dapat dihapus jika sudah ada akta pembubaran yang telah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia, berupa fotokopi dokumen penghentian kegiatan usaha tersebut.
Permohonan penghapusan NPWP dapat dilakukan melalui aplikasi registrasi ereg.pajak.go.id
Formulir-Formulir
Pada dasarnya semua permohonan dapat dilakukan langsung ke KPP dengan mengisi formulir yang sudah ditentukan.
Namun, dalam uraian diatas saya selalu mengarahkan permohonan melalui saluran laman ereg.pajak.go.id
Walaupun demikian, jika Wajib Pajak bermaksud datang langsung ke kantor pajak, baik untuk dipersiapkan formulirnya. Berikut permulir terkait yang mungkin diperlukan:
Formulir Permohonan Pendaftaran NPWP orang pribadi:
Turunan pertama Perpu 1 tahun 2020 di bidang pajak.
Sebentar lagi, mulai 1 Juli 2020, Indonesia akan menerapkan PPN bagi ekonomi digital. Pasca Perpu nomor 1 tahun 2020, Indonesia memiliki dasar hukum kuat untuk memajaki ekonomi digital. Platform digital sebentar lagi diwajibkan untuk pungut PPN.
Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Peraturan menteri keuangan ini didasarkan pada kewenangan yang diberikan Pasal 6 ayat (13) huruf a Perpu nomor 1 tahun 2020 yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai: tata cara penunjukan, pemungutan, dan penyetoran, serta pelaporan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.”
Perpu nomor 1 tahun 2020 sekarang menjadi Undang-Undang nomor 2 tahun 2020
Saya kutip dulu landasan di Perpu nomor 1 tahun 2020:
Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri, yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Pasal 6 ayat (3) Perpu 1 tahun 2020.
Pelaku ekonomi digital yang disebutkan di ayat ini adalah
pedagang luar negeri,
penyedia jasa luar negeri,
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri
Objek PPN Platform Digital
Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan nomor 48/PMK.03/2020 berbunyi, “PPN dikenakan atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui PMSE.“
Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud meliputi:
penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
penggunaan pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
penggunaan bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3,
penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
perolehan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Contoh pemanfaatan BKP Tidak Berwujud platform digital yaitu streaming music, streaming film, aplikasi dan games digital, serta jasa online dari luar negeri.
Penggunaan bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3 berupa:
penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi.
Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) termasuk juga pemanfaatan Barang Digital. Pemanfaatan JKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) termasuk juga pemanfaatan Jasa Digital.
Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan nomor 48/PMK.03/2020
Pemungut PPN Platform Digital
Pemungut PPN dalam Undang-Undang PPN disebut Pengusaha Kena Pajak (PKP). Peraturan Menteri Keuangan nomor 48/PMK.03/2020 menentukan kriteria yang wajib dikukuhkan sebagai PKP, yaitu:
nilai transaksi dengan Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa di Indonesia melebihi jumlah tertentu dalam 12 (dua belas) bulan; dan/atau
jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu dalam 12 (dua belas) bulan.
Pengusaha platform digital tidak harus menerbitkan faktur pajak. Sehingga tidak wajib untuk mendapatkan faktur pajak elektronik (efaktur).
Bukti pungut PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis, yang menyebutkan pemungutan PPN dan telah dilakukan pembayaran.
Pasal 7 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 48/PMK.03/2020
Bukti pungut PPN seperti commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis, merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dibuat berdasarkan pedoman yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak
Konsumen di Indonesia
PPN adalah pajak atas barang dan jasa yang dikonsumsi di Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan nomor 48/PMK.03/2020 mengatur apa yang dimaksud konsumen di Indonesia.
Pembeli atau penerima jasa di Indonesia berupa orang pribadi atau badan dengan kriteria:
bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia;
melakukan pembayaran menggunakan fasilitas debit, kredit, dan/atau fasilitas pembayaran lainnya yang disediakan oleh institusi di Indonesia; dan/atau
bertransaksi dengan menggunakan alamat internet protocol di Indonesia atau menggunakan nomor telepon dengan kode telepon negara Indonesia.
Bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia maksudnya:
alamat korespondensi atau penagihan Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa terletak/berlokasi/berada di Indonesia; dan/atau
pemilihan negara saat registrasi di laman dan/atau sistem yang disediakan dan/atau ditentukan oleh Pemungut PPN PMSE adalah Indonesia.
Laporan Pemungut PPN Plaftorm Digital
Berbeda dengan eSPT PPN yang wajib dilaporkan setiap bulan, pemungutan PPN platform digital cukup 3 bulan sekali.
Pemungut PPN PMSE wajib melaporkan PPN yang telah dipungut secara triwulanan untuk periode 3 (tiga) Masa Pajak, paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir.
Untuk setiap masanya, laporan paling sedikit memuat:
jumlah Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa;
jumlah pembayaran;
jumlah PPN yang dipungut; dan
jumlah PPN yang telah disetor.
Semua pelaporan dilakukan melalui kanal daring (online).
Menurut peraturan ini, pemungut PPN PMSE dapat menyetorkan PPN ke kas negara dengan rupiah, US Dollar, atau mata uang asing lainnya. Tetapi dalam prakteknya, setor pajak dalam nominal dollar tidak semua bank menerima. Hanya sedikit bank yang menerima. Apalagi selain US Dollar.
Kewajiban perajakan atas kerja sama operasi atau konsorsium
Kerja sama operasi adalah terjemahan dari joint operation. Istilah lain dari KSO adalah konsorsium. Menurut KBBI, konsorsium adalah perkongsian, himpunan beberapa pengusaha yang mengadakan usaha bersama.
Di blog sebelumnya, saya sudah menulis bahasan yang sama dengan judul Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium. Tulisan yang lama dipicu oleh Wajib Pajak yang saya awasi tetap bersikukuh bahwa dia tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan karena memiliki nama konsorsium.
Sedangkan tulisan kali ini dipicu karena saya baru saja mengikuti e-learning internal DJP tentang Konsorsium. Kenapa saya tulis ulang? Menurut saya ada hal yang menarik yang perlu sampaikan.
Dasar Hukum KSO
Perdebatan tentang KSO sebenarnya karena tidak ada ketentuan perpajakan yang mengatur secara khusus. Semua berdasarkan logika perpajakan, kecuali definisi badan untuk PPN.
Definisi badan diatur di Pasal 1 angka 3 Undang-Undang KUP. Begini bunyinya:
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Bunyi yang sama ada di Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang PPh. Juga diulang di Pasal 1 angka 13 Undang-Undang PPN.
Kemudian, Pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2012 menyebutkan bahwa kerja sama operasi merupakan pengertian badan lainnya dan oleh karena itu jika KSO menyerahkan BKP atau JKP maka wajib dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
Jadi, menurut peraturan pemerintah ini tidak semua KSO wajib dikukuhkan sebagai PKP. Tetapi hanya KSO yang menyerahkan barang atau jasa saja.
Definisi badan ada perluasan di Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor 04/PJ/2020. Di peraturan ini, kerja sama operasi dan kantor perwakilan perusahaan asing (bukan BUT) contoh bentuk badan.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, kerja sama operasi (joint Operation), serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.
Pasal 1 angka 9 PER-04/PJ/2020
KSO yang wajib PKP dan yang tidak wajib PKP
Bagian penjelasan peraturan pemerintah nomor 1 tahun 2012 memberikan contoh :
KSO yang wajib PKP
KSO yang tidak wajib PKP
Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:
PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation.
Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.
Berdasarkan hal di atas:
joint operation wajib dikukuhkan sebagai PKP;
atas penyerahan BKP/JKP kepada pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur Pajak.
Apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas nama joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan (pemilik proyek), maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada joint operation, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada joint operation dan joint operation membuat Faktur Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek).
Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:
PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X.
Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Contoh KSO dalam penjualan rumah
Berdasarnya contoh yang dijelaskan peraturan pemerintah diatas, kita bisa membuat logika yang sama untuk konsorsium penjualan tanah. Kasus ini sering ditanyakan tapi masih banyak yang belum tahu.
Tn Badu punya tanah luas dan tempatnya strategis untuk dibuatkan perumahan. Tn Agus seorang pengusaha real estat tertarik dengan lokasi tersebut.
Keduanya sepakat untuk membuat konsorsium, kerja sama. Tanah punya Tn Badu akan dihargai Rp400 juta (kepemilikan di konsorsium 40%). Tn Agus membuat rumah dengan modal Rp500 juta. Dan pada contoh kali ini, rumah yang dibuat oleh Tn Agus laku Rp1 miliar.
Contoh soal ini ada 2 perpajakan, yaitu pajak atas penyerahan tanah dan pajak atas penyerahan bangunan. Bagaimana aspek perpajakannya?
contoh 2 orang yang bekerja sama untuk menjual rumah
Jika penjualan rumah ini atas nama konsorsium, PPh terutang 2,5% atas penjualan rumah ditambah PPN 10%. Pada contoh ini konsorsium wajib PKP karena konsorsium menyerahkan BKP.
Semua penjualan atas konsorsium. Karena itu, kewajiban perpajakan juga harus ditunaikan atas nama konsorsium.
Kasus sedikit digeserkan. Penjualan bukan atas nama konsorsium tetapi Tn Agus yang menjual rumah.
Karena penjualan atas nama Tn Agus maka konsorsium tidak menyerahkan BKP. Konsorsium tidak wajib PKP.
Kewajiban perpajakan ditunaikan oleh Tn Agus. Jika omset Tn Agus diatas batasan pengusaha kecil, Rp4,8 miliar, maka Tn Agus wajib PKP.
Tetapi jika seperti contoh, Tn Agus hanya memiliki omset Rp1 miliar. Maka tidak wajib PKP.
Pajak yang harus dibayarkan adalah PPh atas penjualan rumah dengan tarif 2,5% dari Rp1 miliar. PPh ini dibayarkan oleh Tn Agus. Tetapi Tn Badu juga jual tanah dan seolah-olah dibeli oleh Tn Agus. Sehingga atas penjualan tanah oleh Tn Badu maka terutang PPh atas penjualan tanah sebesar 2,5% dari Rp400 juta.
Pada contoh kedua ini, sebenarnya konsorsium seperti tidak ada. Atau dianggap tidak ada. Dan pihak yang bertransaksi adalah Tn Badu dan Tn Agus, dan pembeli rumah.
Pendaftaran dan Pengukuhan PKP Konsorsium
Pendaftara Wajib Pajak memang melalui online laman ereg.pajak.go.id Tetapi tetap ada persyaratan untuk mendaftar. Silakan cek persyaratan di bawah ini.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-04/PJ/2020, persyaratan untuk mendapatkan NPWP bagi kerja sama operasi yaitu:
fotokopi perjanjian kerjasama atau akta pendirian sebagai bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
fotokopi Kartu NPWP masing-masing anggota bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) yang diwajibkan untuk memiliki NPWP;
dokumen yang menunjukkan identitas diri pengurus bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) dan salah satu pengurus dari masing-masing perusahaan anggota bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), meliputi: yaitu fotokopi Kartu NPWP (bagi WNI); atau fotokopi paspor (badi WNA); dan fotokopi Kartu NPWP, dalam hal WNA telah terdaftar sebagai WP.
Persyaratan permohonan pengukuhan PKP sama seperti persyaratan NPWP.
Tetapi di bagian pengukuhan PKP ada syarat lain agar PKP disetujui yaitu:
seluruh anggota Kerja Sama Operasi (Joint Operation) telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya dan jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan;
seluruh anggota Kerja Sama Operasi (Joint Operation) tidak mempunyai utang pajak, kecuali utang pajak yang telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; dan
seluruh pengurus atau penanggung jawab Kerja Sama Operasi (Joint Operation) memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2
Kewajiban PPh KSO
Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) PER-04/PJ/2020 bahwa kewajiban perpajakan untuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), meliputi:
pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan;
pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan; dan/atau
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal Kerja Sama Operasi (Joint Operation) melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
Kewajiban menurut PER-04/PJ/2020 sempat muncul di e-learning yang kemarin saya pelajari. Ini penampakkannya:
KSO wajib menunaikan kewajiban PPh Badan
Di penjelasan video e-learning disebutkan bahwa KSO disamakan dengan pengertian badan lainnya. Sebagai subjek pajak badan, maka kewajiban perpajakan atas badan itu juga melekat. Ini yang saya maksud logika pajak.
Tetapi logika pajak ini tidak konsisten. Karena pada saat pembahasan Bukti Potong PPh, seperti PPh Pasal 4 ayat (2) atau Pasal 23, maka Bukti Potong harus atas nama anggota KSO. Bukan atas nama KSO.
KSO tidak dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Pasal 23. Jadi Bukti Potong atas jasa yang diberikan KSO justru menggunakan NPWP anggota KSO
Bagaimana jika pemotong (dalam hal ini pengguna jasa KSO) salah membuat Bukti Potong PPh?
Sepanjang pemotong belum lapor di SPT Masa PPh Pasal 23 atau Pasal 4(2), maka atas bukti potong tersebut dapat dimintakan ke pemotong untuk dibetulkan. Artinya yang asalnya atas nama KSO, menjadi atas nama anggota KSO.
KSO dapat meminta Pemotong Pajak Penghasilan untuk membagi Bukti Potong PPh sepanjang Pemotong belum lapor SPT MasaHasil pembetulan Bukti Potong Pajak Penghasilan menjadi atas nama masing-masing anggota KSO
Berbeda dengan diatas, ada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-44/PJ./1994 yang memberikan petunjuk pemecahan Bukti Potong KSO. Menurut SE-44/PJ./1994 bahwa tahapan pemecahan Bukti Potong PPh sebagai berikut:
KSO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Potong ke KPP dimana KSO terdaftar.
KPP konfirmasi Bukti Potong ke KPP dimana pemotong terdaftar.
KPP dimana KSO terdaftar menerbitkan SKKPP dan dilakukan Pemindahbukuan ke masing-masing anggota KSO.
Pemindahbukuan tidak boleh dilakukan ke jenis pajak lain yang menjadi kewajiban KSO.
KPP mengirimkan Bukti Pemindahbukuan ke masing-masing anggota KSO.
Anggota KSO mengkreditkan Bukti Potong di SPT Tahunan PPh Badan.
Ternyata prosedur yang dimaksud di SE-44/PJ./2020 adalah prosedur pemecahan Bukti Potong Pajak Penghasilan jika pemotong sudah melaporkan Bukti Potong di SPT Masa.
Hak dan Kewajiban KSO sebagai Badan
Karena KSO diperlakukan sebagai badan, maka semua hak-hak Wajib Pajak badan juga berlaku untuk KSO. Apa hak-hak tersebut:
Hak Keberatan sesuai Pasal 25 Undang-Undang KUP
Hak Banding sesuai Pasal 27 Undang-KUP
Hak Peninjualan Kembali sesuai Undang-Undang Pengadilan Pajak
Hak Restitusi
Dan hak lainnya yang dijamin Undang-Undang KUP yang melekat ke Wajib Pajak badan.
Hak KSO dipersamakan dengan WP Badan sesuai ketentuan
Nah, kewajibannya berupa pelaporan juga dipersamakan dengan kewajiban Wajib Pajak Badan. Baik kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan maupun pengungkapan ketidakbenaran
Indonesia Menganut Classical System
Di artikel Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium saya menyinggung classical system yang harus diingat. Sistem ini menjadi dasar kebijakan perpajakan.
Classical system adalah sistem pemisahan yang tegas antara entitas usaha di satu sisi dengan pemilik modal di sisi lain. Baik entitas usaha maupun pemilik modal masing-masing sebagai subjek pajak terpisah. Masing-masing memiliki kewajiban pelaporan SPT Tahunan. Masing-masing menghitung penghasilan neto.
Mengutif dari laman ddtc.co.id yang mengutip IBFD International Tax Glossary, classical system adalah suatu sistem perpajakan, di mana pajak dikenakan atas laba yang dihasilkan di tingkat perusahaan. Kemudian, pajak dikenakan lagi atas laba bersih (income after tax) di tingkat pemegang saham orang pribadi.
Sementara itu, menurut Cnossen (1996) classical system adalah suatu sistem yang mengenakan pajak dua kali atas penghasilan yang bersumber dari perseroan, yaitu pada tingkat perseroan dan pada tingkat pemegang saham saat dibagikan sebagai dividen. Dengan demikian, classical system memandang perseroan sebagai entitas yang terpisah dengan pemiliknya.
Dengan demikian, jika kita konsisten dengan frase “dipersamakan dengan badan” maka anggota KSO sebagai pemegang saham, sementara KSO setara dengan perseroan.
Jika KSO diperlakukan sebagai wajib pajak badan, maka dia harus menghitung penghasilan neto kemudian membayar PPh badan. Dan wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang KUP.
Pedagang eceran adalah pengusaha, baik dengan omset kecil maupun omset besar.
Pedagang eceran biasa disebut retail, yaitu pedagang yang menjual langsung ke konsumen akhir. Biasanya konsumen akhir adalah sektor rumah tangga. Beli untuk dikonsumsi.
Tetapi menurut ketentuan pajak, syarat pedagang eceran adalah mereka yang melakukan penyerahan (jual) barang dengan cara sebagai berikut:
melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak,atau lelang; dan
pada umumnya penyerahan barang atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa barang yang dibelinya.
Tetapi jika kita menjual jasa, maka syarat pedagang eceran untuk penyerahan jasa adalalah mereka yang melakukan penyerahan jasa dengan cara:
melalui suatu tempat penyerahan jasa secara langsung kepada konsumen akhir atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
pada umumnya pembayaran atas penyerahan jasa dilakukan secara tunai.
Sekali lagi, bahwa pedagang eceran adalah mereka yang jual ke konsumen akhir. Walaupun memiliki toko, tetapi jika toko tersebut toko grosir (orang datang ke situ untuk jual kembali) maka itu bukan pedagang eceran.
Setidaknya ada 2 pajak yang harus diperhatikan oleh pedagang eceran, yaitu
Pajak Penghasilan (PPh), dan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan dikenakan atas penghasilan neto seseorang. Kecuali jika pengenaan pajaknya dengan metode PPh Final. Pemerintah telah menetapkan secara jabatan (deem) berapa penghasilan neto untuk metode PPh Final.
PPh final dikenalan dari omset atau peredaran usaha bruto. Misal, jika omset dalam satu bulan Rp100 juta, maka PPh terutang menurut PP23 sebesar Rp500.000,-
Wajib Pajak yang melakukan penjualan retail terdiri dari orang pribadi maupun badan. Jika kita memiliki toko dengan atas nama perseroan, maka itu adalah wajib pajak badan. Sedangkan pemiliknya bisa jadi pegawai di perseroan tersebut dengan mendapat gaji, atau sebagai pemilik mendapatkan prive, atau sebagai pemegang saham dengan mendapatkan dividen.
Bagi wajib pajak badan, wajib hukumnya menyelenggarakan pembukuan. Kewajiban ini tidak terhapus walaupun wajib pajak badan tersebut menerapkan PP23.
Pasal 28 Undang-Undang KUP
Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2018
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2018 (PP23) yaitu pengenaan Pajak Penghasilan dengan tarif 0,5%. Tarif ini dikenakan langsung dari omset. Bukan dari marjin atau laba kotor.
Dengan demikian, jika kita pegadang eceran maka jangan menetapkan harga jual dengan marjin dibawah 1%. Nanti akan kerepotan membayar PPh.
Siapa Yang Dapat Memanfaatkan PP 23?
Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan PPh Setengah Persen adalah Wajib Pajak:
orang pribadi, dan
badan yang berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas
yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu Tahun Pajak.
Namun demikian, PP 23 memberikan batasan waktu untuk memanfaatkan fasilitas PPh Setengah Persen. Batasan waktu menurut PP 23:
orang pribadi dibatasi selama 7 tahun sejak 2018.
badan perseroan terbatas (PT) selama 3 tahun sejak 2018
badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, dan firma dibatasi 4 tahun sejak 2018.
Setiap pemilik NPWP wajib hukumnya melaporkan SPT Tahunan. Walaupun tidak ada kegiatan. Wajib Pajak dapat menghilangkan kewajiban lapor SPT Tahunan dengan cara meng-NE-kan NPWP.
Kewajiban lapor SPT Tahunan juga berlaku untuk pedagang eceran. Untuk pedagang eceran ada 2 format SPT Tahunan:
SPT form 1770 untuk wajib pajak orang pribadi
SPT form 1771 untuk wajib pajak badan
Berikut tutorial lapor SPT Tahunan 1770 untuk UMKM
Berikut ini tutorial lapor SPT tahunan bagi pedagang eceran Wajib Pajak badan dengan menggunakan PP23
Menghitung Penghasilan Neto
Pedagang eceran yang memiliki omset diatas Rp4,8 miliar dalam setahun tidak dapat memanfaatkan tarif PPh final 0,5%.
Karena memiliki omset diatas Rp4,8 miliar maka dianggap bukan pengusah kecil lagi menurut pajak. Karena itu, wajib hukumnya bagi Wajib Pajak tersebut menggunakan pembukuan.
Kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebenarnya untuk kepentingan menghitung penghasilan neto.
Karena itu, ada 2 cara menghitung penghasilan neto:
dengan cara menerapkan norma penghasilan neto
dengan cara menyelenggarakan pembukuan.
Ketentuan penggunaan norma penghasilan neto diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-17/PJ./2015.
Wajib Pajak orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan menerima atau memperoleh penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final, menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Pasal 1 ayat (3) PER-17/PJ/2015
Daftar norma penghasilan neto dan penggunaannya dapat dilihat di artikel Norma Penghasilan Neto
Sekali lagi, syarat penggunaan norma penghasilan neto adalah omset di bawah Rp4,8 miliar. Omset diatas Rp4,8 miliar wajib pembukuan. Tidak ada cara lain. Jadi, silakan membuat pembukuan.
Zahir Online adalah software akuntansi modern dengan teknologi cloud computing berbasis web untuk memudahkan Anda dalam mengelola bisnis dari mana saja dan kapan saja secara real time.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pedagang eceran yang masih memiliki omset di bawah Rp4,8 miliar digolongkan sebagai pengusaha kecil. Dan pengusaha kecil tidak diwajibkan memungut PPN.
Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang PPN
Pedagang eceran yang bukan pengusaha kecil, wajib hukumnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dan wajib memungut PPN dari konsumen.
Namun, pedagang eceran memiliki relaksasi pembuatan faktur pajak. Pedagang eceran boleh membuat faktur pajak digungung.
Inilah kenapa penting memastikan apakah toko kita pedagang eceran atau bukan. Jika penjualan grosir, maka tidak boleh membuat faktur pajak digunggung.
Perbedaan Faktur Pajak Digunggung dengan Faktur Pajak
Persyaratan faktur pajak diatur di Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN. Faktur pajak harus mencantumkan keterangan paling sedikit:
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Hanya saja, Undang-Undang KUP mengecualikan sanksi bagi faktur pajak yang pembelinya tidak diisi lengkap. Jadi hanya No 2 diatas yang tidak lengkap. Lainnya lengkap. Ketentuan pengecualian sanksi diatur di Pasal 14 ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP.
Lantas bagaimana faktur pajak digunggung?
Faktur pajak bagi pedagang eceran cukup mencantumkan:
Nama, alamat, dan NPWP Penjual atau Penyedia Jasa
Jenis Barang/Jasa yang diserahkan
Jumlah harga jual termasuk PPN atau PPN terpisah PPnBM yang dipungut
Kode nomor seri dan tanggal penjualan/penyerahan
Nomor seri, dan bentuk faktur pajak pedagang eceran tidak diatur. Karena itu, namanya bisa berupa nota, bon, cash register, dan lainnya.
Berikut slide tentang faktur pajak untuk pedagang eceran:
Berikut tutorial SPT 1771 untuk UMKM yang menggunakan PP 23
Tutorial Pengisian SPT Tahunan Untuk Wajib Pajak Badan melalui eForm
Perbedaan terpenting cara pengisian SPT 1771 untuk yang menggunakan PP 23 dengan pembukuan pada umumnya adalah di Lampiran 1771 IV dan Lampiran 1771 I.
Untuk PP 23, di Lampiran 1771 IV harus isikan penghasilan final lainnya dengan omset setahun. Selanjutnya, nilai penghasilan kena pajak di Lampiran 1771 I harus nihil karena dikoreksi fiskal.
Sedangkan SPT 1771 dengan pembukuan dan menggunakan tarif Pasal 17 juncto Pasal 31E Undang-Undang PPh tidak mengisi omset di Lampiran 1771 IV. Selanjutnya, di Lampiran 1771 I pasti ada penghasilan kena pajak baik positif maupun negatif. Negatif artinya rugi fiskal.
Penghasilan Final dan Penghasilan Bukan Objek
Undang-Undang PPh membagi 3 jenis penghasilan yaitu:
Penghasilan umum yang dikenai tarif Pasal 17
Penghasilan final yang pengenaannya berdasarkan peraturan pemerintah
Penghasilan bukan objek yang jenis penghasilannya ditentukan di Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh.
SPT Tahunan Wajib Pajak orang pribadi ada 3 jenis, yaitu :
SPT 1770 untuk pengusaha atau yang tidak memiliki bukti potong dari pekerjaan,
SPT 1770S untuk Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki bukti potong dari pekerjaan. Atau mereka sebagai pegawai, baik satu perusahaan atau lebih dari satu perusahaan.
SPT 1770SS untuk Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan di bawah Rp60.000.000,00
Di bawah ini merupakan video dari Ditjen Pajak RI yang sudah dipublikasi di channel Youtube
Tutorial SPT Tahunan untuk UMKM
Berikut ini merupakan tutorial pengisian SPT 1770 untuk Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan fasilitas PP 23.
Sama dengan tutorial SPT 1771 diatas, perbedaan SPT 1770 untuk PP 23 dengan SPT 1770 untuk wajib pajak yang menggunakan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh terdapat di Lampiran 1770 III dan Lampiran 1770 I.
Untuk PP 23, diharusnya mengisi omset perbulan yang merupakan cicilan PPh. PPh tersebut seharusnya sudah dibayar sebelum mengisi SPT 1770. Perhatikan tutorial saat menjelaskan Lampiran 1770 III. Selanjutnya, nilai penghasilan kena pajak di Lampiran 1770 I harus nihil karena dikoreksi fiskal.
Perbedaan pengisian omset PP 23 antara SPT 1771 dengan SPT 1770 ada di rincian omset per bulan. Wajib Pajak orang pribadi diasumsikan menggunakan pencatatan sehingga di Lampiran 1770 III harus merinci omset per bulan.
Tutorial pengisian SPT Tahunan untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha menggunakan eForm
Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan pembukuan harus memperhatikan 3 artikel ini:
Sedangkan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menggunakan pembukuan dan tidak dapat memanfaatkan fasilitas PP 23 berarti wajib menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh dengan menghitung penghasilan neto menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.
Berikut ini adalah tutorial mengisi SPT Tahunan 1770S menggunakan eForm.
Hal terpenting sebelum mengisi SPT adalah mengumpulkan bukti potong, jika bukti potong ada beberapa. Jika kita hanya bekerja di satu perusahaan biasanya hanya satu, yaitu bukti potong 1721 A1 untuk swasta dan PNS 1721 A2.
Untuk PNS, siapkan bukti potong lainnya yang sudah dikenakan final. Selain gaji dan tunjangan kinerja, penghasilan PNS yang berasal dari APBN atau APBD dikenakan final.
Tutorial pengisian SPT Tahunan untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan status pegawai
Zahir Online adalah software akuntansi modern dengan teknologi cloud computing berbasis web untuk memudahkan Anda dalam mengelola bisnis dari mana saja dan kapan saja secara real time.
Pengacara adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang – undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UUA).
Menurut hukumonline.com bahwa sebelum berlakunya UUA, pengacara advokat maupun pengacara praktek adalah termasuk penasihat hukum. Sejak diberlakukannya UUA, baik penasihat hukum, advokat maupun pengacara praktek disebut sebagai Advokat berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UUA.
Pada umumnya, penghasilan pengacara berasa dari pekerjaan sebagai pengacara seperti: gaji, honor, tunjangan , bonus, insentif, dan komisi.
Bayaran kepada advokat juga bisa dihitung berdasarkan nilai perkara yang ditangani pengacara itu sendiri. Untuk poin ini, hal tersebut akan mempertimbangkan jam terbang advokat hingga citra pengacara.
Selain mendapatkan honor sebagai pengacara (advokat), pengacara pun sering mendapatkan bonus ketika kasus yang ditanganinya berhasil atau success fee
SPT Tahunan Bagi Advokat
Jika pengacara sebagai pegawai dari firma hukum, maka laporan SPT Tahunan cukup di 1770S. Formulir 1770S untuk pegawai baik yang bekerja di 1 perusahaan atau lebih.
Ciri pegawai adalah memiliki Bukti Potong PPh Pasal 21 dengan kode 1721 A1. Bukti Potong ini diberikan oleh perusahaan setahun sekali. Biasanya awal tahun untuk tahun pajak sebelumnya.
Tetapi jika pengacara bekerja secara mandiri, tidak memiliki firma hukum, maka gunakan formulir 1770.
Pengacara secara mandiri masih bisa mendapatkan bukti potong. Tetapi bukan sebagai pegawai. Mungkin sebagai narasumber. Atau sebagai tenaga ahli. Istilah di PPh Pasal 21 disebut bukan pegawai.
Sehingga, mestinya pengacara yang bekerja secara mandiri akan memiliki bukti potong banyak.
Walaupun sudah dipotong, sudah bayar pajak, tetapi lapor SPT Tahunan tetap wajib. Kenapa? Bayar pajak, dan lapor pajak adalah kewajiban terpisah.
Firma adalah sekumpulan orang. Dalam hal firma hukum, firma adalah sekumpulan advokat.
Menurut ketentuan pajak, firma adalah Wajib Pajak badan. Dia wajib lapor SPT Tahunan dengan formulir 1771
Sumber Penghasilan Advokat
Ada banyak sumber penghasilan advokat. Sumber-sumber penghasilan tersebut wajib dilaporkan di SPT Tahunan.
Dan menghitung PPh itu berdasarkan jenis penghasilan.
Berikut contoh jenis penghasilan yang diterima advokat:
Dokter bisa memiliki penghasilan dari berbagai sumber
Cara menghitung pajak penghasilan itu berbeda-beda bergantung kepada jenis pajak yang diperoleh dokter. Sebenarnya bukan hanya untuk dokter, tapi berlaku untuk semua Wajib Pajak. Bahwa menghitung pajak penghasilan itu bergantung kepada jenis penghasilan yang diterima.
Pada umumnya, profesi dokter memiliki tiga jenis penghasilan yaitu:
Penghasilan dari Pegawai Negeri Sipil ,atau pegawai tetap lainnya;
Penghasilan dari praktek dokter di rumah sakit;
Penghasilan dari praktek dokter di klinik sendiri.
Atau, bisa juga memiliki penghasilan dari pekerjaan sebagai pengajar (dosen), seminar, pemilik apotek, dan bisnis lainnya.
Pajak penghasilan dari masing-masing sumber penghasilan diatas harus dihitung berdasarkan jenis penghasilanya.
Berikut ini adalah salindia simulasi penghitungan PPh yang diterima dokter. Salindia ini dibuat oleh P2Humas DJP dan dapat diunduh di pajak.go.id dengan kode file PJ.091/PL/S/010/2020-00
Pemberian insentif pajak dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19 di Indonesia
Dalam rangka mendukung ketersediaan obat-obatan, alat kesehatan, dan alat pendukung lainnya untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), pemerintah memberikan fasilitas perpajakan untuk mendukung penanganan dampak virus dimaksud.
Insentif PPN diberikan kepada Pihak Tertentu atas impor atau perolehan Barang Kena Pajak, perolehan Jasa Kena Pajak, dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
Insentif ini diberikan dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 28/PMK.03/2020. Berikut rangkumannya.
Pihak Tertentu yang mendapat insentif
Pihak Tertentu yang mendapat insentif yaitu:
Badan/Instansi Pemerintah
Rumah Sakit; atau
Pihak Lain yaitu pihak selain Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit untuk membantu penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Bentuk insentif pajak berupa PPN tidak dipungut, dan PPN ditanggung pemerintah.
Pasal 2 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan No 28/PMK.03/2020
Impor Barang Kena Pajak oleh Pihak Tertentu, tidak dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean oleh Pihak Tertentu, ditanggung pemerintah.
Penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Pihak Tertentu ditanggung pemerintah.
Impor BKP tidak dipungut. Pemanfaatan JKP dari luar negeri, ditanggung pemerintah. Begitu juga Penyerahan BKP dan/atau JKP di Indonesia.
Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat insentif PPN ditanggung pemerintah, termasuk juga penyerahan berupa pemberian cuma-cuma.
BKP dan JKP Yang Mendapat Insentif
Barang Kena Pajak (BKP) yang mendapat insentif adalah BKP yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), yaitu:
obat-obatan;
vaksin;
peralatan laboratorium;
peralatan pendeteksi;
peralatan pelindung diri;
peralatan untuk perawatan pasien; dan/atau
peralatan pendukung lainnya yang dinyatakan untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Jasa Kena Pajak (JKP) yang mendapat insentif adalah JKP yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), yaitu:
jasa konstruksi;
jasa konsultasi, teknik, dan manajemen;
jasa persewaan; dan/atau
jasa pendukung lainnya yang dinyatakan untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Dalam hal Pihak Tertentu melakukan impor BKP yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, impor BKP tersebut tidak dikenai PPN sepanjang Pihak Tertentu dimaksud memiliki SKJLN sebelum melakukan impor, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
SKJLN adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Pembuatan Faktur Pajak Yang Mendapat Insentif Covid-19
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Faktur Pajak tersebut harus memuat keterangan โPPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 28/PMK.03/2020โ.
Pasal 3 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 28/PMK.03/2020
Pengusaha Kena Pajak harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 28/PMK.03/2020” dan harus membuat Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah
Contoh Format Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah
Kode Billing dan Laporan seperti diatas berlaku juga untuk Pihak Tertentu yang melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah dibuat untuk periode:
Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020
Dan disampaikan ke KPP tempat Pengusaha Kena Pajak paling lama:
tanggal 20 Juli 2020, untuk periode Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
tanggal 20 Oktober 2020, untuk periode Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020
Insentif PPh
Pihak Tertentu yang melakukan impor dan/atau pembelian barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor dan/atau PPh Pasal 22 dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tanpaSurat Keterangan Bebas Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor.
Pihak Ketiga yang melakukan penjualan barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) kepada Pihak Tertentu diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang menerima atau memperoleh imbalan dari Pihak Tertentu atas jasa sebagaimana yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), diberikan pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 23 dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
Pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 23 diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemotongan PPh Pasal 23.
Contoh format permohonan SKB PPh Pasal 22 dan atau PPh Pasal 23
Di bawah ini merupakan slide power point Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2020 dan file pdf Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2020
Berikut ringkasan fasilitas Barang Dan Jasa dalam rangka penanganan pandemi covid19
Sehubungan dengan pandemi Covid-19 yang berdampak kepada perekonomian global dan nasional, maka otoritas pajak Indonesia mengeluarkan kebijakan insentif pajak. Insentif pajak untuk Wajib Pajak terdampak wabah virus corona diterbitkan dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 23/PMK.03/2020.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 23/PMK.03/2020 telah mengalami 2 kali perubahan dalam kurun waktu kurang dari setahun. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 benar-benar berdampak pada perekonomian nasional. Dan dampak ini di awal pandemi tidak terbayangkan.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 23/PMK.03/2020 kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 86/PMK.03/2020. Dan terakhir diubah lagi dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 110/PMK.03/2020.
Lanjut ke halaman 2 dan 3 dengan klik angka 2 dan 3 dibawah.
Halaman 2 dan 3 dibuat pada awal pendemi yaitu saat terbit Peraturan Menteri Keuangan nomor 23/PMK.03/2020. Kemudian sedikit revisi saat terbit Peraturan Menteri Keuangan nomor 86/PMK.03/2020.
Adapun yang merangkum ketiga peraturan menteri keuangan diatas adalah salindia di bawah ini.
Slide Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Yang Terdampak Covid-19
Slide (salindia) ini merupakan rangkuman aturan insentif (fasilitas) pajak yang dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang terdampak Covid-19.
Ringkasan ketentuan domestik aspek internasional perpajakan di Indonesia dan pengantar pajak internasional.
Perpajakan internasional adalah aspek internasional dalam undang-undang perpajakan suatu negara. Bagaimana ketentuan memajaki penghasilan luar negeri, dan penghasilan dari dalam negeri yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN).
Ketentuan pajak internasional dibagi dua, yaitu:
ketentuan domestik, dan
tax treaty, termasuk MLI (Multilateral Instrument).
Ketentuan pajak internasional di ketentuan domestik diatur di Undang-Undang PPh. Berikut pasal-pasal di Undang-Undang PPh terkait pajak ternasional:
Pasal 2 tentang Subjek Pajak Dalam Negeri (ayat 3), Subjek Pajak Luar Negeri (ayat 4), dan Bentuk Usaha Tetap (ayat 5).
Pasal 3 mengatur yang dinyatakan bukan subjek pajak.
Pasal 5 mengatur objek pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Pasal 15 mengatur norma penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto pelayaran, atau penerbangan internasional, dan kantor perwakilan dagang asing (KPDA).
Pasal 18 mengatur perbandingan utang terhadap modal (ayat 1), Controlled Foreign Company (ayat 2), Hubungan Istimewa (ayat 3, 3D, dan 4), Prosedur Persetujuan Bersama dan Kesepakatan Harga Transfer (ayat 3A), Special Purpose Company (ayat 3B, dan 3C).
Pasal 24 tentang kredit pajak luar negeri
Pasal 26 tentang objek pajak dari subjek pajak luar negeri
Pasal 32A tentang kewenangan melakukan tax treaty.
Subjek Pajak
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Luar Negeri adalah:
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; dan
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Jadi, subjek pajak luar negeri dikenakan pajak di Indonesia ada yang melalui BUT, dan tidak. Pemajakan atas penghasilan dari Indonesia yang tidak melalui BUT, diatur di Pasal 26 Undang-undang PPh.
Subjek Pajak Luar Negeri menurut Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang PPh
Kewajiban Subjektif SPLN
Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) orang pribadi memiliki kewajiban pajak subjektif dimulai saat orang pribadi:
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT, atau
pada saat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Dan kewajiban subjektif tersebut berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap atau pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Ketentuan di atas berlaku juga untuk SPLN berbentuk badan.
Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) berubah statusnya menjadi Subjek Pajak luar negeri jika:
bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga hari) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
dapat menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk luar negeri yang dapat berupa:
green card;
identitiy card;
student card;
pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; atau
tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.
Dengan perubahan status tersebut, penghasilan yang diterima sehubungan pekerjaan yang dilakukan di luar Indonesia dan penghasilan lainnya yang bersumber dari luar Indonesia, tidak dikenakan pajak di Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah kendaraan yang dipergunakan oleh orang pribadi, dan badan yang berstatus WPLN.
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
WPLN dikenakan pajak hanya sebatas penghasilan yang berasal dari Indonesia. Prinsip ini disebut asas sumber. Yaitu penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Penghasilan tersebut bisa berasal dari usaha, kegiatan, atau berasal dari aset yang berada di Indonesia.
Tidak berlaku world wide income seperti WPDN yang mewajibkan melaporkan dan memperhitungkan penghasilan baik yang diterima di dalan negeri maupun luar negeri.
WPLN juga tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan karena kewajiban perpajakannya diserahkan kepada pemberi penghasilan di Indonesia. Kewajiban pemotongan ini diatur di Pasal 26 Undang-Undang PPh.
Tetapi jika WPLN yang memiliki BUT maka WPLN menjadi harus mengurus dirinya sendiri. Harus punya NPWP dan harus lapor SPT. Bunyi dari bagian penjelasan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh bahwa BUT dipersamakan dengan kewajiban WP Badan Dalam Negeri.
Dipersamakan artinya tidak sama. Satu sisi beda tetapi sisi lain sama. Sisi yang beda adalah status subjek tetap subjek pajak luar negeri. Sisi yang sama adalah kewajibannya.
Karena dipersamakan dengan WPDN Badan maka mitra bisnis di Indonesia menganggap BUT sebagai WPDN sama dengan si mitra. Contoh: jika BUT memberikan jasa konsultansi ke PT Abadijaya maka PT Abadi jaya akan memotong PPh Pasal 23 saat membayar jasa konsultansi. Bukan memotong PPh Pasal 26 karena dipersamakan dengan WPDN.
Konsekuensi dengan dipersamakan dengan WPDN adalah kantor pajak dapat menetapkan ketetapan pajak dan melakukan proses penagihan pajak kepada BUT. Sedangkan jika bukan BUT tentu saja kantor pajak tidak dapat menagih pajak karena Wajib Pajak tidak ada dan tidak diadministrasikan di Indonesia.
Objek Pajak BUT
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang PPh, yang menjadi objek pajak dari suatu BUT, yaitu :
penghasilan dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai BUT tersebut;
penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of attraction);
penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected).
Nomor 1 diatas adalah murni kegiatan BUT yang memang seharusnya dicatat sebagai omset atau penghasilan BUT. Ini sama dengan perusahaan pada umumnya.
Tiga jenis objek BUT yang harus dilaporkan di Indonesia
Sedangkan nomor 2 (force of attraction) dan nomor 3 (effectively connected) mungkin saja tidak dicatat sebagai omset atau penghasilan BUT. Biasanya dicatat di kantor pusat. Tetapi menurut perpajakan, wajib hukumnya dihitung sebagai penghasilan BUT.
Penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh BUT, dianggap sebagai penghasilan BUT.
Alasannya karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan BUT. Dan dapat dilakukan BUT.
Contoh: BUT bank. Apabila sebuah bank di luar negeri mempunyai BUT di Indonesia, kemudian memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui BUT di Indonesia.
Sebenarnya atas pemberian pinjaman kantor pusat kepada nasabah di Indonsia bisa dilakukan oleh BUT Indonesia, atau memiliki ruang lingkup usaha yang sama yaitu perbankan. Karena itu, atas penghasilan dari pemberian pinjaman tersebut dianggap omset atau penghasilan BUT.
Contoh penghasilan kantor pusat yang wajib dimasukkan sebagai penghasilan BUT di Indonesia karena kegiatan yang sama misalnya perusahaan konsultasi.
Pemberian jasa konsultasi yang diberikan oleh kantor pusat langsung kepada klien di Indonesia wajib dicatat sebagai penghasilan BUT di Indonesia. Alasannya karena kegiatan usaha kantor pusat dan BUT sejenis yakni konsultasi.
Contoh BUT bank dan BUT jasa konsultasi merupakan contoh-contoh penggunaan force of attraction berdasarkan Pasal 5 UU PPh dan Pasal 7 tax treaty.
Sedangkan contoh penggunaan effectively connected seperti ini: Misal, X Ltd menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan merek dagang X Ltd.
Atas penggunaan merek dagang tersebut, X Ltd menerima imbalan berupa royalti dari PT Y.
Sehubungan perjanjian tersebut X Ltd juga memberikan jasa manajemen kepada PT Y melalui suatu BUT X Ltd di Indonesia. BUT X Ltd dibuat dalam rangka pemasaran produk PT Y yang mempergunakan merek dagang tersebut.
Skema diatas mengharuskan PT Y membayar royalti ke kantor pusat X Ltd, dan membayar jasa manajemen kepada BUT X Ltd.
Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif dengan BUT X Ltd. Oleh karena itu, penghasilan kantor pusat X Ltd dari PT Y berupa royalti dianggap atau diperlakukan sebagai penghasilan BUT X Ltd di Indonesia.
Perbedaan BUT dan Anak Perusahaan
Berdasarkan pengalaman bertanya ke Wajib Pajak, banyak yang masih belum tahu perbedaan antara BUT dan anak perusahaan. Mereka bilang, kita cabang dari perusahaan XYZ di luar negeri.
Padahal terdapat banyak perbedaan perlakuan perpajakan antara BUT dan anak perusahaan. Terutama dari sisi perlakuan biaya BUT.
Silakan cek tabel berikut:
Tabel perpedaan antara BUT dan anak perusahaan
BUT dan kantor pusatnya merupakan satu entitas. Sedangkan anak perusahaan dan induk perusahaan merupakan entitas terpisah.
Karena itu, ada beberapa biaya yang tidak boleh dibiayakan di BUT tetapi boleh dibiayakan di anak perusahaan, yaitu pembayaran BUT ke kantor pusat berupa:
royalti dan pembayaran lainnya terkait penggunaan harta kantor pusat, paten, dan hak lainnya;
imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, dan
pembayaran bunga, kecuali BUT perbankan.
Aturan larangan terkait ketiga pembayaran tersebut diatur di Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang PPh.
Branch Profit Tax
Branch profit tax adalah pajak penghasilan tambahan yang dikenakan kepada penghasilan neto BUT. Setelah dikenai PPh badan, BUT dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20%.
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh
Pada hakikatnya, BUT itu subjek pajak luar negeri. Karena masih dianggap subjek pajak luar negeri, maka atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia, setelah dikenakan PPh Badan sebagaimana dimaksud di Pasal 17 UU PPh, juga wajib bayar PPh Pasal 26 sebesar 20%.
Asumsi yang dipakai adalah penghasilan neto setelah pajak penghasilan akan dikirim ke luar negeri (kantor pusat).
Jika penghasilan neto setelah pajak ternyata tidak dikirim ke luar negeri, maka tidak ada kewajiban PPh Pasal 26. Hal ini ditegaskan di Pasal 26 ayat (4) UU PPh dan diatur lebih lanjut di Peraturan Menteri Keuangan No. 14/PMK.03/2011.
Bentuk penanaman kembali penghasilan neto BUT agar tidak dikenai PPh Pasal 26 branch profit tax
Persyaratan utama penanaman kembali penghasilan neto BUT agar tidak dikenai PPh Pasal 26, yaitu:
penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; dan
BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Selain persyaratan utama diatas, terdapat persyaratan tambahan.
Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, persyaratan tambahan:
perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan
BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.
Persyaratan tambahan penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham:
perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan
BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.
Dan, persyatan tambahan untuk:
pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh BUT untuk menjalankan usaha BUT atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia, atau
investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh BUT untuk menjalankan usaha BUT atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia
BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
PPh Pasal 26
Pasal 26 Undang-Undang PPh mengatur tentang pemajakan atas penghasilan SPLN yang diterima selain dari BUT di Indonesia.
Tarif dasar Pasal 26 ini adalah sebesar 20% yang dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP Pasal 26 terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu
jumlah bruto,
perkiraan penghasilan neto, dan
penghasilan setelah dikurangi pajak (earning after tax).
Tiga jenis dasar pengenaan pajak (DPP) Pasal 26
Karena Pasal 26 adalah pemajakan terhadap Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT yang penghasilannya bersumber dari Indonesia, dalam hal ketentuan tax treaty mengatur berbeda dari yang tertulis di Pasal 26, maka yang berlaku adalah ketentuan tax treaty sebagai lex specialis dari Undang-Undang PPh.
Namun demikian patut diperhatikan bahwa tax treaty tidak mengatur aspek pemajakan terkait objek-objek penghasilan yang dikenakan atau yang tidak dikenakan pajak, melainkan mengatur pembatasan hak pemajakan suatu negara atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang bersumber dari negara tersebut.
Contoh: Jika undang-undang domestik mengatur bahwa tarif yang berlaku sebesar 5% maka tetap dikenakan 5% walaupun tax treaty mengatur boleh 10%.
Tetapi jika sebalik, undang-undang domestik mengatur bahwa tarif yang berlaku 20% tapi tax treaty mengatur hanya 10%, maka tarif yang digunakan adalah tarif tax treaty yaitu 10%.
Inilah fungsi tax treaty, yaitu pembatasan hak pemajakan negara sumber dan negara domisili.
Sifat pengenaan pajak dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh adalah final kecuali bagi penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang PPh. Dan pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau BUT.
Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang PPh menjelaskan bahwa:
Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
dividen;
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
hadiah dan penghargaan;
pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
keuntungan karena pembebasan utang.
Pengalihan Harta Oleh Wajib Pajak Luar Negeri
Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang PPh, atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diperoleh WPLN selain BUT, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud di atas adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 mengatur bahwa penjualan harta yang dimaksud adalah penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
Pemotongan PPh Pasal 26 tersebut bersifat final dan atas penghasilan yang merupakan objek pajak pada pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 26.
Pengecualian pemotongan PPh Pasal 26 diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Selain itu, untuk WPLN yang berkedudukan di negara- negara yang telah mempunyai tax treaty dengan Indonesia, pemotongan pajak hanya dilakukan apabila berdasarkan tax treaty yang berlaku, hak pemajakannya berada di Indonesia.
WPLN yang dipotong PPh Pasal 26 memperoleh bukti pemotongan yang dibuat oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.
Pengalihan Saham Oleh Wajib Pajak Luar Negeri
WPLN dikenakan PPh Pasal 26 atas penghasilan yang diterima dari pengalihan saham Perseroan Terbatas di Indonesia. Penjualan saham ini tidak dilakukan di Bursa Efek Indonesia.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 perkiraan penghasilan neto atas penjualan saham di luar bursa ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.
Pemotong PPh Pasal 26 atas penjualan saham yang dilakukan oleh WPLN adalah pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong. Besarnya tarif sebesar pemotongan adalah 20% dari 25% alias tarif efektif 5%.
Dalam hal pembeli adalah WPLN, maka yang menjadi pemungut pajak adalah perseroan yang sahamnya diperjualbelikan tersebut.
PPh Pasal 26 atas penjualan saham selain di bursa efek
Pencatatan akta pemindahan hak dilakukan apabila telah ditunjukkan asli bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dan telah diserahkan fotokopi bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 kepada Perseroan.
Perusahaan Asuransi Luar Negeri
Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang PPh, Menteri Keuangan berwenang menetapkan besaran perkiraan penghasilan neto atas penghasilan berupa premi yang diterima oleh perusahaan asuransi luar negeri.
Dari perkiraan penghasilan neto tersebut dipotong PPh Pasal 26 dengan tarif 20% (dua puluh persen).
Besaran perkiraan penghasilan neto yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 624/KMK.04/1994.
Berikut adalah norma penghasilan neto untuk premi asuransi:
atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.
PPh Pasal 26 atas premi asuransi
Pihak tertanggung, perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, atau perusahaan reasuransi di Indonesia memotong pajak penghasilan pasal 26 atas pembayaran premi asuransi atau premi reasuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri dengan membuat 3 (tiga) rangkap Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan ketentuan:
lembar ke-1 untuk pihak yang dipotong penghasilannya;
lembar ke-2 untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong terdaftar;
lembar ke-3 untuk arsip pemotong pajak.
Perlakuan perpajakan menurut Keputusan Menteri Keuangan nomor 624/KMK.04/1994 tersebut akan berbeda apabila terdapat tax treaty antara Indonesia dengan Negara Mitra, sehingga atas penghasilan yang diterima perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara Mitra baru dapat dikenakan pajak dalam hal perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara Mitra tersebut menjalankan kegiatan usaha dan menerima penghasilan melalui suatu BUT.
Pelayaran Dan Penerbangan Internasional
Dalam ketentuan domestik perpajakan di Indonesia, perlakuan perpajakan untuk perusahaan pelayaran dan/ atau penerbangan luar negeri diatur dengan norma penghitungan khusus yang terdapat pada pasal 15 Undang-Undang PPh, dan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996.
PPh Pelayaran Dan Penerbangan Internasional
Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri atas penghasilan yang diterima dari kegiatan operasional jalur lintas domestik dan jalur lintas internasional yang berasal dari Indonesia.
Hal ini di karenakan sumber penghasilannya berasal dari Indonesia. Sedangkan atas penghasilan dari kegiatan operasional jalur lalu lintas internasional yang berasal dari luar negeri ke wilayah Indonesia maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 bahwa peredaran bruto semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.
Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto dan bersifat final.
Berdasarkan tax treaty, pengenaan pajak terhadap Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Asing sudah tentu harus melihat isi article General Definitions dan article Shipping and Air Transport karena tidak setiap tax treaty mengaplikasikan hak pemajakan yang sama antara satu dengan yang lainnya.
Kantor Perwakilan Dagang Asing (KPDA)
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 634/KMK.04/1994, penghasilan neto dari WPLN yang memiliki KPDA di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto.
Tarif efektif Pajak Penghasilan bagi KPDA tersebut adalah sebesar 0,44% (empat puluh empat per seribu) dari nilai ekspor bruto.
Nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
PPh atas penghasilan Kantor Perwakilan Dagang Asing
Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor SE-2/PJ.03/2008 memberikan penegasan bahwa Wajib Pajak Luar Negeri yang dimaksud adalah Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang (representative office/liaison office), di Indonesia yang berasal dari negara yang belum mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B / tax treaty) dengan Indonesia.
Tetapi jika sudah memiliki tax treaty, SE-2/PJ.03/2008 memberikan rumus seperti ini:
Contoh mencari rumus tarif efektif KPDA dengan negara yang memiliki tax treaty dengan Indonesia
SE-2/PJ.03/2008 diterbitkan pada 31 Juli 2008. Sedangkan pada tanggal 23 September 2008 berlaku Undang-Undang PPh yang baru.
Tarif Pasal 17 untuk WP badan saat terbitnya SE-2/PJ.03/2008 adalah 5%, 15%, dan 30%. Sedangkan sejak 2010, tarif Pasal 17 untuk WP badan menggunakan tarif tunggal yaitu 25%.
Dengan demikian, untuk contoh kasus KPDA dengan Australia, tarif efektif menjadi 0,355%
Penghasilan Ekspatriat di Indonesia
Sering kali tenaga kerja asing dipekerjakan di Indonesia oleh perusahaan di Indonesia. Dan gaji yang dibayarkan dibagi dua, yakni gaji yang dibayarkan ke ekspatriat di Indonesia, dan penghasilan yang dibayarkan ke keluarga ekspatriat di luar negeri.
Dalam kasus seperti itu, maka penghasilan ekspatriat yang dilaporkan ke kantor pajak seharusnya termasuk juga penghasilan yang diterima keluarga di luar negeri.
Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 139/PMK.03/2010 mengatur bahwa atas gaji ekspatriat di Indonesia dan penghasilan keluarga di luar negeri menjadi dasar penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26.
PPh Pasal 21 untuk pegawai ekspatriat di Indonesia
Contoh:
Terdapat hubungan istimewa perusahaan PT X di Indonesia dan X Ltd Jepang. Mr Hanakawa bekerja di PT X sebagai direktur. Dan PT X ternyata memiliki hubungan istimewa dengan X Ltd di Jepang.
Mr. Hanakawa di Indonesia mendapat gaji US$2000, tetapi X Ltd di Jepang memberikan pembayaran ke istri Hanakawa sebesar US$3000. Maka total penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21 di PT X sebesar $2000 + $3000 = $5000
Controlled Foreign Company (CFC)
CFC adalah ketentuan pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh WPDN dari usaha di luar negeri. Jadi, CFC adalah pemajakan atas hasil investasi di luar negeri yang masuk ke Indonesia.
Controlled Foreign Corporation (CFC) adalah perusahaan yang berkedudukan di luar negeri (offshore company) yang kepemilikannya dikuasai oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.
CFC dibuat sebagai alat untuk menangguhkan kewajiban pajak atas penghasilan dari operasi perusahaan tersebut dengan cara menangguhkan pendistribusian dividen ke pemegang saham. Karena itu, ketentuan CFC biasa disebut juga Specific Anti Avoidance Rules (SAAR).
Dasar hukum pemajakan CFC adalah Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh. Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 dan direvisi dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019.
Pemajakan atas Controled Foreign Company di Indonesia
Pokok-pokok perubahan ketentuan CFC dari Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 menjadi Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019 yaitu:
Mengubah DPP Deemed Dividend dari laba setelah pajak , menjadi jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali;
Mengatur cakupan penghasilan tertentu: dividen, bunga, sewa, royalti, dan keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
Pengendali langsung memperoleh Deemed Dividend yang berasal dari penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali yang meliputi penghasilan sebagai berikut:
dividen, kecuali dividen yang diterima dan/atau diperoleh dari BULN Nonbursa terkendali;
bunga, kecuali bunga yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai izin usaha bank;
sewa berupa: (a) sewa yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali sehubungan dengan penggunaan tanah dan/atau bangunan; dan (b) sewa selain sewa sebagaimana dimaksud pada angka 1) yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang berasal dari transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan BULN Nonbursa terkendali tersebut;
royalti (semua royalti); dan
keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta (semua keuntungan dari penjualan harta).
Special Purpose Company adalah adalah sebuah perusahaan dengan tujuan atau fokus yang terbatas. Perusahaan ini dibentuk oleh suatu badan hukum untuk melakukan aktivitas khusus atau bersifat sementara.
Perusahaan ini biasanya, walaupun tidak perlu, dikuasai hampir sepenuhnya oleh badan hukum yang menjadi sponsornya. SPC dapat digunakan sebagai suatu saluran (conduit) dalam menghindari pembayaran pajak atas penghasilan yang diperoleh dengan cara mendirikan perusahaan di salah satu Negara Mitra tax treaty (treaty shopping).
Tujuan pembentukan SPC tersebut tidak selalu untuk mendapatkan harga saham atau aktiva di bawah harga pasar, yang paling sering adalah sebagai perusahaan bentukan untuk memanfaatkan dan menikmati fasilitas perpajakan yang disediakan dalam tax treaty antara Indonesia dengan Negara Mitra.
Pasal 18 ayat (3b) Undang-Undang PPh menjelaskan:
Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
Pasal 18 ayat (3c) Undang-Undang PPh menjelaskan:
Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 140/PMK/2010 menjelaskan bahwa pembelian saham atau aktiva Wajib Pajak badan dalam negeri oleh suatu pihak atau badan yang dibentuk khusus untuk maksud demikian (special purpose company) dapat ditetapkan sebagai pembelian yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.
Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak (Refund) yang Seharusnya Tidak terutang
Dalam hal terdapat kesalahan pemotongan PPh Pasal 26 yang mengakibatkan PPh Pasal 26 yang dipotong lebih besar daripada PPh Pasal 26 yang seharusnya dipotong atau dipungut, Wajib Pajak luar negeri dapat mengajukan pengembalian kelebihan (refund).
Kesalahan pemotongan PPh Pasal 26 dapat berupa:
pemotongan PPh Pasal 26 yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur dalam tax treaty;
pemungutan PPN terhadap bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau
pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut.
Menurut Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan nomor 187/PMK.03/2015, pihak yang dapat meminta pengembalian pajak adalah:
Wajib Pajak yang dipotong dalam hal terjadi kesalahan pemotongan pajak terkait dengan Pajak Penghasilan, atau pajak yang seharusnya tidak dipotong.
pihak yang dipungut (syarat: pihak yang dipungut bukan PKP) dalam hal terjadi kesalahan pemungututan PPN, atau PPnBM.
SPLN (melalui BUT di Indonesia) dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap SPLN yang memiliki BUT di Indonesia.
Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap SPLN yang tidak memiliki BUT di Indonesia.
Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kantor pajak terkait melakukan penelitian atas permohonan dan dapat meminta dokumen pendukung yang diperlukan kepada Wajib Pajak. Berdasarkan hasil penelitian, kelebihan pembayaran akan dikembalikan melalui Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Advance Pricing Agreement (APA)
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/ atau otoritas pajak negara lain untuk menyepakati kriteria-kriteria dalam penentuan harga transfer dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka.
Tujuan Advance Pricing Agreement (APA) adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahan Transfer Pricing.
Ruang lingkup APA meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020 mengatur bahwa APA dapat bersifat
unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak, atau
bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan permohonan APA kepada Direktur Jenderal Pajak atas Transaksi Afiliasi berdasarkan:
inisiatif Wajib Pajak, berupa permohonan APA Unilateral atau APA Bilateral; atau
pemberitahuan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan permohonan APA Bilateral yang diajukan wajib pajak luar negeri kepada Pejabat Berwenang Mitra tax treaty.
Permohonan ini APA dapat mencakup seluruh atau sebagian Transaksi Afiliasi selama Periode APA dan Roll-back dalam hal Wajib Pajak meminta Roll-back dalam Permohonan APA.
Roll-back adalah pemberlakuan hasil kesepakatan dalam APA untuk tahun-tahun pajak sebelum Periode APA.
Roll-back berlaku sepanjang atas tahun pajak tersebut:
fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi tidak berbeda secara material dengan fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang telah disepakati dalam APA
belum daluwarsa penetapan;
belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Pajak Penghasilan Badan; dan
tidak sedang dilakukan penyidikan tindak pidana atau sedang menjalani pidana di bidang perpajakan.
Berdasarkan permohonan, Direktur Jenderal Pajak berwenang membuat kesepakatan dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan Pejabat Berwenang Mitra tax treaty untuk menentukan harga transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu.
Direktur Jenderal Pajak juga berwenang untuk mengawasi kesepakatan serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
Hubungan istimewa menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020 merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh:
kepemilikan atau penyertaan modal;
penguasaan; atau
hubungan keluarga sedarah atau semenda.
Keadaan ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dengan pihak lainnya merupakan keadaan satu atau lebih pihak yang mengendalikan pihak yang lain, atau tidak berdiri bebas, dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Hubungan istimewa karena penguasaan dianggap ada apabila:
satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung;
dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung;
terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak atau lebih;
para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu grup usaha yang sama; atau
satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain.
Salindia Sosialisasi Tata Cara Pelaksanaanย Advance Pricing Agreement
Mutual Agreement Procedur (MAP)
Mutual Agreement Procedure (MAP) merupakan alternatif bagi Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa yang menimbulkan pemajakan berganda, atau apabila terdapat indikasi bahwa tindakan otoritas Negara Mitra menyebabkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan tax treaty.
Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan permohonan asistensi kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai Competent Authority atas sengketa yang timbul dari pemajakan berganda dengan Negara Mitra tax treaty antara lain berasal dari penyesuaian akibat:
koreksi Transfer Pricing,
permasalahan berkaitan dengan keberadaan BUT (permanent establishment),
karakterisasi atas suatu penghasilan,
tindakan lain yang tidak sesuai dengan peraturan dalam tax treaty.
Ketentuan MAP yang terbaru diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 49/PMK.03/2019.
Dalam sistem pajak, netralitas dimaksudkan sebagai suatu pola kebijakan pemajakan (tax policy) yang tidak mencampuri atau mempengaruhi maupun mengarahkan pemilihan Wajib Pajak untuk apakah melakukan kegiatan ekonomi atau investasi di dalam atau di luar negeri.
Suatu pajak yang netral merupakan dambaan dari setiap pemegang yurisdiksi pemajakan karena sistem demikian mendorong alokasi sumber daya yang paling efesien dan optimal .
Menurut Parthasarathi Shome , efesiensi perekonomian akan tercermin dari pemajakan penghasilan global yang โnetralโ yaitu keputusan pemilihan lokasi investasi tidak dipengaruhi dengan perbedaan tarif pajak internasional atau tipe perlakuan pajak.
Dalam pelaksanaannya, netralitas pajak harus dijadikan sebagai standar penanggulangan distorsi pemajakan antara investasi dan tabungan. Distorsi tersebut harus diminimalisasi dengan mekanisme seperti kredit pajak luar negeri dan pengecualian penghasilan (income exemption) dan bahkan dengan perjanjian penghindaran pajak berganda multilateral.
Doernberg, menyebut tiga unsur netralitas:
capital-export neutrality
capital-impor neutrality
national neutrality
Netralitas ekspor modal atau capital-export neutrality maksudnya sistem pajak mempunyai citra netralitas ekspor modal atau netralitas pasar domestik (domestic-market neutrality) jika memberikan beban (perlakuan) yang sama terhadap investasi apakah dilakukan di dalam atau di luar negeri. Di mana pun investasi dilakukan, penghasilannya akan dikenakan pajak dengan ketentuan yang sama yang berlaku atas investasi domestik.
Aplikasi dari prinsip ini adalah pemberian kredit pajak luar negeri yang diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang PPh, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018.
Netralitas impor modal (capital-impor neutrality), maksudnya netralitas impor modal sering disebut sebagai netralitas pasar mancanegara atau kompetitif (foreign market or competitive neutrality).
Maksud netralitas impor modal adalah bahwa semua perusahaan yang menjalankan usaha atau investasi pada tempat yang sama menanggung (total) beban pajak dengan jumlah yang sama. Setiap investasi yang dilakukan pada suatu negara dikenakan pajak berdasarkan tarif (ketentuan) yang sama, tanpa memperhatikan kebangsaan atau tempat kedudukan investor. Para investor di suatu negara bersaing dengan sandaran ekualitas basis pemajakan.
Netralitas nasional (national neutrality), maksudnya netralitas nasional suatu pajak akan terwujud apabila pembagian penghasilan antara investor dan pemerintah tetap sama tanpa memperhatikan tempat investasi (pemberi penghasilan) dilakukan. Perlakuan perpajakan akan sama terhadap penghasilan dalam negeri atau penghasilan dari luar negeri.
Peggy B. Musgrave menyebutkan international tax neutrality yaitu pola perpajakan yang tidak mempengaruhi atau mengganggu pemilihan investasi Wajib Pajak apakah di dalam negeri maupun di luar negeri.
International tax neutrality mengharuskan tidak ada perbedaan beban pajak yang mempengaruhi hasil bersih antara investasi luar negeri dan dalam negeri. Setiap investor asing harus diyakinkan bahwa mereka menanggung beban pajak yang sama dengan investor dalam negeri.
Mengapa Terjadi Pajak Berganda?
Prinsip netralitas tersebut sering kali sulit terwujud karena terdapat pengenaan pajak berganda. Investasi yang ditanam di luar negeri akan mendapat beban pajak yang lebih tinggi karena akan dikenakan di dua negara yaitu di negara tempat investasi (negara sumber) dan di negara domisili. Artinya, tidak ada netralitas ekspor modal.
Terdapat dua jenis pajak berganda internasional yaitu, pajak ganda ekonomi dan pajak ganda yuridis .
Pajak ganda internasional ekonomis (economic international double taxation) adalah pajak ganda yang dikenakan oleh dua negara atas dua Subjek Pajak yang berbeda mengenai penghasilan yang sama yang didapat dari kegiatan ekonomi yang sama.
Contoh pajak ganda internasional ekonomis adalah pengenaan pajak atas dividen. Sebelum dibagikan kepada pemegang saham, penghasilan yang sama telah dikenakan pajak ditingkat perusahaan. Satu objek pajak yang diterima oleh dua Subjek Pajak yang berbeda dikenakan pajak dua kali.
Pajak ganda ekonomis akan selalu muncul jika suatu negara menganut classical system.
Sistem klasikal didasarkan atas asas pemisahan yang tegas antara badan di satu sisi dan pemiliknya di sisi lain. Dalam sistem ini pengenaan pajak atas badan dan pemiliknya yaitu orang pribadi dikenakan pajak sendiri-sendiri sehingga kalau pajak keduanya digabungkan akan menghasilkan tarif efektif yang lebih besar.
Untuk menghindari pajak ganda ekonomis, dibanyak negara diterapkan integration system yang terdiri dari
full integration system,
deviden deduction system,
split rate system,
devidend examption system, dan
imputation system.
Dua sistem yang terakhir dikenakan pada tingkat pemegang saham, sedangkan devidend deduction system dan split rate system dilakukan pada tingkat perusahaan.
Metode Penghindaran Pajak Berganda Ekonomi
Full integration system didasarkan pada filosofi bahwa beban pajak hanya dapat dirasakan oleh orang pribadi. Laba yang diperoleh perusahaan menjadi bagian penghasilan Orang Pribadi. Perusahaan hanya menjadi sarana dari Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memperoleh penghasilan sehingga pajak harus dikenakan kepada orang pribadi.
Pajak yang dikenakan atas perusahaan harus sepenuhnya dikreditkan atas pajak penghasilan orang pribadi pemegang saham. Sistem ini menghilangkan pajak ganda ekonomis.
Pada sistem yang lainnya pajak ganda ekonomis tidak hilang sama sekali tetapi efek gandanya tidak sebesar pada classical system. Efek gandanya sudah dieliminir.
Devidend deduction system adalah integrasi yang dilakukan hanya sebesar persentase normal deviden yang diperhitungkan. Bagian laba yang dikenakan pajak pada level perusahaan adalah sebesar jumlah laba yang sudah dikurangi dengan dividen.
Sedangkan pada devidend exemption system penghasilan dividen yang diterima oleh pemegang saham dikecualikan dari objek pajak penghasilan, baik sebagian atau seluruhnya.
Di rancangan undang-undang omnibus law perpajakan, konsep dividen exemption system nampaknya akan digunakan.
Split rate system adalah pengenaan pajak yang berbeda antara laba yang ditahan dengan laba yang dibagikan sebagai dividen. Tarif pajak atas laba yang dibagikan sebagai dividen lebih rendah daripada tarif atas laba ditahan.
Imputation system yaitu penghindaran pajak dengan memberikan imputed corporate tax kepada pemegang saham sebesar jumlah persentase tertentu dari dividen yang dibagikan dan imputed corporate tax ini menjadi kredit pajak bagi pemegang saham.
Pajak Ganda Yuridis
Jenis pajak ganda yang kedua adalah pajak ganda yuridis yang terdiri dari tiga macam, yaitu :
ada dual residence;
konflik antara asas domisili dengan asas sumber; dan
perbedaan definisi tentang sumber penghasilan (source rule).
Dual residence adalah seorang Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki status penduduk rangkap untuk tujuan perpajakan. Seseorang dianggap penduduk oleh dua otoritas pajak. Misalnya saya dianggap penduduk Indonesia dan Singapura.
Penyelesaian masalah dual residence ini dilakukan berdasarka a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency). Artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya.
Kriteria a tie breaker rule adalah
tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence;
pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada;
kebiasaan berdiam (habitual abode);
status kewarganegaraan (nationality) Wajib Pajak;
prosedur kesepakatan (MAP) yaitu prosedur kesepakatan antara kedua otoritas pajak dari masing-masing negara.
Jenis pajak ganda yuridis yang kedua disebabkan adanya konflik antara asas domisili dengan asas sumber.
Biasanya terjadi konflik antara world wide income principle dan konsep kewenangan atas wilayah. World wide income principle adalah negara domisili yang mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh penduduknya. Sedangkan negara sumber mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari negara tersebut .
Pasal 26 Undang-Undang PPh merupakan perwujudan konsep kewenangan atas wilayah. Indonesia mengenakan pajak penghasilan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia.
Konsep ini disebut juga asas sumber. Menurut asas sumber, negara tempat sumber penghasilan berasal, lebih berhak mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu. Tidak pandang di mana orang yang memiliki sumber itu berada.
Sebab ketiga yang dapat menyebabkan pajak ganda yuridis adalah bila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan sebagai penghasilan yang bersumber dari wilayahnya.
Karena pengertian sumber penghasilan (source rule) dari negara satu dengan negara lain berbeda maka masing-masing dapat saling mengakui sebagai negara sumber. Ini berakibat penghasilan yang sama dikenai pajak di dua negara.
Metode Penghindaran Pajak Berganda
Untuk menghindari beban pajak yang berlebihan, masing-masing negara biasanya memiliki peraturan sendiri untuk menghindari pengenaan pajak berganda. Tetapi yang telah menjadi konvensi di banyak negara ada dua metode, yaitu:
metode pembebasan, dan
metode kredit.
Metode pembebasan menghendaki suatu negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara sumber.
Metode pembebasan meliputi :
Pembebasan subjek
Pembebasan objek
Pembebasan pajak
Pembebasan subjek umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatik, konsuler dan organisasi internasional. Mereka umumnya dikenakan pajak di negara pemegang hak istimewa.
Seperti para diplomat Indonesia, dimana pun mereka ditempatkan, dikenakan pajak di Indonesia. Pembebasan subjek ini di Indonesia diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang PPh.
Pembebasan objek dikenal juga dengan full excemption atau excemption without progression. Metode ini mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan Wajib Pajak dalam negeri negara tersebut (negara domisili). Artinya, penghasilan yang diperoleh dari luar negeri (negara sumber) dikecualikan sebagai objek pajak.
Metode pembebasan pajak dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode ini, penghasilan luar negeri dibebaskan dari pajak domestik, namun untuk keperluan pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan.
Pengaruh progresi akan terasa efektif jika di negara domisili memberlakukan tarif progresif. Selain itu, metode ini akan berpengaruh positif saat penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebut harus diganti kembali (recapture) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba.
Metode penghindaran pajak berganda yang kedua adalah metode kredit pajak. Salah satu varian metode ini dipakai Indonesia dan diatur di Pasal 24 Undang-Undang PPh.
Metode kredit pajak memperkenankan pajak yang dibayar di negara sumber untuk dikreditkan di negara domisili.
Pada dasarnya, varian metode kredit pajak terdapat dua yaitu, kredit pajak penuh atau full credit dan kredit pajak dengan pembatasan atau ordinary credit.
Menurut metode full credit, negara domisili akan mengakui semua pajak yang telah dibayar di negara sumber sebagai kredit pajak di negara domisili. Dengan demikian, tidak ada pengenaan pajak berganda karena seluruh beban pajak yang dibayar di negara sumber dapat dikurangkan seluruhnya.
Kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit) pada intinya sama dengan full credit tetapi yang dapat dikurangkan dari pajak di negara domisili dibatasi sebesar pajak yang dihitung berdasarkan tarif di negara domisili.
Beberapa varian dari ordinary credit, yaitu:
Overall limitation
Per country limitation
Tax sparing
Underlying tax credit
Matching credit
Menurut metode overall limitation, batas kredit pajak yang diperkenankan adalah seluruh penghasilan luar negeri. Jika penghasilan diperoleh dari beberapa negara yang memiliki tarif bervariasi, cara ini dapat membuat batas kredit pajak yang lebih tinggi dari pada metode per country limitation.
Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:
rumus metode overall limitation
Menurut metode per country limitation, batas kredit pajak yang dapat diperkenankan adalah jumlah kredit pajak dari setiap negara yang dihitung berdasarkan jumlah penghasilan di setiap negara.
Rumus untuk menghitung kredit pajak luar negeri adalah:
rumus metode per county limitation
Indonesia termasuk negara yang menganut metode ini berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang PPh. Aturan pelaksana tentang kredit pajak luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 192/PMK.03/2018
Metode tax sparing disebut juga fictitious tax credit atau kredit pajak semu. Tax Sparing biasanya berkaitan dengan insentif pajak berupa bebas pajak atau tax holiday.
Pembebasan pajak yang dilakukan oleh negara sumber tidak akan dinikmati oleh investor jika di negara domisili tetap dikenakan pajak. Artinya, hanya memindahkan tempat pembayaran pajak dari negara sumber ke negara domisili sekaligus menganulir insentif pajak yang diberikan negara sumber.
Untuk melindungi investor dan tujuan dari insentif pajak, maka negara domisili dapat memberikan kredit pajak sejumlah tertentu atas pajak yang tidak dipungut oleh negara sumber.
Contoh: Indonesia memberikan tax holiday kepada industri pionir. Kemudian investor luar negeri (misal Jepang) investasi di Indonesia. Atas hasil investasi di Indonesia dibebaskan pajak penghasilan. Hasil ini kemudian dibawa ke negara Jepang. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negera sumber dan Jepang sebagai negara domisili.
Agar tujuan tax holiday efektif, maka di Indonesia seolah-olah bayar pajak. Pajak semu ini kemudian dibawa ke Jepang, dikreditkan. Sehingga di Jepang juga tidak bayar pajak. Inilah tax sparing.
Variasi lain yang termasuk dalam kategori tax credit adalah underlying tax credit, yaitu pajak yang dibayar oleh anak perusahaan di luar negeri yang dapat dikreditkan untuk keperluan penghitungan pengenaan pajak atas dividen yang dibagikan yang berasal dari laba.
Tujuan dari underlying tax credit adalah terciptanya perlakuan pajak yang sama (tax neutrality) antar cabang dengan anak perusahaan.
Variasi terakhir dari tax credit adalah matching credit. Metode matching credit biasaya diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang dan dituangkan dalam suatu persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty).
Penduduk dari satu negara maju dapat memperoleh kredit pajak dengan tarif penuh atas dividen yang diterima dari penduduk negara berkembang, walaupun tarif pajak di negara sumber dividen tersebut adalah lebih rendah.
Skema Penghindaran Pajak
Setidaknya ada empat jenis penghindaran pajak, yaitu:
hybrid mismatch arrengement,
manipulasi transfer pricing,
penghindaran status BUT, dan
Control Foreign Company.
Jenis penghindaran pajak pertama, hybrid mismatch arrangement, dilakukan oleh tax planner karena atas karakteristik instrumen yang sama terjadi inkonsistensi peraturan pajak antar negara . Dampak bisa jadi double non-taxation (alias tidak dikenakan pajak di mana pun).
Skema hybrid mismatch arrangement terdapat tiga macam. Pertama, adanya skema pengurangan berganda (double deduction scheme).
Double deduction scheme adalah pengakuan biaya untuk tujuan pajak dilakukan di dua negara yang berbeda.
Biasanya skema double deduction efektif jika ada perbedaan perlakukan perpajakan antar negara terkait entitas transparan. Atas entitas transparan suatu negara mengenakan pajak, ada juga yang tidak mengenakan pajak.
Skema kedua, deduction or no inclusion scheme. Skema deduction or no inclusion adalah pengakuan biaya bunga di satu negara tetapi diakuai sebagai dividen di negara lawan.
Misal, Negara Indonesia mengakui bahwa PT XYZ membayar bunga ke ABC Ltd di luar negeri. PT XYZ mencatat sebagai utang. Tetapi di ABC Ltd dianggap sebagai investasi. Sehingga pembayaran bunga di PT XYZ akan dicatat sebagai dividen di ABC Ltd. Cara ini akan efektif jika di Negara tempat ABC Ltd memperlakukan dividen bukan sebagai objek pajak.
Skema ketiga, foreign tax credit. Skema ini dimanfaatkan jika ada ketentuan bahw aentitas berhak mendapatkan kredit pajak luar negeri yang seharusnya tidak diterima.
Contoh: PT XYZ (dalam negeri) membeli saham SPV Ltd di luar negeri. SPV Ltd milik ABC Ltd di negara yang sama dengan SPV Ltd. Padahal PT XYZ memberikan pembiayaan kepada ABC Ltd.
Sementara di Luar Negeri, ABC Ltd mejual saham SPV Ltd dengan menyatakan komitmen untuk membeli kembali saham tersebut pada waktu yang ditentukan, dan harga yang disepakati.
Karena saham SPV Ltd dipegang PT XYZ maka SPV Ltd memberikan dividen kepada PT XYZ. Di luar negeri, SPV Ltd dikenakan pajak, dan (misal) Indonesia mengakui kredit pajak atas pajak SPV Ltd. Sehingga, atas penghasilan dividen ini, PT XYZ melaporkan penghasilan dividen dan melaporkan kredit pajak luar negeri.
Sementara di luar negeri, ABC Ltd mencatat sebagai utang. Saham SPV Ltd hanya sebagai jaminan. Bukan dijual. Sehingga ABC Ltd tetap sebagai pemilik SPV Ltd. ABC Ltd mencatatkan biaya bunga atas pembayaran ke PT XYZ dengan nilai yang sama dengan pembayaran dividen.
Sementara itu, penghindaran pajak melalui skema penghindaran status BUT dilakukan dengan memanfaatkan tax treaty. Intinya, perusahaan menghindari status BUT menurut tax treaty yang berlaku supaya negara sumber tidak berhak mengenakan pajak.
Contoh yang paling umum dan terang benderang adalah pemajakan atas perusahaan digital. Google meraup keuntungan dari Indonesia sebagai negara sumber (konsumen). Tetapi berdasarkan tax treaty yang berlaku, Indonesia tidak dapat mengenakan Pajak Penghasilan karena tidak ada BUT, sampai berlakunya MLI (Multilateral Instrument).
FAQ Pajak Internasional
Beberapa minggu yang lalu saya mengunduh file dari TKB di kantor. File ini berisi FAQ Pajak Internasional. Di bawah ini merupakan salinan FAQ Pajak Internasional dari TKB.
UMUM
Apa saja cakupan dari Pajak Internasional?
Cakupan dari Pajak Internasional adalah: a. Wajib Pajak Dalam Negeri yang memperoleh penghasilan dari luar negeri; dan b. Wajib Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari dalam negeri.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan: a. Pasal 2 ayat (3) dan b. Pasal 2 ayat (4)
Bagaimana pengenaan pajak berganda pada transaksi internasional dapat terjadi?
Pengenaan pajak berganda timbul akibat pengenaan pajak oleh lebih dari satu Negara terhadap Wajib Pajak yang sama dan atas objek pajak yang sama pada periode waktu tertentu. Pengenaan pajak berganda tersebut dapat terjadi pada kondisi sebagai berikut: a. Negara A mengenakan pajak pada penduduknya atas penghasilan yang berasal dari Negara B, sementara atas penghasilan yang sama Negara B mengenakan pajak karena bersumber di negara tersebut.
b. Negara A dan Negara B mengenakan pajak atas suatu penghasilan, karena masing-masing negara mengklaim bahwa penghasilan tersebut bersumber di negaranya.
c. Negara A dan Negara B mengenakan pajak terhadap seorang Wajib Pajak, karena masing-masing negara mengklaim sebagai penduduk di negaranya.
Pajak berganda internasional akan timbul karena atas satu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali. Pengenaan pajak berganda internasional timbul karena tiga konflik berikut: a. Konflik antar sesama Negara sumber b. Konflik antar sesama Negara domisili c. Konflik antar Negara sumber โ Negara domisili
Bagaimana dasar hukum pembentukan P3B, terutama dalam kaitannya dengan ketentuan perpajakan?
Sesuai dengan UU PPh, Pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka: a. penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak; b. pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba; c. pertukaran informasi perpajakan; d. bantuan penagihan pajak; dan e. kerja sama perpajakan lainnya.
Dalam rangka meningkatkan hubungan ekonomi, khususnya di bidang perpajakan, dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra dan seiring dengan perkembangan lanskap perpajakan internasional yang dinamis, Pemerintah Indonesia diberikan kewenangan untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral melalui perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) untuk penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerja sama perpajakan lainnya.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Pasal 32A Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Apakah P3B dapat menimbulkan hak pemajakan baru?
Tidak, karena P3B adalah suatu ketentuan yang dipergunakan untuk mengatur pembagian hak pemajakan atas transaksi lintas batas yang terjadi antar negara.
Dalam konteks perpajakan internasional, sistem pajak worldwide dan territorial merupakan alternatif utama yang digunakan negara domisili untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima dari Luar Negeri. Apakah yang dimaksud dengan sistem pajak worldwide dan territorial tersebut?
Setiap negara bebas untuk merancang dan menerapkan sistem pajak internasionalnya sendiri. Namun, pada umumnya, sistem perpajakan internasional dirancang berdasarkan dua prinsip perpajakan dasar, yaitu prinsip domisili (the residence principle) dan prinsip sumber (the territoriality principle).
Sistem pajak yang dirancang berdasarkan prinsip domisili dikenal dengan istilah sistem pajak worldwide. Sementara, sistem pajak berdasarkan prinsip sumber disebut dengan sistem pajak territorial.
Negara dengan sistem pajak territorial hanya mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber atau dianggap bersumber dari negara/yurisdiksinya. Sementara itu, penghasilan yang bersumber dari luar negeri tersebut (foreign income), tidak dikenakan pajak.
Negara yang menganut sistem pajak worldwide akan mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) negara tersebut, tanpa memperhatikan apakah penghasilan tersebut bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Selain mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima oleh WPDN, negara yang menganut sistem pajak worldwide juga mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN yang bersumber dari negaranya.
Apabila terjadi konflik atau perbedaan pengaturan pada ketentuan domestik dan P3B atas suatu transaksi internasional, ketentuan manakah yang berlaku?
P3B merupakan ketentuan lex-spesialis. Oleh karenanya, apabila terjadi konflik antara ketentuan P3B dan ketentuan domestik atas suatu transaksi internasional, ketentuan P3B lebih diutamakan.
Berdasarkan PMK-202/PMK.0102017 s.t.d.t.d PMK-236/PMK.010/2020, dalam hal terdapat ketentuan Pajak Penghasilan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan Pajak Penghasilan didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian internasional dimaksud.
Penjelasan Pasal 32A Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Peraturan Menteri Keuangan nomor 202/PMK.010/2017 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan yang Didasarkan pada Ketentuan dalam Perjanjian Internasional s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 236/PMK.010/2020
Bagaimana jika tarif pemotongan/pemungutan pajak atas bunga, royalti atau dividen dalam P3B lebih besar dibandingkan dengan tarif menurut ketentuan domestik?
Tarif dalam P3B bukan dimaksudkan untuk mengatur tarif pemajakan sebagaimana dalam ketentuan domestik (UU PPh), P3B hanya membagi hak pemajakan antara negara yang melakukan perjanjian.
Dalam hal tarif yang diatur dalam P3B lebih besar, maka tarif yang digunakan adalah yang sesuai dengan ketentuan domestik yang berlaku.
Apakah yang dimaksud dengan treaty shopping?
Treaty shopping adalah suatu praktik yang dilakukan oleh Wajib Pajak suatu negara dengan menggunakan suatu skema tertentu, untuk mendapatkan manfaat/fasilitas yang diberikan oleh tax treaty yang menggunakan pasal-pasal dalam tax treaty yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya tax treaty, yaitu untuk menghindari pajak berganda dan mencegah terjadinya penghindaran pajak.
Contoh transaksi yang dicurigai termasuk dalam skema penyalahgunaan P3B, antara lain: a. transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; b. transaksi yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) dan semata mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau c. transaksi yang penerima penghasilan bukan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis penghasilan (beneficial owner/BO).
Apakah yang dimaksud dengan Special Purpose Vehicle (SPV)?
IBFD International Tax Glossary (2015) mendefinisikan special purpose vehicle adalah entitas yang dibentuk untuk berpartisipasi dalam pengaturan keuangan terstruktur atau transaksi investasi yang biasanya sebagai bagian dari rencana pengurangan atau penghindaran pajak.
OECD Glossary Statistical Terms mendefinisikan special purpose entities adalah entitas yang secara umum terorganisir atau didirikan dalam perekonomian selain perekonomian di mana perusahaan induk berada.
Bentuk dari special purpose company antara lain; conduit company, letter box company, money box company, paper company, atau shell company.
Ketentuan mengenai special purpose company dalam aturan domestik diatur dalam: a. Pasal 18 ayat (3b) dan ayat (3c) UU Pajak Penghasilan, b. Peraturan Menteri Keuangan No. 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri, c. Peraturan Menteri Keuangan No. 140/PMK/2010 tentang Penetapan Wajib Pajak sebagai Pihak yang Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain atau Badan yang Dibentuk untuk Maksud Demikian (Special Purpose Company) yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan PIhak Lain dan Terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga, dan d. Peraturan Menteri Keuangan No. 142/PMK.010/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak yang Memiliki Harta Tidak Langsung Melalui Special Purpose Vehicle.
Definisi Special Purpose Vehicle (SPV): a. sesuai dengan Pasal 1 angka 2 PMK No.258/PMK.03/2008, perusahaan antara (special purpose company atau conduit company) adalah perusahaan antara yang dibentuk dengan tujuan penjualan atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Heaven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia. b. sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) PMK No. 127/PMK.010/2016, berdasarkan Undang Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, mendefinisikan special purpose company sebagai perusahaan antara yang didirikan semata-mata untuk menjalankan fungsi khusus tertentu untuk kepentingan pendirinya, seperti untuk pembelian dan/atau pembiayaan investasi, dan tidak melakukan kegiatan usaha aktif.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan: a. Pasal 18 ayat (3b) dan b. Pasal 18 ayat (3c)
Peraturan Menteri Keuangan No. 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 3(c) Undang Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib Pajak Luar Negeri;
Peraturan Menteri Keuangan No. 140/PMK/2010 tentang Penetapan Wajib Pajak sebagai Pihak yang Sebenarnya melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain atau Badan yang Dibentuk untuk Maksud Demikian (Special Purpose Company) yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Pihak Lain dan terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak yang Memiliki Harta Tidak Langsung melalui Special Purpose Vehicle s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.01/2016
Seringkali dijumpai modus di mana Wajib Pajak Luar Negeri menggunakan perusahaan antara (conduit company) di negara yang memiliki P3B dengan Indonesia sebagai perantara untuk menerima penghasilan dividen, bunga atau royalti dengan tujuan untuk memanfaatkan P3B antara Indonesia dengan negara mitra P3B di mana perusahaan conduit tersebut berada. Apakah atas manfaat P3B yang diterima oleh perusahaan conduit tersebut dapat dibatalkan dengan alasan perusahaan conduit tersebut bukan merupakan beneficial owner dari penghasilan dimaksud?
Secara umum, berdasarkan Pasal 2 PER-25/PJ/2018 untuk dapat memanfaatkan tarif P3B untuk penghasilan berupa dividen, bunga dan royalti, beneficial owner dari penghasilan tersebutlah yang harus merupakan residen dari negara mitra P3B.
Ketentuan domestik pajak internasional
Secara umum, apa yang diatur dalam PPh Pasal 26?
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
Jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 26, antara lain: a. dividen; b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; e. hadiah dan penghargaan; f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya; g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau h. keuntungan karena pembebasan utang.
Siapa Pemotong PPh Pasal 26?
Badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan: a. Pasal 26 ayat (1)
Bagaimanakah konsep โresidentโ dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty?
Dalam Pasal 4 ayat (1) P3B yang berpedoman pada Organisation for Economic Co-ordination and Development (OECD) Model, definisi mengenai resident atau disebut sebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN) diberikan kepada undang-undang domestik dari kedua negara yang mengadakan perjanjian tersebut.
Dengan demikian, untuk menentukan apakah subjek pajak merupakan resident dari negara yang mengadakan P3B adalah berpedoman pada ketentuan domestik masing-masing negara tersebut.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan: a. Pasal 2 ayat (3) dan b. Pasal 2 ayat (4) Model P3B: Pasal 4
Apa yang dimaksud dengan tempat usaha bersifat permanen dalam penentuan suatu bentuk usaha tetap?
Tempat usaha yang dianggap permanen sesuai dengan kriteria dalam bentuk usaha tetap, adalah sepanjang tempat usaha tersebut: a. digunakan secara kontinu; dan b. berada di lokasi geografis tertentu
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap: a. Pasal 5 ayat (3)
Apa saja kriteria suatu usaha untuk ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia?
Bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia; b. tempat usaha tersebut bersifat permanen; dan c. tempat usaha tersebut digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap: a. Pasal 4
Bagaimana cara menentukan periode waktu untuk penerapan P3B dalam BUT yang berbentuk proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan?
Untuk penerapan P3B, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, dapat dianggap merupakan bentuk usaha tetap sepanjang dikerjakan melebihi periode waktu dalam P3B, dengan ketentuan sebagai berikut: a. periode waktu dihitung sejak saat proyek mulai dikerjakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing; b. periode waktu berakhir saat : i. Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menyelesaikan pekerjaan dan menyerahkan hasil pekerjaan kepada penerima jasa konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; atau ii. Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menghentikan pekerjaan sebelum pekerjaan selesai; c. penghentian pengerjaan proyek untuk sementara tidak menunda penghitungan periode waktu; d. bagian dari hari dihitung penuh 1(satu) hari, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan hari; e. bagian dari bulan kalender dihitung penuh 1 (satu) bulan, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan bulan; dan f. waktu pengerjaan oleh subkontraktor diperhitungkan ke dalam periode waktu, dalam hal Orang Pribadi Asing atau Badan Asing meneruskan pekerjaan kepada subkontraktor dalam negeri maupun luar negeri.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap: a. Pasal 7
Apa saja yang menjadi obyek pajak dari suatu BUT?
a. penghasilan dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai BUT tersebut; b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of attraction); c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected).
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan: a. Pasal 5 ayat (1)
Bagaimana peran penting permanent establishment (PE) dalam pemajakan laba usaha yang diperoleh dari suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas?
Konsep permanent establishment (PE) atau bentuk usaha tetap (BUT) memiliki peranan penting dalam pemajakan laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas.
Laba usaha hanya dapat dipajaki di negara domisili perusahaan tersebut, kecuali perusahaan tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan negara tempat laba usaha tersebut diperoleh.
Hubungan yang dimaksud terbentuk saat perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usahanya di negara sumber penghasilan melalui suatu BUT. Artinya, negara sumber penghasilan tidak dapat memajaki laba usaha yang diperoleh subjek pajak luar negeri, tanpa adanya BUT di negara sumber penghasilan.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan: a. Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap
Apa saja jenis dari Bentuk Usaha Tetap?
Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: a. tempat kedudukan manajemen; b. cabang perusahaan; c. kantor perwakilan; d. gedung kantor; e. pabrik; f. bengkel; g. gudang; h. ruang untuk promosi dan penjualan; i. pertambangan dan penggalian sumber alam; j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan: a. Pasal 2 ayat (5)
Apa perbedaan antara BUT dan representative office?
Pasal 4 ayat 1 PMK-35/PMK.03/2019 diatur bahwa bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia; b. tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a bersifat permanen; dan c. tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan,
Sedangkan Representative Office didirikan dengan maksud untuk mengurus kepentingan perusahaan. Dalam Pasal 6 PMK-35/PMK.03/2019 dijelaskan bahwa: a. Kegiatan yang bersifat persiapan (preparatory) merupakan kegiatan pendahuluan agar kegiatan yang esensial dan signifikan siap untuk dilakukan. b. Kegiatan yang bersifat penunjang (auxiliary) merupakan kegiatan tambahan yang memperlancar kegiatan yang esensial dan signifikan.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan: a. Pasal 2 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap
Bagaimana penentuan BUT atas pemberian jasa?
Dalam PMK-35/PMK.03/2019 dijelaskan bahwa pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan merupakan bentuk usaha tetap sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. pegawai atau orang lain tersebut dipekerjakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing atau subkontraktor dari Orang Pribadi Asing atau Badan Asing tersebut; b. pemberian jasa dilakukan di Indonesia; dan c. pemberian jasa dilakukan kepada pihak di Indonesia atau di luar Indonesia.
Untuk penerapan P3B, penerapan jasa tersebut merupakan bentuk usaha tetap sepanjang dilakukan melebihi periode waktu dalam P3B di Indonesia.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap: a. Pasal 4 ayat (2), b. Pasal 8 ayat (1), dan c. Pasal 8 ayat (2)
Apakah kegiatan usaha yang dilakukan melalui website internet dimana website tersebut terdapat di luar negeri dapat menimbulkan bentuk usaha tetap?
Penggunaan website tidak menimbulkan Bentuk Usaha Tetap.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap
Sesuai dengan SE-50/PJ/2013, untuk setiap transaksi, pemeriksa akan melakukan uji eksistensi dan manfaat ekonomi. Pengujian tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa transaksi tersebut telah benar-benar dilakukan dan memberikan manfaat ekonomi bagi Wajib Pajak.
Bagaimana pemotongan PPh atas WPLN yang: a. memiliki BUT? b. tidak memiliki BUT?
BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan dalam negeri sehingga BUT wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana subjek pajak badan dalam negeri pada umumnya.
Bagi WPLN yang tidak memiliki BUT, maka penghasilan yang diperoleh akan dipotong/dipungut pajaknya oleh pemotong/pemungut pajak sesuai ketentuan UU PPh (PPh Pasal 26), atau sesuai dengan ketentuan dalam P3B sepanjang WPLN menyampaikan SKD WPLN.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan: a. Pasal 2 ayat (1a) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda: a. Pasal 3
Bagaimana penentuan CFC sesuai dengan ketentuan domestik?
Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PMK-107/PMK.03/2017 s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019:
Wajib Pajak dalam negeri yang: a. Memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor pada Badan Usaha Luar Negeri (BULN) Nonbursa; atau b. Secara bersama sama dengan WPDN lainnya memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor pada BULN Nonbursa
ditetapkan memiliki pengendalian langsung terhadap BULN Nonbursa.
BULN Nonbursa terkendali tidak langsung merupakan BULN Nonbursa yang dikendalikan secara tidak langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri melalui: a. BULN Nonbursa terkendali langsung; atau b. BULN Nonbursa terkendali langsung dan BULN Nonbursa terkendali tidak langsung pada tingkat penyertaan modal sebelumnya
dengan penyertaan modal sebesar 50% atau lebih dari jumlah saham yang disetor pada setiap tingkat penyertaan modal.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019
Bagaimana perbedaan perlakuan PMK-107/2017 dan PMK-93/2019?
Ketentuan umum PMK-107/2017 dan PMK-93/2019:
PMK-107/2017 berlaku untuk Tahun Pajak 2017 dan Tahun Pajak 2018 mengatur mengenai penetapan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya atas penyertaan modal pada BULN Nonbursa terkendali berdasarkan laba setelah pajak;
PMK-93/2019 berlaku mulai Tahun Pajak 2019 mengubah ketentuan yang ada pada PMK-107/2017 yang meliputi: a. mengatur jenis penghasilan yang menjadi dasar pengenaan Deemed Dividend; b. mengubah dasar pengenaan Deemed Dividend yaitu laba setelah pajak BULN Nonbursa terkendali menjadi jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019
Bagaimana penentuan saat perolehan deemed dividend?
Sesuai dengan Pasal 3 PMK-107/PMK.03/2017 s.t.d.t.d. PMK 93/PMK.03/2019, saat diperolehnya Deemed Dividend atas penyertaan modal langsung WPDN pada BULN Nonbursa terkendali langsung ditetapkan pada:
akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun pajak yang bersangkutan;
akhir bulan ketujuh setelah tahun pajak yang bersangkutan berakhir, dalam hal BULN Nonbursa terkendali langsung tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan.
dalam hal BULN Nonbursa terkendali Iangsung tersebut berdomisili di negara atau yurisdiksi yang memiliki pilihan untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan interim (berdasarkan estimasi), saat diperolehnya Deemed Dividend tersebut ditetapkan pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan akhir (final) bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun yang bersangkutan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019
Bagaimana perlakuan perpajakan apabila jumlah dividen yang diterima berbeda dari deemed dividend?
Dalam hal deemed dividend lebih besar dari dividen yang diterima, maka, selisih deemed dividend tersebut menjadi saldo yang dapat diperhitungkan dengan dividen yang diterima dalam jangka waktu lima tahun.
Dalam hal deemed dividend lebih kecil dari dividen yang diterima, maka selisih dividen yang diterima dikenai Pajak Penghasilan dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pada Tahun Pajak diterimanya dividen.
Bagaimana interaksi antara ketentuan Deemed Dividend dengan ketentuan dividen yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja?
Dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, maka ketentuan Deemed Dividend tetap berlaku sepanjang:
BULN Nonbursa terkendali langsung tidak membagikan dividen kepada WPDN; dan/atau
WPDN tidak melakukan investasi di Indonesia atas dividen yang dibagikan oleh BULN Nonbursa terkendali langsung
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: a. Pasal 39
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019
PT JKL mendirikan anak perusahaan (Cayman JKL Co.) yang dimiliki 100% di Cayman Island untuk menampung penghasilan dari luar negeri. Di negara tersebut tidak terdapat pajak atas penghasilan dan penghasilan yang dikirim ke luar negeri (outbound income) tidak dikenakan pajak. Pada tahun 2017, PT JKL memperoleh penghasilan neto dalam negeri sebesar 1.000, sementara pada tahun yang sama Cayman JKL Co. memperoleh penghasilan neto sebesar 500. Apabila Cayman JKL Co tidak membagikan dividen, berapa beban pajak yang ditanggung oleh PT JKL pada tahun 2017?
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) PMK-107/PMK.03/2017, Cayman JKL Co. dapat ditetapkan sebagai Controlled Foreign Company (CFC) karena penyertaan modal langsung PT JKL lebih besar dari 50%.
Penghasilan yang diperoleh Cayman JKL Co. dapat ditetapkan sebagai dividen yang seharusnya diterima oleh PT JKL. Besarnya beban pajak yang harus dibayarkan PT JKL Tahun 2017 adalah:
Penghasilan netto dalam negeri Rp1.000 Penghasilan netto luar negeri Rp500 Penghasilan Kena Pajak Rp1.500 Tarif Pajak Penghasilan Badan = 25% Pajak terutang = 25% x Rp1.500 = Rp375
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek s.t.d.t.d. PMK-93/PMK.03/2019.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 55/PJ/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019
Berdasarkan kondisi pada pertanyaan nomor 6, dalam hal CFC didirikan di Singapura (tarif pajak 18%, dan outbound income dalam bentuk dividen tidak dikenakan pajak). Berapakah beban pajak yang ditanggung oleh PT JKL pada tahun 2017?
Besarnya beban pajak PT JKL Tahun 2017 adalah: Penghasilan netto dalam negeri Rp1 .000 Penghasilan netto luar negeri Rp500 PPh (Singapura) = 18% x Rp500 = Rp90 Penghasilan Netto Setelah Pajak di LN (Dasar Pengenaan Deemed Dividend) = Rp500 โ Rp90 = Rp410 Penghasilan Kena Pajak (total) Rp1.410 Tarif Pajak Penghasilan Badan = 25% Pajak terutang = 25% x Rp1.410 = Rp352,5
Bagaimana sebuah perusahaan disebut melakukan thinly capitalized? Apa tujuan sebuah perusahaan melakukan thinly capitalized tersebut?
Suatu perusahaan disebut thinly capitalized apabila terdapat perbandingan yang tinggi antara modal hutang (debt capital) dan modal ekuitas (equity capital). Tujuan dari thin capitalization adalah untuk memperoleh tingkat penghasilan kena pajak yang rendah karena adanya tambahan beban bunga hutang/pinjaman, sehinga beban pajakyang ditanggung sebuah perusahaan menjadi lebih kecil.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan
Apakah yang disebut dengan Branch Profit Tax?
Branch Profit Tax adalah pajak penghasilan tambahan yang dikenakan kepada penghasilan neto BUT. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh, penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Berdasarkan PMK-14/PMK.03/2011, Branch Profit Tax tidak dikenakan jika Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia seluruhnya ditanamkan kembali di Indonesia, dalam bentuk:
penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham; pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Apa yang dimaksud dengan beneficial owner dalam ketentuan domestik?
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PER-25/PJ/2018, WPLN memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner dalam hal:
bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
bagi WPLN badan, harus memenuhi ketentuan: a. tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit, b. mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia; c. tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain; d. menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki; dan e. tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.
Bagaimana perlakuan kerugian usaha di luar negeri sesuai ketentuan domestik?
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) PMK-192/PMK.03/2018, dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, WPDN tidak dapat memperhitungkan:
kerugian usaha dari cabang atau perwakilan di luar negeri, termasuk kerugian usaha dari cabang atau perwakilan di luar negeri yang diperoleh setelah memperhitungkan kerugian yang diperoleh dari harta atau kegiatan yang memiliki hubungan efektif dengan cabang atau perwakilan WPDN di luar negeri; dan
Perpu nomor 1 tahun 2020 menjadi omnibus law pertama di Indonesia
Presiden Jokowi telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2020. Ini adalah peraturan perundang-undangan dengan cara omnibus law. Satu undang-undang mengubah dan mengatur beberapa undang-undang.
Salah satu bagian yang diubah adalah undang-undang perpajakan. Bagian Ketiga tentang Kebijakan di Bidang Perpajakan. Perpu ini mengatur:
penurunan tarif PPh Badan dan BUT;
perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE);
perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.
Penyesuaian tarif PPh Badan dan BUT dimulai tahun 2020. Tarif PPh Badan dan BUT berlaku untuk tahun pajak 2020 dan 2021 menjadi 22%. Atau Diskon 3% dari tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh. Dan tahun 2022 diskon lagi menjadi hanya 20%.
Perusahaan terbuka (Tbk) dapat diskon lagi, yakni 3% lebih rendah dari tarif diatas. Jadi untuk perusahaan Tbk berlaku tarif 19% untuk tahun pajak 2020 dan 2021. Sedangkan tahun pajak 2022 menjadi 17%.
Fasilitas untuk perusahaan Tbk ada syarat tambahan, yaitu 40 saham go public dan syarat tertentu lain. Perpu tidak merinci apa yang dimaksud dengan syarat tertentu lain.
Selanjutnya, diskon tarif diatas mungkin akan dilanjutkan dengan undang-undang omnibus law khusus perpajakan.
Pajak Transaksi Elektronik
Perpu ini juga mengatur bahwa perdagangan PMSE dikenai PPN. Dan dikenai juga PPh atau pajak transaksi elektronik. Ini yang benar-benar baru. Perpu 1 memunculkan jenis pajak baru. Yakni pajak transaksi elektronik.
Jika WPLN memanfaatkan tax treaty sehingga tidak dapat dikenai PPh, maka Indonesia mengenakan pajak transaksi elektronik.
PPN yang dikenakan atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh:
pedagang luar negeri,
penyedia jasa luar negeri,
PPMSE luar negeri, dan/atau
PPMSE dalam negeri
Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan PPMSE luar negeri dapat ditetapkan sebagai BUT jika memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan.
Ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat berupa:
peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu;
penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu; dan/atau
pengguna aktif media digital di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu.
Jenis pajak baru diatur di Pasal 6 ayat (8), yaitu:
Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik.
Pokoknya, pelaku ekonomi digital harus bayar pajak.
Pasal 6 ayat (8) Perpu 1 tahun 2020
Pajak transaksi elektronik dikenakan atas transaksi penjualan barang dan/atau jasa dari luar Indonesia melalui PMSE kepada pembeli atau pengguna di Indonesia yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri, baik secara langsung maupun melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri.
Selain itu, hal baru di Perpu ini adalah kewenangan Menteri Keuangan untuk mengusulkan penutupan akes elektronik kepada pelaku ekonomi digital. Hal ini diatur di Pasal 7 ayat 3:
Terhadap pelaku kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain dikenai sanksi administratif juga dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberi teguran.
Relaksasi Jatuh Tempo
Perpu 1 tahun 2020 memberikan kelonggaran kepada petugas pajak dan kepada Wajib Pajak berupa relaksasi jatuh tempo.
Salah satunya penambahan waktu bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak. Dari semula 3 bulan menjadi 9 bulan sejak surat ketetapan pajak.
Pasal 8 huruf a Perpu 1 tahun 2020
Selain pengajuan keberatan, penambahan jatuh tempo 6 bulan juga berlaku selama Covid19 untuk proses:
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP
permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang KUP
Dan terakhir, jatuh tempo penerbitan SKPKPP (Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak) ditambah 1 bulan. Menjadi 2 bulan.
Halaman berikutnya Surat Edaran Direktur Jederal Pajak nomor SE-22/PJ/2020.
Diantara praktisi pajak, transfer pricing (TP) termasuk ilmu yang menggiurkan. Terutama bagi konsultan pajak. Produk TP berupa TP Doc harganya mahal dibandingkan dengan jasa konsultansi pajak lainnya. Sebelum memahami cara buat TP Doc, perlu dipahami dasar-dasar transfer pricing.
Transfer pricing pada dasarnya adalah restrukturisasi transaksi di perusahaam multinasional atau perusahaan grup (afiliasi). Transfer pricing akan lebih efektif jika memanfaatkan perbedaan tarif PPh antara satu negara dengan negera lain.
Saya memandang transfer pricing sebagai cara menggeser-geser objek pajak penghasilan dengan cara memainkan harga. Bayangkan jika kita memiliki perusahaan di beberapa negara. Kita akan memaksimalkan laba perusahaan dengan cara memberikan marjin laba yang lebih besar di negara yang bebas pajak (atau tarif pajak rendah), dan membuat rugi di negara yang tarif pajaknya tinggi.
Menentukan harga wajar itu sebuah seni memilih metode. Beda metode, beda harga. Metode transfer pricing yang diakui Direktorat Jenderal Pajak pasca Undang-Undang HPP semakin banyak.
Awalnya, di Indonesia, TP hanya boleh diterapkan untuk transaksi dengan luar negeri dan transaksi dengan perusahaan yang menggunakan PPh final. Transaksi luar negeri maksudnya transaksi perusahaan multinasional yang memanfaatkan perbedaan tarif pajak penghasilan.
Kenapa tidak diterapkan di satu grup di Indonesia? Karena dulu sering disebut “kantong kiri kantong kanan”. Contoh: PT A dan PT B satu grup perusahaan. PT A jual ke PT B. Jika PT A dikoreksi positif oleh otoritas pajak (diperiksa transfer pricing), maka PT B dapat meminta koreksi negatif dengan cara pembetulan SPT PT B. Sehingga laba satu grup tidak ada perubahan laba. Hanya geser laba dari PT B ke PT A.
Sebenarnya cara yang sama dapat diterapkan untuk transaksi luar negeri. Anggap saja B Ltd berada di Singapura. PT A dan B Ltd satu grup. PT A jual barang ke B Ltd. Jika PT A dikoreksi oleh kantor pajak, maka B Ltd dapat meminta ke otoritas pajak Singapura untuk melakukan perundingan dengan otoritas pajak Indonesia tentang koreksi tersebut. Sehingga profit secara grup tidak berubah signifikan.
Proses perundingan antar otoritas pajak disebut MAP. Berikut ini merupakan contoh MAP antara DJP dan IRAS, antara Indonesia dan Singapura, yang sudah disepakati.
Sejak berlaku Peraturan Menteri Keuangan nomor 213/PMK.03/2016, Wajib Pajak berikut wajib membuat TP Doc, yaitu:
peredaran bruto setahun lebih dari 50 miliar rupiah (jika beroperasi kurang dari setahun maka harus disetahunkan);
nilai transaksi afiliasi tahun pajak sebelumnya 20 miliar rupiah untuk barang berwujud, atau 5 miliar rupiah untuk penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud, atau transaksi afiliasi lainnya; atau
fihak afiliasi berada di negara yang memiliki tarif lebih rendah daripada tarif UU PPh Indonesia.
Hubungan Istimewa
Transfer pricing hanya dapat diterapkan jika terjadi transaksi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa. Sehingga perlu dipahami dulu bagaimana hubungan istimewa menurut ketentuan.
Ketentuan hubungan istimewa diatur di Pasal 18 ayat (4) Undang-undang PPh. Menurut ketentuan, hubungan istimewa dianggap ada apabila:
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Selain di Undang-undang PPh, ketentuan hubungan istimewa juga diatur di Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN.
Ketentuan hubungan istimewa juga diatur di tax treaty (P3B). Biasanya diatur di Pasal 9 tentang Associated Enterprises. Sebagai contoh, berikut saya kutipkan Pasal 9 tax treaty antara Indonesia dengan Singapura:
Where :
(a) an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of the other Contracting State; or
(b) the same persons participate directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting State;
and in either case conditions are made or imposed between the two enterprises in their commercial or financial relations which differ from those which would be made between independent enterprises, any profits which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly.
Hubungan Istimewa Karena Faktor Penyertaan Modal
Hubungan istimewa menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020 merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh:
kepemilikan atau penyertaan modal;
penguasaan; atau
hubungan keluarga sedarah atau semenda.
hubungan istimewa karena penyertaan saham
Sebab pertama hubungan istimewa adalah penyertaan modal saham di perusahaan minimal 25% atau lebih. Penyertaan modal terbagi dua, yaitu penyertaan modal langsung dan penyertaan modal tidak langsung.
Penyertaan modal langsung artinya perusahaan induk langsung memiliki saham anak. Pada contoh diatas adalah PT A sebagai induk dan anak perusahaan PT B dan PT D. Juga PT B sebagai induk dan PT C sebagai anak.
Penyertaan modal tidak langsung artinya perusahaan induk memiliki porsi kepemilikan saham melalui anak perusahaan. Pada contoh diatas, penyertaan tidak langsung adalah PT A kepada PT C. Porsi kepemilikan 25% yaitu dari 50% saham di PT B, dikalikan dengan 50% saham PT B di PT C.
Pada contoh diatas, jika ada transaksi antara PT C dengan PT D, walaupun tidak ada hubungan kepemilikan langsung diantara keduanya, tetapi PT A bisa mengendalikan keduanya. Sehingga jika terdapat transaksi jual beli antara PT C dengan PT D, atas transaksi tersebut tetap memiliki hubungan istimewa.
HUBUNGAN ISTIMEWA KARENA FAKTOR penguasaan
contoh hubungan istimewa karena penguasaan manajemen
Sebab kedua hubungan istimewa adalah penguasaan. Walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan, penguasaan dapat menyebabkan hubungan istimewa bisa terjadi karena:
penguasaan manajemen, atau
penggunaan teknologi.
Penguasaan manajemen tidak harus secara formal disebut dalam dokumen perusahaan atau struktur organisasi. Pada praktiknya, bisa jadi seseorang menguasi beberapa perusahaan tetapi secara formal tidak tercatat sebagai pengurus. Ya, semacam penguasa di balik layar.
Penguasaan manajemen memungkinkan seseorang menentukan harga transaksi tidak berdasarkan harga wajar. Bisa lebih besar atau lebih kecil dari harga wajar.
Sebagai contoh, jika transaksi dengan perusahaan yang pengenaan PPh-nya menggunakan PPh final, maka manajemen dapat mengalihkan laba di perusahaan yang dikenakan PPh final. Tujuannya agar pajak lebih kecil.
Atau jika lawan transaksi ada yang masih rugi, bisa jadi keuntungkan akan digeser ke perusahaan yang masih rugi sehingga ruginya jadi kecil ataupun tidak rugi tapi labanya sedikit. Sehingga pajaknya juga lebih kecil.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020 hubungan istimewa karena penguasaan dianggap ada apabila:
satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung;
dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung;
terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak atau lebih;
para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu grup usaha yang sama; atau
satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain.
HUBUNGAN ISTIMEWA KARENA FAKTOR keluarga
contoh hubungan istimewa karena faktor keluarga
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak. Sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara, yakni kakak dan adik Wajib Pajak.
Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri. Sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar, yakni kakak dan adik dari pasangan Wajib Pajak.
Kedua hubungan keluarga tersebut, baik garis keturunan maupun keluarga semenda, merupakan hubungan istimewa. Jika Wajib Pajak ada transaksi usaha dengan keluarga maka kantor pajak dapat menentukan atau menghitung sendiri harga wajar transaksi tersebut.
Hubungan istimewa menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020 bisa dibaca di Pasal 4 ayat (5) berikut:
Biasanya baca salindia sosialisasi lebih memudahkan. Berikut ini salindia sosialisasi Peraturan Menteri Keuangan No 22/PMK.03/2020 di Ikatan Akuntan Indonesia:
The Arm’s Length Principle
Kata kunci kedua dari transfer pricing adalah arm’s length principle (ALP), atau prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Kalau hubungan istimewa merupakan pintu masuk transfer pricing, maka ALP dasar perhitungan. Semua metode penghitungan transfer pricing tujuannya mencari harga arm’s length.
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip yang mengatur bahwa dalam hal kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang dijadikan sebagai pembanding, harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dimaksud harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau rentang laba dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang dijadikan sebagai pembanding.
Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Keuangan nomor 213/PMK.03/2016
Penerapan ALP merujuk pada kondisi yang seharusnya diperoleh dari transaksi antar perusahaan independen. Yakni transaksi comparable uncontrolled. Pendekatan yang digunakan yakni seolah-olah transaksi antar perusahaan (hubungan istimewa) merupakan transaksi dengan perusahaan independen.
ALP mengharuskan perusahaan afiliasi (yaitu entitas dalam satu grup) melakukan transaksi harga di antara mereka sendiri (transaksi dengan anggota satu grup) seolah-olah mereka adalah pihak ketiga. Independen.
Harga di antara mereka sendiri harus sama. Atau berada dalam rentang harga, atau rentang laba dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang dijadikan sebagai pembanding.
Siapa yang wajib menerapkan arm’s length principle? Semua wajib pajak yang melakukan transaksi dengan afiliasi, yang memiliki hubungan istimewa. Ketentuan ini tidak dibatasi apakah wajib pajak wajib membuat TP Doc atau tidak wajib.
Keberadaan transaksi afiliasi adalah transaksi yang memenuhi prinsip arm’s length, harus dapat membandingkan keberadaan transaksi dengan praktik bisnis serupa yang dilakukan oleh pelaku bisnis lain di sektor bisnis yang sama dengan Wajib Pajak.
Prinsip yang mendasari arm’s length adalah adanya separate entity. Suatu transaksi diasumsikan sebagai transaksi antar entitas yang terpisah (separate entity) walau merupakan transaksi satu grup perusahaan. Penghasilan dan biaya akan dilaporkan ke otoritas pajak dalam entitas yang berbeda.
Unitary Approach
Bertolak belakang dengan arm’s length, secara teori terdapat satu metode yang disebut unitary approach. Jika arm’s length mengambil asumsi sepate entity, maka unitary approach mengambil asumsi entitas yang sama. Perusahaan multinasional dianggap merupakan satu kesatuan entitas ekonomi atau single economic entity.
Biasanya kebijakan perusahaan bersifat sentralistik, diatur oleh induk atau holding. Namun fungsi dan operasional dilakukan oleh anak perusahaan yang berada di negara berbeda (otoritas pajak berbeda). Sehingga jika melihat dari kacamata pemilik perusahaan, maka berbagai entitas yang ada merupakan satu kesatuan kebijakan yang sudah ditentukan oleh holding.
Penghasilan dari entitas multinasional atau grup diperoleh dari berbagai afiliasi (perusahaan yang memiliki hubungan istimewa) yang nantinya akan menjadi single taxable unit. Pada dasarnya, pemisahan entitas afiliasi berdasarkan negara tidak diperlukan.
Untuk menghitung taxable income masing-masing negara (otoritas pajak), dibuat dengan menggunakan global formulary apportionment.
Namun demikian, arm’s lenght telah diterima oleh banyak negara. Alasan utama penerapan arm’s lenght adalah karena konsep ini menyediakan ruang untuk diperkenannya berbagai macam perlakuan (treatment) atas suatu entitas yang merupakan bagian dari entitas multinasional dan adanya treatment bagi entitas independen.
Selain itu, penerapan global formulary apportionment tidak mudah. Ada tiga tahap penerapan global formulary apportionment yaitu:
mendefinisikan ulang konsep bisnis terintegrasi,
menghitung pendapatan global agregat, dan
mengalokasikan pendapatan untuk setiap negara berdasarkan perhitungan agregat tersebut.
TP Doc
Dokumen transfer pricing diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen Dan/Atau Informasi Tambahan Yang Wajib Disimpan Oleh Wajib Pajak Yang Melakukan Transaksi Dengan Para Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, Dan Tata Cara Pengelolaannya.
Pada dasarnya TP Doc ada 3 jenis, yaitu:
Master file (dokumen induk)
Local file (dokumen lokal), dan
CbCR (laporan per negara)
Siapa yang wajib membuat TP Doc menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 213/PMK.03/2016 ?
Tidak semua Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan afiliasi wajib membuat TP Doc. Ada 4 golongan Wajib Pajak yang wajib membuat Master File dan Local File, yaitu:
nilai peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya dalam satu Tahun Pajak lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau
nilai Transaksi Afiliasi Tahun Pajak sebelumnya dalam satu Tahun Pajak: lebih dari Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) untuk transaksi barang berwujud; atau
nilai Transaksi Afiliasi Tahun Pajak sebelumnya dalam satu Tahun Pajak: lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk masing-masing penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud, atau Transaksi Afiliasi lainnya; atau
Pihak Afiliasi yang berada di negara atau yurisdiksi dengan tarif Pajak Penghasilan lebih rendah dari pada tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.
Transaksi afiliasi diatas adalah transaksi di dalam negeri dan/atau luar negeri. Jadi kewajiban membuat TP Doc berlaku walaupun Wajib Pajak hanya melakukan transaksi afiliasi di dalam negeri.
Informasi di Master File
Peraturan Menteri Keuangan nomor 213/PMK.03/2016 mengatur bahwa dokumen induk (master file) harus memuat informasi mengenai Grup Usaha paling sedikit sebagai berikut:
struktur dan bagan kepemilikan serta negara atau yurisdiksi masing-masing anggota;
kegiatan usaha yang dilakukan;
harta tidak berwujud yang dimiliki;
aktivitas keuangan dan pembiayaan; dan
Laporan Keuangan Konsolidasi Entitas Induk dan informasi perpajakan terkait Transaksi Afiliasi.
Bagian pertama, struktur dan bagan kepemilikan Grup Usaha serta negara atau yurisdiksi masing-masing anggota Grup Usaha memuat informasi sebagai berikut:
daftar pemegang saham dan persentase kepemilikan saham serta daftar pengurus dari masing-masing anggota Grup Usaha;
bagan kepemilikan Grup Usaha yang menunjukkan keseluruhan hubungan kepemilikan saham anggota Grup Usaha; dan
lokasi geografis (negara atau yurisdiksi) masing-masing anggota Grup Usaha
Bagian kedua, kegiatan usaha yang dilakukan oleh Grup Usaha memuat informasi sebagai berikut:
daftar anggota Grup Usaha dan kegiatan usaha masing-masing anggota Grup Usaha;
faktor penentu yang mempunyai peran penting dalam menentukan laba masing-masing anggota Grup Usaha;
penjelasan dan skema/grafik/diagram mengenai rantai usaha untuk 5 (lima) besar produk dan/atau jasa yang dihasilkan oleh Grup Usaha serta untuk produk atau jasa lain yang dihasilkan oleh Grup Usaha dengan nilai peredaran bruto usaha 5 (lima) persen atau lebih dari total peredaran bruto Grup Usaha;
daftar dan penjelasan mengenai kontrak-kontrak/perjanjian-perjanjian yang penting antar anggota Grup Usaha, termasuk penjelasan mengenai kemampuan dari anggota Grup Usaha yang menyediakan jasa serta kebijakan harga transfer atas pengalokasian biaya-biaya dalam rangka penyediaan jasa serta penentuan harga yang harus dibayar atas penyediaan jasa antar anggota dalam Grup Usaha;
penjelasan mengenai lokasi geografis (negara atau yurisdiksi) yang menjadi pasar utama dari produk-produk dan/atau jasa-jasa yang dihasilkan oleh Grup Usaha;
penjelasan umum mengenai analisis fungsional Grup Usaha yang mencakup analisis fungsi, aset, dan risiko yang dilakukan Grup Usaha yang menjelaskan kontribusi dari setiap anggota Grup Usaha dalam pembentukan nilai; dan
penjelasan mengenai restrukturisasi usaha, akuisisi usaha, dan divestasi usaha yang pernah dilakukan oleh anggota Grup Usaha selama 5 (lima) tahun terakhir.
Bagian ketiga, harta tidak berwujud yang dimiliki Grup Usaha memuat informasi sebagai berikut:
penjelasan tentang strategi Grup Usaha dalam pengembangan, kepemilikan, dan eksploitasi harta tidak berwujud, termasuk lokasi fasilitas kegiatan riset dan pengembangan serta lokasi manajemen R&D;
daftar harta tidak berwujud atau kelompok harta tidak berwujud milik Grup Usaha yang penting untuk analisis Penentuan Harga Transfer, serta penjelasan mengenai anggota Grup Usaha yang secara hukum memiliki harta dimaksud;
daftar dan penjelasan mengenai pihak-pihak dalam anggota Grup Usaha yang berkontribus dalam pengembangan harta tidak berwujud;
daftar kontrak/perjanjian antar anggota Grup Usaha terkait harta tidak berwujud termasuk perjanjian Cost Contribution Arrangement (CCA), perjanjian jasa riset dan pengembangan, serta perjanjian terkait pemberian lisensi;
penjelasan tentang kebijakan harga transfer Grup Usaha sehubungan dengan kegiatan Riset dan Pengembangan dan harta tidak berwujud; dan
penjelasan tentang pengalihan kepemilikan harta tidak berwujud yang terjadi antar anggota Grup Usaha dalam Tahun Pajak yang bersangkutan termasuk nama anggota Grup Usaha, negara atau yurisdiksi, dan kompensasi atas pengalihan kepemilikan harta tidak berwujud.
Bagian keempat, aktivitas keuangan dan pembiayaan dalam Grup Usaha memuat informasi sebagai berikut:
penjelasan tentang pembiayaan yang digunakan oleh Grup Usaha, termasuk perjanjian pembiayaan dengan pemberi pinjaman yang independen;
identifikasi dan penjelasan tentang anggota Grup Usaha yang menjalankan fungsi sebagai pusat keuangan/pembiayaan untuk anggota Grup Usaha, termasuk informasi tentang negara atau yurisdiksi tempat anggota Grup Usaha tersebut didirikan dan tempat manajemen efektifnya berada; dan
penjelasan tentang kebijakan harga transfer sehubungan perjanjian-perjanjian pembiayaan antar anggota Grup Usaha.
Bagian kelima, Laporan Keuangan Konsolidasi Entitas Induk dan informasi perpajakan terkait Transaksi Afiliasi memuat informasi sebagai berikut:
laporan keuangan konsolidasi Grup Usaha untuk Tahun Pajak terkait baik yang disiapkan untuk kepentingan eksternal maupun internal; dan
daftar dan penjelasan tentang Advance Pricing Agreement (APA) yang dimiliki oleh anggota Grup Usaha dan ketentuan perpajakan lainnya terkait alokasi penghasilan antar anggota Grup Usaha.
INFORMASI DI local FILE
Dokumen lokal menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 213/PMK.03/2016 harus memuat informasi mengenai Wajib Pajak paling sedikit sebagai berikut:
identitas dan kegiatan usaha yang dilakukan;
informasi Transaksi Afiliasi dan transaksi independen yang dilakukan;
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;
informasi keuangan; dan
peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian /fakta-fakta non-keuangan yang memengaruhi pembentukan harga atau tingkat laba.
Bagian pertama, identitas dan kegiatan usaha yang dilakukan Wajib Pajak memuat informasi sebagai berikut:
penjelasan tentang struktur manajemen Wajib Pajak, bagan organisasi, informasi mengenai pihak-pihak di dalam atau luar negeri yang merupakan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa, dan negara atau yurisdiksi pihak-pihak tersebut berada;
penjelasan detail tentang usaha dan strategi usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak, termasuk indikasi dalam hal Wajib Pajak terlibat atau terpengaruh restrukturisasi usaha atau pengalihan harta tidak berwujud dalam Grup Usaha yang sedang atau telah terjadi pada tahun sebelumnya, dan penjelasan mengenai pengaruhnya terhadap Wajib Pajak;
aspek-aspek operasional kegiatan usaha Wajib Pajak; dan
gambaran lingkungan usaha secara rinci, termasuk daftar pesaing utama.
Bagian kedua, informasi Transaksi Afiliasi dan transaksi independen yang dilakukan Wajib Pajak memuat informasi sebagai berikut:
skema transaksi dan penjelasannya;
kebijakan penetapan harga yang diterapkan selama 5 (lima) tahun terakhir;
penjelasan atas masing-masing transaksi dan latar belakang dilakukannya transaksi tersebut;
jumlah nominal transaksi yang dirinci per jenis transaksi dan per lawan transaksi;
informasi tentang lawan transaksi dalam setiap jenis transaksi dan penjelasan mengenai hubungan Wajib Pajak dengan masing-masing lawan transaksi tersebut;
dalam hal Wajib Pajak melakukan Transaksi Afiliasi terkait produk komoditas, informasi dalam bentuk tabel sekurang-kurangnya mengenai: nomor dan tanggal faktur; nama lawan transaksi; negara atau yurisdiksi lawan transaksi; nama produk; spesifikasi/kualitas produk; jumlah unit/kuantitas; harga per unit (ukuran terkecil yang lazim digunakan); dan tanggal pengiriman/pengapalan barang; dan
salinan perjanjian/kontrak terkait transaksi yang nilainya signifikan;
Bagian ketiga, penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha memuat informasi sebagai berikut:
penjelasan rinci tentang analisis kesebandingan setiap Transaksi Afiliasi yang dilakukan Wajib Pajak yang meliputi analisis atas karakteristik produk atau jasa, analisis fungsional (analisis fungsi, aset, dan risiko), ketentuan dalam kontrak, strategi usaha, dan kondisi ekonomi, termasuk analisis kesebandingan atas perbedaan kondisi dengan tahun-tahun sebelumnya;
penjelasan rinci mengenai karakterisasi usaha yang dijalankan Wajib Pajak berdasarkan hasil analisis fungsional (analisis fungsi, aset, dan risiko);
penjelasan tentang metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai untuk setiap jenis Transaksi Afiliasi, alasan pemilihan metode tersebut, serta keunggulan metode yang dipilih dibandingkan dengan metode-metode lainnya;
dalam hal Wajib Pajak menggunakan metode Penentuan Harga Transfer berbasis laba bruto atau neto, penjelasan tentang: pihak yang dipilih sebagai pihak yang diuji dalam penerapan metode Penentuan Harga Transfer dan alasan pemilihannya; dan rasio keuangan atau indikator tingkat laba yang digunakan dalam penerapan metode Penentuan Harga Transfer;
ringkasan mengenai asumsi-asumsi yang digunakan dalam penerapan metode Penentuan Harga Transfer;
penjelasan mengenai alasan penggunaan analisis tahun jamak dalam hal diperlukan;
daftar dan penjelasan tentang transaksi pembanding internal dan/atau eksternal yang dipilih, dan detail penjelasan tentang kriteria yang digunakan dalam pencarian data pembanding dan sumber informasi data pembanding yang digunakan;
ikhtisar laporan keuangan yang digunakan dalam penerapan metode Penentuan Harga Transfer, termasuk laporan keuangan yang tersegmentasi dalam hal Wajib Pajak memiliki lebih dari 1 ( satu) karakterisasi usaha;
penjelasan mengenai penerapan metode Penentuan Harga Transfer berdasarkan pembanding terpilih, rentang harga atau laba wajar yang digunakan, dan titik acuan di dalam rentang harga atau laba wajar yang menjadi dasar penentuan harga transfer;
penjelasan tentang penyesuaian yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesebandingan, termasuk penjelasan apakah penyesuaian hanya dilakukan terhadap pihak yang diuji, terhadap transaksi pembanding atau terhadap keduanya;
penjelasan mengenai kesimpulan bahwa Penentuan Harga Transfer telah atau belum sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha; dan
salinan Advance Pricing Agreement (APA) yang dimiliki anggota Grup Usaha lainnya dan ketentuan perpajakan lainnya yang terkait dengan Transaksi Afiliasi Wajib Pajak.
Bagian keempat, informasi Keuangan Wajib Pajak memuat informasi sebagai berikut:
laporan keuangan Wajib Pajak yang telah di audit akuntan publik untuk Tahun Pajak terkait dengan Dokumen Penentuan Harga Transfer, atau laporan keuangan yang belum diaudit dalam hal laporan keuangan Wajib Pajak yang telah di audit akuntan publik belum tersedia;
laporan keuangan Wajib Pajak yang tersegmentasi berdasarkan karakterisasi usaha, dalam hal Wajib pajak memiliki lebih dari 1 (satu) karakterisasi usaha;
informasi dan penjelasan penggunaan informasi dalam laporan keuangan yang terkait dengan penerapan metode Penentuan Harga Transfer; dan
ringkasan informasi keuangan yang relevan dari pembanding yang digunakan dalam penerapan metode Penentuan Harga Transfer dan sumber informasi keuangan tersebut.
Dalam hal Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu kegiatan usaha dengan karakterisasi usaha yang berbeda, dokumen lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disajikan secara tersegmentasi sesuai dengan karakterisasi usaha yang dimiliki
Pasal 9 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan nomor 213/PMK.03/2016
Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban Peraturan Menteri Keuangan nomor 213/PMK.03/2016 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Siapa yang Wajib Membuat dokumen CbCR?
Wajib Pajak yang wajib membuat laporan per negara (CbCR) adalah induk dan anak. Anak maksudnya anggota grup perusahaan.
Induk perusahaan yang memiliki omset Rp11 triliun, wajib membuat CbCR. Baik memiliki transaksi afiliasi atau tidak. Omset Rp11 triliun adalah omset konsolidasi, atau omset grup, gabungan omset baik induk maupun anak.
Lebih lanjut, cek gambar berikut:
Wajib Pajak Entitas Induk yang Wajib membuat CbCR
Selain entitas induk, anggota dari grup usaha (anak perusahaan) Wajib membuat CbCR jika :
Negara entitas induk tidak mewajibkan CbCR;
Negara entitas induk tidak memiliki perjanjian pertukaran CbCR dengan Indonesia; atau
Negara entitas induk memiliki perjanjian pertukaran CbCR dengan Indonesia, tetapi CbCR tidak dapat diperoleh.
Wajib Pajak dalan negeri dan merupakan anak perusahaan yang wajib membuat dokumen CbCR
Laporan per negara harus memuat informasi sebagai berikut:
alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara atau yurisdiksi dari seluruh anggota Grup Usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri, yang meliputi nama negara atau yurisdiksi, peredaran bruto, laba (rugi) sebelum pajak, Pajak Penghasilan yang telah dipotong/dipungut/dibayar sendiri, Pajak Penghasilan terutang, modal, akumulasi laba ditahan, jumlah pegawai tetap, dan harta berwujud selain kas dan setara kas; dan
daftar anggota Grup Usaha dan kegiatan usaha utama per negara atau yurisdiksi.
Analisis Kesebandingan
Seperti disebutkan di Peraturan Menteri Keuangan nomor 213/PMK.03/2016 bahwa Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (ALP) mengharuskan harga transaksi yang dilakukan antara para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding.
Artinya, dalam hal tidak ditemukan harga transaksi sama, maka harus dicari harga transaksi yang sebanding. Karena itu penting untuk memahami analisis kesebandingan.
โcomparability analysisโ is at the heart of the application of the armโs length principle.
Halaman 43 OECD Transfer Pricing Guidelines 2017
Analisis kesebandingan adalah analisis oleh Wajib Pajak atau otoritas pajak atas kondisi dalam transaksi hubungan istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi tanpa hubungan istimewa dan mengidentifikasi perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi tersebut.
Sebuah transaksi dianggap sebanding jika:
tidak ada perbedaan kondisi yang material, atau
terdapat perbedaan kondisi yang materal tapi dapat dilakukan penyesuaian.
Untuk membuat harga sebanding, perlu dilakukan kesebandingan di 5 faktor.
Ketentuan kontrak
Analisis FAR
Karakteristik Barang dan Jasa
Keadaan Ekonomi
Strategi Bisnis
Tiga Tahapan Menuju Penerapan ALP
Sebelum menerapkan prinsip ALP, kita harus melalui 3 tahapan, yaitu:
menentukan karakteristik bisnis
memilih metode transfer pricing
menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (ALP)
Menentukan Karakteristik Bisnis
Tujuan penentuan karakteristik bisnis yaitu:
memahami gambaran kondisi industri (bidang usaha) perusahaan
memahami gambaran bisnis grup perusahaan
memahami karakteristik bisnis perusahan serta fungsi-fungsi yang dilakukan pihak afiliasinya
memahami risiko penghindaran pajak
Ada 4 langkah memahami karakteristik bisnis:
analisis industri
skema transaksi afiliasi
analisis rantai suplai
analisis fungsi
Analisis industri bukan hanya menganalisis kinerja satu perusahaan. Tapi kinerja kumpulan perusahaan yang sejenis. Misalnya kinerja industri semikonduktor di seluruh dunia, asia, atau asean. Tujuannya untuk memahami gambaran umum. Data ini banyak disediakan untuk analisis kinerja saham di bursa efek.
Memahami skema transaksi afiliasi diantaranya memahami pihak-pihak yang terlibat transaksi dengan perusahaan beserta lokasi negaranya. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan, diantaranya:
pihak yang melakukan transaksi hubungan istimewa
fungsi yang dilakukan masing-masing fihak
negara di mana lawan transaksi berada
jenis transaksi yang dilakukan
nilai transaksi yang dilakukan
arus barang/jasa
Analisis rantai suplai bertujuan untuk memahami bagaimana grup perusahaan melakukan usahanya. Faktor-faktor yang harus diperhatikan:
memetakan rantai suplai grup perusahaan
membedakan fungsi-fungsi utama grup perusahaan dengan fungsi-fungsi pendukungnya
mengindikasikan dan memahami fungsi utama grup perusahaan yang menjadi faktor utama kesuksesannya.
Analisis fungsi memetakan fakta-fakta yang relevan secara ekonomi dan karakteristik transaksi afiliasi dengan memperhatikan fungsi, aset, dan risiko (FAR), serta pengalokasian atas FAR antara pihak yang terkait dalam transaksi afiliasi sehingga dapat diketahui karakterik masing-masing pihak secara cepat.
Model bisnis grup perusahaan
Dalam rangka memahaki karakteristik perusahaan, semua perusahaan dapat bagi 3 jenis berdasarkan fungsi-fungsinya, yaitu:
perusahaan manufaktur
perusahaan distributor
perusahaan penyedia jasa
Manufaktur dapat dilakukan secara manual, menggunakan mesin atau industrialisasi. Bisa dalam skala besar, ataupun skala kecil. Perusahaan manufaktur bertujuan untuk mengubah bahan baku (raw material) menjadi produk jadi (finished goods).
Perusahaan Manufaktur
Perusahaan manufaktur terdiri dari:
toll manufacturer
contract manufacturer
full pledge manufacturer
Perusahaan toll manufacturing
Perusahaan toll manufacturing melakukan proses manufaktur dengan risiko rendah atau tanpa risiko. Umumnya perusahaan toll manufakturing tidak menanggung risiko persediaan, risiko kerusakan atau obsolescence.
Perusahaan toll manufacturing pada dasarnya perusahaan penyedia jasa (service provider) bagi perusahaan penjual (distributor) yang melakukan pesanan atas jasa dan produk jadinya.
Perusahaan toll manufacturing tidak bertanggung jawab atas rencana (schedule) produksi, pengadaan bahan baku, dan tidak memiliki valuable. Tidak memiliki tanggung jawab atas fungsi kendali kualitas, fungsi logistik, fungsi penagihan. Perusahaan juga tidak memiliki hak kepemilikan atas bahan baku, produk setengah jadi, ataupun produk jadi.
Perusahaan Contract Manufacturing
Perusahaan contract manufacturing bertugas untuk memproses bahan baku menjadi produk jadi dengan kompensasi per unit produksi. Umumnya memiliki hak kepemilikan atas produk jadi, dan melakukan fungsi pengadaan bahan baku. Tetapi tidak memiliki hak valuable atas produk jadi.
Atas perintah principal, perusahaan contract manufacturing dapat mengirim produk jadi langsung ke perusahaan penjual (distributor).
Perusahaan Full Fledged Manufacturing
Perusahaan full fledged manufacturing umumnya melakukan fungsi-fungsi sourcing & purchasing, procurement, engineering dan design, know how atau patent, penelitian dan pengembangan (R&D), perencanaan produksi, kendali kualitas, pergungan, logistik, invoicing.
Perusahaan full fledged manufacturing pada umumnya juga menanggung risiko terkait fungsi-fungsi yang dilakukan, antara lain: risiko pasar, risiko persediaan, risiko warranty, dan risiko R&D.
Ceklis Perbedaan Model Bisnis Manufaktur
responsibility and risk pembeda model perusahaan manufaktur yang pertamaresponsibility and risk pembeda model perusahaan manufaktur yang keduaresponsibility and risk pembeda model perusahaan manufaktur yang ketiga
Perusahaan Distributor
Distribusi merupakan proses yang dilewati oleh produk atau jasa dalam sistem bisnis sampai produk atau jasa tersebut diterima oleh konsumen akhir. Sebagian dari harga yang dibayar oleh konsumen berasal dari aktivitas distribusi.
Perjalanan produk atau jasa dapat melalui satu atau beberapa perantara seperti pedagang besar, distributor, dealer, perantara, pedagang pengumpul, dan pengecer.
Perusahaan distributor terdiri dari:
full pledged distributor
limited risk distributor
commisionaire
agency
Perusahaan full pledged distributor merupakan pihak yang sangat aktif dalam pasar. Memiliki akses terhadap basis pelanggan. Menciptakan permintaan produk atau jasa melalui kegiatan pemasaran dan penjualan.
Perusahaan full pledged distributor memili aset pemasaran tidak berwujud (intangible). Melisensi merk untuk melakukan penjualan.
Menilai kondisi pasar dengan hati-hati karena adanya risiko persediaan dan penjualan. Juga memiliki quality control atas persediaan. Bertanggung jawab atas pergudangan dan logistik. Dan bertanggung jawab atas pengiriman barang.
Selanjutnya, perusahaan full pledged distributor biasanya melakukan pemasarang dan layanan purna jual. Dalam hal erusahaan full pledged distributor menentukan strategi pemasaran, maka distributor tersebut dapat dianggap sebagai marketer.
Ceklis Perusahaan Distributor:
responsibility and risk pembeda model perusahaan distributor yang pertama responsibility and risk pembeda model perusahaan distributor yang kedua
Commissionaire agent berfungsi sebagai perantara antara produsen dan konsumen.
Commissionaire dan commision agent mempunya prisip yang serupa. Perbedaannya pada pengungkapan sumber produsen (principal). Commissionaire menjual produk kepada konsumen atas namanya sendiri namun keuntungan diberikan kepada produsen.
Berikut aktivitas yang biasa dilakukan oleh commissionaire:
mencari pembeli
menjual produk, menerbitkan faktur dan melakukan penagihan atas penjualan yang dilakukan. Aktivitas penjualan yang dilakukan biasanya melibatkan tenaga penjual.
melakukan aktivitas promosi sampai tahap tertentu
menelusuri dan memonitor kredit para pelanggan
membayar gaji karyawan lokal
Perusahaan Penyedia Jasa
Penyedia jasa adalah serangkaian aktivitas untuk memberikan manfaat. Dalam perspektif transfer pricing, penyedia jasa adalah perusahaan yang memberikan jasa kepada pihak lainnya.
Perusahaan penyedia jasa (service provider) terdiri dari:
shared service centre
contract services provider
sophisticated services provider
responsibility dan risk pembeda model perusahaan pemberi jasa.Tantangan dalam proses Transfer Pricing
Metode Transfer Pricing
Tahapan selanjutnya, setelah memahami karakteristik perusahaan, adalah memilih metode transfer pricing yang paling sesuai dengan fakta (keadaan sebenarnya).
OECD Transfer Pricing Guidelines 2017 membagi metode transfer pricing ke dalam 2 metode, yaitu:
traditional transaction methods
transactional profit methods
Metode tradisional, yaitu:
Comparable Uncontroled Price (CUP)
Cost Plus Method (CPM atau C+)
Resale Price Method (RPM)
Sedangkan transactional profit methods terdiri dari:
transactional net margin method (TNMM)
profit split method (PSM)
metode transfer pricing dan tingkat pengujian di laporan keuangan (income statement)
Berikut ini penjelasan masing-masing metode transfer pricing menurut Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-22/PJ/2013. Sedangkan contohnya diambil dari Modul Metode Transfer Pricing karya Anang Mury Kurniawan.
Metode Perbandingan Harga Antara Pihak Yang Independen (CUP)
Metode Perbandingan Harga Antara Pihak Yang Independen (CUP) adalah metode penentuan harga transfer yang membandingkan harga barang atau jasa dalam transaksi afiliasi dengan harga barang atau jasa dalam transaksi independen.
Contoh penggunaan CUP Method
Metode CUP tepat digunakan jika kondisi seperti di bawah ini:
Barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam kondisi yang sebanding; atau
Kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul
Metode Harga Penjualan Kembali (RPM)
Metode Harga Penjualan Kembali (RPM) adalah metode penentuan harga transfer yang menentukan harga pembelian barang dan jasa dari pihak afiliasi dengan cara mengurangkan laba kotor pihak independen yang sebanding dari harga jual kembali barang dan jasa tersebut kepada pihak independen.
Contoh penggunaan RPM Method
Kondisi yang tepat untuk menerapkan metode RPM:
Tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
Pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.
Metode Biaya-Plus (CPM)
Metode Biaya-Plus (CPM) adalah metode penentuan harga transfer yang menambahkan laba kotor dari transaksi independen yang sebanding terhadap biaya yang ditanggung dalam transaksi afiliasi.
contoh penggunaan CPM Method
Kondisi yang tepat untuk metode CPM:
barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa;
terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
Metode Laba Bersih Transaksional (TNMM)
Metode Laba Bersih Transaksional (TNMM)adalah metode penentuan harga transfer yang menggunakan indikator tingkat laba transaksi independen yang sebanding untuk menentukan laba bersih usaha transaksi afiliasi.
contoh penggunaan TNMM Method
Kondisi yang tepat untuk menerapkan metode TNMM:
Salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan kontribusi yang khusus; atau
Salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan transaksi yang kompleks dan memiliki transaksi yang berhubungan satu sama lain.
Metode pembagian laba (PSM)
Metode pembagian laba (PSM) adalah metode penentuan harga transfer yang membagi laba gabungan kepada pihak afiliasi yang terlibat dalam transaksi afiliasi berdasarkan kontribusi yang diberikan.
Kondisi yang tepat untuk penggunaan PSM:
melibatkan operasi yang saling terintegrasi; atau
kedua belah pihak memberikan kontribusi yang unit dan sangan bernilai sehingga tidak dapat dilakukan pengujian secara terpisah.
Metode PSM dibagi dua, yaitu:
Metode Pembagian Laba Kontribusi (Contribution Profit Split Method)
Metode Pembagian Laba Sisa (Residual Profit Split Method)
Metode Pembagian Laba Kontribusi adalah metode pembagian laba antarpihak afiliasi berdasarkan fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan dan risiko yang ditanggung setiap pihak yang terlibat dalam transaksi afiliasi.
contoh penggunaan Contribution Profit Method
Metode Pembagian Laba Sisa adalah metode pembagian laba yang mengidentifikasi terlebih dahulu laba sisa dengan mengurangkan laba rutin setiap pihak afiliasi dari laba gabungan kemudian laba sisa dialokasikan berdasarkan kontribusi setiap pihak afiliasi yang terlibat terhadap laba sisa.
contoh penggunaan residual profit method
Penerapan metode Metode Pembagian Laba Sisa (Residual Profit Split) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Menggabungkan laba bersih usaha para pihak sebagai satu kesatuan
Menentukan kontribusi unik tiap-tiap pihak
Mengidentifikasi fungsi rutin (simple function) tanpa kontribusi unik masing-masing pihak
Mencari pembanding untuk fungsi rutin tanpa konstribusi unik
Menghitung bagian laba masing-masing pihak tanpa kontribusi unik
Menentukan nilai relative atas kontribusi unik masing-masing pihak
Membagi Residual Profit berdasarkan nilai relative kontribusi unik masing-masing pihak
Menentukan laba wajar
Metode transfer pricing yang paling tepat ditentukan dengan mempertimbangkan:
Keunggulan dan kelemahan setiap metode transfer pricing;
Karakter transaksi dan karakter usaha pihak-pihak yang melakukan transaksi (based on FAR analysis);
Ketersediaan data pembanding yang relevan dan andal (khususnya data pembanding independen);
Derajat kesebandingan antara transaksi afiliasi dengan transaksi pembanding.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-30/PJ/2013 bisa menjadi rujukan penggunaanmetode transfer pricing.
Intra Group Services (IGS)
Perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional khususnya yang berbentuk subsidiary company salah satunya adalah melalui transfer pricing. Praktik transfer pricing yang lazim dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah pemberian jasa atau yang disebut dengan intra group services.
Jasa intra grup (intra group services) adalah aktivitas yang diberikan oleh suatu pihak dalam suatu grup usaha yang memberikan manfaat bagi satu atau lebih anggota lain dalam grup usahanya.
Contoh jasa intra grup yaitu:
jasa manajemen,
jasa administrasi,
jasa teknis,
jasa pendukung,
jasa pembelian,
jasa pemasaran,
jasa distribusi, dan
jasa komersial lainnya yang diberikan berkaitan dengan sifat bisnis grup tersebut
Pada dasarnya, jenis-jenis intra-group services dapat dibagi 3 jenis:
Parental Service Arrangements
Centralised Service Companies
Cost Contribution Arrangements
Parental Service Arrangements adalah jasa yang dibebankan sebesar biaya penggantian tanpa adanya profit. Contoh: jasa perpajakan grup perusahaan, jasa keuangan grup, jasa hukum.
Centralised Service Companies adalah jasa yang dibebankan sebesar biaya penggantian ditambah dengan sejumlah profit tertentu. Contoh: jasa pendukung IT, jasa teknis, jasa keuangan.
Cost Contribution Arrangements adalah jasa yang dibebankan sebanding dengan ekspektasi manfaat. Contoh jasa riset dan pengembangan, jasa pengadaan.
Isu utama dalam jasa intra grup adalah apakah transaksi penyerahan jasa intra-grup benar-benar dilakukan dan dapat diakui? Dan berapa harga wajar untuk jasa tersebut?
OECD TPG para 7.5
Dari sekian banyak jenis jasa yang dapat digunakan dalam skema transaksi pemberian jasa intra grup, terdapat beberapa jasa yang tidak dapat dialokasikan dan ditagihkan dari pemberi jasa kepada penerima jasa. Penyebabnya dikarenakan jasa tersebut tidak memberikan manfaat langsung kepada penerima jasa.
Untuk menentukan apakan apakah ada manfaat atau tidak, perlu dilakukan analisis uji manfaat atas pemberian jasa tersebut (benefit test).
BENEFIT TEST
Benefit test dilakukan dengan memberikan pertanyaan sebagai berikut:
Apakah jasa tersebut memberikan manfaat ekonomi atau nilai komersial yang meningkatkan posisi komersial perusahaan penerima jasa? Misalnya meningkatkan keuntungan atau menambah efisiensi melalui penurunan beban operasi?
Apakah pihak independen dalam kondisi sebanding akan bersedia membayar pihak independen atau melakukan sendiri aktivitas penyediaan jasa tersebut (inhouse)?
SHAREHOLDER ACTIVITIES
Shareholder activity adalah jasa yang diberikan kepada pihak afiliasi, yang apabila dilihat dari substansinya, kegiatan pemberian jasa tersebut terkait dengan kepentingan pemegang saham atas kepemilikan sahamnya di perusahaan afiliasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemberian jasa ini tidak memberikan manfaat kepada penerima jasa.
Contoh shareholder activity:
Kegiatan dalam rangka kebutuhan pelaporan dari perusahaan induk, misalnya menyiapkan laporan keuangan konsolidasi.
Kegiatan yang berhubungan dengan status dan struktur hukum dari perusahaan induk. Misalnya mengawasi kepatuhan laporan tahunan, melaksanakan pertemuan pemegang saham, menerbitkan saham dan pengawasan oleh dewan pengawas.
Menghimpun dana untuk digunakan sendiri oleh induk perusahaan dalam rangka mengakuisisi usaha/cabang lain.
DUPLICATION
Duplication dapat diartikan sebagai aktivitas pemberian jasa yang diberikan oleh satu perusahaan kepada pihak afiliasinya, di mana jasa tersebut telah diselenggarakan sendiri secara internal oleh pihak afiliasi tersebut atau disediakan oleh pihak ketiga untuk kepentingan pihak afiliasi.
Oleh karena tidak terdapat penambahan nilai secara komersial atas manfaat yang diterima dari jasa yang diberikan lebih dari satu kali atau duplikasi tersebut, sudah seharusnya tidak ada tagihan atas jasa yang bersifat duplikasi tersebut.
INCIDENTAL BENEFITS
Incidental benefit adalah aktivitas yang dilakukan oleh suatu anggota grup usaha untuk anggota tertentu yang juga memberikan manfaat insidental kepada perusahaan dalam grup tersebut.
Misalkan, suatu induk perusahaan melakukan reorganisasi struktur grup dan akuisisi, dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas ekonomi dan efisiensi induk perusahaan.
Secara tidak langsung hal tersebut berdampak kepada anak perusahaan, sehingga anak perusahaan ikut mengalami efisiensi. Atas manfaat yang diterima oleh anak perusahaan tersebut tidak dapat ditagihkan oleh induk perusahaan.
ON CALL SERVICES
On call services adalah jasa yang disediakan oleh salah satu anggota grup, biasanya perusahaan induk, yang selalu tersedia kapan saja diperlukan oleh perusahaan dalam afiliasi, atau jika disediakan oleh pihak independen, jasa tersebut akan dikenakan biaya khusus untuk menjamin ketersediaannya.
Karakteristik dari jasa on call yang tidak dapat ditagihkan, di antaranya jasa tersebut sangat jarang dibutuhkan dan sewaktu-waktu si penerima jasa tersebut dapat menggunakan pihak ketiga sebagai penyedia jasa.
Misalnya, suatu group service center memberikan jasa berupa jasa event organizer (EO) kepada salah satu perusahaan konsultan hukum dalam grup-nya. Pada dasarnya jasa EO tersebut merupakan jasa yang sangat jarang dibutuhkan oleh suatu konsultan hukum. Selain itu, konsultan hukum tersebut dapat menggunakan jasa tersebut lewat pihak ketiga.
On call services tidak dapat dibebankan apabila:
Potensi atas kebutuhan jasa tersebut sangat kecil
Manfaat yang diperoleh dari jasa tersebut tidak signifikan (dapat diabaikan)
Jasa on call dapat segera diperoleh kapan saja dan tersedia dari pihak lain yang independent tanpa harus membuat perjanjian siaga terlebih dahulu
Intra-Group Loan
Intra-group loan adalah pinjaman yang diberikan oleh satu perusahaan dalam satu grup usaha kepada anggota lainnya.
Biasanya pemberi pinjaman (kreditor) mengharapkan imbalan dalam bentuk bunga dari investasinya meminjamkan dana kepada peminjam (debitur).
Suku bunga pinjaman pada dasarnya merupakan komposisi dari nilai cost of capital yang dihadapi debitur dan lending margin dari kreditor. Sedangkan lending margin terdiri atas komponen seperti: imbalan dari risiko kredit yang dihadapi oleh pemberi pinjaman, biaya administrasi terkait dengan pinjaman, dan elemen keuntungan.
Berdasarkan hal tersebut, dari persepektif penerima pinjaman, bunga adalahharga pembelianatas pinjaman.
Berangkat dari analogi tersebut, dalam hal transaksi intra-group loan, pembayaran bunga yang lebih tinggi dari nilai kewajarannya, dapat menjadi indikasi adanya income shifting dari negara peminjam ke negara pemberi pinjaman.
Skema transaksi intra group loan
Intra group loan dapat dibiayakan setelah lulus 3 pengujian, yaitu:
Penentuan eksistensi pinjaman,
Analisis substansi pinjaman, dan
Analisi kewajaran bunga pinjaman.
Thin Capitalization
Thin capitalization adalah kondisi tingkat pinjaman yang sangat tinggi dibandingkan dengan ekuitas. Jumlah pinjaman yang tinggi berasal dari perusahaan anggota grup.
Modus melakukan thin capitalization yaitu:
investasi di negara dengan tarif pajak lebih tinggi. Dana pinjaman berasal dari pinjaman antar perusahaan yang terletak di negara dengan tarif pajak rendah. Laba dialihkan ke negara yang mengenakan pajak lebih rendah.
pinjaman menciptakan kesempatan untuk menurunkan pajak. Biaya bunga atas pinjman merupakan penguran gpenghasilan kena pajak.
hal ini memotivasi perusahaan untuk mendanai investasinya di negara yang mengenakan tarif pajak tinggi dengan memberikan pinjaman. Menerapkan rasio utang atas ekuitas yang tinggi.
Intangible Property
Intangible property adalah aset non moneter yang dapat diidentifikasi tapi tidak memiliki substansi fisik (IFRS 2008).
Kriteria intangible property:
dapat diidentifikasi
dapat ditransfer
bertahan secara alamiah
dapat diproteksi.
Intangibel property untuk kepentingan transfer pricing adalah aset yang bukan merupakan aset fisik atau aset keuangan, yang dapat dimiliki atau dikuasai untuk digunakan dalam aktivitas komersial.
Intangible property dibagi dua besar, yakti:
manufacturing intangibles
marketing intangibles.
Manufacturing intangibles pada umumnya tercipta melalui aktivitas riset dan pengembangan yang berisiko dan mahal. Sehinga pengembangnya berusaha memperoleh pengganti pengeluaran sehubungan dengan aktivitas tersebut serta mencari keuntungan melalui penjualan barang, perjanjian lisensi, atau kontrak jasa.
Pengembang manufacturing intangibles dapat melakukan aktivitas penelitan dan pengembangan atas namanya sendiri. Atau atas nama satu atau lebih anggota kelompok usaha berdasarkan kontrak jasa. Atau atas nama satu atau lebih anggota kelompok usaha berdasarkan perjanjian. Masing-masing anggota-anggota yang terlibat akan menjadi pemilik ekonomis manufacturing intangibles.
Marketing intangibles meliputi :
merek dagang
daftar pelanggan
saluran distribusi
nama yang unik, simbol, atau gambar yang memilik nilai promosi yang penting bagi produk yang bersangkutan.
Marketing intangibles tergantung dari beberapa faktor, termasuk:
reputasi dan kredibilitas merek atau nama dagang,
tingkat pengendalian mutu dan riset yang berkelanjutan,
distribusi dan ketersediaan barang dan jasa yang dipasarkan,
keberhasilan biaya promosi, dan lainnya.
perbedaan manufacturing intangible dengan marketing intangibles
Mencegah Sengketa Transfer Pricing Melalui APA
Advance Pricing Agreement (APA) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak; atau Direktorat Jenderal Pajak dan otoritas pajak negara lain untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar dimuka para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Sesuai dengan namanya, agreement, kesepakatan ini dilakukan sebelum tahun pajak berlaku atau transaksi dilakukan. Sehingga terhadap transaksi yang ada, sudah ditentukan berapa harga yang wajib dilaporkan ke kantor pajak. Jika sudah disepakati, maka agreementmengikat kantor pajak dan Wajib Pajak.
Tujuan APA adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahanย Transfer Pricing. Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
APA merupakan suatu pelaksanaan kesepakatan. Bukan implementasi dari private ruling. APA didasarkan pada evaluasi fakta dengan bukti substansi yang diharapkan dapat memuaskan kedua belah pihak, yaitu Wajib Pajak dengan otoritas pajak, atau antar otoritas pajak yurisdiksi asing.
Manfaat APA bagi Wajib Pajak antara lain:
kepastian terkait kebijakan transfer pricing pada saat penyampaian SPT Tahunan,
Wajib Pajak akan mendapat sejenis “insentif” yang prospektif berupa rollback untuk menyelesaikan pengungkapan informasi transfer pricing di tahun sebelumnya dan tahun yang sedang berjalan,
penghematan waktu dan biaya terutama terkait pemeriksaan transfer pricing, keberatan, dan banding.
Slide dan Referensi Transfer Pricing
Berikut ini adalah slide Basic Transfer Pricing yang dibuat oleh Direktorat Perpajakan Internasional DJP, dan saya buatkan video. Jika terlalu cepat, bisa diklik untuk pause
Ini adalah salindia tentang CBCR yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak
Buku Referensi Transfer Pricing terbitan OECD: OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations dan Transfer Pricing Guidance on Financial Transactions
Buku Referensi Transfer Pricing terbitan PBB: United Natios Practical Manual on Transfer Pricing for Developing Countries 2017
Transfer Pricing Guidance on Financial Transactions: INCLUSIVE FRAMEWORK ON BEPS: ACTIONS 4, 8-10
OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project: Prevention of Treaty Abuse โ Peer Review Report on Treaty Shopping. INCLUSIVE FRAMEWORK ON BEPS: ACTION 6
OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project: Aligning Transfer Pricing Outcomes with Value Creation. ACTIONS 8-10: 2015 Final Reports
OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project : Transfer Pricing Documentation and Country-by-Country Reporting. ACTION 13: 2015 Final Report
OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project : Making Dispute Resolution More Effective โ MAP Peer Review Report, Indonesia (Stage 1). INCLUSIVE FRAMEWORK ON BEPS: ACTION 14
Model Tax Convention on Income and on Capital. Full Version 21 November 2017. Ada 2.624 halaman. Mungkin tampilnya lambat.
Slide tentang ALP dari OECD
SE-50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
KPP PMA telah membuat aplikasi yang dapat diunduh di Google Play namanya e-Teaching TP. Silakan dimanfaatkan.
Advance Pricing Agreement (APA) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak; atau Direktorat Jenderal Pajak dan otoritas pajak negara lain untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar dimuka para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Sesuai dengan namanya, agreement, kesepakatan ini dilakukan sebelum tahun pajak berlaku atau transaksi dilakukan. Sehingga terhadap transaksi yang ada, sudah ditentukan berapa harga yang wajib dilaporkan ke kantor pajak. Jika sudah disepakati, maka agreementmengikat kantor pajak dan Wajib Pajak.
Tujuan APA adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahan Transfer Pricing. Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Keuntungan dari Advance Pricing Agreement (APA) selain untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu lagi melakukan koreksi dalam pemeriksaan atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama.
APA diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 7/PMK.03/2015. Berikut pembahasannya.
Ruang Lingkup AP
APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak. Atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak domisili untuk melakukan pembicaraan awal (prelodgement) menggunakan formulir APA-1 dengan melampirkan persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku.
Lampiran I PER-69/PJ/2010
Wajib Pajak dalam negeri Indonesia dan Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia dapat mengajukan APA sepanjang telah beroperasi atau melakukan kegiatan usaha di Indonesia paling singkat selama 3 (tiga) tahun.
Pengajuan APA meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Pembentukan APA
Tahapan pembentukan APA meliputi:
pengajuan permohonan pembicaraan awal oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak (Form APA-1);
pembicaraan awal antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak;
penyampaian undangan dari Direktur Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak dalam rangka pengajuan permohonan APA berdasarkan hasil dari pembicaraan awal;
pengajuan permohonan APA oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak;
pembentukan tim pembahas APA oleh Direktur Jenderal Pajak;
analisis dan evaluasi serta pembahasan permohonan APA oleh tim pembahas dengan Wajib Pajak;
pembahasan APA melalui MAP, dalam hal APA dimaksud melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
penyusunan Naskah APA; dan
penerbitan Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai Naskah APA dan pelaksanaan Naskah APA tersebut.
APA berlaku paling lama 3 tahun dan memuat paling sedikit:
para pihak yang memiliki Hubungan Istimewa;
transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA;
metode Transfer Pricing;
pembanding (comparables);
jangka waktu berlakunya APA;
asumsi kritikal (critical assumptions); dan
penyesuaian Transfer Pricing (transfer pricing adjustment).
Prelodgement Meeting
Wajib Pajak mengajukan permohonan pembicaraan awal secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan transaksi dan tahun pajak yang akan dicakup dalam APA.
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pembicaraan awal harus menyampaikan pernyataan kesediaan secara tertulis untuk menyediakan seluruh dokumen yang diperlukan dalam proses permohonan APA, dan melengkapi form APA-1 dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
penjelasan dari Wajib Pajak mengenai alasan mengajukan permohonan APA;
penjelasan mengenai kegiatan dan usaha Wajib Pajak;
penjelasan mengenai rencana usaha (business plan) Wajib Pajak;
struktur perusahaan yang meliputi antara lain struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan dan struktur organisasi;
penjelasan mengenai pemegang saham dan penjelasan mengenai transaksi yang dilakukan oleh pemegang saham dengan Wajib Pajak;
penjelasan mengenai pihak-pihak lainnya yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak dan penjelasan rinci mengenai transaksi yang dilakukan pihak-pihak lain tersebut dengan Wajib Pajak;
penjelasan mengenai transaksi dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk 3 (tiga) tahun pajak terakhir, dalam hal ada;
penjelasan mengenai transaksi yang diusulkan untuk dibahas dan yang dicakup dalam APA;
metode dan penjelasan atas penentuan harga transfer yang diusulkan oleh Wajib Pajak dan dokumentasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak mengenai Analisis Kesebandingan, analisis fungsional, pemilihan dan penentuan pembanding, dan penentuan metode Transfer Pricing;
penjelasan mengenai situasi atau keadaan dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak yang perubahannya dapat mempengaruhi secara material kesesuaian metode Transfer Pricing Wajib Pajak;
penjelasan mengenai sistem akuntansi, proses produksi, dan proses pembuatan keputusan;
penjelasan mengenai pihak lain yang menjadi pesaing yang mempunyai jenis kegiatan atau usaha atau produk yang sama atau sejenis dengan Wajib Pajak, termasuk penjelasan mengenai karakteristik dan pangsa pasar pesaing;
fotokopi akta pendirian dan perubahan Wajib Pajak, atau sejenisnya;
fotokopi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dan Laporan Keuangan Wajib Pajak selama 3 (tiga) tahun terakhir; dan
dokumen pendukung lainnya yang diperlukan.
Permohonan pembicaraan awal di atas harus diajukan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum dimulainya tahun pajak yang akan dicakup dalam APA.
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020 maka prelodgement meeting dihapus.
Undangan Pengajuan Permohonan APA
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak memutuskan bahwa pembicaraan awal dapat ditindaklanjuti ke tahap pembahasan APA, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat undangan kepada Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan APA.
Berdasarkan undangan, Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan APA kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dengan mencantumkan informasi sebagai berikut:
nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat Wajib Pajak;
identitas pendukung pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak; dan
ruang lingkup transaksi dan tahun pajak yang dicakup dalam APA.
Dan dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa:
penjelasan rinci mengenai hasil pembicaraan awal yang telah dilakukan sebelumnya antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak;
penjelasan rinci mengenai metode Transfer Pricing yang diusulkan oleh Wajib Pajak, termasuk dokumentasi yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak;
penjelasan rinci mengenai kondisi yang membentuk metode Transfer Pricing;
penjelasan rinci dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa penerapan metode Transfer Pricing yang diusulkan oleh Wajib Pajak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;
penjelasan rinci mengenai analisis asumsi kritikal (critical assumptions); dan
dokumen pendukung terkait lainnya yang diperlukan.
form permohonan formal APA berdasarkan PER-69/PJ/2010
Naskah APA
Hasil pembahasan APA yang berupa kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak ditindaklanjuti dengan penyusunan Naskah APA. Naskah APA ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.
Naskah APA memuat paling sedikit:
nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat Wajib Pajak, serta identitas pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak yang terkait dengan APA;
ruang Iingkup transaksi yang dicakup;
tahun pajak yang dicakup;
ketentuan umum yang digunakan dalam APA;
metode Transfer Pricing yang disepakati;
faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) penerapan metode Transfer Pricing;
Harga Wajar atau Laba Wajar, atau rentang Harga Wajar atau rentang Laba Wajar untuk setiap jenis barang/jasa atau transaksi yang dicakup;
kewajiban yang harus dilaksanakan dalam penerapan APA dan kewajiban pelaporan;
konsekuensi hukum;
kerahasiaan informasi;
peninjauan kembali dan pembatalan;
mekanisme penyelesaian masalah yang timbul dalam penerapan APA;
kondisi yang menyebabkan Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau atau membatalkan APA; dan
informasi lain yang mendukung keterangan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 13.
Unit Yang Menangani APA
Direktur Perpajakan Internasional berwenang untuk melakukan pembahasan APA mewakili Direktur Jenderal Pajak. Unit yang melakukan pembahasan adalah SubDirektorat Pencegahan dan Penanganan Sengketa.
APA dan MAP diadministrasikan dalam SubDirektorat yang sama.
Dengan berlakukan Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020 pengajuan APA dimulai dari Kantor Pelayanan Pajak.
Merikut salinan Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020
Salindia Sosialisasi Tata Cara Pelaksanaan Advance Pricing Agreement
Salindia Advance Pricing Agreement sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020
Perundingan antar otoritas pajak untuk penyelesaian sengketa pajak
Mutual Agreement Procedure (MAP) merupakan alternatif bagi Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa yang menimbulkan pemajakan berganda, atau apabila terdapat indikasi bahwa tindakan otoritas Negara Mitra menyebabkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan tax treaty (P3B). Atau bisa juga untuk penyelesaian sengketa transfer pricing.
Ketentuan MAP yang terbaru diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 49/PMK.03/2019. Berikut ulasannya.
Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan permintaan pelaksanaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai Pejabat Berwenang Indonesia dalam hal terjadi perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra P3B yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B.
Otoritas Pajak Mitra P3B adalah otoritas perpajakan pada negara mitra atau otoritas perpajakan pada yurisdiksi mitra yang berwenang melaksanaan ketentuan dalam P3B. Atau, otoritas pajak di luar negeri.
Perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra P3B yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B terdiri:
pengenaan pajak oleh Otoritas Pajak Mitra P3B yang mengakibatkan terjadinya pengenaan pajak berganda yang disebabkan oleh: (1) koreksi Penentuan Harga Transfer; (2) koreksi terkait keberadaan dan/atau laba bentuk usaha tetap; dan/atau (3) koreksi obyek pajak penghasilan lainnya;
pengenaan pajak termasuk pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan di Mitra P3B yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B;
penentuan status sebagai subjek pajak dalam negeri oleh Otoritas Pajak Mitra P3B;
diskriminasi perlakuan perpajakan di Mitra P3B; dan/atau
penafsiran ketentuan P3B.
Fungsi dan Manfaat MAP
Kenapa meminta MAP? Pada dasarnya MAP adalah salah satu penyelesaian sengketa pajak. Selain proses keberatan dan banding ke pengadilan pajak.
Wajib Pajak dapat memilih salah satu jalan penyelesaian, atau bersama-sama. Contoh mengajukan penyelesaian bersama-sama yaitu: setelah selesai pemeriksaan, terbit surat ketetapan pajak berupa SKPKB. Wajib Pajak mengajukan keberatan atas SKPKB. Selain mengajukan keberatan, Wajib Pajak juga mengajukan MAP ke kantor pajak.
Menurut ketentuan, dalam hal permintaan pelaksanaan MAP diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan keberatan atau banding, materi yang diajukan permintaan pelaksanaan MAP harus tercakup dalam materi sengketa yang diajukan permohonan dimaksud.
Apa perbedaan MAP versus proses keberatan?
MAP adalah proses perundingan dua otoritas pajak. Sedangkan keberatan adalah sengketa Wajib Pajak dengan otoritas pajak melalui pengadilan semu. Atau melalui banding ke pengadilan pajak.
Praktik internasional tidak membatasi jangka waktu MAP. Dan tidak mengharuskan memilih salah satu. Boleh berbarengan atau berurutan. Artinya, bisa saja sudah dilakukan banding ke pengadilan dan sudah ada keputusan hakim pengadilan. Karena masih belum puas, diajukan lagi ke MAP.
Contoh penyelesaian sengketa transfer pricing melalui MAP:
Misal PT Maju merupakan anak perusahaan yang induknya di Jepang. PT Maju diperiksa oleh kantor pajak di Indonesia. Dan terdapat koreksi positif transfer pricing sehingga diterbitkan SKPKB oleh kantor pajak.
Induk perusahaan PT Maju yang di Jepang menganggap bahwa pemeriksa pajak di Indonesia terlalu besar menetapkan harga jual. Atau terlalu besar menetapkan penghasilan yang harus dilaporkan di Indonesia.
Tentu saja secara global, koreksi oleh pemeriksa pajak akan berdampak pembayaran pajak di Indonesia lebih besar. Di Jepang dia bayar pajak atas penghasilan yang sama dengan yang dikoreksi oleh pemeriksa pajak. Sehingga jika dihitung secara grup, ada penghasilan yang sama dikenakan pajak dua kali, double taxation.
Karena itu, perusahaan induk di Jepang dapat meminta ke otoritas pajak Jepang untuk berunding dengan otoritas pajak di Indonesia. Perundingan ini disebut MAP.
Inti perundingan adalah menilai berapa nilai yang dianggap wajar antara pajak di luar negeri versus pajak di Indonesia.
Atau keadaannya terbalik. Perusahaan di Indonesia memiliki anak perusahaan di Indonesia. Anak perusahaan di luar negeri dilakukan koreksi harga oleh oleh otoritas pajak di luar negeri karena dianggap melakukan transfer pricing. Perusahaan induk di Indonesia meminta kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan MAP dengan otoritas pajak di luar negeri.
Atau contoh lain, terkait pemotongan pajak di luar negeri.
Misal perusahaan di Indonesia memiliki usaha di Singapura. Kemudian mitra bisnis di Singapura melakukan pemotongan pajak (withholding taxes). Menurut penafsiran kita, seharusnya mitra bisnis di Singapura tidak boleh memotong pajak karena hak pemajakan menurut tax treaty berada di Indonesia.
Maka atas pemotongan pajak tersebut, perusahaan di Indonesia dapat meminta MAP kepada Direktorat Jenderal Pajak supaya dilakukan perundingan dengan otoritas pajak Singapura.
Menurut ketentuan, selain masalah transfer pricing dan withholding taxes, MAP juga dapat diajukan terkait dengan penyelesaian:
keberadaan dan/atau laba bentuk usaha tetap
koreksi obyek pajak penghasilan lainnya
penentuan status sebagai subjek pajak dalam negeri oleh Otoritas Pajak Mitra P3B (tax treaty partner)
diskriminasi perlakuan perpajakan di Mitra P3B
penafsiran ketentuan P3B (tax treaty).
Permintaan MAP yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
Permintaan pelaksanaan MAP yang diajukan oleh Pemohon (Wajib Pajak dalam negeri), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
mengemukakan ketidaksesuaian penerapan ketentuan P3B menurut Pemohon;
diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam P3B atau paling lambat 3 (tiga) tahun apabila tidak diatur dalam P3B, terhitung sejak: (1) tanggal surat ketetapan pajak; (2) tanggal bukti pembayaran, pemotongan, atau pemungutan pajak penghasilan; atau (3) saat terjadinya perlakuan perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B.
ditandatangani oleh Pemohon atau wakil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang KUP; dan
dilengkapi dengan lampiran.
Lampiran permohonan MAP yaitu:
surat keterangan domisili atau dokumen lain yang berisi identitas wajib pajak dalam negeri Mitra P3B yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP;
daftar informasi dan/atau bukti atau keterangan yang dimiliki oleh Pemohon yang menunjukkan bahwa perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra P3B tidak sesuai dengan ketentuan P3B; dan
surat pernyataan yang menyatakan kesediaan Pemohon untuk menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada angka 2 secara lengkap dan tepat waktu.
Surat permohonan MAP dikirim ke Kantor Pelayanan Pajak dengan format seperti ini:
Direktorat Perpajakan Internasional yang menangani APA – MAP
Controlled Foreign Corporation (CFC) adalah perusahaan yang berkedudukan di luar negeri (offshore company) yang kepemilikannya dikuasai oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.
CFC dibuat sebagai alat untuk menangguhkan kewajiban pajak atas penghasilan dari operasi perusahaan tersebut dengan cara menangguhkan pendistribusian dividen ke pemegang saham.
Untuk menghadapi penghindaran pajak tersebut, Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa :
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak Dalam Negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
Pasal 18 ayat (2) UU PPh
Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki saham seperti dimaksud Pasal 18 ayat (2) di atas disebut pengendali langsung.
Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomorย 107/PMK.03/2017 dan direvisi dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019.
Baik Pasal 18 ayat (2) UU Pajak Penghasilan maupun Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 dan Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.03/2019 merupakan bagian dari Specific Anti Avoidance Rules (SAAR).
Pembahasan CFC Rules menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 sudah dibahas di sini. Silakan buka dulu karena tulisan sekarang hanya membahas perubahannya.
Melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor No. 93/PMK.03/2019, pemerintah mengubah terminologi laba sebelum pajak yang selama ini menjadi dasar penetapan deemed dividend menjadi jumlah neto setelah pajak.
Deemed Dividend adalah dividen yang ditetapkan diperoleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada BULN Nonbursa terkendali langsung.
Wajib Pajak dalam negeri pengendali langsung ditetapkan memperoleh Deemed Dividend atas penyertaan modal langsung pada BULN Nonbursa terkendali langsung.
Pengendali langsung adalah Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki paling sedikit 50% saham dari modal yang disetor BULN nonbursa, baik kepemilikan saham tunggal maupun bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya.
Objek Pajak Yang Harus Dilaporkan
Peraturan Menteri Keuangan nomor No. 93/PMK.03/2019 memberikan penegasan penghasilan CFC yang disebut dalam peraturan dengan โpenghasilan tertentuโ meliputi dividen, bunga, sewa, royalti dan capital gain.
Pengendali langsung memperoleh Deemed Dividend yang berasal dari penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali yang meliputi penghasilan sebagai berikut:
dividen, kecuali dividen yang diterima dan/atau diperoleh dari BULN Nonbursa terkendali;
bunga, kecuali bunga yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai izin usaha bank;
sewa berupa: (a) sewa yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali sehubungan dengan penggunaan tanah dan/atau bangunan; dan (b) sewa selain sewa sebagaimana dimaksud pada angka 1) yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang berasal dari transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan BULN Nonbursa terkendali tersebut;
royalti; dan
keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017 tidak merinci jenis-jenis penghasilan.
Dasar Pengenaan Deemed Dividend
Besarnya Deemed Dividend dihitung dengan cara mengalikan persentase penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri pada BULN Nonbursa terkendali langsung dengan dasar pengenaan Deemed Dividend.
Dasar pengenaan Deemed Dividend yaitu jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali langsung. Di ketentuan sebelumnya, dasar pengenaan deemed dividen adalah laba setelah pajak BULN Nonbursa terkendali langsung.
Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri memiliki pengendalian langsung pada BULN Nonbursa terkendali langsung dan memiliki pengendalian tidak langsung pada BULN Nonbursa terkendali tidak langsung, maka dasar pengenaan Deemed Dividend dihitung:
jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali langsung; dan
jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN Nonbursa terkendali tidak langsung dikalikan dengan persentase penyertaan modal BULN Nonbursa terkendali langsung pada BULN Nonbursa terkendali tidak langsung tersebut.
Biar lebih jelas, langsung saja ke contoh seperti yang ada di lampiran PMK:
Contoh 1
PT JKL yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri pada akhir Tahun Pajak 2018 memiliki penyertaan modal langsung sebesar 65% (enam puluh lima persen) dari jumlah saham yang disetor VWX Ltd. di negara D. Saham VWX Ltd. tidak diperdagangkan di bursa efek.
Pada tahun pajak 2018, VWX Ltd. memperoleh penghasilan tertentu dengan nilai bruto sebesar USD80.000,00. Biaya terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD25.000,00 dan bagian pajak penghasilan terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD5.000,00.
Tahun pajak VWX Ltd. adalah 1 Januari s.d. 31 Desember 2018 dan batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan untuk tahun pajak dimaksud di negara tersebut paling lambat 31 Mei 2019, sehingga saat diperolehnya Deemed Dividend bagi PT JKL atas penyertaan modalnya pada VWX Ltd. adalah 30 September 2019.
Nilai kurs USD terhadap Rupiah yang berlaku pada tanggal 30 September 2019 adalah Rp11.500,00/USD
Dengan demikian, besarnya Deemed Dividend tahun 2019 yang diperoleh PT JKL adalah
65% x (USD80.000,00 – USD25.000,00 – USD5.000,00) = USD32.500.00.
Deemed Dividend tersebut dilaporkan PT JKL sebesar USD32.500,00 x Rp11.500,00/USD = Rp373.750.000,00 dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019.
Contoh 2
PT ABC dan PT DEF merupakan Wajib Pajak dalam negeri. PT ABC memiliki penyertaan modal langsung sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada XYZ Ltd. dan PT DEF memiliki penyertaan modal langsung sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada PQR Ltd.. XYZ Ltd. dan PQR Ltd. merupakan penduduk negara Y. XYZ Ltd. dan PQR Ltd. memiliki penyertaan modal langsung masing-masing sebesar 70% (tujuh puluh persen) dan 20% (dua puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada MNO Pte. Ltd. yang merupakan penduduk negara X. Saham XYZ Ltd., PQR Ltd., dan MNO Pte. Ltd. tidak diperdagangkan di bursa efek.
Contoh penyertaan modal langsung pada BULN Nonbursa terkendali langsung dan penyertaan modal tidak langsung pada BULN Nonbursa terkendali tidak langsung
Tahun pajak XYZ Ltd., PQR Ltd., dan MNO Pte. Ltd. adalah sama dengan tahun kalender. Kemudian pada tahun pajak 2018 masing-masing entitas di luar negeri tersebut memperoleh penghasilan tertentu sebagai berikut:
XYZ Ltd. memperoleh penghasilan tertentu dengan nilai bruto sebesar USD1.750.000,00 (tidak termasuk dividen yang diterima dan/atau diperoleh dari MNO Pte. Ltd.). Biaya terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD215.000,00 dan bagian pajak penghasilan terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD35.000,00, sehingga jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu tersebut sebesar USD1.500.000,00. Terdapat kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan pada tanggal 30 April 2019;
PQR Ltd. memperoleh penghasilan tertentu dengan nilai bruto sebesar USD3.300.000,00 (tidak termasuk dividen yang diterima dan/atau diperoleh dari MNO Pte. Ltd.). Biaya terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD225.000,00 dan bagian pajak penghasilan terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD75.000,00, sehingga jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu tersebut sebesar USD3.000.000,00. Terdapat kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan pada tanggal 30 April 2019; dan
MNO Pte. Ltd. memperoleh penghasilan tertentu dengan nilai bruto sebesar USD1.250.000,00. Biaya terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD195.000,00 dan bagian pajak penghasilan terkait penghasilan tertentu tersebut sebesar USD55.000,00, sehingga jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu tersebut sebesar USD1.000.000,00.
Dengan demikian, saat diperolehnyaDeemed Dividend pada XYZ Ltd. dan PQR Ltd. adalah 31 Agustus 2019. Nilai kurs USD terhadap Rupiah pada tanggal 31 Agustus 2019 adalah sebesar Rp11.550,00/USD.
Saat diperolehnya Deemed Dividend atas penyertaan modal langsung Wajib Pajak dalam negeri pada BULN Nonbursa terkendali langsung ditetapkan pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017
Besarnya Deemed Dividendtahun 2019 yang diperoleh masing-masing Wajib Pajak dalam negeri sebagai berikut:
contoh perhitungan deemed dividen pengendali langsung dan tidak langsung
PT ABC wajib melaporkan penghasilan deemed dividen di SPT tahunan tahun pajak 2019 sebesar Rp15.246.000.000,00. Sedangkan PT DEF sebesar Rp18.480.000.000,00
Contoh 3
Pada contoh 1 dan 2, pengendali langsung memiliki saham 50% dan lebih 50%. Menurut ketentuan, pengendali langsung tidak hanya satu Wajib Pajak dalam negeri, tetapi bisa juga sekumpulan. Atau bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki saham 50% atau lebih.
Berikut contoh penentuan penyertaan modal langsung secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya pada BULN Nonbursa terkendali langsung dan penentuan penyertaan modal tidak langsung pada BULN Nonbursa terkendali tidak langsung:
PT ABC, PT DEF, dan PT GHI yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri memiliki penyertaan modal langsung sebesar masing-masing 15% (lima belas persen) dari jumlah saham yang disetor pada Forco Ltd. yang merupakan penduduk negara X. PT JKL, PT MNO, dan PT PQR yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri juga memiliki penyertaan modal langsung sebesar masing-masing 5% (lima persen) dari jumlah saham yang disetor pada Forco Ltd.
Selanjutnya Forco Ltd. memiliki penyertaan modal langsung sebesar 60% (enam puluh persen) pada Forsubco1 Ltd. dan 45% (empat puluh lima persen) pada Forsubco2 Ltd.. Forsubco1 Ltd. dan Forsubco2 Ltd. merupakan penduduk negara X. Saham Forco Ltd., Forsubco1 Ltd. dan Forsubco2 Ltd. tidak diperdagangkan di bursa efek.
contoh penentuan penyertaan modal langsung secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya
Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa terdapat 6 Wajib Pajak dalam negeri (PT ABC, PT DEF, PT GHI, PT JKL, PT MNO, dan PT PQR) yang secara bersama-sama memiliki penyertaan modal langsung 60% (enam puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada Forco Ltd..
Dengan demikian, 6 Wajib Pajak dalam negeri tersebut ditetapkan secara bersama-sama memiliki pengendalian langsung pada Forco Ltd. sehingga Forco Ltd. merupakan BULN Nonbursa terkendali langsung bagi 6 Wajib Pajak dalam negeri tersebut.
Selanjutnya, penentuan besarnya penyertaan modal tidak langsung Wajib Pajak dalam negeri pada Forsubco1 Ltd. dan Forsubco2 Ltd. dilakukan sebagai berikut:
PT ABC, PT DEF, PT GHI, PT JKL, PT MNO, dan PT PQR ditetapkan secara bersama-sama memiliki pengendalian tidak langsung pada Forsubco1 Ltd. (melalui Forco Ltd.) karena terdapat penyertaan modal sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah saham yang disetor pada setiap tingkat penyertaan modal, sehingga Forsubco1 Ltd. merupakan BULN Nonbursa terkendali tidak langsung bagi 6 (enam) Wajib Pajak dalam negeri tersebut.
PT ABC, PT DEF, PT GHI, PT JKL, PT MNO, dan PT PQR tidak memiliki pengendalian pada Forsubco2 Ltd. karena tidak terdapat penyertaan modal sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah saham yang disetor pada setiap tingkat penyertaan modal, sehingga Forsubco2 Ltd. bukan merupakan BULN Nonbursa terkendali bagi 6 (enam) Wajib Pajak dalam negeri tersebut.
Dalam rangka memperingati hari pajak 14 Juli 2019, DKM Masjid Salahuddin Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan serangkaian kajian terkait pajak dilihat dari perspektif fiqih.
Salah satu narasumber yang mengisi kajian tersebut adalah Rikza Maulan, Lc. M.Ag
Beliau menyampaikan kajian pada Kamis, 11 Juli 2019 ba’da solat dhuhur dengan judul “Pajak Dalam Pandangan Empat Imam Madzhab”. Selain pendapat ulama dari kalangan 4 mazhab, beliau juga menyampaikan pendapat ulama kontemporer tentang pajak.
Kajian ini menurut saya cukup lengkap. Selaian menyampaikan pendapat yang pro terhadap pajak, juga disampaikan pendapat yang kontra. Pendapat yang membolehkan dan pendapat yang mengharamkan pajak.
Berikut tayangan slide beliau yang saya rubah formatnya menjadi jpg. Tujuan perubahan format supaya menjaga keaslian isi slide.
ini file rekaman beliau: https://drive.google.com/open?id=1M0HNGNShNdiov_ha-Jx3eRNWDhuYECKj Sehari sebelumnya, Rabu 10 Juli 2019 diadakan juga kajian dengan narasumber Ust Muhammad Yusuf Helmy (Karim Bisnis Consulting). Beliau diminta menyampaikan kajian dengan tema “Prinsip-prinsip Islam dalam Pemungutan Pajak Negara kepada Rakyatnya” Ceramah Ust Muhammad Yusuf Helmy cukup menarik karena menyampaikan tentang adanya literatur perpajakan diantaranya membahas:
canons of taxation yang kemudian dipakai Adam Smith
Sesuai dengan prinsip destinataris yang digunakan PPN, bahwa ekspor jasa adalah jasa yang dimanfaatkan di luar negeri. Tidak semua jasa dapat diekspor. Ada kriteria tertentu untuk menentukan jenis-jenis jasa yang dapat diekspor. Berikut penjelasannya
Peraturan Menteri Keuangan No 35/PMK.03/2019 mengatur kewajiban ber-NPWP dan PKP bagi BUT
Kewajiban pendaftaran NPWP dan pengukuhan PKP diatur dalam Undang-Undang KUP. Termasuk kewajiban bagi BUT, Bentuk Usaha Tetap. Kewajiban ini ada di Pasal 2 ayat (5) Undang-undang KUP.
Sebenarnya saya menduga bahwa Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan peraturan yang mendefinisikan pidana pajak. Terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-47/PJ/2009 semula saya kira akan memberikan garis pemisah, perbuatan mana saja yang mengharuskan disidik dan tidak. Jika tidak perlu disidik, berarti pemeriksa Bukti Permulaan cukup mengirim risalah temuan kepada KPP terkait. Dalam prakteknya, banyak PPNS di DJP yang masih belum bisa memisahkan mana pelanggaran administrasi perpajakan dan mana pelanggaran tindak pidana dibidang perpajakan. Hal ini berkaitan dengan sanksi yang harus diterapkan. Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran administrasi perpajakan tentu hanya akan diberi sanksi berupa bunga maksimal 48% dan kepada Wajib Pajak diberikan surat ketetapan pajak [skp]. Sedangkan Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran tindak pidana dibidang perpajakan akan diberikan sanksi penjara dan denda empat kali dari kerugian pada pendapatan negara. Ternyata setelah saya pelajari, Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-47/PJ/2009 tidak memberikan harapan semula. Karena itu saya coba cari : apa yang dimaksud tindak pidana dibidang perpajakan? Saya mulai dari penjelasan Pasal 38 UU KUP:
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana.
Penjelasan berikutnya berbunyi :
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan.
Kalimat yang sama tidak ditemukan di penjelasan Pasal 39. Padahal Pasal 38 dan Pasal 39 menyebutkan perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana dibidang perpajakan. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan tersebut masih abstrak. Kecuali yang dimaksud di Pasal 39A UU KUP. Saya berikan contoh perbuatan menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap : Pasal 39 ayat (1) huruf d UU KUP :
Setiap orang yang dengan sengaja: menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Apa yang dimaksud “isinya tidak benar”? Apakah kesalahan menghitung penyusutan termasuk maksud “isinya tidak benar”? Apakah penerbitan skp oleh KPP merupakan bukti SPT yang disampaikan WP tidak benar dan menimbulkan kerugian negara? Padahal banyak skp yang diterbitkan nilainya puluhan milyar rupiah! Saya sendiri sudah “memilah” bahwa yang termasuk tindak pidana dibidang perpajakan adalah Wajib Pajak yang memotong atau memungut pajak tapi tidak disetor ke Kas Negara, dan Wajib Pajak yang menyembunyikan omset. Akan tetapi tidak serta merta “koreksi omset” akan disidik karena banyak skp yang kurang bayar karena koreksi omset. Annual Position Papers yang dibuat oleh Kadin meyakini bahwa pernyataan suatu tindak pidana pajak adalah berdasarkan kewenangan pengadilan (pengadilan negeri) bukan Ditjen Pajak. Menurutnya, Ditjen Pajak tidak boleh menggunakan Pasal 13A untuk menerbitkan suatu surat ketetapan pajak kecuali apabila pengadilan telah terlebih dahulu menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan telah melakukan suatu tindak pidana pajak (kelalaian) untuk pertama kalinya. “Definisi” yang lebih jelas saya kira justru ada di penjelasan Pasal 33 ayat (3) UU Penanaman Modal. Berikut kutipan lengkapnya :
Yang dimaksud dengan “tindak pidana perpajakan” adalah informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur perpajakan.
Penjelasan ini saya kira lebih mengerucut tentang tindak pidana perpajakan, yaitu Wajib Pajak telah memotong atau memungut pajak orang lain tapi tidak disetorkan kepada Kas Negara. Prakteknya, terdapat oknum-oknum tertentu [bisa pegawai DJP atau bukan] yang menerima pembayaran pajak dari Wajib Pajak [nitip] tetapi titipan tersebut tidak disetorkan ke Kas Negara. Untuk menipu Wajib Pajak, si oknum kemudian membuat SSP atau SSB palsu. Saya kira perbuatan seperti ini perlu dicantumkan di UU KUP karena bukan perbuatan “memotong atau memungut pajak”. Selama ini, perbuatan seperti ini hanya bisa disidik oleh pihak kepolisian karena ranah pidana pemalsuan. Padahal disini ada unsur “kerugian pada pendapatan negara” yang merupakan ciri pidana pajak.
Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com
PPh Pasal 25 adalah cicilan pembayaran Pajak Penghasilan pada tahun berjalan. Saya menggunakan istilan “cicilan” karena jumlah pembayaran dalam satu tahun akan diperhitungkan di SPT Tahunan. Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 25? Ini penjelasannya.
Withholding taxes biasanya kewajiban bagi pemberi penghasilan
Pemotongan Pajak Penghasilan lebih dikenal sebagai Potput atau withholding taxes. Ketika membicarakan Potput, maka posisikan kita sebagai pemberi penghasilan atau yang memberikan uang. Tulisan ini membahas lebih tuntas dan lebih dalam tentang Potput atau withholding taxes.
Atas Penghasilan Luar Negeri Wajib Dilaporkan. Dan Pajaknya Boleh Dikreditkan
Indonesia menerapkan pemajakan atas semua penghasilan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri (world wide income). Karena atas penghasilan luar neger wajib dilaporkan, maka atas pajak-pajak yang sudah dibayar di luar negeri dapat diperhitungkan. Inilah cara menghitung kredit pajak luar negeri.
Tren ekonomi digital semakin membesar. Volume perdagangan melalui e-Commerce semakin menyaingi perdagangan konvensional. Dalam rangka equal treatment antara e-commerce dan konvensional, Menteri Keuangan mewajibkan para toko online memiliki NPWP. Ketentuan ini berlaku mulai April 2019.
Setiap penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Dalam Negeri, wajib dilaporkan di SPT Tahunan. Termasuk penghasilan dividen yang diterima dari badan usaha di luar negeri. Pajak membedakan cara pengenaan dividen dari perusahaan yang terdaftar di bursa dan yang tidak terdaftar di bursa.
Dalam rangka meningkatkan volume penjualan, penjual sering memberikan imbalan kepada pembeli. Pembeli maksud di sini adalah pihak yang membeli produk dari Penjual untuk dijual kembali termasuk distributor, agen, dan retailer. Nah, berikut perlakuan perpajakan imbalan tersebut menurut SE-24/PJ/2018.
Direktur Jenderal Pajak telah membuat kebijakan pelayanan pembuatan Surat Keterangan Domisili (SKD) atauย Certificate of Residence hanya dalam satu hari. Supaya bisa cepat, maka permohonan pembuatan SKD harus dengan cara online. Berikut cara mendapatkan SKD.
Penghindaran pajak (mungkin) sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Banyak cara menghindari pajak, salah satunya dengan biaya bunga. Karena itu perlu ketentuan yang membatasi biaya bunga dengan cara membatasi nisbah utang terhadap modal (debt to equity ratio). Berikut ketentuan debt to equity ratio (DER) menurut pajak.
Pengusaha kena pajak (PKP) wajib membuat faktur pajak setiap kali melakukan transaksi penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak. Sekarang, faktur pajak dibuat secara elektronik sehingga disebut e-faktur. Namun, jangan terkecoh dengan aplikasi e-faktur abal-abal. PKP harus berhati-hati menggunakan aplikasi e-faktur. Ada peringatan dari DJP tentang hal ini.
Saat Pemeriksa Pajak Menghitung Penghasilan Secara Jabatan
Pada kebanyakan Wajib Pajak, mereka hanya memikirkan penghasilan. Bagaimana mendapatkan penghasilan sebesar-besarnya. Penghasilan yang dimaksud adalah penghasilan bruto atau penghasilan kotor.
Tidak mudah membangun usaha. Pengalaman saya mendengarkan Wajib Pajak yang sudah sukses, mereka pada awalnya membangun usaha dari kecil. Dimulai dari usaha kecil, UKM.
Setelah melampaui berbagai perjuangan, para pebisnis menemukan “urat nadi usaha” sehingga dia fokus dengan usaha tersebut. Dan menemukan tingkat kesuksesan berusaha.
Setelah mereka besar, datang petugas pajak menagih pajak ๐
Bertahun-tahun belajar bisnis, kemudian diminta pembukuan oleh kantor pajak. Banyak yang tidak siap karena tidak tahu bagaimana menyelenggarakan pembukuan. Mereka harus mempekerjakan pegawai yang bisa menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi. Atau menyewa jasa akuntansi!
Jadi, diantara alasan kenapa Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan:
Tidak mengetahui adanya kewajiban menyelenggarakan pembukuan.
Tidak faham, bagaimana menyelenggarakan pembukuan.
Tidak menemukan pegawai yang mau dipekerjakan sebagai tenaga pembukuan.
Tidak mau menyewa jasa akuntansi.
Penghasilan Neto Dalam Pemeriksaan Pajak
Penghasilan neto adalah dasar pengenaan pajak penghasilan. Untuk menghitung penghasilan neto, pemeriksa pajak dapat menempuh dua jalur:
Berdasarkan pembukuan dan dokumen pendukung yang ada, atau
Dihitung secara jabatan.
Sepanjang pemeriksa pajak meyakini bahwa pembukuan dan dokumen yang diserahkan oleh Wajib Pajak “cukup” untuk menghitung penghasilan neto, maka pemeriksa pajak wajib menghitung penghasilan neto berdasarkan pembukuan.
Ukuran cukup atau tidak kembali kepada standar auditing. Atau kelaziman dalam pembukuan. Dan pemeriksa pajak dapat menggunakan teknik dan metode pemeriksaan pajak yang memadai.
Tetapi jika pemeriksa pajak berpendapat bahwa tidak cukup lengkap untuk menghitung penghasilan neto berdasarkan pembukuan yang diberikan, maka pemeriksa pajak dapat menghitung penghasilan neto secara jabatan.
Penghitungan Penghasilan Neto Secara Jabatan
Kewenangan pemeriksa pajak menghitung penghasilan neto secara jabatan diatur atau berdasarkan Pasal 14 ayat (5) Undang-undang PPh.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (5) Undang-undang PPh, terbitlah Peraturan Menteri Keuangan nomor 15/PMK.03/2018 tentang cara lain untuk menghitung peredaran bruto.
Bagian pertimbangan peraturan ini menyebutkan untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti pendukungnya, perlu diatur cara lain untuk menghitung peredaran brutonya dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Menurut pertimbangan diatas, ada 3 kondisi dimana pemeriksa pajak dapat menggunakan โsenjataโ Peraturan Menteri Keuangan nomor 15/PMK.03/2018, yaitu:
Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan,
Wajib Pajak tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan,
Wajib Pajak tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti pendukung.
Dua alasan pertama disebabkan keadaan dan fakta wajib pajak. Walaupun demikian, frasa โtidak sepenuhnya menyelenggarakanโ merupakan pendapat pemeriksa. Artinya, pemeriksa berkesimpulan bahwa laporan peredaran usaha di SPT Tahunan tidak didukung dengan dokumen yang โcukupโ.
Sedangkan alasan ketiga mungkin disebabkan oleh keengganan Wajib Pajak memperlihatkan dokumen. Dokumen tersebut ada tetapi tidak diberikan kepada pemeriksa pajak. Dan dokumen tersebut penting untuk menghitung peredaran usaha (omzet).
Peraturan Menteri Keuangan nomor 15/PMK.03/2018 merupakan dasar hukum untuk menghitung peredaran usaha secara jabatan. Sedangkan untuk menghitung penghasilan neto secara jabatan menggunakan Peraturan direktur jenderal pajak tentang norma penghasilan neto nomor PER-17/PJ/2015.
Dalam hal terhadap Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ternyata Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Kemudian Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-17/PJ./2015 memberikan persyaratan penggunaan norma penghitungan penghasilan bruto bagi pemeriksa pajak yaitu: menghitung penghasilan neto dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau badan yang diperiksa:
tidak menyelenggarakan pembukuan, atau
tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, atau
tidak bersedia memperlihatkan pembukuan, atau
tidak memperlihatkan pencatatan, atau
tidak memperlihatkan bukti-bukti pendukungnya.
Para pemeriksa pajak tentu sudah tidak asing lagi cara menggunakannya. Karena ini sama saja dengan norma penghitungan penghasilan neto menurut Wajib Pajak. Cara menghitungnya sama. Yang beda hanya di tarif normanya.
Berikut daftar norma penghitungan penghasilan neto bagi Wajib Pajak yang diperiksa:
Dasar hukum norma penghitungan penghasilan neto adalah Pasal 14 Undang-undang PPh
Bagi kebanyakan orang, menghitung penghasilan neto itu susah. Rumit. Aturannya berubah-ubah. Tidak sempat ingat, sudah lupa. Menepis kerumitan ini, sebenarnya Undang-undang Pajak Penghasilan sudah memberikan fasilitas berupa norma yang fungsinya untuk menghitung penghasilan neto.
Penyusutan fiskal adalah penyusutan berdasarkan ketentuan Undang-undang PPh. Perusahaan bisa saja menghitung penyusutan berdasarkan standar akuntansi komersial. Tetapi saat akan lapor SPT Tahunan, maka penyusutan fiskal wajib hukumnya dibuat. Dan jika ada selisih antara jumlah penyusutan fiskal dengan penyusutan komersial, maka dilakukan koreksi fiskal.
Pendapatan pasar modern, seperti supermarker dan departement store, tidak hanya diperoleh dari marjin harga antara harga jual kepada konsumen dan harga beli dari pemasok, tetapi juga diperoleh dari sejumlah trading term (syarat perdagangan) yang dalam kondisi tertentu justru besarannya jauh lebih besar dibandingkan dengan marjin harga tersebut.
Koreksi positif biaya artinya koreksi yang menyebabkan penghasilan neto lebih besar. Biaya pengurang penghasilan bruto berkurang (dicoret) tentu menyebabkan penghasilan neto lebih besar. Dan PPh terutang lebih besar.Istilah koreksi positif sebenarnya koreksi apapun yang menyebabkan pajak terutang bertambah. Sebaliknya, koreksi negatif merupakan koreksi apapun yang menyebabkan pajak terutang berkurang.